"Bang, gimana? Masak belum boleh pulang juga sama dokternya? Ini udah lebih dari seminggu, loh! Aku udah nggak sabar lagi buat ketemu Abang. Aku kangeeeen ...," rajuk Delia kepada Gilang. "Iya, Dek. Sabar dulu. Mudah-mudahan nggak lama lagi Abang dibolehin pulang. Adek mesti sabar .... Lagian, 'kan, kita bisa teleponan tiap hari," bujuk Gilang. Pria itu berbohong kepada sang istri. Entah mengapa pria itu masih saja menutupi kenyataan kalau dirinya sudah bertemu dengan keluarganya sendiri. Gilang memang selama ini merasa sedikit tertekan semenjak orang-orang menuntutnya untuk menikahi Delia. Padahal ia sama sekali tidak mencintai perempuan itu. Memang ... Gilang merasa sayang kepada Delia. Akan tetapi, sebenarnya hanya sebatas teman, atau hanya sebagai adik saja. Meskipun ia tidak memungkiri kalau Delia merupakan perempuan yang cantik, tetapi ia merasa terlalu terburu-buru untuk mereka memutuskan menikah, di mana dirinya masih belum mengingat siapa sebenarnya keluarganya, bahkan
Pertanyaan Rayyan sengaja ingin memancing. Entah mengapa, dalam hati pria itu menginginkan kalau Gilang jatuh cinta dengan perempuan lain saja. Biar adiknya itu benar-benar melupakan cintanya pada sang istri. "Ahahahaa ...." Rayyan tertawa sumbang. "Entahlah, Bang. Aku ... belum ada tertarik sama perempuan, sih. Entahlah ...." "Kata kamu Delia cantik?" "Yaaa, dia memang cantik. Cuma menurutku dia masih terlalu kecil, Bang." "Kamu suka yang usia berapa memang?" Rayyan menahan-nahan napasnya. Entah mengapa hatinya merasa gusar. Padahal dirinya sendiri yang terus memancing Gilang. Gilang menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Kemudian lelaki itu mencebik dan menaikkan alisnya. "Mungkin yang 21 sampai 25 tahun itu lebih pas. Aku juga hampir 30 tahun, 'kan, kata Abang." Pria itu teringat Rayyan yang pernah menyebutkan umurnya yang hampir 29 tahun. "Sebelum tahu umurku yang sebenarnya pun jujur aja ... aku memang ngerasa udah di atas seperempat abad. Hahahahaaa! Ternyata benar ...." M
"Boss, Mas Gilang bilang, dia mau izin pulang sebentar ke Desa Mandiri, ke rumah Abah Harun." Rayyan kontan menautkan kedua alisnya setelah mendengar laporan dari Bobby. Selama ini Bobby-lah yang ditugaskan Rayyan untuk menemani Gilang terapi di rumah sakit setiap dua hari sekali. "Soal terapinya gimana kalau dia pulang ke sana?" "Tadi udah nanya dokter, Boss. Katanya boleh kalau sekadar sehari sampai tiga hari aja," jawab Bobby. "Oh, gitu. Ya udah, kamu suruh Toni buat antar dia besok. Kasih aja waktu dua malam menginap," pungkas Rayyan kepada asistennya. "Siap, Boss!" seru Bobby mengangguk, "oh iya, urusan akte kematian Mas Gilang sudah dibatalkan." "Bagus! Bersyukur waktu itu nggak terburu-buru mengurusnya. Jadi, nggak repot banget. Nanti kamu bantu saya cari kartu identitas dan dokumen apa aja milik pribadi Gilang yang ada di kamarnya." "Kapan, Boss?" "Besok aja. Pas Lestari pergi ngantar ayahnya terapi." Bobby pun menganggukkan kepala. "Mbak Tari masih belum tahu kalau Ma
