Lestari terlihat gusar. Ia ingin merawat ayahnya dalam masa pemulihan ini. Akan tetapi, ia tidak yakin ayahnya akan betah di rumah orang lain. Karena ia tahu kalau sang ayah memang kurang suka tinggal jauh dari kampung halamannya sendiri. Mungkin kalau untuk sementara, sekadar berkunjung dan menginap beberapa hari, orang tua itu akan menerima. Namun, berbeda jika dalam waktu yang lama."O–oke, Mas. Nanti ... nanti aku coba tanya ayah dulu. Mudah-mudahan ayah mau tinggal di sini sementara," pungkas wanita itu akhirnya.Rayyan hanya menganggukkan kepala.***"Ayah nggak mau menyusahkan suamimu, Tari," ujar Dinar ketika Lestari menyampaikan maksudnya.Lestari berusaha menarik kedua sudut bibirnya ke atas dengan lebar. "Justru ini Mas Rayyan yang menawarkan, Yah," pungkasnya.Dinar tampak menimbang-nimbang. "Tapi, Ayah nggak enak. Apalagi sekarang keadaan Ayah kayak begini," balas Dinar terlihat sedih. Ia menundukkan pandangan menyadari keadaan dirinya sendiri yang sekarang masih belum bi
"Apa Mas Rayyan memperlakukan kamu dengan baik selama ini?" tanya Dinar lagi. Mendengar pertanyaan sang ayah, sebenarnya Lestari heran. Apalagi raut wajah ayahnya tampak serius di sana. "Tentu, Yah. Tari bahagia menikah dengan Mas Rayyan. Dia baik sama Tari. Dia juga perhatian sama keluarga kita," jawab wanita muda itu sembari menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Dinar menatap putrinya dengan begitu lekat. Ia ingin melihat sorot mata itu lebih dalam. Sejurus kemudian, lelaki itu pun berkata, "Syukurlah kalau gitu, Nak. Ayah ikut senang kalau kamu bahagia dalam pernikahanmu ini. Memang itu yang Ayah harapkan." Kedua alis Lestari bertautan. Ia merasa sang ayah tampak berbeda semenjak sadar dari komanya. Dinar terlihat lebih pendiam dibandingkan sebelum kejadian kecelakaannya dulu. "Ayah nggak usah khawatir sama Tari lagi. In syaa Allah Tari udah bahagia hidup sama Mas Rayyan sekarang. Mas Rayyan mencintai Tari, dan Tari pun begitu," pungkas wanita muda itu meyakinkan ayahnya.
"Tap–Tapi tanah itu, 'kan ... udah sepenuhnya milik Mas," kilah Lestari kepada sang suami. Sungguh ia tidak mengerti, apa benar sang suami menyerahkan tanah itu kembali kepada keluarganya begitu saja? "Ya, aku kasih lagi ke kalian," jawab Rayyan santai sembari memasukkan kemeja kotor yang baru dilepasnya ke dalam keranjang di depan kamar mandi. "Mas, tu–unggu!" Tari menangkap pergelangan tangan sang suami, mencegah lelaki itu berjalan maju ke menuju kamar mandi. Rayyan pun menoleh ke arah wajah sang istri yang tampak resah di sana. Ia paham apa yang dipikirkan istrinya. Ia tahu, Lestari bukanlah wanita yang serakah akan harta. Pria itu lalu menarik sebelah sudut bibirnya. "Kamu mau ikut mandi?" "Hah?" Lestari terperangah mendengar pertanyaan suaminya. "Ayo!" ajak pria itu sembari tiba-tiba menarik tangan sang istri dan ia pun menyeretnya ke dalam kamar mandi. "Ee–eeh, bu–bukan itu mak–maksud aku, Mas!" seru Lestari yang seketika saja merasa panik karena Rayyan telah menutu
"Bukan begitu, Pak Dinar," sahut Rayyan membantah. Dinar menyimak apa yang ingin disampaikan oleh menantu lelakinya itu. "Jadi begini ... rencana saya mau mengolah tanah itu saja, kita tanami. Kita jadikan perkebunan yang nanti hasilnya bisa kita produksi dan pasarkan." "Memangnya mau tanam apa kira-kira, Mas?" tanya Dinar makin penasaran. Lestari diam saja menyimak kedua orang suami dan ayahnya bicara di sana. "Menurut saya, saat ini market coklat selalu bagus. Begitu juga kopi. Selama ini perusahaan saya mengambil suply dari orang lain. Jadi, ada baiknya kalau saya juga memiliki perkebunan sendiri. Tentu lebih menguntungkan," lanjut Rayyan menjelaskan. Dinar tampak berpikir, sedetik kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya. "Perusahaan Mas juga memproduksi coklat?" sela Lestari. Selama ini ia tidak terlalu memahami usaha apa saja yang dijalani suaminya. Yang ia tahu, di kota ini sang suami mengurus produksi kertas dan buku, juga beberapa kali ia mendengar tentang perkembang
