Di dalam ruang kamarnya Rayyan terduduk di sofa sembari memegang kepalanya. "Kenapa aku sampai nggak memperhitungkan hal ini?" kesalnya pada diri sendiri.Ya, ia lupa kalau Ani adalah tukang urut langganan ibu angkatnya. Pria itu sama sekali tidak memperhitungkan kalau wanita tua itu akan bercerita tentang keluarga angkatnya kepada sang istri. Meskipun mungkin Ani tidak rutin datang ke rumah tersebut, tetapi setidaknya di dalam satu tahun, bisa 5–10 kali Zahara—sang ibu angkat—meminta dipijati oleh wanita tua itu.Rayyan lalu mengusap wajahnya dengan kasar karena menyesali kebodohan dirinya sendiri. Pria tampan itu memang masih menjaga rahasia tentang latar belakang hidupnya pada Lestari. Dan ia tidak tahu sebanyak apa Ani menyampaikan informasi tentangnya kepada sang istri. Lalu pria itu bangkit dan berjalan mengitari ruangan dengan meremas rambut kepalanya. "Apa saja yang diceritakan Bu Ani ke Tari– ... akh! Sh*t!!" makinya tiba-tiba.Tanpa sengaja kaki Rayyan menginjak beling vas
Dengan ragu-ragu Nunung menuruti perintah sang majikan. Ia meraih kotak P3K dari tangan Lestari dan mau tidak mau ia pun keluar, lantas menutup pintu kamar tersebut, meninggalkan Lestari berdua saja bersama sang suami. Lestari menggigiti bibirnya sendiri. Ia berjalan mendekati sang suami dan duduk di sebelahnya sembari menundukkan pandangan. Hening .... Wanita itu mencuri-curi pandang ke arah sang suami, karena entah mengapa pria itu tak jua membuka omongan. Lelaki itu hanya menatap wajahnya dengan lekat, hingga membuat dirinya merasa jengah. 'Mas Ray kenapa ngeliat aku kayak gitu?' bisik batinnya bertanya-tanya. Pertanyaan tersebut hanya tersangkut di tenggorokan sang wanita muda. Sungguh, ia merasa gugup ditatap dengan intens seperti demikian. Wajahnya terasa begitu kebas jadinya. "Bu Ani cerita apa aja sama kamu?" Lestari refleks mengangkat pandangan ketika akhirnya sang suami mengeluarkan suaranya. "Mmm ... nggak cerita gimana-gimana, Mas. Cuma, bilang dulu dia langganan
"Ekhemm ...." Tiba-tiba Rayyan memutus permainan mereka. Lestari merasa kehilangan. Alasannya karena ia benar-benar merasa rindu, bahkan tadinya ia mengira Rayyan bakal mengajaknya berc*nta. Namun, ternyata dia salah. Kemudian Rayyan bangkit dari duduknya. Ia berjalan agak pincang ke arah pintu kaca di kamar itu. "Kamu sekarang keluar dari sini. Aku mau istirahat." Sang istri merasa sedikit kecewa karena kembali diusir, meskipun kali ini dengan kata-kata yang lebih halus. Namun, ia tentu saja tidak mau membantah suaminya. "Iya, Mas. Mas pasti capek. Baiknya istirahat dulu." Awalnya Rayyan tidak mau menoleh sedikit pun. Akan tetapi, ketika suara gagang pintu ditekan ia pun menoleh ke arah sana. Tanpa sengaja pandangan keduanya berbenturan. Dengan ragu Lestari menarik kedua sudut bibirnya. Terasa sangat canggung sepertinya. Kemudian ia pun memutuskan segera keluar sebab wajah pria itu tetap bak gunung es yang dingin dan beku. *** Tiga hari berlalu. Hari-hari sebelumnya Rayyan se
Lestari menoleh. "Ini ada pulpen." Rayyan mengambil sebuah pena yang ternyata ada di sebelah tempat duduknya. Kemudian lelaki itu meletakkan di atas meja dan Lestari pun kembali duduk di tempatnya. Mata pria itu terus saja menatap lekat ke arah Lestari. Entah mengapa ia merasa pikirannya sudah menjadi kacau karena membayangkan apa yang ada di balik baju basah di depannya. Sang wanita meraih pulpen itu tanpa memperhatikan lagi ekspresi sang suami, ia lantas membubuhkan beberapa tanda tangan ke atas sebuah materai yang sudah melekat di beberapa kertas di sana. "Sudah, Mas," ujarnya sembari meletakkan pena di atas meja. "Ekhem!" Rayyan membersihkan kerongkongannya yang terasa kering. "Oke. Nanti kamu pegang satu, dan satunya akan Bobby kembalikan kepada Susno." "Oke," sahut Lestari singkat, kemudian ia tersenyum hangat ke arah suaminya, "kalau gitu aku mau lanjut jemur pakaian, Mas." "Hmm. Kelihatannya mau hujan ini," ucap Rayyan mencegah gerakan sang istri sembari mengalihkan
