"Kita pergi dari sini!" cetus Rayyan sembari bangkit dan ia pun langsung saja melenggang menuju ke pintu keluar coffee shop. Sungguh, dengan hati yang sedang galau seperti ini, ia benar-benar malas untuk melihat wajah Clara yang semakin lama semakin memuakkan baginya."B–Bos, tu–nggu!" seru Bobby dengan suara tertahan. Kakinya sampai tersandung kaki meja, karena terburu-buru.Akan tetapi, ketika ingin segera menyusul atasannya, hampir saja Bobby lupa kalau mereka belum membayar makanan dan minuman yang sudah dipesan tadi. Mau tidak mau, lelaki muda yang hampir sampai ke pintu keluar itu pun berbalik lagi dan melangkah menuju ke kasir terlebih dahulu.Setelah membayar, Bobby pun keluar dan berlari kecil menghampiri mobil boss-nya di parkiran. Rayyan sendiri sudah stay di sana, duduk tenang menanti sang asisten."Makanan belum juga habis dan Boss juga lupa bayar tadi!" omel Bobby tampak sebal dengan kelakuan sang atasan yang semaunya itu."Halahh ... sekali-kalilah kamu yang traktir sa
Meskipun merasa cemas dan takut, Lestari harus melakukan perintah Rayyan yang menyuruhnya untuk ke kamarnya. Dengan debaran keras di dalam dada, wanita muda itu mengetuk pintu kamar sang suami."Masuk!" seru Rayyan dari dalam.Lestari pun masuk dengan kaki yang terasa berat sekali. Kepalanya menunduk dalam ketika melihat sang suami yang kini dalam keadaan shirtless, duduk di pinggir ranjang sembari menelepon seseorang. "Saya tahu, kamu jangan sok ngatur saya, Bob!" Masih terbayang di benak sang jelita, kejadian kemarin malam, di mana ia dianiaya oleh pria di depannya ini. Lestari menggigiti bibirnya dengan perasaan yang sangat takut."Kamu ambil koper itu!" Rayyan berisyarat menunjuk ke arah koper yang berada di pojok ruangan.Awalnya Lestari terlihat heran. Namun, ia tidak mau sang suami marah, jadi dengan cepat wanita muda itu pun mengambilkan benda yang diminta Rayyan. Lalu ia letakkan koper tersebut di depan pria itu."Iya iya. Kamu urus itu," ujar Rayyan kepada orang di seberang
"Sini!" Rayyan berisyarat agar Lestari duduk di atas ranjangnya.Takut-takut wanita muda itu menatap suaminya. Sungguh, ia sangat cemas saat ini."Aku nggak suka ngulang perintahku ya," ancam Rayyan.Dengan berat hati Lestari pun berjalan mendekati suaminya, lalu duduk di pinggir ranjang dengan degup jantung yang berkejaran."Buka bajumu!"Kembali Lestari menatap pelas ke arah sang suami. Kini kaca-kaca berkumpul di permukaan matanya yang kapan saja bisa memecah begitu saja. Dengan gerakan perlahan, wanita itu membuka daster yang ia pakai. Akhirnya setitik air pun lolos dari pelupuk mata Lestari. Dengan cepat wanita itu menyusutnya.Rayyan menghela napas bosan. "Kamu kenapa nangis?" tanyanya tampak kesal."M–Mas, y–yang kemarin ma–masih sakiiit ...," lirihnya memelas. Berharap sang suami mau berbaik hati untuk tidak menyentuhnya malam ini."Berbalik, dan tiarap di situ!" cetus Rayyan seakan tak peduli dengan keluhan istrinya.Perasaan Lestari semakin khawatir, sebab dengan posisi tel
Lestari memejamkan mata dengan hati yang serta-merta membuncah bahagia ketika sang suami mengecup dahinya dengan begitu lekat. Entah mengapa ia merasakan ketulusan dari sikap penuh kasih suaminya saat ini. Hatinya sungguh merasa begitu hangat diperlakukan demikian. Kembali Lestari mengingat sikap suaminya yang sering sekali berubah-ubah. Ia berharap Rayyan bisa benar-benar tulus menyayanginya ke depan.'Mas ... kamu kenapa? Andai kamu selalu begini padaku, Mas ...,' bisik batinnya berharap.***Lestari mengerjapkan kelopak mata. Antara sadar dengan tidak ia seakan merasakan kalau wajahnya sedang disentuh oleh sesuatu yang hangat, lembut, dan sedikit basah. Semakin lama ... sentuhan itu semakin turun menuju ke rahangnya, kemudian ke lehernya."Mmmgrh ...." Sang wanita mendengar suara berat seseorang seakan menggeram di mana saat itu pun sebuah tangan seakan melucuti kain penutup tubuh bawahnya.Seketika kelopak mata Lestari pun terbuka sempurna. Baru ia sadari kalau saat ini ia sedan