Di tempat lain di sebuah desa bernama Desa Mandiri. Lokasi desa ini terhalang dua buah desa lagi dari Desa Harapan. Terlihat seorang pria bertopi coklat yang tengah membersihkan rumput dengan cangkul di perkebunan pepaya milik lelaki tua yang dikenal dengan panggilan Abah Harun. Kemudian pria yang berwajah manis itu sekaligus meninggikan tanah di dekat tiap-tiap akar pohon pepaya tersebut. "Assalamualaikum Bang, makan dulu." Seorang perempuan muda berusia 19 tahun yang baru saja datang memanggil pria itu. Tampak di sebelah tangannya memegang satu set rantang aluminium berisi makanan dan di tangan satunya membawa termos kecil. "Wa alaikumus sallam. Ah, kamu, Dek," sahut pria tersebut sambil menyusut keringat yang mengucur deras dari dahinya. Ia memang tidak pernah sarapan dulu sebelum bekerja. Akan tetapi, apabila sudah pukul sembilanan, sang istri akan membawakan makanan untuknya. Keduanya baru saja dua pekan menikah. Meski sebenarnya sang pria belum merasa cukup siap untuk berum
"Terus sejak kapan, dong, naksirnya?" pancing sang suami sembari membasuh tangan karena sudah selesai makan. "Kira-kira setelah dua atau tiga hari Abang siuman, deh. Soalnya Bang Ardi ngomongnya teratur gitu, kayaknya pinter!" puji Delia, "wajah Abang juga jadi lebih manis setelah lukanya mulai kering." Sang wanita muda kembali terkikik. Ardi pun tertawa mendengar cerita istri kecilnya. *** "Abang berangkat dulu ya, Dek!" pamit Ardi kepada sang istri ketika ia hendak pergi ke kota untuk ketiga kalinya. Ia akan membawa hasil panen buah pepaya ke pasar tradisional di kota bersama Harun. "Iya, Bang. Hati-hati di jalan. Abah juga ya!" seru Delia sambil memberikan bekal air kepada suaminya itu. Matanya bergiliran menatap ke arah Ardi dan juga kakeknya. "Iya, kamu hati-hati di rumah. Nanti kalau kami sudah sampai di pasar, Abah kirim WA," ucap Harun. "Iya, Bah. Jangan lupa kabari Delia nanti. Soalnya Abah suka lupa!" sahut Delia seraya mengerucutkan bibirnya. "Iya iyaaa ...." Sang k
"Ya Allah, maaf! Saya nggak sengaja!" Orang yang menabrak Ardi langsung turun dari mobil dan ia mendekati korbannya. "Kalau nyetir jangan sembarangan, woy, Pak!" Seseorang mendorong bahu sopir mobil yang wajahnya seketika saja menjadi pias. "Kamu gimana, Di? Kaki kananmu kayaknya patah itu!" seru Harun panik sambil merangkul pundak Ardi. "Aakh! Nggak tahu, Bah. Sakiit bangeet!" keluh Ardi terlihat meringis kesakitan. Harun teringat dulu waktu menemukan Ardi di sungai, lelaki muda itu juga dalam keadaan patah tulang. Hanya saja tangan kirinya yang patah. Waktu itu Harun membawa Ardi ke sinse kampung yang tak jauh dari rumahnya saja. Akan tetapi, kali ini ia berada jauh dari desanya. Sopir mobil pick up pengangkut pepayanya tadi berjanji nanti pukul 2 siang baru bisa menjemput kembali dan itu masih cukup lama. "Ayo tolong, angkat ke mobil saya! Biar dibawa ke rumah sakit!" seru sang sopir kendaraan roda empat yang telah menabrak Ardi cemas. "Ah, iya! Tolong angkatkan cucu saya!"
"Mas, Pak Rayyan sudah tahu belum soal masalah ini?" tanya Toni masih dengan raut yang cemas, "saya takut Pak Rayyan marah, Mas ...." "Iya, udah tahu si boss," sahut Bobby masih menatap ke arah lift yang sudah tertutup di sana. Dahinya berkerut kencang sebab berusaha mengingat-ingat di mana ia pernah melihat wajah korban yang ditabrak Toni itu. "Terus gimana, Mas? Pasti Pak Rayyan marah, nih. Nanti saya dipecat lagi." Toni terlihat panik. "Marah ya pasti marahlah, Pak. Bapak nyetir gimana, sih, sampe nabrak orang?" cetus Bobby sebal. Kini ia menoleh ke arah Toni yang terlihat merasa bersalah. "Maklum, pasarnya rame, Mas. Jalanan jadi sempit. Saya nggak sengaja terlalu ke pinggir bawa mobilnya. Lagian trotoar dipake pedagang buat jualan, Mas!" keluh Toni panjang lebar. "Ya udah, Pak. Nanti kita urus orang itu," tukas Bobby malas untuk memperpanjang lagi. Ia hanya kesal, karena masalah yang dibuat Toni ini jadi menambah pekerjaannya saja. "Biaya operasi orang itu gimana, Mas