Rayyan menatap nanar ke arah Bobby yang tak sanggup lagi berkata-kata di sana. Ya, ia tahu kalau pikiran Bobby tentu sama dengannya, yakni mengatakan ada kemungkinan kalau Lestari bisa saja kembali cinta kepada Gilang seperti dulu lagi. "Ah, udahlah! Jangan lupa, besok kamu ke rumah saya jam 9-an." Rayyan pun memutuskan untuk mengakhiri pembicaraan mereka, "sana kamu keluar! Jangan lupa hubungi Toni, suruh antar Gilang besok ke rumah Abah Harun." Bobby menghela napas panjang dan lelaki itu lalu bangkit dari duduk, lantas ia melenggang menuju keluar ruangan tanpa berkata apa pun lagi. *** "Mas, ini uang buat pegangan Mas ke sana." Bobby menyerahkan sebuah amplop coklat yang berisi beberapa gepok uang. Gilang menautkan kedua alisnya sembari tangannya meraih apa yang diserahkan oleh Bobby. Kemudian pria itu melihat ke dalam amplop tersebut. Terdapat lima gepokan uang 5 juta di sana. Artinya ada 25 juta yang diberikan oleh Bobby padanya. "Banyak banget, Mas Bobb?" tanyanya heran
"Maaf, Mbak. Pak Geri tiba-tiba mesti ke Tangerang, karena baru dapet kabar keluarganya meninggal." "Innalillaahi wa inna ilaihi raji'un ...," lirih Lestari ketika ditelepon oleh admin klinik tempat sang ayah terapi selama ini, "ya udah, Kak. Kami terpaksa kembali pulanglah ini." "Sekali lagi mohon maaf ya, Mbak," ucap orang di seberang sana. "Ya nggak apa-apa, Kak. Namanya musibah ya," sahut Lestari memahami. Setelah pamit, ia pun memutuskan sambungan teleponnya. "Kenapa? Siapa yang meninggal?" tanya Dinar kepada putrinya. "Keluarga terapisnya, Yah. Jadi, hari ini Ayah nggak jadi terapinya." Dinar menghela napas panjang. "Ya udah, badan Ayah juga agak lelah nih, dua hari ini. Nggak tahu kenapa," imbuh lelaki tua itu. "Iyalah, nanti sampe rumah, Ayah banyakin istirahat aja," pungkas Lestari memberi saran. Dinar hanya mengangguk pelan. "Maaf, Pak. Nggak apa-apa 'kan, balik lagi? Hitung aja tarifnya!" tukas Lestari kepada sopir mobil taksi online. "Oke, Mbak!" jawab sang sopi
"Loh, Mbak Tari? Katanya lagi ke klinik, anter Pak Dinar terapi?" Bobby yang tadi berada di belakang Rayyan berjalan melewati tubuh sang atasan dan mendekat ke arah Lestari. Tampak di tangan lelaki itu beberapa map. Lestari mengangguk sembari menarik kedua sudut bibirnya ke atas dengan kaku. "Batal terapinya, Mas. Dokternya mesti takziah ke tempat keluarganya yang meninggal," jelas wanita muda itu sembari mengalihkan pandangan mata ke arah suaminya. Rayyan hanya bergeming di sana. Lelaki itu kemudian menutup pintu kamar Gilang dan menguncinya. "Nyonya kok, udah pulang?" Tiba-tiba muncul Nunung dari arah dapur. "Ah, iya, Bi," sahut sang nyonya yang refleks menoleh ke arah wanita tua itu. "Sini, Nya. Bibi bawain!" Nunung langsung meraih kantong plastik yang berisi buah-buahan yang dari tadi masih di genggaman tangan kiri Lestari. Rayyan melenggang ke arah sofa di ruang tengah tanpa menyapa sang istri di sana. Bobby gegas menyusul sang atasan dengan salah tingkah. 'Eh, si boss
"Mas tadi ngumpulin dokumen milik Gilang. Ada yang mesti Mas urus," jawab Rayyan tidak jelas. Ia kemudian melenggang menuju ke almari untuk mengambil kemeja kerjanya. "Emang Mas ngurusin apa dari dokumen Mas Gilang?" Entah mengapa hati Lestari merasa kalau sang suami sedang menutupi sesuatu darinya. Rayyan melepas baju kaus yang ia kenakan, lalu mengenakan kemeja yang tadi ia ambil dari lemari. "Nanti Mas ceritain. Sekarang Mas mau ke kantor," ujar lelaki itu tak mau berpanjang lebar. Lestari berjalan mendekati sang suami, lalu membantu pria itu mengaitkan kancing-kancing kemejanya. "Oke, aku tunggu cerita dari Mas," pungkas wanita cantik itu. Meskipun dirinya merasa begitu penasaran, tetapi saat ini bukan waktu yang tepat sepertinya. Sebab sekarang sang suami hendak pergi ke kantor. Pagi tadi memang Rayyan bilang kalau ada yang ingin dikerjakannya di rumah bersama Bobby. Namun, Lestari tidak menyangka kalau mesti masuk ke dalam kamar Gilang. Oleh karena itulah hatinya dipenuh
