Lestari tertunduk di atas tempat tidur setelah ia membersihkan diri di kamar mandi tadi. "Akh ... ssshh ...!" desahnya merasa perih saat Nunung mengoleskan balm ke atas luka-luka di tubuhnya. "Tahan bentar ya, Nya," ujar Nunung sembari membayangkan betapa kasarnya Rayyan memperlakukan sang nyonya tadi di kamarnya. Sungguh, dirinya pun turut merasa perih dengan penderitaan yang dirasakan oleh Lestari. "Iya, Bi," lirih Lestari menjawab. Dari leher, dada, serta perut wanita muda itu penuh dengan rona merah keunguan. Belum lagi dahinya yang lebam dan membengkak, lalu bekas-bekas cakaran Rayyan, juga pergelangan tangan Tari yang memerah. Nunung hanya bisa meringis menahan perasaannya sendiri. Ceklek! "Bi!" Deg! Spontan Nunung terkesiap. Wanita tua itu dan Lestari pun refleks melihat ke arah pintu yang kini sudah terbuka di sana. Itu Rayyan yang membuka pintu dan memanggil sang asisten rumah tangganya. Lestari kontan bergerak cepat menutupi tubuhnya yang tadi terbuka deng
Sepekan telah berlalu, bekas luka-luka yang dialami Lestari hari itu sudah mulai memudar, meskipun di beberapa bagian masih terlihat samar, terutama bekas kuku Rayyan di leher dan di pahanya. Perasaan wanita itu juga sudah semakin membaik, mekipun belum sepenuhnya sebab sikap Rayyan sama sekali tidak berubah. Lelaki itu masih saja sering membentaknya dengan keras, meskipun kesalahan kecil yang ia lakukan. Kalau sudah seperti itu, memori Lestari kontan saja teringat kejadian malam itu. Ia akan merasakan perubahan dalam tubuhnya. Tubuhnya bakal terasa gemetaran meskipun tidak kentara terlihat oleh orang lain, tapi dirinya sendirilah yang paling merasakan hal tersebut. *** "Boss, nanti malam Boss pergi nggak ke undangan pernikahan anak Pak Herlan?" tanya Bobby ketika dia dan Rayyan baru saja selesai makan siang bersama sambil membicarakan tentang pekerjaan. Rayyan tidak makan berat, karena seperti biasa, dia sudah merasa nyaman dengan masakan Lestari. Pria itu tidak mau lagi m
"Nanti di pesta kamu jangan bersikap kampungan ya. Jangan buat aku malu," ujar Rayyan memperingatkan istri cantiknya sebelum mereka benar-benar sampai di area pendopo hotel yang mana di hotel tersebut merupakan tempat perayaan pernikahan putri kliennya. "Iya, in syaa Allah, Mas." Lestari menoleh ke arah wajah tampan sang suami di sampingnya. Jujur saja, ia yang tadinya merasa senang diajak, jadi khawatir karena takut melakukan sesuatu yang dianggap sebagai kesalahan bagi Rayyan. Setelah kendaraan mereka berhenti di gerbang yang mengarah ke lobby, kemudian pintu mobil bagian duduk Lestari pun dibukakan oleh seorang petugas hotel. "Selamat datang ... silakan ...!" sapa sang petugas berjas ungu itu ramah. Lestari hanya mengulas sedikit senyuman, lantas ia menurunkan kakinya dari kendaraan. Bersyukur Rayyan membelikan sepatu yang berhak tidak terlalu tinggi, jadi Lestari tidak begitu kesulitan menjaga keseimbangan tubuhnya sendiri. Rayyan yang sudah keluar juga dari kendaraan mendekat
"Apa kabar, Ray?" Clara mengulas senyum menggoda ke arah mantan suaminya. "Suamimu mana? Kenapa istrinya dibiarkan keliaran di toilet pria?" sindir Rayyan sembari mengeringkan tangannya menggunakan hand dryer automatic yang ada di sana. Ia tak mau menjawab pertanyaan yang menurutnya tak penting dari perempuan di hadapannya itu. Clara tampak mencebikkan bibir dengan lipstik merah meronanya. "Dia lagi ngurusin istri tuanya yang sakit-sakitan di rumahnya." Rayyan tertawa kecil seakan mengejek. "Syukurlah kamu dapat suami yang baik, yang perhatian sama kedua istrinya. Oh, ya, aku kembali dulu ke depan." "Siapa perempuan berhijab di sana tadi? Itu istri barumu? Atau pembantu baru?" Mendengar celaan Clara, Rayyan sontak mengurungkan gerak langkah kakinya. Kedua alis pria itu bertautan dengan ucapan bernada penghinaan itu. Sungguh, meski memang benar ia memperlakukan Lestari dengan buruk bak seorang pembantu, tetapi celaan itu membuat telinganya terasa panas. "Ray ... Ray ... nggak ny
