"Maaf, Mbak. Pak Geri tiba-tiba mesti ke Tangerang, karena baru dapet kabar keluarganya meninggal." "Innalillaahi wa inna ilaihi raji'un ...," lirih Lestari ketika ditelepon oleh admin klinik tempat sang ayah terapi selama ini, "ya udah, Kak. Kami terpaksa kembali pulanglah ini." "Sekali lagi mohon maaf ya, Mbak," ucap orang di seberang sana. "Ya nggak apa-apa, Kak. Namanya musibah ya," sahut Lestari memahami. Setelah pamit, ia pun memutuskan sambungan teleponnya. "Kenapa? Siapa yang meninggal?" tanya Dinar kepada putrinya. "Keluarga terapisnya, Yah. Jadi, hari ini Ayah nggak jadi terapinya." Dinar menghela napas panjang. "Ya udah, badan Ayah juga agak lelah nih, dua hari ini. Nggak tahu kenapa," imbuh lelaki tua itu. "Iyalah, nanti sampe rumah, Ayah banyakin istirahat aja," pungkas Lestari memberi saran. Dinar hanya mengangguk pelan. "Maaf, Pak. Nggak apa-apa 'kan, balik lagi? Hitung aja tarifnya!" tukas Lestari kepada sopir mobil taksi online. "Oke, Mbak!" jawab sang sopi
"Loh, Mbak Tari? Katanya lagi ke klinik, anter Pak Dinar terapi?" Bobby yang tadi berada di belakang Rayyan berjalan melewati tubuh sang atasan dan mendekat ke arah Lestari. Tampak di tangan lelaki itu beberapa map. Lestari mengangguk sembari menarik kedua sudut bibirnya ke atas dengan kaku. "Batal terapinya, Mas. Dokternya mesti takziah ke tempat keluarganya yang meninggal," jelas wanita muda itu sembari mengalihkan pandangan mata ke arah suaminya. Rayyan hanya bergeming di sana. Lelaki itu kemudian menutup pintu kamar Gilang dan menguncinya. "Nyonya kok, udah pulang?" Tiba-tiba muncul Nunung dari arah dapur. "Ah, iya, Bi," sahut sang nyonya yang refleks menoleh ke arah wanita tua itu. "Sini, Nya. Bibi bawain!" Nunung langsung meraih kantong plastik yang berisi buah-buahan yang dari tadi masih di genggaman tangan kiri Lestari. Rayyan melenggang ke arah sofa di ruang tengah tanpa menyapa sang istri di sana. Bobby gegas menyusul sang atasan dengan salah tingkah. 'Eh, si boss
"Mas tadi ngumpulin dokumen milik Gilang. Ada yang mesti Mas urus," jawab Rayyan tidak jelas. Ia kemudian melenggang menuju ke almari untuk mengambil kemeja kerjanya. "Emang Mas ngurusin apa dari dokumen Mas Gilang?" Entah mengapa hati Lestari merasa kalau sang suami sedang menutupi sesuatu darinya. Rayyan melepas baju kaus yang ia kenakan, lalu mengenakan kemeja yang tadi ia ambil dari lemari. "Nanti Mas ceritain. Sekarang Mas mau ke kantor," ujar lelaki itu tak mau berpanjang lebar. Lestari berjalan mendekati sang suami, lalu membantu pria itu mengaitkan kancing-kancing kemejanya. "Oke, aku tunggu cerita dari Mas," pungkas wanita cantik itu. Meskipun dirinya merasa begitu penasaran, tetapi saat ini bukan waktu yang tepat sepertinya. Sebab sekarang sang suami hendak pergi ke kantor. Pagi tadi memang Rayyan bilang kalau ada yang ingin dikerjakannya di rumah bersama Bobby. Namun, Lestari tidak menyangka kalau mesti masuk ke dalam kamar Gilang. Oleh karena itulah hatinya dipenuh
"Hmm, okelah!" Lestari pun melenggang keluar kamar. Meski merasa penasaran dengan sikap sang suami yang tidak biasa hari ini, tetapi ia akan sabar menanti cerita dari suaminya itu. *** "Udah sampe di sini, Pak Toni!" Toni pun menghentikan kendaraannya. "Di sini rumahnya, Mas?" tanya lelaki paruh baya itu kepada Gilang. Sekitar 3 jam perjalanan mereka akhirnya sampai di depan pagar tanaman rumah Harun. "Iya, benar." "Sepi ya, Mas?" tanya Toni lagi. "Abah kayaknya lagi di kebun, Pak. Nggak tahu kalau cucu perempuannya." Gilang tidak mau menyebut cucu Harun itu sebagai istrinya di hadapan Toni. "Oh, gitu." Setelah mematikan mesin mobil, Toni keluar dari kendaraan dan menurunkan tas ransel milik Gilang. Ya, lelaki itu tidak membawa banyak barang. Gilang menyusul keluar mobil dan menunggu. Ia agak kesulitan bergerak karena kakinya yang masih pincang. "Mas, saya langsung berangkat balik ya," pamit Toni kepada Gilang. "Oh, nggak singgah dulu sebentar, Pak?" "Nggak, Mas. Soalnya