"Hmm, okelah!" Lestari pun melenggang keluar kamar. Meski merasa penasaran dengan sikap sang suami yang tidak biasa hari ini, tetapi ia akan sabar menanti cerita dari suaminya itu. *** "Udah sampe di sini, Pak Toni!" Toni pun menghentikan kendaraannya. "Di sini rumahnya, Mas?" tanya lelaki paruh baya itu kepada Gilang. Sekitar 3 jam perjalanan mereka akhirnya sampai di depan pagar tanaman rumah Harun. "Iya, benar." "Sepi ya, Mas?" tanya Toni lagi. "Abah kayaknya lagi di kebun, Pak. Nggak tahu kalau cucu perempuannya." Gilang tidak mau menyebut cucu Harun itu sebagai istrinya di hadapan Toni. "Oh, gitu." Setelah mematikan mesin mobil, Toni keluar dari kendaraan dan menurunkan tas ransel milik Gilang. Ya, lelaki itu tidak membawa banyak barang. Gilang menyusul keluar mobil dan menunggu. Ia agak kesulitan bergerak karena kakinya yang masih pincang. "Mas, saya langsung berangkat balik ya," pamit Toni kepada Gilang. "Oh, nggak singgah dulu sebentar, Pak?" "Nggak, Mas. Soalnya
"Loh? Nyonya mau pergi ke mana? Memangnya sudah dibeli rumah barunya?" Nunung bertanya heran, sebab sang majikan wanita berpamitan dengan beberapa koper yang sudah disiapkan di dekat mereka."Iya, Bi. Sudah beli rumah. Tapi, ini nggak langsung pindah ke rumah itu. Saya dan Tari mau ke tempat teman saya dulu." Jawaban itu justru keluar dari lisan Rayyan, "Bibi sementara di sini dulu. Kalau kami sudah benar-benar pindah ke rumah yang baru, Bibi akan saya jemput," lanjut lelaki itu menjelaskan."O–oh, gitu, Tuan?" Meski masih merasa heran karena kepergian majikannya yang mendadak seperti ini, Nunung hanya bisa menuruti.Lestari memilih diam dari tadi, sebab ia mengikuti suaminya saja. Saat ini, ia hanya ingin segera pergi dari rumah itu."Bi, aku pamit dulu ya ...." Lestari mendekati sang ART, kemudian memeluk wanita tua yang selama ini telah ia anggap seperti ibunya sendiri."I–iya, Nya. Hati-hati di jalan. Nyonya kabari saya kalau sudah sampai di rumah temen Tuan ya! Nyonya juga jangan
Terdengar suara isakan dari Lestari membuat Rayyan seolah baru tersadar. Lelaki itu kemudian berjalan mendekat ke arah tempat duduk istrinya, lalu merangkul pundak wanita itu. "Tari ... kamu ... nggak apa-apa?" 'Ck! Pertanyaan bodoh! Nggak apa-apa gimana? Dia sedih, Gobl0k!' Batin Rayyan memarahi dirinya sendiri sebab mengucapkan pertanyaan yang ia anggap tidak perlu itu. Lestari bangkit berdiri dengan perlahan-lahan. Kakinya terasa begitu lemas rasanya. Ia lalu berjalan pelan dan lunglai menuju ke arah kamarnya. Rayyan bingung dengan apa yang mesti ia lakukan. Lelaki itu hanya bisa mengiringi sang istri menuju ke arah kamar mereka. Sesampainya di dalam kamar. Lestari menuju ke arah ranjangnya dan merebahkan diri sembari kembali menangis di atas bantalnya. Sungguh, ia merasa begitu sedih, sebab telah membuat Gilang sangat kecewa seperti saat ini. Sementara Rayyan, pria itu hanya bisa duduk di pinggir ranjang tersebut dengan kepala yang terasa berdenyut. Ia benar-benar tidak tahu
