"Terus sejak kapan, dong, naksirnya?" pancing sang suami sembari membasuh tangan karena sudah selesai makan. "Kira-kira setelah dua atau tiga hari Abang siuman, deh. Soalnya Bang Ardi ngomongnya teratur gitu, kayaknya pinter!" puji Delia, "wajah Abang juga jadi lebih manis setelah lukanya mulai kering." Sang wanita muda kembali terkikik. Ardi pun tertawa mendengar cerita istri kecilnya. *** "Abang berangkat dulu ya, Dek!" pamit Ardi kepada sang istri ketika ia hendak pergi ke kota untuk ketiga kalinya. Ia akan membawa hasil panen buah pepaya ke pasar tradisional di kota bersama Harun. "Iya, Bang. Hati-hati di jalan. Abah juga ya!" seru Delia sambil memberikan bekal air kepada suaminya itu. Matanya bergiliran menatap ke arah Ardi dan juga kakeknya. "Iya, kamu hati-hati di rumah. Nanti kalau kami sudah sampai di pasar, Abah kirim WA," ucap Harun. "Iya, Bah. Jangan lupa kabari Delia nanti. Soalnya Abah suka lupa!" sahut Delia seraya mengerucutkan bibirnya. "Iya iyaaa ...." Sang k
"Ya Allah, maaf! Saya nggak sengaja!" Orang yang menabrak Ardi langsung turun dari mobil dan ia mendekati korbannya. "Kalau nyetir jangan sembarangan, woy, Pak!" Seseorang mendorong bahu sopir mobil yang wajahnya seketika saja menjadi pias. "Kamu gimana, Di? Kaki kananmu kayaknya patah itu!" seru Harun panik sambil merangkul pundak Ardi. "Aakh! Nggak tahu, Bah. Sakiit bangeet!" keluh Ardi terlihat meringis kesakitan. Harun teringat dulu waktu menemukan Ardi di sungai, lelaki muda itu juga dalam keadaan patah tulang. Hanya saja tangan kirinya yang patah. Waktu itu Harun membawa Ardi ke sinse kampung yang tak jauh dari rumahnya saja. Akan tetapi, kali ini ia berada jauh dari desanya. Sopir mobil pick up pengangkut pepayanya tadi berjanji nanti pukul 2 siang baru bisa menjemput kembali dan itu masih cukup lama. "Ayo tolong, angkat ke mobil saya! Biar dibawa ke rumah sakit!" seru sang sopir kendaraan roda empat yang telah menabrak Ardi cemas. "Ah, iya! Tolong angkatkan cucu saya!"
"Mas, Pak Rayyan sudah tahu belum soal masalah ini?" tanya Toni masih dengan raut yang cemas, "saya takut Pak Rayyan marah, Mas ...." "Iya, udah tahu si boss," sahut Bobby masih menatap ke arah lift yang sudah tertutup di sana. Dahinya berkerut kencang sebab berusaha mengingat-ingat di mana ia pernah melihat wajah korban yang ditabrak Toni itu. "Terus gimana, Mas? Pasti Pak Rayyan marah, nih. Nanti saya dipecat lagi." Toni terlihat panik. "Marah ya pasti marahlah, Pak. Bapak nyetir gimana, sih, sampe nabrak orang?" cetus Bobby sebal. Kini ia menoleh ke arah Toni yang terlihat merasa bersalah. "Maklum, pasarnya rame, Mas. Jalanan jadi sempit. Saya nggak sengaja terlalu ke pinggir bawa mobilnya. Lagian trotoar dipake pedagang buat jualan, Mas!" keluh Toni panjang lebar. "Ya udah, Pak. Nanti kita urus orang itu," tukas Bobby malas untuk memperpanjang lagi. Ia hanya kesal, karena masalah yang dibuat Toni ini jadi menambah pekerjaannya saja. "Biaya operasi orang itu gimana, Mas