"Hehehe ... maaf, Nya." Nunung tersenyum hangat."Ada apa, Bi?" tanya Lestari."Tuan berapa lama pergi ke Singapura-nya, Nya?" tanya Nunung sembari berjalan beriringan bersama sang nyonya muda menuju ke bagian dalam rumah."Hmm, aku nggak tahu, Bi. Mas Rayyan bilang, nggak pasti. Bisa tiga hari sampai sepekanan gitu. Aku juga nggak berani nanya lagi kalo udah gitu jawabannya, Bi."Nunung tampak mencebikkan bibirnya. "Iya juga ya. Ntar tuan marah kalo banyak tanya.""Tuh, Bibi paham." Lestari tersenyum getir."Tapi, tadi malam tumben tuan ngajak nyonya tidur di kamarnya?" Keduanya kini telah sampai di ruang tengah dan mereka pun duduk bersama di atas sofa di sana.Wajah Lestari bersemu kemerahan. "Iya, Bi. Baru kali ini Mas Ray nyuruh aku tidur di kamarnya bukan karena adanya orang lain di rumah ini." Lestari tertunduk dengan wajah yang berubah menjadi sendu. Kembali wanita muda itu teringat di waktu kedua orang tuanya menginap di rumah itu. Yang ketika hari mereka akan pulang kampun
"I–iya, Mas. Maaf, aku ... mau pulang dulu," jawab Lestari gugup. Ia teringat ancaman Rayyan waktu itu yang melarangnya untuk bertemu lagi dengan Burhan.Nunung terlihat mengernyitkan dahinya menatap gelagat aneh sang nyonya. Ia tidak mengenal pria yang kini ada di depan mereka. Namun, ia memutuskan untuk menyesuaikan langkahnya dengan Lestari yang dirasa cukup terburu-buru. Sebelum berada di persimpangan koridor dan berbelok, Nunung sempat menoleh ke belakang.Burhan terlihat sedang menatap lekat ke arah Lestari dengan sorot yang tampak keheranan."Nya, yang tadi itu siapa?" tanya Nunung kepada sang nyonya ketika mereka sudah berada di atas taksi online."Yang tadi mana, Bi?" Balik Lestari bertanya."Itu loh, yang tadi nyapa Nyonya di rumah sakit pas kita mau pulang? Kok, nyonya langsung jalan aja, nggak ngobrol dulu sebentar? Memangnya laki-laki itu siapa, Nya?"Lestari menggigiti bibirnya. Ia menjadi khawatir kalau nanti Nunung bercerita kepada Rayyan. "Bi, Bibi jangan cerita-ceri
"Iya. Tuan cemburu sama Mas siapa tu namanya? Mas Burhan?" Sahut Nunung sembari coba mengingat nama teman sang nyonya muda."Kalo cemburu itu, bukannya artinya cinta, Bi?" tanya Lestari. Sungguh ia tidak berpengalaman sebenarnya dengan hubungan percintaan. Bahkan dulu Lestari baru merasa jatuh cinta hanya kepada Gilang saja, dan jujur, ia merasa cemburu jika ada gadis yang sepertinya tengah mendekati pria itu. Namun, tentu saja ia merasa sedikit tenang, ketika pada akhirnya ia menyadari kalau pria itu hanya tertarik padanya saja, bukan gadis lain."Iya, Nya. Artinya tuan sebenarnya cinta sama Nyonya muda," pungkas Nunung membenarkan.Lestari terdiam dan mulai merenung."Di sini rumahnya, Mbak?"Tari terkesiap ketika mendengar suara sopir taksi online menegurnya. "Ah, iya. Di rumah berpagar hitam itu, Pak!" Lestari baru sadar, kalau ternyata mereka kini sudah sampai di rumah.Kedua wanita beda generasi itu pun turun dari kendaraan dan membawa masuk semua belanjaan mereka ke dalam."B
Sepekan pun telah berlalu, akhirnya pekerjaan Rayyan sudah sedikit terasa longgar. Ia mulai ada waktu untuk sekadar bersantai menikmati suasana di hotel tempatnya menginap. "Bob, besok hari terakhir kita di sini. Aku mau cari sesuatu buat Tari. Apa ya kira-kira?" tanya Rayyan kepada asisten kepercayaannya sambil menyesap secangkir kopi di tangannya. "Boss mau beliin oleh-oleh buat Mbak Tari? Tumbeeen?" sindir Bobby terlihat heran. Selama ini kalau ia bersama sang atasan, tidak ada hal lain yang Rayyan ungkapkan kecuali rasa dendam dan bencinya pada keluarga sang istri. Rayyan menghela napas berat. "Menurutku Tari mungkin nggak bersalah dalam kejadian tewasnya Gilang. Bukan dia yang salah, Bobb." Bobby mencebikkan bibirnya seraya meraih jus jeruk di hadapan dan menyeruputnya sedikit. "Ya, menurutku juga gitu dari dulu, Boss. Yang menghina Mas Gilang itu, 'kan, ayahnya. Bukan Mbak Tari. Mbak Tari justru mencintai Mas Gilang." Rayyan sontak melemparkan tatapan tajam ke arah Bobby ke