"Loh, Mbak Tari? Katanya lagi ke klinik, anter Pak Dinar terapi?" Bobby yang tadi berada di belakang Rayyan berjalan melewati tubuh sang atasan dan mendekat ke arah Lestari. Tampak di tangan lelaki itu beberapa map. Lestari mengangguk sembari menarik kedua sudut bibirnya ke atas dengan kaku. "Batal terapinya, Mas. Dokternya mesti takziah ke tempat keluarganya yang meninggal," jelas wanita muda itu sembari mengalihkan pandangan mata ke arah suaminya. Rayyan hanya bergeming di sana. Lelaki itu kemudian menutup pintu kamar Gilang dan menguncinya. "Nyonya kok, udah pulang?" Tiba-tiba muncul Nunung dari arah dapur. "Ah, iya, Bi," sahut sang nyonya yang refleks menoleh ke arah wanita tua itu. "Sini, Nya. Bibi bawain!" Nunung langsung meraih kantong plastik yang berisi buah-buahan yang dari tadi masih di genggaman tangan kiri Lestari. Rayyan melenggang ke arah sofa di ruang tengah tanpa menyapa sang istri di sana. Bobby gegas menyusul sang atasan dengan salah tingkah. 'Eh, si boss
"Mas tadi ngumpulin dokumen milik Gilang. Ada yang mesti Mas urus," jawab Rayyan tidak jelas. Ia kemudian melenggang menuju ke almari untuk mengambil kemeja kerjanya. "Emang Mas ngurusin apa dari dokumen Mas Gilang?" Entah mengapa hati Lestari merasa kalau sang suami sedang menutupi sesuatu darinya. Rayyan melepas baju kaus yang ia kenakan, lalu mengenakan kemeja yang tadi ia ambil dari lemari. "Nanti Mas ceritain. Sekarang Mas mau ke kantor," ujar lelaki itu tak mau berpanjang lebar. Lestari berjalan mendekati sang suami, lalu membantu pria itu mengaitkan kancing-kancing kemejanya. "Oke, aku tunggu cerita dari Mas," pungkas wanita cantik itu. Meskipun dirinya merasa begitu penasaran, tetapi saat ini bukan waktu yang tepat sepertinya. Sebab sekarang sang suami hendak pergi ke kantor. Pagi tadi memang Rayyan bilang kalau ada yang ingin dikerjakannya di rumah bersama Bobby. Namun, Lestari tidak menyangka kalau mesti masuk ke dalam kamar Gilang. Oleh karena itulah hatinya dipenuh
"Hmm, okelah!" Lestari pun melenggang keluar kamar. Meski merasa penasaran dengan sikap sang suami yang tidak biasa hari ini, tetapi ia akan sabar menanti cerita dari suaminya itu. *** "Udah sampe di sini, Pak Toni!" Toni pun menghentikan kendaraannya. "Di sini rumahnya, Mas?" tanya lelaki paruh baya itu kepada Gilang. Sekitar 3 jam perjalanan mereka akhirnya sampai di depan pagar tanaman rumah Harun. "Iya, benar." "Sepi ya, Mas?" tanya Toni lagi. "Abah kayaknya lagi di kebun, Pak. Nggak tahu kalau cucu perempuannya." Gilang tidak mau menyebut cucu Harun itu sebagai istrinya di hadapan Toni. "Oh, gitu." Setelah mematikan mesin mobil, Toni keluar dari kendaraan dan menurunkan tas ransel milik Gilang. Ya, lelaki itu tidak membawa banyak barang. Gilang menyusul keluar mobil dan menunggu. Ia agak kesulitan bergerak karena kakinya yang masih pincang. "Mas, saya langsung berangkat balik ya," pamit Toni kepada Gilang. "Oh, nggak singgah dulu sebentar, Pak?" "Nggak, Mas. Soalnya
