"Boss, kita sudah sampai!" Rayyan terkesiap mendengar seruan Bobby. Ia yang tadi melamun pun seolah tersadar dari ingatan buruk masa lalunya. Bobby dan sopir perusahaan keluar dari pintu depan. Sang sopir lalu mengeluarkan koper milik Rayyan dan memanggul benda itu sampai di teras rumah dan di depan pintunya. Rayyan menyusul ke arah sana, dan tiba-tiba pintu rumah terbuka. Ternyata Lestari yang membuka pintu itu. "Mas sudah pulang?" Bibir perempuan itu tersenyum menyambut sang suami. Sedetik saja Rayyan seakan tertegun dengan senyum manis istri cantiknya itu. Kemudian ia tersadar ketika Lestari meraih tangannya dan mencium punggung telapak tangan itu. "Assalamualaikum, Mas," ucap sang wanita. "Wa alaikumus sallam," jawab Rayyan singkat. "Eehh, Mas Rayyan sudah datang ya?" Rayyan terkesiap sebab tiba-tiba muncul dari balik pintu itu, Dinar Abdullah yang disusul oleh istrinya, Nurmala. Pria itu pun menarik kedua sudut bibirnya dengan kagok. "Kalian eh, maksud saya, Ba
Telapak tangan Rayyan menggerayang di atas paha sang wanita yang tertutup dengan kain daster berbahan rayon itu. Sementara Lestari menggenggam tangannya sendiri sembari menahan sensasi yang sangat aneh di dalam dirinya. Tidak pernah ia berada dalam keadaan seperti demikian dengan seorang pria pun sebelumnya. Gerahamnya mengetat, dan bulu romanya kontan berdiri tegak. Sebelah sudut bibir Rayyan tertarik ke atas. "Kenapa?" tanya pria itu dengan tatapan tajam menusuk hingga palung hati sang wanita. Lestari menunduk dalam-dalam. Sungguh daging merah di dalam dadanya terasa berdebar-debar dengan apa yang Rayyan lakukan saat ini. Kemudian Rayyan mengangkat dagu sang wanita, lantas mengarahkan ke wajah yang terlihat sangat takut itu kepadanya. "Kamu sudah pernah ciuman ya?" tebak pria itu sembari membelai bibir kemerahan Lestari dengan ibu jarinya. Lestari menggelengkan kepalanya sangat pelan. Hatinya benar-benar gugup diperlakukan demikian. Ia tidak suka. Rayyan terkekeh. "Bohon
"Mas, tanah saya yang satu lagi sudah di-DP sama orang," ungkap Dinar sembari menarik kedua sudut bibirnya ke atas di sela-sela makan malam mereka. Rayyan menghentikan gerakan makannya sejenak, kemudian menaikkan kedua alisnya menoleh ke arah sang mertua. "Oh, ya?" Pria itu pura-pura baru dengar berita tersebut, padahal ia sudah tahu dari Bobby. Dinar kembali menyunggingkan senyuman semakin lebar. "Iya, Mas. Alhamdulillah, artinya pekerjaan kita yang tertunda bakal bisa dilanjutkan lagi." Nurma dan Lestari hanya menyimak sembari menikmati makan malam mereka. Nurma terlihat ikut tersenyum melihat kebahagiaan di wajah sang suami ketika menceritakan berita gembira itu kepada sang menantu. "Bagus kalau gitu, Pak. Menurut Bapak kapan rencananya kita bisa mulai pembangunan?" tanya Rayyan sembari melanjutkan suapannya. "Nanti bulan depan dia bakal membayar pelunasannya, Mas. Begitu kata orang yang bersangkutan. Setelah itu boleh dimulai pembangunannya, Mas," pungkas Dinar melanjut
