"Tapi, seperti begini aja ... aku udah bersyukur banget, Bi," lanjut Lestari tersenyum hangat."Iyalah, Nya. Semoga ke depan tuan bisa lebih baik lagi daripada sekarang ya ...," sahut Nunung sembari ikut menarik kedua sudut bibirnya ke atas."Aamiin."***Keesokan harinya Lestari dan Nunung memesan taksi online hendak menuju rumah sakit untuk menjenguk Dinar Abdullah. Namun, sebelumnya mereka singgah terlebih dahulu ke sebuah minimarket yang tak jauh dari lokasi rumah sakit itu. Lestari ingin membeli beberapa makanan ringan untuk diberikan kepada seorang anak kecil, pasien di sebelah ruangan yang belakangan sering ia temui di sana."Aku senang, kemarin ayah udah ada perkembangan baik, Bi," ujar Lestari sembari tersenyum kepada Nunung dan tangannya meraih beberapa snack di rak minimarket.Ya, kemarin ia juga ke rumah sakit tersebut dan mendapati jemari sang ayah yang mulai bergerak-gerak. Meskipun hanya sekali saja, tetapi itu membuatnya begitu bahagia. Karena menurut dokter, hal ters
"Mas 'kan, pernah ke sana." Burhan menarik kedua sudut bibirnya ke atas."O–oh, ya ...?" lirih Lestari masih dengan sorot mata penasaran. Bagaimana Burhan bisa pernah ke rumah keluarga suaminya, sementara ia tidak pernah bertemu dengan Burhan di sana?"Gilang pernah dua kali ngajak Mas ke sana."Deg!Lestari semakin mengernyitkan dahinya. Entah mengapa degup jantungnya seketika saja berdebar sangat kencang saat ini. "M–Mas Gilang?"Melihat ekspresi wajah Lestari yang bingung, Burhan menjadi heran. "Gilang 'kan, teman baik Mas. Kok, kamu kelihatan bingung gitu?" tanyanya.Sungguh, Lestari benar-benar seperti patung yang terdiam. Namun, kepalanya terasa begitu berisik dengan segala kebingungan yang melanda. Apa hubungan rumah itu dengan Gilang? Bagaimana bisa Gilang mengajak temannya ke rumah Rayyan? "Mmm, Mas, aku ... aku benar-benar nggak ngerti. Maksud Mas Burhan, Mas Gilang juga tinggal di Komplek Anggrek gitu?" Nunung juga terlihat bingung di sana. Sebenarnya siapa orang yang bern
"Masakanmu selalu enak. Makanya aku malas mau makan di luaran sekarang," ujar Rayyan ketika telah selesai makan malam. Pria tampan itu saat ini memang sudah sering memuji sang istri dan biasanya Lestari tetap saja akan selalu merasa tersanjung. Namun, kali ini hati Lestari sedang resah. Pikirannya sedang kalut sekali. Banyak pertanyaan yang muncul di kepalanya sejak bertemu Burhan tadi pagi.Wanita muda nan cantik itu berusaha menyunggingkan senyumannya. Namun, ia tidak dapat menyembunyikan kegusaran di wajah cantik tersebut."Kenapa, Sayang? Kamu baik-baik aja?" tanya Rayyan sembari memegang tangan sang istri."Eh, hu um, akuu ... baik, Mas. Cuma aku kepikiran ayah aja."Rayyan menarik napas panjang seraya menarik kembali tangannya. Ia merasa sebal apabila mengingat Dinar. Ya, rasa dendamnya kepada orang tua itu masih terus saja mencengkeram hatinya.Lestari selalu melihat gelagat seperti itu jika ia membahas ayahnya. Bahkan kemarin ketika ia bercerita dengan antusias tentang perkem
Tadi, ketika berhadapan dengan Burhan, Lestari pura-pura tahu kalau Gilang adalah adik Rayyan. Meskipun sebenarnya ia baru tahu. Ia terus memancing pria itu berkisah. Pada akhirnya ia dapat menyimpulkan sendiri.Namun, ia sama sekali tidak menanyakan kepada pria itu. Ia menebaknya sendiri. Dan dengan melihat respons Rayyan saat ini, sepertinya dugaannya memang benar adanya."Jadi ... Mas bener kakaknya Mas Gilang. Ke–kenapa Mas nggak pernah mau cerita ke aku?" tanya Lestari dengan sorot pelas. Kedua netranya kini terasa buram karena kaca-kaca yang telah menghalangi pandangannya. Sungguh, ia takut dengan prasangkanya sendiri saat ini, "kenapa Mas menyembunyikan semua dariku, Mas?""Aku menyembunyikan apa, heh? Kamu ini kenapa? Siapa yang ngasih tahu kamu soal ini?" tanya Rayyan terlihat kesal."Ja–jangan bilang kalau ... kalau Mas ...." Omongan Lestari tergantung begitu saja. Sorot matanya menerawang. Bulir bening pun terjatuh setitik di kedua pipinya.Kedua alis Rayyan bertaut melihat