Pertanyaan itu juga mewakili apa yang seketika saja muncul di benak Harun saat ini. "Belum." Sontak dahi Harun dan Delia mengernyit heran. "Kalau belum, dari mana kamu tahu nama kamu itu Gilang?" tanya Harun penasaran. "Aku bertemu dengan keluargaku, Bah. Boss Pak Toni yang menabrakku itu ternyata adalah saudaraku," ujar Gilang dengan jujur. "Kamu yakin dia saudaramu?" tanya Harun lagi seraya menatap lekat ke arah lelaki yang ia beri nama Ardi itu. Gilang mengangguk pasti. Ya, ia percaya kalau Rayyan tidak berbohong. Bahkan waktu itu Rayyan pernah menunjukkan foto mereka berdua dari dompetnya. Rayyan selama ini juga memperlihatkan perhatian yang besar kepada Gilang. Ia merasakan ketulusan hati Rayyan. Abangnya itu tidak segan-segan mengeluarkan banyak uang demi untuk memenuhi semua keperluannya di kota sana. Bahkan saat ini Gilang dibekalkan uang yang sangat banyak, untuk ia bagi kepada Harun dan keluarga yang telah menolong adiknya. Tidak mungkin itu semua adalah sa
Keesokan harinya, terdengar sayup-sayup suara orang membaca shalawat dari arah masjid. "Bang ... Bang Ardi. Eh, lupa. Bang Gilang sayang ...," panggil Delia sembari menggoyangkan tubuh suami tercinta. "Hmmrgg." Gilang menggeliat dan perlahan kelopak matanya pun terbuka meski masih memicing. "Jam berapa ini, Dek?" tanya pria itu, kemudian tangannya segera menutup mulut yang menguap dengan lebar. "Udah mau setengah lima, Bang. Udah mau adzan ini, Abang belum mandi, loh," tukas Delia sembari menggosok-gosok kepalanya dengan handuk sebab ia juga baru selesai mandi janabah. Gilang segera duduk, lantas meraih tongkat yang bersandar di samping tempat tidur, dan kemudian ia pun bangkit berdiri. "Heeyy!" seru Delia tertahan sembari refleks dengan gerakan cepat menutupi bagian bawah tubuh sang suami dengan handuk yang ia gunakan untuk mengelap rambutnya tadi. "Eh, astagfirullah. Abang sampe lupa masih telanj*ng." Gilang langsung menahan handuk yang sang istri pegangkan di pinggangn
Tangisan Delia yang sejak tadi ditahan-tahan akhirnya pecah juga. Ia tersedu sedan di dalam kamar itu. "Del! Abah pergi ya!" teriak Harun yang sudah berada di ruang tamunya. "Sa–salah Delia a–apa, Baang ...!" Delia menangis tergugu sembari meremas kertas surat yang masih berada di genggamannya. Harun yang masih mencoba mengenakan sepatu boots-nya merasa heran, sebab Delia tidak menjawab dirinya sejak tadi. Kemudian sayup di telinganya menangkap suara sang cucu menangis sesegukan. "Loh, Delia itu yang nangis?" gumam Harun pada diri sendiri. Lelaki tua itu pun tidak jadi mengenakan sepatunya. Ia juga segera melepas caping dari kepala dan juga cangkulnya ia letakkan di atas lantai. Harun bergegas menuju ke dalam kamar Delia dan Gilang yang terbuka. Harun mengernyitkan dahinya kencang ketika melihat Delia menangis terisak-isak. "Del, kamu kenapa, Cu?" tanya pria itu sembari mendekat dan memegang pundak wanita muda itu. Delia terkesiap dan langsung menghambur ke dalam pelukan ka
Dengan gerakan cepat Gilang me-reject panggilan itu dan langsung saja ia menekan tombol power untuk menonaktifkan ponsel tersebut. Toni melirik heran ke arah pria di sampingnya itu. "Kenapa, Mas? Siapa yang telepon?" tanyanya penasaran. "Ehh, bukan siapa-siapa, Pak. Cuma orang iseng, dari tadi malam pura-pura kenal. Pas ditanya aku siapa, dia nggak bisa jawab!" jawab Gilang berbohong. Entah sudah berapa kali ia berbohong kepada orang-orang. Jantungnya berdebar saat ini. 'Apa abah udah tahu ya, aku nyerein Delia?' tanya hati Gilang merasa kalut. Sungguh, ada penyesalan di dalam lubuk hatinya karena telah berbuat kejam kepada Delia. Ya, Gilang tahu kalau Delia sangat-sangat mencintainya. Perempuan itu bahkan selalu berusaha untuk bisa membuat Gilang senang. Akan tetapi, Gilang tidak bisa membohongi hatinya sendiri. Ia tidak mencintai istri kecilnya itu. Ia menikahi Delia hanya karena keterpaksaan dan juga rasa berutang budi. Gilang memang menyayanginya, tetapi bukan sebagai
