Rayyan bergerak maju mendekati sang wanita. Kemudian ia mencengkeram bahu sang istri dengan kedua tangannya. Wajah Lestari telah bersimbah air mata. Ia menatap sedih ke arah suaminya. Sungguh, ia memang merasa telah bersalah kepada Gilang. Akan tetapi, bukankah kematian lelaki itu karena sebuah kecelakaan?Nunung terlihat panik melihat gelagat Rayyan yang tidak baik. 'Ya Allah ... tuan mau apakan nyonya lagi kali ini ...?!' bisik hatinya cemas."Kamu paham, 'kan, sekarang! Kenapa aku mau menawarkan kerjasama di tanah ayahmu yang lokasinya jauh dari kata bagus itu?? Kamu sudah paham, 'kan, kenapa aku menjebak Fadil dan memancing ayahmu untuk menikahkan kamu sama aku??""Maas ... maafin. Maafin keluargaku .... Tapi, kematian Mas Gilang itu karena kecelakaan, Maas ...." Lestari menangis terisak-isak memohon maaf kepada suaminya."Kamu paham sekarang mengapa aku memendam rasa benci sama kamu dan keluarga busukmu itu?!" tanya Rayyan dengan suara yang keras seakan telinganya tak mendengar
Mendengar jeritan Nunung, Rayyan pun langsung menghambur berlari menuju ke ruang makan kembali. Degup jantungnya berkejaran dengan sangat kencang. Setelah ia sampai di ruang itu, matanya membulat sempurna ketika melihat darah yang mengalir di lantai dari tubuh Lestari. 'Ke–Kenapa, Tari?!' Lelaki itu langsung saja menggantikan Nunung merangkul sang istri. "Bi! Bibi ambilkan kunci mobil di meja sana!" suruhnya pada sang ART. "B–Baik, Tuan!" Nunung segera bangkit dan berlari ke arah ruang tengah, dan mengambil kunci mobil di tempat biasa sang majikan menaruhnya. "Ayo, Bi! Kita ke rumah sakit sekarang!" seru Rayyan yang ternyata telah menggendong istrinya dan berjalan cepat ke arah pintu luar. Dengan sigap Nunung berlari menuju ke arah luar rumah mereka, lalu membukakan pintu. "Ini, Tuan!" Wanita tua itu menyerahkan kunci mobil setelah berada di luar rumah. Rayyan meraih benda itu dan cepat-cepat ia menekan remote-nya. "Buka pintunya, Bi!" Rayyan menyuruh Nunung untuk segera m
"Hallo, Boss?" "Bobb, kamu carikan pendonor darah golongan B. Butuh 7 kantong, sekarang!!" titah Rayyan kepada Bobby. "Waduh! Cari di mana pendonor darah malam-malam begini, Bos? Mana golongan darah B lagi. Jarang itu mah, Boss!" keluh Bobby dari seberang sana. "Aku nggak mau tahu. Kamu cari ke seluruh karyawan perusahaan saya. Nggak mungkin nggak ada! Gitu aja nggak bisa mikir kamu!" cetus Rayyan keras. "Eh, iya juga ya. Emang buat siapa, Boss?" "Kamu banyak tanya banget! Buat Tari! Di Rumah Sakit Fathimah ya! Kalau sampai karyawan yang punya golongan darah B nggak mau donor. Akan saya pecat!!!" ancam Rayyan tegas. "Eeh. I–iya, Boss. Okee! Segera aku–" Klik! Rayyan langsung mematikan saluran teleponnya tanpa mau mendengar lagi ocehan Bobby. "Gimana, Pak? Sudah ada pendonornya?" tanya seorang perawat yang tiba-tiba saja sudah berada di samping Rayyan. "Eh, Sus. Be–lum ... tapi sebentar lagi pasti ada," jawab Rayyan gugup. "Maaf, Pak. Ibunya sudah kritis. Kita kehabisan sto
"Maaf ... pasien mesti istirahat. Sebisanya satu orang aja ya yang jaga malam ini," ujar salah seorang perawat setelah memindahkan Lestari ke ruang perawatan VIP sesuai permintaan Rayyan. Ia membenarkan posisi infus yang tergantung di sebuah tiang di samping brankar. Nunung pun berjalan maju mendekat ke brankar sang nyonya. Ia yang ingin menjaga sang nyonya. Akan tetapi– "Bi," panggil Rayyan membuat Nunung menoleh ke arahnya. "Iya, Tuan?" "Bibi pulang. Biar saya yang jaga Tari sekarang," suruh Rayyan kepada sang ART. Nunung mengalihkan pandangan ke arah Lestari dengan sorot mata yang ragu. Ia ingat, tadi setelah makan malam, sang nyonya bertengkar dengan tuannya itu, hingga menyebabkan wanita muda tersebut mengalami pendarahan dan keguguran seperti sekarang. Namun, tentu ia tidak bisa menolak perintah majikannya. Sementara Lestari, ia menolehkan kepala dan pandangannya ke arah lain. Ia malas untuk melihat semua orang di sana. Wanita itu hanya diam, pandangannya kosong ke arah s
