"Anak Anda nggak jadi nikah kemarin?" tanya Rayyan Yudistira kepada Dinar Abdullah ketika seorang perempuan muda nan cantik telah masuk kembali usai meletakkan tiga cangkir teh hangat ke atas meja.
"Ah, iya, Mas Rayyan. Nggak jadi. Ada sesuatu dan lain hal. Jadinya yaa ... gitulah. Terpaksa saya batalkan." Dinar tersenyum getir menjawab pertanyaan lelaki kaya raya di hadapannya itu. Memorinya teringat kembali kejadian di saat dirinya dan mantan calon besannya memergoki sang calon menantu dalam keadaan tidak pantas di sebuah kamar hotel. "Maaf, bukan maksud saya mau turut campur. Hanya saja saya mendengar isu tidak sedap soal alasan mengapa sampai pernikahan anak Anda tidak jadi dilangsungkan, padahal Anda sudah mengeluarkan modal yang cukup besar untuk acara perhelatan tersebut. Saya harap bisnis kita tidak terpengaruh oleh kejadian itu," pungkas Rayyan dengan suara beratnya yang khas. Tatapannya lekat menghujam ke arah Dinar membuat lelaki paruh baya itu menundukkan pandangan. "Maaf, Mas Rayyan. Jujur ... memang saya rugi besar dengan kejadian ini. Saya sudah membooking orgen, tanjidor, dan kami sudah memasak banyak makanan. Akan tetapi, semua sia-sia. Akhirnya mau tidak mau, makanan pun saya sedekahkan ke para warga. Sementara yang lain, saya tetap harus membayar mereka sebanyak separuh harga. Saya tidak jadi mengadakan acara, otomatis warga tidak memberi amplop pada kami. Tadinya, uangnya untuk saya modalkan lagi dalam usaha kita bersama, tapi akhirnya begini. Saya mesti cari lagi modalnya, Mas. Karena uang yang tersisa tidak lagi cukup." Entah mengapa Rayyan menyembunyikan sebuah senyuman. Tatapan matanya memicing tajam ke arah pria tua itu. "Ini yang saya khawatirkan. Saya sudah mengeluarkan uang kepada Anda, malah Anda pakai untuk acara yang batal itu. Artinya ... pembangunan bakal tertunda ya, kan? Dan itu sampai kapan? Memangnya Anda bisa memastikan?" cibirnya. Dinar semakin menunduk dalam. "Kalau begitu Anda mesti mengembalikan uang saya!" seru Rayyan tegas. Dinar seketika gelagapan. "Tap–tapi saya nggak punya uangnya sekarang, Mas!" "Ck!" decak Rayyan keras, "Anda ini. Punya anak cantik, kembang desa katanya. Tapi, kok, mencari calon menantu sembarangan?!" "Sa–saya nggak menyangka dan nggak tahu kalau anak itu nggak normal, Mas. Kalau saya tahu, tentu saja saya nggak bakal menjodohkannya dengan anak saya," kilah Dinar gugup. "Ah, sudahlah, Pak Dinar. Saya nggak mau tahu. Itu bukan urusan saya. Sekarang saya mau uang saya kembali. Dan saya akan kembalikan tanah Anda!" seru Rayyan sembari bangkit dari duduknya. Gunawan, anak buah Rayyan pun ikut bangkit. Ia juga bingung harus berkata apa. Ia kasihan melihat Dinar yang sudah jatuh, malah kini tertimpa tangga lagi. Sudahlah gagal menyelenggarakan pernikahan anaknya, menerima rasa malu sebab calon menantunya ternyata gay, dan kini pun harus terlilit utang yang sangat besar. Dengan kaki yang gemetar Dinar menyusul berdiri. "Mas ... jangan begitu, Mas. Tolong beri saya waktu untuk melanjutkan kerjasama kita. Tapi, tunggu tanah saya satu hektar lagi laku." "Tanah Anda yang satu lagi posisinya tidak bagus! Siapa yang mau beli dalam waktu dekat ini? Anda kira jual tanah itu seperti jual kacang goreng?!" cetus Rayyan tampak kesal. Dinar terdiam. Ya, apa yang Rayyan katakan itu benar. Tanahnya yang satu hektar itu berada cukup jauh dari jalan desa. Tentu akan lebih susah untuk ia bisa menjualnya. Tanah sebelumnya saja untung-untungan ditawar bagi bangun oleh Rayyan. Namun, uangnya kini pun sudah habis ia modalkan untuk pernikahan putrinya yang ternyata gagal. "Pak Dinar. Senin ini, saya mau