Rayyan bergerak maju mendekati sang wanita. Kemudian ia mencengkeram bahu sang istri dengan kedua tangannya. Wajah Lestari telah bersimbah air mata. Ia menatap sedih ke arah suaminya. Sungguh, ia memang merasa telah bersalah kepada Gilang. Akan tetapi, bukankah kematian lelaki itu karena sebuah kecelakaan?Nunung terlihat panik melihat gelagat Rayyan yang tidak baik. 'Ya Allah ... tuan mau apakan nyonya lagi kali ini ...?!' bisik hatinya cemas."Kamu paham, 'kan, sekarang! Kenapa aku mau menawarkan kerjasama di tanah ayahmu yang lokasinya jauh dari kata bagus itu?? Kamu sudah paham, 'kan, kenapa aku menjebak Fadil dan memancing ayahmu untuk menikahkan kamu sama aku??""Maas ... maafin. Maafin keluargaku .... Tapi, kematian Mas Gilang itu karena kecelakaan, Maas ...." Lestari menangis terisak-isak memohon maaf kepada suaminya."Kamu paham sekarang mengapa aku memendam rasa benci sama kamu dan keluarga busukmu itu?!" tanya Rayyan dengan suara yang keras seakan telinganya tak mendengar
Mendengar jeritan Nunung, Rayyan pun langsung menghambur berlari menuju ke ruang makan kembali. Degup jantungnya berkejaran dengan sangat kencang. Setelah ia sampai di ruang itu, matanya membulat sempurna ketika melihat darah yang mengalir di lantai dari tubuh Lestari. 'Ke–Kenapa, Tari?!' Lelaki itu langsung saja menggantikan Nunung merangkul sang istri. "Bi! Bibi ambilkan kunci mobil di meja sana!" suruhnya pada sang ART. "B–Baik, Tuan!" Nunung segera bangkit dan berlari ke arah ruang tengah, dan mengambil kunci mobil di tempat biasa sang majikan menaruhnya. "Ayo, Bi! Kita ke rumah sakit sekarang!" seru Rayyan yang ternyata telah menggendong istrinya dan berjalan cepat ke arah pintu luar. Dengan sigap Nunung berlari menuju ke arah luar rumah mereka, lalu membukakan pintu. "Ini, Tuan!" Wanita tua itu menyerahkan kunci mobil setelah berada di luar rumah. Rayyan meraih benda itu dan cepat-cepat ia menekan remote-nya. "Buka pintunya, Bi!" Rayyan menyuruh Nunung untuk segera m
"Hallo, Boss?" "Bobb, kamu carikan pendonor darah golongan B. Butuh 7 kantong, sekarang!!" titah Rayyan kepada Bobby. "Waduh! Cari di mana pendonor darah malam-malam begini, Bos? Mana golongan darah B lagi. Jarang itu mah, Boss!" keluh Bobby dari seberang sana. "Aku nggak mau tahu. Kamu cari ke seluruh karyawan perusahaan saya. Nggak mungkin nggak ada! Gitu aja nggak bisa mikir kamu!" cetus Rayyan keras. "Eh, iya juga ya. Emang buat siapa, Boss?" "Kamu banyak tanya banget! Buat Tari! Di Rumah Sakit Fathimah ya! Kalau sampai karyawan yang punya golongan darah B nggak mau donor. Akan saya pecat!!!" ancam Rayyan tegas. "Eeh. I–iya, Boss. Okee! Segera aku–" Klik! Rayyan langsung mematikan saluran teleponnya tanpa mau mendengar lagi ocehan Bobby. "Gimana, Pak? Sudah ada pendonornya?" tanya seorang perawat yang tiba-tiba saja sudah berada di samping Rayyan. "Eh, Sus. Be–lum ... tapi sebentar lagi pasti ada," jawab Rayyan gugup. "Maaf, Pak. Ibunya sudah kritis. Kita kehabisan sto
"Maaf ... pasien mesti istirahat. Sebisanya satu orang aja ya yang jaga malam ini," ujar salah seorang perawat setelah memindahkan Lestari ke ruang perawatan VIP sesuai permintaan Rayyan. Ia membenarkan posisi infus yang tergantung di sebuah tiang di samping brankar. Nunung pun berjalan maju mendekat ke brankar sang nyonya. Ia yang ingin menjaga sang nyonya. Akan tetapi– "Bi," panggil Rayyan membuat Nunung menoleh ke arahnya. "Iya, Tuan?" "Bibi pulang. Biar saya yang jaga Tari sekarang," suruh Rayyan kepada sang ART. Nunung mengalihkan pandangan ke arah Lestari dengan sorot mata yang ragu. Ia ingat, tadi setelah makan malam, sang nyonya bertengkar dengan tuannya itu, hingga menyebabkan wanita muda tersebut mengalami pendarahan dan keguguran seperti sekarang. Namun, tentu ia tidak bisa menolak perintah majikannya. Sementara Lestari, ia menolehkan kepala dan pandangannya ke arah lain. Ia malas untuk melihat semua orang di sana. Wanita itu hanya diam, pandangannya kosong ke arah s