'Hmm ... Ardi. Kayaknya aku nggak pernah punya teman atau kenalan yang bernama Ardi,' ucap Bobby di dalam hati. Akan tetapi, tetap saja ia merasa heran. Sebab sepertinya ia benar-benar familiar dengan wajah pria yang ditabrak oleh Toni itu.Tiba-tiba terdengar suara dering ponsel Bobby. Pria itu pun segera menyambutnya. "Hallo, Boss?""Bob, gimana? Belum selesai kamu ngurus orang itu?" Ternyata yang menelepon adalah Rayyan."Orangnya masih dioperasi, Boss," jawab Bobby apa adanya.Toni dan sang putri hanya melihat ke arah Bobby yang tengah bercakap dengan atasannya itu. Mereka juga sedang menunggui sang korban yang kini tengah ditangani dokter."Ngapain kamu nunggu di situ? Nanti aja balik lagi. Kerjaanmu masih banyak di sini!" cetus Rayyan terdengar sebal.'Ya elaah si boss ini. Nggak bisa liat orang lagi seneng deket cewek cantik,' gerutu Bobby di dalam hati. Matanya melirik ke arah Windi. "Okelah, Boss. Aku meluncur ke sana sekarang."Rayyan langsung memutus panggilan dari seberang
Rayyan mengernyitkan dahinya dengan kencang. "Dia mirip sekali dengan ini, Boss!" seru Bobby lagi sambil menunjuk foto yang ada di tangannya kini. Rayyan kemudian bangkit, lantas mendekat ke arah Bobby. Ia langsung merampas frame tersebut dan meletakkan benda itu kembali ke atas rak di sana. "Muka orang mirip ya wajar. Muka kamu aja pasaran gitu," ujar pria itu cuek. "Ya Allah, Boss. Beneran ini, mirip bangettt!" cetus Bobby dengan wajah serius. Rayyan menoleh kembali ke arah Bobby. Kini ia terdiam di tempatnya berdiri. 'Si Bobby kelihatan serius sekali. Tapi, apa mungkin itu benar Gilang?' Hatinya bertanya-tanya. "Emang kulitnya keliatan lebih gelap, sihq. Tapi, itu kayak sering terpapar matahari, doang. Tapi, aku yakin banget itu orang mirip sekali sama Mas Gilang," lanjut Bobby dengan penjelasannya, "kalau emang mirip tapi bukan kembar, nggak mungkin juga plek ketiplek begitu, Boss. Lagian mayat Mas Gilang 'kan, hilang dan nggak pernah diketemukan sampai sekarang. Iya, 'kan?"
"Bener, 'kan, Boss? Mirip banget!" bisik Bobby di dekat telinga sang presiden direktur. Kedua mata Bobby kemudian mencari-cari sosok Windi, tetapi gadis manis itu ternyata tidak ada di ruangan itu. 'Mana si manis tadi? Udah pulang apa yak?' tanyanya membatin. 'Aku tak percaya ini. Benarkah dia Gilang ...?' bisik hati Rayyan merasa tak percaya dengan apa yang ia lihat saat ini. Toni heran melihat gelagat aneh boss besar di perusahaan tempatnya bekerja itu. Ia segera bangkit dari duduknya. Begitu juga Ardi. Bibir pria itu tadinya tersenyum. Namun, sontak saja Ardi menurunkan kedua sudut bibirnya. Ia juga merasa heran sekaligus bingung dengan tatapan aneh dari mata orang asing yang baru saja masuk itu ke arahnya. 'Kenapa orang itu melihatku seperti itu?' tanyanya membatin. "Ekhem, Mas Ardi, perkenalkan, ini ... presiden direktur kami. Pak Rayyan Yudistira," ucap Toni memperkenalkan Rayyan kepada Ardi. Lelaki 40 tahunan itu bergerak maju beberapa langkah ke arah brankar Ardi. Ia meras
"Be–benar, 'kan, apa yang aku bilang, Boss!" seru Bobby tiba-tiba. Perasaannya menjadi gugup sendiri. Dirinya juga sebenarnya tidak menyangka, kemungkinan besar tebakannya benar. Di hadapan mereka saat ini tak lain adalah Gilang yang selama ini disangka telah tewas. Ardi menoleh ke arah Bobby. Begitu juga Rayyan dan juga Toni. "Ada apa ini, Mas Bobby? Mas Bobby bilang apa memangnya?" tanya Toni merasa bingung dan penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi pada semua orang di ruang tersebut. Pria itu tidak terlalu mengenal sosok Gilang, sebab ia lebih sering mobile ke sana kemari karena urusan kantor. Dirinya jarang dan mungkin hampir tidak pernah bertemu dengan Gilang. Rayyan masih terdiam di sana. Ia benar-benar merasa shock dengan apa yang Ardi sampaikan saat ini. "Mmm ... kalau Mas sendiri siapa? Mas kenal dengan saya juga?" tanya Ardi kepada Bobby. Kedua alisnya bertautan dengan kencang. Bobby kembali menoleh ke arah sang atasan sekali lagi. "Boss," panggilnya. Ia merasa k