"Usia kandungan cucu Bapak ini memang masih kecil banget. Tapi, bidan tadi sudah periksakan juga. Katanya semenjak menikah, dia belum pernah haid lagi, padahal sebelumnya teratur. Nanti boleh kita pastikan lagi ke dokter kandungan di ruang sana." Sang dokter menunjuk ke arah barat. "I–iya, Bu Dokter," sahut Harun gugup. Sungguh, ia merasa gundah kini. Baru saja sang cucu dicerai oleh Gilang, malah ia dapati kenyataan kalau Delia tengah hamil anak pria itu. Harun menoleh dan menatap dengan sorot prihatin ke arah Delia ketika perempuan muda itu menghampiri kursinya. "Kita periksa dulu ke dokter kandungan ya, Mbak Delia," pungkas sang dokter sambil berisyarat kepada perawatnya. "Ayo, Mbak. Saya antar ke dokter kandungan," tukas sang perawat sembari menggandeng Delia yang terlihat masih lemas dan pucat itu. Delia hanya menurut dengan kepala tertunduk. Sungguh ia bingung, apakah mesti bahagia atau sedih dengan kabar kehamilan dirinya ini. * Setelah memeriksakan diri ke dokter kand
"Loh? Nyonya mau pergi ke mana? Memangnya sudah dibeli rumah barunya?" Nunung bertanya heran, sebab sang majikan wanita berpamitan dengan beberapa koper yang sudah disiapkan di dekat mereka."Iya, Bi. Sudah beli rumah. Tapi, ini nggak langsung pindah ke rumah itu. Saya dan Tari mau ke tempat teman saya dulu." Jawaban itu justru keluar dari lisan Rayyan, "Bibi sementara di sini dulu. Kalau kami sudah benar-benar pindah ke rumah yang baru, Bibi akan saya jemput," lanjut lelaki itu menjelaskan."O–oh, gitu, Tuan?" Meski masih merasa heran karena kepergian majikannya yang mendadak seperti ini, Nunung hanya bisa menuruti.Lestari memilih diam dari tadi, sebab ia mengikuti suaminya saja. Saat ini, ia hanya ingin segera pergi dari rumah itu."Bi, aku pamit dulu ya ...." Lestari mendekati sang ART, kemudian memeluk wanita tua yang selama ini telah ia anggap seperti ibunya sendiri."I–iya, Nya. Hati-hati di jalan. Nyonya kabari saya kalau sudah sampai di rumah temen Tuan ya! Nyonya juga jangan
Terdengar suara isakan dari Lestari membuat Rayyan seolah baru tersadar. Lelaki itu kemudian berjalan mendekat ke arah tempat duduk istrinya, lalu merangkul pundak wanita itu. "Tari ... kamu ... nggak apa-apa?" 'Ck! Pertanyaan bodoh! Nggak apa-apa gimana? Dia sedih, Gobl0k!' Batin Rayyan memarahi dirinya sendiri sebab mengucapkan pertanyaan yang ia anggap tidak perlu itu. Lestari bangkit berdiri dengan perlahan-lahan. Kakinya terasa begitu lemas rasanya. Ia lalu berjalan pelan dan lunglai menuju ke arah kamarnya. Rayyan bingung dengan apa yang mesti ia lakukan. Lelaki itu hanya bisa mengiringi sang istri menuju ke arah kamar mereka. Sesampainya di dalam kamar. Lestari menuju ke arah ranjangnya dan merebahkan diri sembari kembali menangis di atas bantalnya. Sungguh, ia merasa begitu sedih, sebab telah membuat Gilang sangat kecewa seperti saat ini. Sementara Rayyan, pria itu hanya bisa duduk di pinggir ranjang tersebut dengan kepala yang terasa berdenyut. Ia benar-benar tidak tahu