Kedua rahang Lestari mengetat. Jemari kedua tangannya mengepal kuat. Ia kembali menundukkan kepala dalam-dalam, tetapi ia sama sekali tidak bisa berkutik. Wanita itu berusaha sekuat tenaga untuk menahan bulir bening yang menggenang di pelupuk mata agar tidak menyeruak dan tumpah. Sungguh ia benar-benar takut sekali. "Saya nggak mau kamu berontak lagi kayak waktu itu. Kalau kamu berontak, akan saya ikat kamu! Paham?!" cetus Rayyan sembari menyingkap daster selutut milik Lestari agar terlepas. Mendengar ancaman itu membuat Lestari semakin gemetar. Kini tubuh itu telah polos berdiri di samping sang pria. Air mata Lestari pun akhirnya lolos dan terjatuh. Cepat-cepat wanita itu menyusutnya. Rayyan menelan ludahnya dengan berat melihat pemandangan indah di hadapan. Sungguh ia merasa gair*hnya sudah berada di ubun-ubun kepalanya sekarang. Namun, dahinya sontak mengernyit ketika matanya tertumbuk pada tangan kiri Lestari yang terbalut kasa. Ia baru menyadari pemandangan yang tak meny
Suara bentakan yang ke dua kali itu sontak membuat Lestari kaget dan refleks terduduk. Akalnya berusaha mencerna apa yang tengah terjadi. Pada akhirnya dua matanya kini melihat ke arah sosok yang berdiri di sampingnya. "Mas Ray ...," lirih suaranya sendiri yang terdengar serak menggoda di telinga Rayyan. Lelaki itu kembali terbayang dengan suara desahan dan rintihan yang membuat ia sangat bergairah tadi. Akan tetapi, Rayyan cepat-cepat menepis rasa itu. Kembali gengsi yang tinggi menguasai jiwanya. "Keluar kamu dari kamar saya, cepat!" sergahnya. Lestari yang kembali kaget langsung saja berdiri dan menutupi tubuhnya yang polos dengan selimut. "I–iya, Mas. A–ku pergi." Wanita itu terlihat panik. Dengan buru-buru ia berjalan menuju ke pintu kamar hendak keluar. "Baju baumu itu bawa pergi! Bikin muak tahu!" seru Rayyan keras. "Dan kembalikan selimutku sini!" "Eh, i–iya, Mas." Lestari kembali lagi dan memunguti pakaiannya yang berserakan. Mau tidak mau ia segera melepas selimutny
Wajah Lestari merah padam ketika sang suami melepaskan tautan bibir mereka berdua. Kemudian lelaki itu membisikkan sesuatu yang membuat aliran darah sang wanita terasa berdesir hangat dan seketika saja membuat tubuhnya terasa bergetar. "Ba–baik, M–Mas," sahutnya dengan sangat lirih hampir tak terdengar. "Saya pergi." Rayyan pun berbalik dan berjalan dengan cepat. Lestari seakan membeku di tempatnya berdiri. Bisikkan Rayyan tadi masih terngiang di telinganya. "Nanti malam saya mau kamu lagi." Tanpa sadar kedua ujung bibir wanita muda nan jelita itu tertarik ke atas. Jujur, ia juga menginginkan sentuhan Rayyan seperti tadi malam yang membuatnya merasa melayang ke angkasa. Bahkan ucapan kata 'sayang' dari lisan Rayyan ketika sedang bersamanya semalam membuatnya terbang ke awang-awang. "Nya!" "Eh, Bi? Mmm ... Mas Rayyan mana?" Lestari terkesiap ketika Nunung memegang lengan dan menegurnya. Ia langsung teringat tadi kalau Rayyan hendak pergi berangkat kerja, tetapi mengapa lelaki it
Jam menunjukkan pukul 20.30 WIB. Rayyan baru sampai di rumahnya. Seperti biasa, lelaki tampan nan gagah itu disambut pelayanan maksimal oleh sang istri. Setelah kakinya dipijat sambil direndam air hangat, maka ia akan disiapkan makan malam yang selalu menggugah seleranya. "Baju yang ada dalam paper bag tadi, nanti kamu pake di kamar saya," pungkas Rayyan sembari menikmati makanannya. "Oh, itu buatku, Mas?" lirih Lestari bertanya seraya matanya mengarah ke paper bag yang masih berada di atas meja di ruang tengah rumah itu. Tadi ketika Rayyan datang, memang ia membawa benda itu. Akan tetapi, Tari tidak berani untuk menanyakan. "Itu lingerie. Ada beberapa helai. Saya mau kamu pake yang warna hitam malam ini," pungkas Rayyan dengan suara dan ekspresi yang datar. Deg! 'Lingerie ...?' bisik hati Lestari. Darah di sekujur tubuhnya seketika berdesir mendengar jenis baju apa yang Rayyan suruh ia pakai malam ini. Ia paham jenis baju tidur itu, meskipun tidak pernah memiliki bahk