"Jadi, kamu sudah ingat tentang Tari?" tanya Rayyan tak mau lagi berbasa-basi."Bi, nggak apa-apa, kok. Bibi lanjutin kerjaan Bibi lagi, gih," bisik Lestari lirih ke arah Nunung di sebelahnya."Eeh, i–iya. Baik, Nyonya," sahut Nunung tergagap. Akan tetapi, wanita tua itu tetap menurut. Ia pun berbalik dan melenggang kembali ke teras belakang rumah.Lestari kembali mengarahkan pandangan ke arah Gilang dan juga Rayyan yang tengah berbicara di sana dengan perasaan yang tidak menentu. 'Apa benar, Mas Gilang sudah mengingat tentang kami?' bisik hatinya bertanya-tanya."Yaaah, begitulah. Aku bahkan sudah ingat kata-kata kamu malam itu, Tari." Gilang terus melihat ke arah sang wanita.Lestari mencoba mengingat apa yang pernah ia katakan. "Kata-kataku?" Rayyan ikut menoleh ke arah sang istri dengan sorot penasaran."Ya, kamu ingat di depan Burhan kamu bilang cinta sama Mas, 'kan? Burhan bilang, nggak lama dari berita kematian Mas, kamu memang batal menikah dengan Fadil, si anak kepala desa i
Meski hatinya terasa panas, Rayyan hanya bisa menyunggingkan senyuman dengan terpaksa. Ia tidak mau rasa cemburunya itu tertangkap oleh sang istri. "Mudah-mudahan aja rumah yang ditawarkan ke Bobby kemarin cocok buatku dan Lestari nanti," lirih ucapan Rayyan pada diri sendiri. Ya, tadi Bobby bilang mereka sudah janjian untuk melakukan survey ke sebuah rumah besok. Lokasi rumah tersebut hanya sekitar dua puluh menit dari kantor pusat perusahaan Rayyan ini. Memang harganya cukup tinggi, tetapi kalau cocok, Rayyan tidak mau menunda lagi untuk mengurus kepindahannya. Ia ingin segera memboyong Lestari menjauh dari Gilang. 'Kalau lebih lama lagi aku melihat kebersamaan mereka. Aku bisa gila!' keluh pria itu membatin. *** "Kakak iparku ini mau ke mana? Pagi-pagi udah cantik aja?" sapa Gilang, ketika langkah kakinya baru sampai di ruang makan. Ia hendak bergabung dengan Rayyan dan Lestari yang sudah lebih dulu berada di sana. Mata Gilang melirik sebentar melihat ekspresi sang kakak le
Lima hari belakangan ini, ketika sedang berada di kantor, Rayyan terlihat gusar dan tidak fokus dengan pekerjaannya. Gilang sudah tiga hari ikut ke kantornya dan belajar bekerja di sana. Ia didampingi langsung oleh Bobby. Lelaki itu terlihat serius dalam belajar. "Bos yakin dengan keputusan akan memberikan posisi CEO pada Mas Gilang?" tanya Bobby kepada sang atasan. Mereka kini sedang berada di ruangan presiden direktur, yakni Rayyan sendiri. Pria itu baru saja menyampaikan kepada asisten setianya untuk mengajari Gilang agar ke depan bisa menduduki posisi CEO yang saat ini dirangkap oleh Rayyan sendiri selain ia juga sebagai owner sekaligus presiden direktur di perusahaan itu. Selama ini Rayyan memang cukup sibuk karena jabatan yang dirangkapnya itu. Meskipun demikian, selama ini ia mampu sebab didukung oleh Bobby yang selalu bisa ia andalkan. "Ya, kamu mesti ajari dia yang bener, Bobb. Gilang sebaiknya tidak usah melanjutkan jadi guru lagi. Aku nggak mau dia dihina orang lagi s
Wanita cantik yang kini wajahnya terlihat agak pucat itu mengangguk cepat. Lestari baru sadar kalau tangannya sendiri terasa sangat dingin ketika sang suami meraih dan menggenggamnya saat ini. "Ini jarimu kenapa?" tanya Rayyan ketika melihat dan meraba jari telunjuk tangan kanan Lestari yang dibalut plaster. "Ini, nggak sengaja kena pisau, Mas. Nggak apa-apa, kok! Luka kecil aja." "Kamu lain kali hati-hati," pesan sang suami. Lestari tersenyum kikuk ketika sadar kalau sedari tadi Gilang mencuri-curi pandang ke arahnya. "A–ku siapin makan siang dulu, Mas," ujarnya kepada sang suami seraya berbalik badan dan langsung berjalan ke arah dapur menyusul Nunung. Rayyan menyembunyikan helaan napasnya ketika melihat punggung sang istri yang menjauh. Di dalam hati entah mengapa ia merasa timbul kesedihan. Ia menebak kalau benar, sang istri sepertinya masih menyimpan perasaan kepada adik angkatnya. "Naah, ini diaa! Terima kasih, Bi Nunung yang caeeem ...!" seru Bobby menarik Rayyan kembali