"Man–mandi sama-sama, Mas?" Lestari sedikit menahan langkah yang semakin terseret oleh tarikan suami tampannya itu. "Yups! Kamu harus mau!" seru Rayyan tidak mau tahu. Ia lalu memegang pinggang sang istri sembari menggiring wanita muda itu menuju ke dalam kamar mandi. Wajah Lestari kontan merah padam ketika sang suami melucuti celana yang ia kenakan sendiri. Kemudian pria itu menyalakan shower dan tersemburlah air hangat dari sana. Lestari meringis dan merasa suasana berubah menjadi awkward melihat sang suami sudah dalam keadaan naked di hadapannya. Kemudian perlahan lelaki itu berjalan mendekat ke arah sang wanita yang terlihat gugup itu. "Ayo ...!" ajaknya seraya menarik kedua tangan Lestari dengan perlahan. Sang jelita yang masih mengenakan pakaian lengkapnya itu sedikit terkesiap ketika kepalanya tersiram air shower. Dan akhirnya tubuhnya pun basah kuyup tersiram air. Rayyan menatap ke arah wanitanya dengan mata yang penuh kabut gair*h. Ia lalu mendekat dan melingkark
Lestari berjalan keluar dari kamar Rayyan dengan senyum semringah di bibir kemerahan miliknya. Jam sudah menunjukkan pukul 10. 30 WIB, ia melenggang menuju ke arah kamar, karena hendak mengganti bathrobe dengan pakaiannya sendiri. "Wah wah ... habis mandi nih, Nya, hujan-hujan gini. Keliatan seger dan sumringaaaah banget, senyumnya." Nunung tampak mengerlingkan mata melihat tampilan sang majikan wanitanya. Ia tahu, pasti Lestari habis melayani sang suami, sebab tadi ... keduanya berada di kamar Rayyan cukup lama sekali, lebih dari tiga jam. "Iya, Bi." Lestari menunduk sembari tersenyum simpul. Kulit wajahnya terasa menghangat, karena Nunung menggodanya. Wanita muda itu meraih baju kaus dan celana setengah tiang miliknya dari dalam almari. "Bibi seneng liat nyonya sama tuan akur beberapa hari ini. Tuan kayaknya udah lebih baik ya, Nya?" ungkap Nunung merasa ikut bahagia. "Iya, Bi. Doakan aja, Mas Rayyan bakal seperti ini terus selamanya setelah ini," imbuh Lestari sembari mengenaka
"Tari, siang ini nggak usah masak dulu," ujar Rayyan kepada istrinya. Lestari yang tadi kaget dengan kedatangan suaminya yang tiba-tiba di ruang itu pun jadi terpaku. Begitu juga Nunung. "Kita makan di luar siang ini. Kamu siap-siap sekarang!" suruh Rayyan. "Ah, i–iya, Mas." Seakan baru mencerna apa yang disampaikan sang suami, Lestari pun menyahut. Rayyan menatap Lestari dan Nunung bergiliran. Ia mengira mungkin keduanya baru saja saling bertukar curahan hati masing-masing. Kedua wanita itu merasa salah tingkah di hadapan Rayyan. "Hmm, ya sudah. Aku tunggu!" pungkas Rayyan menoleh ke arah Lestari dan ia pun berbalik dan berlalu. "Wah, tuan mau ajak Nyonya makan di luar!" seru Nunung semringah. Lestari ikut tersenyum melihat wajah Nunung yang ceria. "Aku mau siap-siap dulu. Bibi doain ya!" "Siap, Nya!" *** "Kamu ada ide mau ke mana?" tanya Rayyan sambil menyetir kendaraannya. Lestari sontak menoleh ke arah sang suami di sebelahnya. "Mmm, aku ... aku nggak tahu tempat maka
Di dalam hati Rayyan berkata, 'Aku nggak tahu, kenapa aku sekarang suka sekali dengan senyummu itu, Tari. Meskipun entah ... sungguh aku masih ragu dengan hatimu padaku.' Rayyan menarik perlahan tangannya, lalu ia pun kembali memakan makanan di hadapannya. Pandangan matanya ia layangkan pada arah lain. Meskipun ada rasa bersalah di dalam hatinya karena pernah menganiaya sang istri, tetapi tetap saja masih ada ganjalan yang setia tersangkut di dada pria itu. Namun, dirinya tidak bisa mengendalikan perasaannya itu. "Mas, kalau boleh aku tahu. Kenapa orang tua Mas dan adik Mas meninggal dunia?" Lestari menyusul meletakkan sendok dan garpunya setelah makanannya juga habis seperti sang suami barusan. Rayyan yang sedang menyeruput es kelapa kontan menghentikan kegiatannya dan mengangkat pandangan ke arah sang istri. "Mengapa kamu merasa penting untuk mengetahui kematian keluargaku?" cetus pria itu membuat suasana yang tadinya akrab menjadi berubah tegang. Lestari sedikit terkesiap. "Mmm