Di Desa Mandiri ...."Assalamualaikum!" ucap Harun ketika masuk ke dalam rumahnya. Pria tua itu sampai ketika hari sudah gelap, tepatnya pukul 20.15 WIB.Terdengar jawaban salam dari bagian kamar Delia dan suaminya. Wanita muda itu gegas berlari kecil menghampiri. Meski baru seharian, ia sudah merasa rindu kepada sang suami. Akan tetapi, senyumnya yang tadi terkembang pun tiba-tiba meredup. "Loh, Bah? Kok, Abah sendirian? Bang Ardi mana?" tanyanya kepada Harun sambil celingak-celinguk ke arah pintu yang sudah ditutup rapat dan dikunci oleh sang kakek.Harun berjalan terus dan langsung menuju ke ruang dapur sekaligus ruang makan mereka tanpa menjawab. Delia mengekori kakeknya dengan perasaan yang penuh tanda tanya. Hal itu karena hari ini Harun pulang agak terlambat. Biasanya jika seusai dari kota, tak lama setelah waktu magrib tiba, Harun bakalan sudah sampai di rumah. Namun, berbeda dengan hari ini, lelaki tua itu terlambat lebih dari satu jam lamanya. Tadi di perjalanan, Harun ha
"Loh? Nyonya mau pergi ke mana? Memangnya sudah dibeli rumah barunya?" Nunung bertanya heran, sebab sang majikan wanita berpamitan dengan beberapa koper yang sudah disiapkan di dekat mereka."Iya, Bi. Sudah beli rumah. Tapi, ini nggak langsung pindah ke rumah itu. Saya dan Tari mau ke tempat teman saya dulu." Jawaban itu justru keluar dari lisan Rayyan, "Bibi sementara di sini dulu. Kalau kami sudah benar-benar pindah ke rumah yang baru, Bibi akan saya jemput," lanjut lelaki itu menjelaskan."O–oh, gitu, Tuan?" Meski masih merasa heran karena kepergian majikannya yang mendadak seperti ini, Nunung hanya bisa menuruti.Lestari memilih diam dari tadi, sebab ia mengikuti suaminya saja. Saat ini, ia hanya ingin segera pergi dari rumah itu."Bi, aku pamit dulu ya ...." Lestari mendekati sang ART, kemudian memeluk wanita tua yang selama ini telah ia anggap seperti ibunya sendiri."I–iya, Nya. Hati-hati di jalan. Nyonya kabari saya kalau sudah sampai di rumah temen Tuan ya! Nyonya juga jangan
Terdengar suara isakan dari Lestari membuat Rayyan seolah baru tersadar. Lelaki itu kemudian berjalan mendekat ke arah tempat duduk istrinya, lalu merangkul pundak wanita itu. "Tari ... kamu ... nggak apa-apa?" 'Ck! Pertanyaan bodoh! Nggak apa-apa gimana? Dia sedih, Gobl0k!' Batin Rayyan memarahi dirinya sendiri sebab mengucapkan pertanyaan yang ia anggap tidak perlu itu. Lestari bangkit berdiri dengan perlahan-lahan. Kakinya terasa begitu lemas rasanya. Ia lalu berjalan pelan dan lunglai menuju ke arah kamarnya. Rayyan bingung dengan apa yang mesti ia lakukan. Lelaki itu hanya bisa mengiringi sang istri menuju ke arah kamar mereka. Sesampainya di dalam kamar. Lestari menuju ke arah ranjangnya dan merebahkan diri sembari kembali menangis di atas bantalnya. Sungguh, ia merasa begitu sedih, sebab telah membuat Gilang sangat kecewa seperti saat ini. Sementara Rayyan, pria itu hanya bisa duduk di pinggir ranjang tersebut dengan kepala yang terasa berdenyut. Ia benar-benar tidak tahu