"Kenapa sih, Nya? Nyonya sejak pagi tadi keliatan nggak fokus gitu?" tanya Nunung ketika Lestari baru saja menumpahkan air yang ia tuang dari sebuah teko. Sebelumnya Lestari juga tak sengaja mengiris jarinya sendiri ketika menyiangi sayuran. Keduanya memasak lebih banyak hari ini sebab Rayyan tadi malam mengatakan akan membawa Gilang ke rumah tersebut. Ya, sejak itu, entah mengapa Lestari menjadi gugup sendiri. Ia juga heran, sebenarnya apa yang sedang terjadi pada dirinya. Padahal ia yakin, kalau hatinya kini telah dimiliki oleh Rayyan Yudistira, sebagai lelaki yang berstatus suaminya. "E–eh, ma–af, Bi. Biar aku yang bersihkan. Bibi lanjut nata perlengkapan makannya aja!" tukas Lestari sembari meraih gagang pel yang dipegang Nunung dan mulai mengelap air yang membasahi lantai ruang makan tersebut. Nunung pun menghela napas dan melipat bibirnya sejenak. Lalu ia menata piring dan sendok di atas meja makan seperti perintah sang nyonya. "Assalamualaikum." Deg! Degup jantung Lesta
Bobby mencebikkan bibirnya. "Nggak ada, Boss. Makanya aku bilang, kayaknya ingatan Mas Gilang masih setengah-setengah," ujar lelaki itu lagi. Rayyan menghela napas sedikit lega. Akan tetapi, kekhawatiran di wajahnya masih menyelimuti. "Gimana kalau suatu saat dia ingat semuanya, ya, Bobb? Apa yang harus saya katakan soal Tari?" Lelaki tampan itu menatap pelas ke arah sang asisten. Ia berharap bisa mendapatkan pencerahan dari Bobby. "Ya mau gimana. Ini sudah takdir, Boss. Sekarang Boss udah nikahin cewek yang Mas Gilang taksir. Mau nggak mau, Mas Gilang juga mesti menerima itu!" Ucapan Bobby terdengar tanpa beban di telinga Rayyan. Rayyan menunduk, kemudian menekan kepala dengan dua tangannya. Entah mengapa kepalanya kini terasa berdenyut tiba-tiba seperti ini. Pikirannya terasa sangat penuh. "Mbak Tari sendiri kira-kira gimana kalau tahu Mas Gilang sebenarnya masih hidup ya, Boss?" tanya Bobby kepada yang atasan yang wajahnya mulai kusut itu. "Tari sudah tahu." "Hah?!" Bobby tam
Bobby menghela napas panjang. Ia menimbang-nimbang. "Pak, apa nggak bisa diundur bulan depannya lagi ya, kami keluar dari sana?" Bobby hanya ingin mengantisipasi waktu saja. Khawatir kalau nanti ia butuh waktu lebih lama untuk mengurus kepindahan Gilang. "Aduh, Mas, maaf sekali lagi. Kayaknya nggak bisa. Soalnya itu apartemen mau dipake anak orang yang beli itu. Bulan depan tanggal 7, dia sudah masuk kuliah. Jadinya sebelum itu dia harus pindahan dan prepare semua urusan dia secepatnya. Begitu katanya, Mas!" Kembali Bobby menghela napas panjang. "Oh, iyalah, Pak. Saya nanti koordinasi dulu sama sodara saya itu. Nanti saya kabari lagi perkembangannya ke Bapak," ucap lelaki itu akhirnya. "Oke, Mas Bobby. Maaf sekali lagi. Semoga dimudahkan ya, Mas!" Keduanya pun memutuskan sambungan telepon seluler tersebut. "Aku mesti langsung kasih tahu si Boss ini!" seru Bobby sembari menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku jas. Setelah itu, ia langsung menjalankan kembali motor besarnya men