"Jadi, kamu sudah ingat tentang Tari?" tanya Rayyan tak mau lagi berbasa-basi."Bi, nggak apa-apa, kok. Bibi lanjutin kerjaan Bibi lagi, gih," bisik Lestari lirih ke arah Nunung di sebelahnya."Eeh, i–iya. Baik, Nyonya," sahut Nunung tergagap. Akan tetapi, wanita tua itu tetap menurut. Ia pun berbalik dan melenggang kembali ke teras belakang rumah.Lestari kembali mengarahkan pandangan ke arah Gilang dan juga Rayyan yang tengah berbicara di sana dengan perasaan yang tidak menentu. 'Apa benar, Mas Gilang sudah mengingat tentang kami?' bisik hatinya bertanya-tanya."Yaaah, begitulah. Aku bahkan sudah ingat kata-kata kamu malam itu, Tari." Gilang terus melihat ke arah sang wanita.Lestari mencoba mengingat apa yang pernah ia katakan. "Kata-kataku?" Rayyan ikut menoleh ke arah sang istri dengan sorot penasaran."Ya, kamu ingat di depan Burhan kamu bilang cinta sama Mas, 'kan? Burhan bilang, nggak lama dari berita kematian Mas, kamu memang batal menikah dengan Fadil, si anak kepala desa i
Meski hatinya terasa panas, Rayyan hanya bisa menyunggingkan senyuman dengan terpaksa. Ia tidak mau rasa cemburunya itu tertangkap oleh sang istri. "Mudah-mudahan aja rumah yang ditawarkan ke Bobby kemarin cocok buatku dan Lestari nanti," lirih ucapan Rayyan pada diri sendiri. Ya, tadi Bobby bilang mereka sudah janjian untuk melakukan survey ke sebuah rumah besok. Lokasi rumah tersebut hanya sekitar dua puluh menit dari kantor pusat perusahaan Rayyan ini. Memang harganya cukup tinggi, tetapi kalau cocok, Rayyan tidak mau menunda lagi untuk mengurus kepindahannya. Ia ingin segera memboyong Lestari menjauh dari Gilang. 'Kalau lebih lama lagi aku melihat kebersamaan mereka. Aku bisa gila!' keluh pria itu membatin. *** "Kakak iparku ini mau ke mana? Pagi-pagi udah cantik aja?" sapa Gilang, ketika langkah kakinya baru sampai di ruang makan. Ia hendak bergabung dengan Rayyan dan Lestari yang sudah lebih dulu berada di sana. Mata Gilang melirik sebentar melihat ekspresi sang kakak le
Lima hari belakangan ini, ketika sedang berada di kantor, Rayyan terlihat gusar dan tidak fokus dengan pekerjaannya. Gilang sudah tiga hari ikut ke kantornya dan belajar bekerja di sana. Ia didampingi langsung oleh Bobby. Lelaki itu terlihat serius dalam belajar. "Bos yakin dengan keputusan akan memberikan posisi CEO pada Mas Gilang?" tanya Bobby kepada sang atasan. Mereka kini sedang berada di ruangan presiden direktur, yakni Rayyan sendiri. Pria itu baru saja menyampaikan kepada asisten setianya untuk mengajari Gilang agar ke depan bisa menduduki posisi CEO yang saat ini dirangkap oleh Rayyan sendiri selain ia juga sebagai owner sekaligus presiden direktur di perusahaan itu. Selama ini Rayyan memang cukup sibuk karena jabatan yang dirangkapnya itu. Meskipun demikian, selama ini ia mampu sebab didukung oleh Bobby yang selalu bisa ia andalkan. "Ya, kamu mesti ajari dia yang bener, Bobb. Gilang sebaiknya tidak usah melanjutkan jadi guru lagi. Aku nggak mau dia dihina orang lagi s
Wanita cantik yang kini wajahnya terlihat agak pucat itu mengangguk cepat. Lestari baru sadar kalau tangannya sendiri terasa sangat dingin ketika sang suami meraih dan menggenggamnya saat ini. "Ini jarimu kenapa?" tanya Rayyan ketika melihat dan meraba jari telunjuk tangan kanan Lestari yang dibalut plaster. "Ini, nggak sengaja kena pisau, Mas. Nggak apa-apa, kok! Luka kecil aja." "Kamu lain kali hati-hati," pesan sang suami. Lestari tersenyum kikuk ketika sadar kalau sedari tadi Gilang mencuri-curi pandang ke arahnya. "A–ku siapin makan siang dulu, Mas," ujarnya kepada sang suami seraya berbalik badan dan langsung berjalan ke arah dapur menyusul Nunung. Rayyan menyembunyikan helaan napasnya ketika melihat punggung sang istri yang menjauh. Di dalam hati entah mengapa ia merasa timbul kesedihan. Ia menebak kalau benar, sang istri sepertinya masih menyimpan perasaan kepada adik angkatnya. "Naah, ini diaa! Terima kasih, Bi Nunung yang caeeem ...!" seru Bobby menarik Rayyan kembali