"Mas ... Mas ...," panggil Lestari dengan suara yang ditahan-tahan. Ia khawatir membuat sang suami kaget. Terdengar suara merdu yang terasa sangat jauh di pendengaran Rayyan. "Mas, sudah shubuh, Mas ...." Sekali lagi Lestari mencoba membangunkan suami yang masih tampak tidak sadar di ranjangnya. Kali ini suaranya lebih terasa dekat di telinga Rayyan dan disusul dengan sentuhan serta goyangan di bahu sang suami. Rayyan terlihat mengerutkan dahi dengan kencang. Tadi malam ia merasa gelisah tak menentu, akibat gair@h yang tiba-tiba menguasai karena melihat lekukan tubuh sang istri. Oleh karena itu, Rayyan akhirnya tidur sangat larut sekali sebab ia berusaha menetralkan perasaan terlebih dahulu. "Mas, Mas sudah bangun?" tanya Lestari memastikan sekali lagi. Sebisanya ia bicara dengan lemah lembut. Akhirnya kelopak mata Rayyan pun terbuka meski sambil menyipitkan matanya karena silau dengan cahaya lampu utama kamar itu. "Apa?" tanyanya ketika sadar kalau sang istrilah yang bar
"Ah, i–iya. Baik, Mas!" Lestari pun melenggang maju, lalu ia duduk di tepi ranjang itu dengan menjaga jarak dari suaminya. Denyut jantungnya berdebar-debar kini. "Kemari, lebih dekat!" suruh Rayyan lagi seraya menepuk kasur tepat di sampingnya. Rayyan tersenyum sinis melihat sorot gelisah di mata sang istri. "Kenapa? Kamu takut sama saya?" tanya pria itu seakan sangat paham dengan gelagat yang diperlihatkan Lestari. "Iya, Mas. Eh! Bu–bukan be–gitu, Mas. Aku cumaa–" Jawaban Lestari begitu gugup. Ia lalu beringsut lebih mendekat ke arah sang suami dengan degupan jantung yang semakin berdentam. Mata sang lelaki menatap lekat ke arah wajah kalut sang istri. Entah mengapa, ia menikmati kegelisahan Lestari tersebut. "Kita 'kan, belum pernah berhubungan int*m sama sekali semenjak menikah. Sudah lebih dari dua pekan, hmm?" Rayyan membelai lengan Lestari dari atas ke bawah. Dirinya semakin senang menggoda istri mudanya itu. Serrr .... Seakan terkena aliran listrik bertegangan tingg
"I–iya, Buu!" sahut Lestari atas panggilan sang bunda. "Berengs*k! Keluarga kamu selalu saja mengganggu!" cetus Rayyan dengan menahan suara. Ia memungut celananya dan mengenakannya kembali. Badannya yang masih terasa panas tak keruan membuatnya kesal. "Ma–maaf, Mas," ucap Lestari cemas. Lalu, karena wanita itu melihat dalamannya sudah robek mengenaskan di kasur, ia menjadi bingung sendiri. Sementara pintu masih diketuk oleh Nurma di sana. Alhasil mau tidak mau ia bergegas melenggang ke arah pintu tanpa dalaman sembari tangannya cepat-cepat mengancingkan kembali daster yang tadi sudah terbuka di dadanya. Rayyan beranjak dari tempat tidur, lalu berjalan menuju ke arah jendela dan mendengkus keras di sana. Gairahnya seakan tertekan mendadak karena ulah sang mertua. "Iya, Bu? Kenapa?" tanya Lestari ketika ia telah membuka sedikit pintu kamarnya. Sesekali ia menoleh kembali ke arah sang suami yang terlihat resah di depan jendela kamar tersebut. Nurmala seketika heran dengan sik
Di kantor, Rayyan melamun di kursi kebesarannya. Ia menatap tangannya yang tengah memegang sehelai kain brokat berwarna maroon. Tok! Tok! "Boss! Kita mau ketemu klien di–" Bobby terdiam seketika karena melihat sang atasan yang tiba-tiba grasak-grusuk di tempat duduknya. Ada yang terlempar dari tangan Rayyan dan jatuh ke lantai. Bobby mengernyitkan dahi ketika melihat sehelai kain brokat teronggok tidak jelas di sana. Ia pun mendekat, ingin memungut benda itu. Namun, belum sempat tangannya menyentuh kain kecil itu– "Jangan sentuh!!!" teriak Rayyan menyebabkan Bobby terlonjak dan tak jadi memungut kain aneh tersebut. "Napa, Boss?" tanyanya dengan sorot penasaran, "itu apaan?" "Itu sapu tangan saya!" "Heh? Kok, aneh, ada rendanya?" Bobby kembali ingin meraih kain tersebut. "Berengs*k! Dibilang jangan sentuh!" Rayyan gegas melangkah maju dan langsung mengambil kain kecil itu. "Kamu kalo mau masuk, permisi dulu kenapa?! Keluar sekarang!!" bentak Rayyan keras sembari men
