Setelah sarapan bersama istri dan juga mertua, Rayyan pun pamit untuk berangkat kerja. Akan tetapi, ia justru menuju ke apartemen sewaannya yang kini ditempati oleh sang adik angkat. Tiga hari ini ia sibuk di kantor, sehingga urusan Gilang, ia serahkan sepenuhnya kepada Bobby. "Gimana keadaan kamu, Lang?" tanya Rayyan kepada adik kesayangannya. Lelaki itu mendaratkan bobotnya ke atas sofa di ruang tamu sekaligus ruang tengah apartemen tersebut. "Alhamdulillah baik, Bang. Abang gimana juga kabarnya? Sibuk ya beberapa hari ini?" Balik Gilang yang bertanya. "Ya, lumayan. Kamu kalau butuh apa-apa bilang aja sama Bobby ya, Lang. Jangan malu-malu." Gilang mengukir senyuman dan sedikit menunduk. 'Aku ternyata punya abang pengusaha kaya seperti ini. Di desa aku capek kerja di kebun. Jomplang sekali keadaan kami,' ujarnya dalam hati merasa miris. "Mas Bobby bilang, aku sebenarnya mengajar di Desa Harapan namanya. Aku guru honor di sebuah SMP. Benar itu, Bang?" Rayyan menaikkan ke
"Bang, gimana? Masak belum boleh pulang juga sama dokternya? Ini udah lebih dari seminggu, loh! Aku udah nggak sabar lagi buat ketemu Abang. Aku kangeeeen ...," rajuk Delia kepada Gilang. "Iya, Dek. Sabar dulu. Mudah-mudahan nggak lama lagi Abang dibolehin pulang. Adek mesti sabar .... Lagian, 'kan, kita bisa teleponan tiap hari," bujuk Gilang. Pria itu berbohong kepada sang istri. Entah mengapa pria itu masih saja menutupi kenyataan kalau dirinya sudah bertemu dengan keluarganya sendiri. Gilang memang selama ini merasa sedikit tertekan semenjak orang-orang menuntutnya untuk menikahi Delia. Padahal ia sama sekali tidak mencintai perempuan itu. Memang ... Gilang merasa sayang kepada Delia. Akan tetapi, sebenarnya hanya sebatas teman, atau hanya sebagai adik saja. Meskipun ia tidak memungkiri kalau Delia merupakan perempuan yang cantik, tetapi ia merasa terlalu terburu-buru untuk mereka memutuskan menikah, di mana dirinya masih belum mengingat siapa sebenarnya keluarganya, bahkan
Pertanyaan Rayyan sengaja ingin memancing. Entah mengapa, dalam hati pria itu menginginkan kalau Gilang jatuh cinta dengan perempuan lain saja. Biar adiknya itu benar-benar melupakan cintanya pada sang istri. "Ahahahaa ...." Rayyan tertawa sumbang. "Entahlah, Bang. Aku ... belum ada tertarik sama perempuan, sih. Entahlah ...." "Kata kamu Delia cantik?" "Yaaa, dia memang cantik. Cuma menurutku dia masih terlalu kecil, Bang." "Kamu suka yang usia berapa memang?" Rayyan menahan-nahan napasnya. Entah mengapa hatinya merasa gusar. Padahal dirinya sendiri yang terus memancing Gilang. Gilang menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Kemudian lelaki itu mencebik dan menaikkan alisnya. "Mungkin yang 21 sampai 25 tahun itu lebih pas. Aku juga hampir 30 tahun, 'kan, kata Abang." Pria itu teringat Rayyan yang pernah menyebutkan umurnya yang hampir 29 tahun. "Sebelum tahu umurku yang sebenarnya pun jujur aja ... aku memang ngerasa udah di atas seperempat abad. Hahahahaaa! Ternyata benar ...." M
"Boss, Mas Gilang bilang, dia mau izin pulang sebentar ke Desa Mandiri, ke rumah Abah Harun." Rayyan kontan menautkan kedua alisnya setelah mendengar laporan dari Bobby. Selama ini Bobby-lah yang ditugaskan Rayyan untuk menemani Gilang terapi di rumah sakit setiap dua hari sekali. "Soal terapinya gimana kalau dia pulang ke sana?" "Tadi udah nanya dokter, Boss. Katanya boleh kalau sekadar sehari sampai tiga hari aja," jawab Bobby. "Oh, gitu. Ya udah, kamu suruh Toni buat antar dia besok. Kasih aja waktu dua malam menginap," pungkas Rayyan kepada asistennya. "Siap, Boss!" seru Bobby mengangguk, "oh iya, urusan akte kematian Mas Gilang sudah dibatalkan." "Bagus! Bersyukur waktu itu nggak terburu-buru mengurusnya. Jadi, nggak repot banget. Nanti kamu bantu saya cari kartu identitas dan dokumen apa aja milik pribadi Gilang yang ada di kamarnya." "Kapan, Boss?" "Besok aja. Pas Lestari pergi ngantar ayahnya terapi." Bobby pun menganggukkan kepala. "Mbak Tari masih belum tahu kalau Ma