"Kenapa sih, Nya? Nyonya sejak pagi tadi keliatan nggak fokus gitu?" tanya Nunung ketika Lestari baru saja menumpahkan air yang ia tuang dari sebuah teko. Sebelumnya Lestari juga tak sengaja mengiris jarinya sendiri ketika menyiangi sayuran. Keduanya memasak lebih banyak hari ini sebab Rayyan tadi malam mengatakan akan membawa Gilang ke rumah tersebut. Ya, sejak itu, entah mengapa Lestari menjadi gugup sendiri. Ia juga heran, sebenarnya apa yang sedang terjadi pada dirinya. Padahal ia yakin, kalau hatinya kini telah dimiliki oleh Rayyan Yudistira, sebagai lelaki yang berstatus suaminya. "E–eh, ma–af, Bi. Biar aku yang bersihkan. Bibi lanjut nata perlengkapan makannya aja!" tukas Lestari sembari meraih gagang pel yang dipegang Nunung dan mulai mengelap air yang membasahi lantai ruang makan tersebut. Nunung pun menghela napas dan melipat bibirnya sejenak. Lalu ia menata piring dan sendok di atas meja makan seperti perintah sang nyonya. "Assalamualaikum." Deg! Degup jantung Lesta
Bobby mencebikkan bibirnya. "Nggak ada, Boss. Makanya aku bilang, kayaknya ingatan Mas Gilang masih setengah-setengah," ujar lelaki itu lagi. Rayyan menghela napas sedikit lega. Akan tetapi, kekhawatiran di wajahnya masih menyelimuti. "Gimana kalau suatu saat dia ingat semuanya, ya, Bobb? Apa yang harus saya katakan soal Tari?" Lelaki tampan itu menatap pelas ke arah sang asisten. Ia berharap bisa mendapatkan pencerahan dari Bobby. "Ya mau gimana. Ini sudah takdir, Boss. Sekarang Boss udah nikahin cewek yang Mas Gilang taksir. Mau nggak mau, Mas Gilang juga mesti menerima itu!" Ucapan Bobby terdengar tanpa beban di telinga Rayyan. Rayyan menunduk, kemudian menekan kepala dengan dua tangannya. Entah mengapa kepalanya kini terasa berdenyut tiba-tiba seperti ini. Pikirannya terasa sangat penuh. "Mbak Tari sendiri kira-kira gimana kalau tahu Mas Gilang sebenarnya masih hidup ya, Boss?" tanya Bobby kepada yang atasan yang wajahnya mulai kusut itu. "Tari sudah tahu." "Hah?!" Bobby tam
Bobby menghela napas panjang. Ia menimbang-nimbang. "Pak, apa nggak bisa diundur bulan depannya lagi ya, kami keluar dari sana?" Bobby hanya ingin mengantisipasi waktu saja. Khawatir kalau nanti ia butuh waktu lebih lama untuk mengurus kepindahan Gilang. "Aduh, Mas, maaf sekali lagi. Kayaknya nggak bisa. Soalnya itu apartemen mau dipake anak orang yang beli itu. Bulan depan tanggal 7, dia sudah masuk kuliah. Jadinya sebelum itu dia harus pindahan dan prepare semua urusan dia secepatnya. Begitu katanya, Mas!" Kembali Bobby menghela napas panjang. "Oh, iyalah, Pak. Saya nanti koordinasi dulu sama sodara saya itu. Nanti saya kabari lagi perkembangannya ke Bapak," ucap lelaki itu akhirnya. "Oke, Mas Bobby. Maaf sekali lagi. Semoga dimudahkan ya, Mas!" Keduanya pun memutuskan sambungan telepon seluler tersebut. "Aku mesti langsung kasih tahu si Boss ini!" seru Bobby sembari menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku jas. Setelah itu, ia langsung menjalankan kembali motor besarnya men