Pertanyaan itu juga mewakili apa yang seketika saja muncul di benak Harun saat ini. "Belum." Sontak dahi Harun dan Delia mengernyit heran. "Kalau belum, dari mana kamu tahu nama kamu itu Gilang?" tanya Harun penasaran. "Aku bertemu dengan keluargaku, Bah. Boss Pak Toni yang menabrakku itu ternyata adalah saudaraku," ujar Gilang dengan jujur. "Kamu yakin dia saudaramu?" tanya Harun lagi seraya menatap lekat ke arah lelaki yang ia beri nama Ardi itu. Gilang mengangguk pasti. Ya, ia percaya kalau Rayyan tidak berbohong. Bahkan waktu itu Rayyan pernah menunjukkan foto mereka berdua dari dompetnya. Rayyan selama ini juga memperlihatkan perhatian yang besar kepada Gilang. Ia merasakan ketulusan hati Rayyan. Abangnya itu tidak segan-segan mengeluarkan banyak uang demi untuk memenuhi semua keperluannya di kota sana. Bahkan saat ini Gilang dibekalkan uang yang sangat banyak, untuk ia bagi kepada Harun dan keluarga yang telah menolong adiknya. Tidak mungkin itu semua adalah sa
Keesokan harinya, terdengar sayup-sayup suara orang membaca shalawat dari arah masjid. "Bang ... Bang Ardi. Eh, lupa. Bang Gilang sayang ...," panggil Delia sembari menggoyangkan tubuh suami tercinta. "Hmmrgg." Gilang menggeliat dan perlahan kelopak matanya pun terbuka meski masih memicing. "Jam berapa ini, Dek?" tanya pria itu, kemudian tangannya segera menutup mulut yang menguap dengan lebar. "Udah mau setengah lima, Bang. Udah mau adzan ini, Abang belum mandi, loh," tukas Delia sembari menggosok-gosok kepalanya dengan handuk sebab ia juga baru selesai mandi janabah. Gilang segera duduk, lantas meraih tongkat yang bersandar di samping tempat tidur, dan kemudian ia pun bangkit berdiri. "Heeyy!" seru Delia tertahan sembari refleks dengan gerakan cepat menutupi bagian bawah tubuh sang suami dengan handuk yang ia gunakan untuk mengelap rambutnya tadi. "Eh, astagfirullah. Abang sampe lupa masih telanj*ng." Gilang langsung menahan handuk yang sang istri pegangkan di pinggangn
"Anak Anda nggak jadi nikah kemarin?" tanya Rayyan Yudistira kepada Dinar Abdullah ketika seorang perempuan muda nan cantik telah masuk kembali usai meletakkan tiga cangkir teh hangat ke atas meja. "Ah, iya, Mas Rayyan. Nggak jadi. Ada sesuatu dan lain hal. Jadinya yaa ... gitulah. Terpaksa saya batalkan." Dinar tersenyum getir menjawab pertanyaan lelaki kaya raya di hadapannya itu. Memorinya teringat kembali kejadian di saat dirinya dan mantan calon besannya memergoki sang calon menantu dalam keadaan tidak pantas di sebuah kamar hotel. "Maaf, bukan maksud saya mau turut campur. Hanya saja saya mendengar isu tidak sedap soal alasan mengapa sampai pernikahan anak Anda tidak jadi dilangsungkan, padahal Anda sudah mengeluarkan modal yang cukup besar untuk acara perhelatan tersebut. Saya harap bisnis kita tidak terpengaruh oleh kejadian itu," pungkas Rayyan dengan suara beratnya yang khas. Tatapannya lekat menghujam ke arah Dinar membuat lelaki paruh baya itu menundukkan pandangan. "Ma
"Jadi, maksudnya Mas Gunawan nyuruh saya menggadaikan anak sendiri untuk mengulur waktu pelunasan utang?!" seru Dinar dengan suara keras. Ia seakan tidak terima dan tersinggung dengan ide Gunawan. "Ada apa, Yah?!" Tiba-tiba Nurma, istri Dinar bersama putrinya keluar dari dalam rumah. Mereka terkejut dengan suara Dinar yang terdengar sampai ke bagian dalam rumah. "Ini! Mas Gunawan ngomong sembarangan! Masak Ayah disuruh nyerahkan anak sendiri biar dikasih tempo pelunasan utang ke Mas Rayyan?!" "Hah?!" Lestari dan ibunya kembali terkejut dengan apa yang disampaikan oleh Dinar. Mereka berdua sudah tahu permasalahan yang tengah menimpa lelaki tua itu. Sampai-sampai beberapa hari ini Dinar terlihat stress dan penyakit jantungnya pun jadi kambuh, sehingga ia sempat masuk ke UGD tiga hari lalu. Untung saja tidak terjadi hal yang lebih buruk dari itu. "Ma–maaf, Bu. Dek Tari .... Sa–ya cuma menyampaikan ide aja. Kalau diterima syukuur. Kalau nggak diterima juga nggak apa-apa. Ya udah, s