Rayyan menatap nanar ke arah Bobby yang tak sanggup lagi berkata-kata di sana. Ya, ia tahu kalau pikiran Bobby tentu sama dengannya, yakni mengatakan ada kemungkinan kalau Lestari bisa saja kembali cinta kepada Gilang seperti dulu lagi. "Ah, udahlah! Jangan lupa, besok kamu ke rumah saya jam 9-an." Rayyan pun memutuskan untuk mengakhiri pembicaraan mereka, "sana kamu keluar! Jangan lupa hubungi Toni, suruh antar Gilang besok ke rumah Abah Harun." Bobby menghela napas panjang dan lelaki itu lalu bangkit dari duduk, lantas ia melenggang menuju keluar ruangan tanpa berkata apa pun lagi. *** "Mas, ini uang buat pegangan Mas ke sana." Bobby menyerahkan sebuah amplop coklat yang berisi beberapa gepok uang. Gilang menautkan kedua alisnya sembari tangannya meraih apa yang diserahkan oleh Bobby. Kemudian pria itu melihat ke dalam amplop tersebut. Terdapat lima gepokan uang 5 juta di sana. Artinya ada 25 juta yang diberikan oleh Bobby padanya. "Banyak banget, Mas Bobb?" tanyanya heran
"Maaf, Mbak. Pak Geri tiba-tiba mesti ke Tangerang, karena baru dapet kabar keluarganya meninggal." "Innalillaahi wa inna ilaihi raji'un ...," lirih Lestari ketika ditelepon oleh admin klinik tempat sang ayah terapi selama ini, "ya udah, Kak. Kami terpaksa kembali pulanglah ini." "Sekali lagi mohon maaf ya, Mbak," ucap orang di seberang sana. "Ya nggak apa-apa, Kak. Namanya musibah ya," sahut Lestari memahami. Setelah pamit, ia pun memutuskan sambungan teleponnya. "Kenapa? Siapa yang meninggal?" tanya Dinar kepada putrinya. "Keluarga terapisnya, Yah. Jadi, hari ini Ayah nggak jadi terapinya." Dinar menghela napas panjang. "Ya udah, badan Ayah juga agak lelah nih, dua hari ini. Nggak tahu kenapa," imbuh lelaki tua itu. "Iyalah, nanti sampe rumah, Ayah banyakin istirahat aja," pungkas Lestari memberi saran. Dinar hanya mengangguk pelan. "Maaf, Pak. Nggak apa-apa 'kan, balik lagi? Hitung aja tarifnya!" tukas Lestari kepada sopir mobil taksi online. "Oke, Mbak!" jawab sang sopi
"Loh, Mbak Tari? Katanya lagi ke klinik, anter Pak Dinar terapi?" Bobby yang tadi berada di belakang Rayyan berjalan melewati tubuh sang atasan dan mendekat ke arah Lestari. Tampak di tangan lelaki itu beberapa map. Lestari mengangguk sembari menarik kedua sudut bibirnya ke atas dengan kaku. "Batal terapinya, Mas. Dokternya mesti takziah ke tempat keluarganya yang meninggal," jelas wanita muda itu sembari mengalihkan pandangan mata ke arah suaminya. Rayyan hanya bergeming di sana. Lelaki itu kemudian menutup pintu kamar Gilang dan menguncinya. "Nyonya kok, udah pulang?" Tiba-tiba muncul Nunung dari arah dapur. "Ah, iya, Bi," sahut sang nyonya yang refleks menoleh ke arah wanita tua itu. "Sini, Nya. Bibi bawain!" Nunung langsung meraih kantong plastik yang berisi buah-buahan yang dari tadi masih di genggaman tangan kiri Lestari. Rayyan melenggang ke arah sofa di ruang tengah tanpa menyapa sang istri di sana. Bobby gegas menyusul sang atasan dengan salah tingkah. 'Eh, si boss
"Mas tadi ngumpulin dokumen milik Gilang. Ada yang mesti Mas urus," jawab Rayyan tidak jelas. Ia kemudian melenggang menuju ke almari untuk mengambil kemeja kerjanya. "Emang Mas ngurusin apa dari dokumen Mas Gilang?" Entah mengapa hati Lestari merasa kalau sang suami sedang menutupi sesuatu darinya. Rayyan melepas baju kaus yang ia kenakan, lalu mengenakan kemeja yang tadi ia ambil dari lemari. "Nanti Mas ceritain. Sekarang Mas mau ke kantor," ujar lelaki itu tak mau berpanjang lebar. Lestari berjalan mendekati sang suami, lalu membantu pria itu mengaitkan kancing-kancing kemejanya. "Oke, aku tunggu cerita dari Mas," pungkas wanita cantik itu. Meskipun dirinya merasa begitu penasaran, tetapi saat ini bukan waktu yang tepat sepertinya. Sebab sekarang sang suami hendak pergi ke kantor. Pagi tadi memang Rayyan bilang kalau ada yang ingin dikerjakannya di rumah bersama Bobby. Namun, Lestari tidak menyangka kalau mesti masuk ke dalam kamar Gilang. Oleh karena itulah hatinya dipenuh