"Innalillaahi wa inna ilaihi roji'uuun. Ibuuuu ...!" pekik Lestari tertahan, "di mana ibuku, Maaas?" Rayyan menghela napas berat mendengar berita buruk itu. Ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dan menoleh ke arah Bobby yang ternganga kaget. "Ibumu sudah dibawa ke ruang jenazah, Tari," sahut Deka, "ayo, Mas antar ke sana," ajaknya. Lestari yang wajahnya sudah bersimbah air mata menoleh ke arah Rayyan seakan meminta izin untuk mengikuti Deka. Rayyan mendengkus kasar. "Ayo!" serunya menarik pergelangan tangan sang istri. Ia juga penasaran ingin melihat Nurma, yang mungkin ini untuk terakhir kalinya. Bobby berlari kecil mengejar atasannya. Akan tetapi, tiba-tiba Rayyan menghentikan langkah membuat semua orang ikut diam dan menatapnya heran. "Bob, kamu tunggu Pak Dinar di sini. Kalau ada apa-apa, bilang!" titahnya kepada sang bawahan. "Eh, i–iya. Oke, Boss!" sahut Bobby. Pria muda itu pun berbalik dan menunggu di kursi di depan ruang operasi. Rayyan lalu me
"Loh? Nyonya mau pergi ke mana? Memangnya sudah dibeli rumah barunya?" Nunung bertanya heran, sebab sang majikan wanita berpamitan dengan beberapa koper yang sudah disiapkan di dekat mereka."Iya, Bi. Sudah beli rumah. Tapi, ini nggak langsung pindah ke rumah itu. Saya dan Tari mau ke tempat teman saya dulu." Jawaban itu justru keluar dari lisan Rayyan, "Bibi sementara di sini dulu. Kalau kami sudah benar-benar pindah ke rumah yang baru, Bibi akan saya jemput," lanjut lelaki itu menjelaskan."O–oh, gitu, Tuan?" Meski masih merasa heran karena kepergian majikannya yang mendadak seperti ini, Nunung hanya bisa menuruti.Lestari memilih diam dari tadi, sebab ia mengikuti suaminya saja. Saat ini, ia hanya ingin segera pergi dari rumah itu."Bi, aku pamit dulu ya ...." Lestari mendekati sang ART, kemudian memeluk wanita tua yang selama ini telah ia anggap seperti ibunya sendiri."I–iya, Nya. Hati-hati di jalan. Nyonya kabari saya kalau sudah sampai di rumah temen Tuan ya! Nyonya juga jangan
Terdengar suara isakan dari Lestari membuat Rayyan seolah baru tersadar. Lelaki itu kemudian berjalan mendekat ke arah tempat duduk istrinya, lalu merangkul pundak wanita itu. "Tari ... kamu ... nggak apa-apa?" 'Ck! Pertanyaan bodoh! Nggak apa-apa gimana? Dia sedih, Gobl0k!' Batin Rayyan memarahi dirinya sendiri sebab mengucapkan pertanyaan yang ia anggap tidak perlu itu. Lestari bangkit berdiri dengan perlahan-lahan. Kakinya terasa begitu lemas rasanya. Ia lalu berjalan pelan dan lunglai menuju ke arah kamarnya. Rayyan bingung dengan apa yang mesti ia lakukan. Lelaki itu hanya bisa mengiringi sang istri menuju ke arah kamar mereka. Sesampainya di dalam kamar. Lestari menuju ke arah ranjangnya dan merebahkan diri sembari kembali menangis di atas bantalnya. Sungguh, ia merasa begitu sedih, sebab telah membuat Gilang sangat kecewa seperti saat ini. Sementara Rayyan, pria itu hanya bisa duduk di pinggir ranjang tersebut dengan kepala yang terasa berdenyut. Ia benar-benar tidak tahu