"Jadi, kamu sudah ingat tentang Tari?" tanya Rayyan tak mau lagi berbasa-basi."Bi, nggak apa-apa, kok. Bibi lanjutin kerjaan Bibi lagi, gih," bisik Lestari lirih ke arah Nunung di sebelahnya."Eeh, i–iya. Baik, Nyonya," sahut Nunung tergagap. Akan tetapi, wanita tua itu tetap menurut. Ia pun berbalik dan melenggang kembali ke teras belakang rumah.Lestari kembali mengarahkan pandangan ke arah Gilang dan juga Rayyan yang tengah berbicara di sana dengan perasaan yang tidak menentu. 'Apa benar, Mas Gilang sudah mengingat tentang kami?' bisik hatinya bertanya-tanya."Yaaah, begitulah. Aku bahkan sudah ingat kata-kata kamu malam itu, Tari." Gilang terus melihat ke arah sang wanita.Lestari mencoba mengingat apa yang pernah ia katakan. "Kata-kataku?" Rayyan ikut menoleh ke arah sang istri dengan sorot penasaran."Ya, kamu ingat di depan Burhan kamu bilang cinta sama Mas, 'kan? Burhan bilang, nggak lama dari berita kematian Mas, kamu memang batal menikah dengan Fadil, si anak kepala desa i
Meski hatinya terasa panas, Rayyan hanya bisa menyunggingkan senyuman dengan terpaksa. Ia tidak mau rasa cemburunya itu tertangkap oleh sang istri. "Mudah-mudahan aja rumah yang ditawarkan ke Bobby kemarin cocok buatku dan Lestari nanti," lirih ucapan Rayyan pada diri sendiri. Ya, tadi Bobby bilang mereka sudah janjian untuk melakukan survey ke sebuah rumah besok. Lokasi rumah tersebut hanya sekitar dua puluh menit dari kantor pusat perusahaan Rayyan ini. Memang harganya cukup tinggi, tetapi kalau cocok, Rayyan tidak mau menunda lagi untuk mengurus kepindahannya. Ia ingin segera memboyong Lestari menjauh dari Gilang. 'Kalau lebih lama lagi aku melihat kebersamaan mereka. Aku bisa gila!' keluh pria itu membatin. *** "Kakak iparku ini mau ke mana? Pagi-pagi udah cantik aja?" sapa Gilang, ketika langkah kakinya baru sampai di ruang makan. Ia hendak bergabung dengan Rayyan dan Lestari yang sudah lebih dulu berada di sana. Mata Gilang melirik sebentar melihat ekspresi sang kakak le
Lima hari belakangan ini, ketika sedang berada di kantor, Rayyan terlihat gusar dan tidak fokus dengan pekerjaannya. Gilang sudah tiga hari ikut ke kantornya dan belajar bekerja di sana. Ia didampingi langsung oleh Bobby. Lelaki itu terlihat serius dalam belajar. "Bos yakin dengan keputusan akan memberikan posisi CEO pada Mas Gilang?" tanya Bobby kepada sang atasan. Mereka kini sedang berada di ruangan presiden direktur, yakni Rayyan sendiri. Pria itu baru saja menyampaikan kepada asisten setianya untuk mengajari Gilang agar ke depan bisa menduduki posisi CEO yang saat ini dirangkap oleh Rayyan sendiri selain ia juga sebagai owner sekaligus presiden direktur di perusahaan itu. Selama ini Rayyan memang cukup sibuk karena jabatan yang dirangkapnya itu. Meskipun demikian, selama ini ia mampu sebab didukung oleh Bobby yang selalu bisa ia andalkan. "Ya, kamu mesti ajari dia yang bener, Bobb. Gilang sebaiknya tidak usah melanjutkan jadi guru lagi. Aku nggak mau dia dihina orang lagi s
Wanita cantik yang kini wajahnya terlihat agak pucat itu mengangguk cepat. Lestari baru sadar kalau tangannya sendiri terasa sangat dingin ketika sang suami meraih dan menggenggamnya saat ini. "Ini jarimu kenapa?" tanya Rayyan ketika melihat dan meraba jari telunjuk tangan kanan Lestari yang dibalut plaster. "Ini, nggak sengaja kena pisau, Mas. Nggak apa-apa, kok! Luka kecil aja." "Kamu lain kali hati-hati," pesan sang suami. Lestari tersenyum kikuk ketika sadar kalau sedari tadi Gilang mencuri-curi pandang ke arahnya. "A–ku siapin makan siang dulu, Mas," ujarnya kepada sang suami seraya berbalik badan dan langsung berjalan ke arah dapur menyusul Nunung. Rayyan menyembunyikan helaan napasnya ketika melihat punggung sang istri yang menjauh. Di dalam hati entah mengapa ia merasa timbul kesedihan. Ia menebak kalau benar, sang istri sepertinya masih menyimpan perasaan kepada adik angkatnya. "Naah, ini diaa! Terima kasih, Bi Nunung yang caeeem ...!" seru Bobby menarik Rayyan kembali