Rayyan melihat wajah sang istri yang akhirnya menoleh ke arahnya dengan perasaan yang sangat kacau. Sungguh, ketakutan yang tadi seakan-akan kembali membayanginya saat ini. "Please, Tari ... kamu ja–ngan ti–tinggalin aku ya. A–Aku nggak tahu bakal gimana ka–kalau kamu pergi. Mungkin aku ... aku nggak bakal sanggup! Aku ng–gak pu–punya siapa-siapa lagi selain ka–mu, Tari ...." Rayyan menundukkan kepalanya dan ia benar-benar menangis tersedu sedan di sana. Melihat Rayyan yang selama ini ia kenal sebagai pria yang tegas, gagah, dan keras menangis terisak seperti demikian, seketika saja membuat Lestari merasaaa ... entah. Sungguh, ia tidak tahu apa pikirannya saat ini. Ia tidak pernah menyangka sang pria bisa serapuh ini. 'Benarkah Mas takut kehilangan aku?' bisik hati Lestari seakan tak percaya. Namun, ini nyata. Rayyan terlihat begitu lemah dan kalah kali ini. Mungkin seperti inilah yang pria itu rasakan saat kehilangan Gilang. Ya, Lestari kembali teringat akan pria muda yang per
"Kamu serius?!" tanya Rayyan memastikan kepada bawahannya. "Elaah, Booss. Masak aku bohong? Ngapain juga?" seru Bobby terdengar sebal, "kata pihak rumah sakit, sekitar setengah jam yang lalu mertua Boss sadar," lanjutnya menjelaskan. "Hmm, oke. Ya sudah. Makasih infonya." Klik! Rayyan pun menutup sambungan telepon selulernya. "Mas!" "Hah?" Pria itu terkesiap karena panggilan Lestari. Beberapa detik tadi ia sempat melamun. Entah apa yang ia pikirkan. "Sini, aku mau ngobrol!" seru Lestari memanggil sang suami dari muka pintu kamar. Kemudian lelaki itu pun melenggang menghampiri istri kesayangannya di dalam kamar. Lestari langsung merangkul lengan pria itu dan menyenderkan kepalanya manja. "Mas, boleh nggak aku kasih tanaman bunga di pojok situ?" tanya wanita itu sambil menunjuk sudut ruangan di dekat jendela kaca yang mengarah ke taman samping rumah itu. "Mmm, boleh. Kamu atur aja," jawab Rayyan singkat. "Oke. Aku sebenarnya suka gambar-gambar bunga atau pemandangan dulu. Uda
"Iya, benar, Sayang ...," sahut Rayyan. Kemudian senyum pria itu berubah menjadi lebih hangat ketika melihat kebahagiaan yang teramat besar dari sorot mata sang istri saat ini. Lestari menghambur memeluk dengan begitu erat suaminya. Tanpa terasa air mata pun jatuh dan mengalir begitu saja di kedua pipi wanita muda itu. Keharuan kini melingkupi hatinya. Lestari benar-benar merasa bahagia sekali. Ia sudah tidak sabar ingin kembali bertemu dengan sang ayah tercinta. *** "Ayah! Akhirnya Ayah sadar!" Lestari memeluk tubuh sang ayah yang masih terbaring di atas brankarnya. "Ta–Tari ...," lirih Dinar Abdullah menyebut nama putri semata wayangnya. Air bening pun meleleh dari sudut mata lelaki tua itu. Lestari kemudian mengurai pelukannya. Ia menatap wajah keriput ayahnya yang terlihat masih lemah di sana. Wanita itu menyusut air yang jatuh di pipinya sendiri. Lalu ia juga menghapus air mata di wajah sendu sang ayah. Rayyan melipat bibirnya sembari memasukkan kedua tangan ke dalam s
Lestari terlihat gusar. Ia ingin merawat ayahnya dalam masa pemulihan ini. Akan tetapi, ia tidak yakin ayahnya akan betah di rumah orang lain. Karena ia tahu kalau sang ayah memang kurang suka tinggal jauh dari kampung halamannya sendiri. Mungkin kalau untuk sementara, sekadar berkunjung dan menginap beberapa hari, orang tua itu akan menerima. Namun, berbeda jika dalam waktu yang lama."O–oke, Mas. Nanti ... nanti aku coba tanya ayah dulu. Mudah-mudahan ayah mau tinggal di sini sementara," pungkas wanita itu akhirnya.Rayyan hanya menganggukkan kepala.***"Ayah nggak mau menyusahkan suamimu, Tari," ujar Dinar ketika Lestari menyampaikan maksudnya.Lestari berusaha menarik kedua sudut bibirnya ke atas dengan lebar. "Justru ini Mas Rayyan yang menawarkan, Yah," pungkasnya.Dinar tampak menimbang-nimbang. "Tapi, Ayah nggak enak. Apalagi sekarang keadaan Ayah kayak begini," balas Dinar terlihat sedih. Ia menundukkan pandangan menyadari keadaan dirinya sendiri yang sekarang masih belum bi