"Jadi, kamu sudah ingat tentang Tari?" tanya Rayyan tak mau lagi berbasa-basi."Bi, nggak apa-apa, kok. Bibi lanjutin kerjaan Bibi lagi, gih," bisik Lestari lirih ke arah Nunung di sebelahnya."Eeh, i–iya. Baik, Nyonya," sahut Nunung tergagap. Akan tetapi, wanita tua itu tetap menurut. Ia pun berbalik dan melenggang kembali ke teras belakang rumah.Lestari kembali mengarahkan pandangan ke arah Gilang dan juga Rayyan yang tengah berbicara di sana dengan perasaan yang tidak menentu. 'Apa benar, Mas Gilang sudah mengingat tentang kami?' bisik hatinya bertanya-tanya."Yaaah, begitulah. Aku bahkan sudah ingat kata-kata kamu malam itu, Tari." Gilang terus melihat ke arah sang wanita.Lestari mencoba mengingat apa yang pernah ia katakan. "Kata-kataku?" Rayyan ikut menoleh ke arah sang istri dengan sorot penasaran."Ya, kamu ingat di depan Burhan kamu bilang cinta sama Mas, 'kan? Burhan bilang, nggak lama dari berita kematian Mas, kamu memang batal menikah dengan Fadil, si anak kepala desa i
Meski hatinya terasa panas, Rayyan hanya bisa menyunggingkan senyuman dengan terpaksa. Ia tidak mau rasa cemburunya itu tertangkap oleh sang istri. "Mudah-mudahan aja rumah yang ditawarkan ke Bobby kemarin cocok buatku dan Lestari nanti," lirih ucapan Rayyan pada diri sendiri. Ya, tadi Bobby bilang mereka sudah janjian untuk melakukan survey ke sebuah rumah besok. Lokasi rumah tersebut hanya sekitar dua puluh menit dari kantor pusat perusahaan Rayyan ini. Memang harganya cukup tinggi, tetapi kalau cocok, Rayyan tidak mau menunda lagi untuk mengurus kepindahannya. Ia ingin segera memboyong Lestari menjauh dari Gilang. 'Kalau lebih lama lagi aku melihat kebersamaan mereka. Aku bisa gila!' keluh pria itu membatin. *** "Kakak iparku ini mau ke mana? Pagi-pagi udah cantik aja?" sapa Gilang, ketika langkah kakinya baru sampai di ruang makan. Ia hendak bergabung dengan Rayyan dan Lestari yang sudah lebih dulu berada di sana. Mata Gilang melirik sebentar melihat ekspresi sang kakak le
Lima hari belakangan ini, ketika sedang berada di kantor, Rayyan terlihat gusar dan tidak fokus dengan pekerjaannya. Gilang sudah tiga hari ikut ke kantornya dan belajar bekerja di sana. Ia didampingi langsung oleh Bobby. Lelaki itu terlihat serius dalam belajar. "Bos yakin dengan keputusan akan memberikan posisi CEO pada Mas Gilang?" tanya Bobby kepada sang atasan. Mereka kini sedang berada di ruangan presiden direktur, yakni Rayyan sendiri. Pria itu baru saja menyampaikan kepada asisten setianya untuk mengajari Gilang agar ke depan bisa menduduki posisi CEO yang saat ini dirangkap oleh Rayyan sendiri selain ia juga sebagai owner sekaligus presiden direktur di perusahaan itu. Selama ini Rayyan memang cukup sibuk karena jabatan yang dirangkapnya itu. Meskipun demikian, selama ini ia mampu sebab didukung oleh Bobby yang selalu bisa ia andalkan. "Ya, kamu mesti ajari dia yang bener, Bobb. Gilang sebaiknya tidak usah melanjutkan jadi guru lagi. Aku nggak mau dia dihina orang lagi s
Wanita cantik yang kini wajahnya terlihat agak pucat itu mengangguk cepat. Lestari baru sadar kalau tangannya sendiri terasa sangat dingin ketika sang suami meraih dan menggenggamnya saat ini. "Ini jarimu kenapa?" tanya Rayyan ketika melihat dan meraba jari telunjuk tangan kanan Lestari yang dibalut plaster. "Ini, nggak sengaja kena pisau, Mas. Nggak apa-apa, kok! Luka kecil aja." "Kamu lain kali hati-hati," pesan sang suami. Lestari tersenyum kikuk ketika sadar kalau sedari tadi Gilang mencuri-curi pandang ke arahnya. "A–ku siapin makan siang dulu, Mas," ujarnya kepada sang suami seraya berbalik badan dan langsung berjalan ke arah dapur menyusul Nunung. Rayyan menyembunyikan helaan napasnya ketika melihat punggung sang istri yang menjauh. Di dalam hati entah mengapa ia merasa timbul kesedihan. Ia menebak kalau benar, sang istri sepertinya masih menyimpan perasaan kepada adik angkatnya. "Naah, ini diaa! Terima kasih, Bi Nunung yang caeeem ...!" seru Bobby menarik Rayyan kembali