"Kenapa sih, Nya? Nyonya sejak pagi tadi keliatan nggak fokus gitu?" tanya Nunung ketika Lestari baru saja menumpahkan air yang ia tuang dari sebuah teko. Sebelumnya Lestari juga tak sengaja mengiris jarinya sendiri ketika menyiangi sayuran. Keduanya memasak lebih banyak hari ini sebab Rayyan tadi malam mengatakan akan membawa Gilang ke rumah tersebut. Ya, sejak itu, entah mengapa Lestari menjadi gugup sendiri. Ia juga heran, sebenarnya apa yang sedang terjadi pada dirinya. Padahal ia yakin, kalau hatinya kini telah dimiliki oleh Rayyan Yudistira, sebagai lelaki yang berstatus suaminya. "E–eh, ma–af, Bi. Biar aku yang bersihkan. Bibi lanjut nata perlengkapan makannya aja!" tukas Lestari sembari meraih gagang pel yang dipegang Nunung dan mulai mengelap air yang membasahi lantai ruang makan tersebut. Nunung pun menghela napas dan melipat bibirnya sejenak. Lalu ia menata piring dan sendok di atas meja makan seperti perintah sang nyonya. "Assalamualaikum." Deg! Degup jantung Lesta
Bobby mencebikkan bibirnya. "Nggak ada, Boss. Makanya aku bilang, kayaknya ingatan Mas Gilang masih setengah-setengah," ujar lelaki itu lagi. Rayyan menghela napas sedikit lega. Akan tetapi, kekhawatiran di wajahnya masih menyelimuti. "Gimana kalau suatu saat dia ingat semuanya, ya, Bobb? Apa yang harus saya katakan soal Tari?" Lelaki tampan itu menatap pelas ke arah sang asisten. Ia berharap bisa mendapatkan pencerahan dari Bobby. "Ya mau gimana. Ini sudah takdir, Boss. Sekarang Boss udah nikahin cewek yang Mas Gilang taksir. Mau nggak mau, Mas Gilang juga mesti menerima itu!" Ucapan Bobby terdengar tanpa beban di telinga Rayyan. Rayyan menunduk, kemudian menekan kepala dengan dua tangannya. Entah mengapa kepalanya kini terasa berdenyut tiba-tiba seperti ini. Pikirannya terasa sangat penuh. "Mbak Tari sendiri kira-kira gimana kalau tahu Mas Gilang sebenarnya masih hidup ya, Boss?" tanya Bobby kepada yang atasan yang wajahnya mulai kusut itu. "Tari sudah tahu." "Hah?!" Bobby tam
Bobby menghela napas panjang. Ia menimbang-nimbang. "Pak, apa nggak bisa diundur bulan depannya lagi ya, kami keluar dari sana?" Bobby hanya ingin mengantisipasi waktu saja. Khawatir kalau nanti ia butuh waktu lebih lama untuk mengurus kepindahan Gilang. "Aduh, Mas, maaf sekali lagi. Kayaknya nggak bisa. Soalnya itu apartemen mau dipake anak orang yang beli itu. Bulan depan tanggal 7, dia sudah masuk kuliah. Jadinya sebelum itu dia harus pindahan dan prepare semua urusan dia secepatnya. Begitu katanya, Mas!" Kembali Bobby menghela napas panjang. "Oh, iyalah, Pak. Saya nanti koordinasi dulu sama sodara saya itu. Nanti saya kabari lagi perkembangannya ke Bapak," ucap lelaki itu akhirnya. "Oke, Mas Bobby. Maaf sekali lagi. Semoga dimudahkan ya, Mas!" Keduanya pun memutuskan sambungan telepon seluler tersebut. "Aku mesti langsung kasih tahu si Boss ini!" seru Bobby sembari menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku jas. Setelah itu, ia langsung menjalankan kembali motor besarnya men