"Kenapa sih, Nya? Nyonya sejak pagi tadi keliatan nggak fokus gitu?" tanya Nunung ketika Lestari baru saja menumpahkan air yang ia tuang dari sebuah teko. Sebelumnya Lestari juga tak sengaja mengiris jarinya sendiri ketika menyiangi sayuran. Keduanya memasak lebih banyak hari ini sebab Rayyan tadi malam mengatakan akan membawa Gilang ke rumah tersebut. Ya, sejak itu, entah mengapa Lestari menjadi gugup sendiri. Ia juga heran, sebenarnya apa yang sedang terjadi pada dirinya. Padahal ia yakin, kalau hatinya kini telah dimiliki oleh Rayyan Yudistira, sebagai lelaki yang berstatus suaminya. "E–eh, ma–af, Bi. Biar aku yang bersihkan. Bibi lanjut nata perlengkapan makannya aja!" tukas Lestari sembari meraih gagang pel yang dipegang Nunung dan mulai mengelap air yang membasahi lantai ruang makan tersebut. Nunung pun menghela napas dan melipat bibirnya sejenak. Lalu ia menata piring dan sendok di atas meja makan seperti perintah sang nyonya. "Assalamualaikum." Deg! Degup jantung Lesta
Bobby mencebikkan bibirnya. "Nggak ada, Boss. Makanya aku bilang, kayaknya ingatan Mas Gilang masih setengah-setengah," ujar lelaki itu lagi. Rayyan menghela napas sedikit lega. Akan tetapi, kekhawatiran di wajahnya masih menyelimuti. "Gimana kalau suatu saat dia ingat semuanya, ya, Bobb? Apa yang harus saya katakan soal Tari?" Lelaki tampan itu menatap pelas ke arah sang asisten. Ia berharap bisa mendapatkan pencerahan dari Bobby. "Ya mau gimana. Ini sudah takdir, Boss. Sekarang Boss udah nikahin cewek yang Mas Gilang taksir. Mau nggak mau, Mas Gilang juga mesti menerima itu!" Ucapan Bobby terdengar tanpa beban di telinga Rayyan. Rayyan menunduk, kemudian menekan kepala dengan dua tangannya. Entah mengapa kepalanya kini terasa berdenyut tiba-tiba seperti ini. Pikirannya terasa sangat penuh. "Mbak Tari sendiri kira-kira gimana kalau tahu Mas Gilang sebenarnya masih hidup ya, Boss?" tanya Bobby kepada yang atasan yang wajahnya mulai kusut itu. "Tari sudah tahu." "Hah?!" Bobby tam
Bobby menghela napas panjang. Ia menimbang-nimbang. "Pak, apa nggak bisa diundur bulan depannya lagi ya, kami keluar dari sana?" Bobby hanya ingin mengantisipasi waktu saja. Khawatir kalau nanti ia butuh waktu lebih lama untuk mengurus kepindahan Gilang. "Aduh, Mas, maaf sekali lagi. Kayaknya nggak bisa. Soalnya itu apartemen mau dipake anak orang yang beli itu. Bulan depan tanggal 7, dia sudah masuk kuliah. Jadinya sebelum itu dia harus pindahan dan prepare semua urusan dia secepatnya. Begitu katanya, Mas!" Kembali Bobby menghela napas panjang. "Oh, iyalah, Pak. Saya nanti koordinasi dulu sama sodara saya itu. Nanti saya kabari lagi perkembangannya ke Bapak," ucap lelaki itu akhirnya. "Oke, Mas Bobby. Maaf sekali lagi. Semoga dimudahkan ya, Mas!" Keduanya pun memutuskan sambungan telepon seluler tersebut. "Aku mesti langsung kasih tahu si Boss ini!" seru Bobby sembari menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku jas. Setelah itu, ia langsung menjalankan kembali motor besarnya men