uang saya mesti sudah kembali. Kita batalkan semua kerjasama kita. Dan saya tidak akan meminta kompensasi apa pun, meskipun saya merasa dirugikan di sini. Saya hanya kasihan pada Anda. Tapi, jika uangnya masih belum bisa Anda kembalikan, maaf ... saya akan bawa urusan ini ke meja hijau!" Rayyan pun berbalik dan melangkah dengan lebar menuju ke luar. "Ma–Mas Rayyan!" panggil Dinar. Akan tetapi, Rayyan tidak mempedulikan. "Cepat, buka pintu mobilnya!" serunya pada Gunawan yang tergopoh-gopoh mengejarnya. Gunawan membukakan pintu dan Rayyan pun segera masuk. "Tu–Tuan mau langsung kembali ke kota?" tanya lelaki tambun itu kepada sang bos dari balik jendela mobil. "Ya, ke mana lagi?!" sahut Rayyan, "jalan, Bob!" titahnya pada Bobby, asisten kepercayaannya yang sejak tadi hanya menunggu di dalam mobil. "Siap, Bos!" seru Bobby sembari menyalakan mesin mobil. Ia pun memutar stir lalu membawa kendaraan roda empat itu pergi dari halaman rumah Dinar. Gunawan menatap ke arah mobil mewah bosnya yang semakin menjauh di sana. Ia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Yaah, gagal deh ... proyeknya," keluhnya pada diri sendiri. * "Gimana, Bos? Lancar?" tanya Bobby di tengah perjalanan. Ia melirik sebentar ke spion di depannya, melihat bayangan sosok yang tampak arogan di sana. Rayyan tersenyum miring. "Aku sudah keluar modal besar buat misi ini. Jangan sampai gagal. Nanti kamu lanjut urusan sama Gunawan. Jangan sampai Dinar menolak dan cari alasan lagi." "Oke, Bos. Gunawan urusan aku." Bobby mengangguk. *** "Gimana, Juragan Dinar? Apa uangnya sudah siap? Lusa Bos Rayyan bakal menagih lagi, loh ...," ujar Gunawan kepada Dinar Abdullah. "Mas Gun, tolong dong ... gimana ngerayu Mas Rayyan ini biar dia nggak bawa masalah ini ke pengadilan. Saya nggak mau dipenjara, Mas," tutur Dinar dengan sorot memelas. "Huuftt ... gimana ya, Gan. Pak Rayyan itu orangnya tegas. Dia nggak suka kalau ditipu kayak gini." "Loh, saya nggak nipu, Mas. Ini 'kan, musibah. Saya juga nggak mau kejadiannya kayak gini." Gunawan menghela napas panjang dan pandangannya tampak menerawang. Hening .... "Hmm ... gini aja, Gan." Dinar menatap lekat ke arah Gunawan dan bersiap menyimak apa yang akan disampaikan lelaki bertubuh tambun itu. "Gimana, Mas? Apa ada solusi?" "Ini saya nggak tahu ya, Gan, Bos Rayyan mau atau nggak. Tapi, yaaa ... kayaknya nggak ada ide lain untuk merayunya. Dia itu orangnya keras. Ya, namanya orang kaya, Gan. Milyarder dia. Kalau agak arogan, ya wajar aja, 'kan?" "Memangnya apa, Mas, idenya?" tanya Dinar penasaran. "Bos Rayyan itu 'kan, duda, Gan ...." Kedua alis beruban milik Dinar Abdullah bertautan. 'Apa hubungannya duda nggak duda dalam hal ini?' tanyanya dalam hati. "Nah, gimana kalau Dek Tari, kita jodohkan sama dia ...? Agan dapat menantu orang kaya juga 'kan? Dengan itu, mungkin Bos Rayyan mau memberi keringanan atau waktu buat pelunasan utang Juragan ke dia ...." Kontan saja kedua bola mata Dinar membulat sempurna. "Hah?!" Lelaki tua itu spontan bangkit berdiri. . ."Jadi, maksudnya Mas Gunawan nyuruh saya menggadaikan anak sendiri untuk mengulur waktu pelunasan utang?!" seru Dinar dengan suara keras. Ia seakan tidak terima dan tersinggung dengan ide Gunawan. "Ada apa, Yah?!" Tiba-tiba Nurma, istri Dinar bersama putrinya keluar dari dalam rumah. Mereka terkejut dengan suara Dinar yang terdengar sampai ke bagian dalam rumah. "Ini! Mas Gunawan ngomong sembarangan! Masak Ayah disuruh nyerahkan anak sendiri biar dikasih tempo pelunasan utang ke Mas Rayyan?!" "Hah?!" Lestari dan ibunya kembali terkejut dengan apa yang disampaikan oleh Dinar. Mereka berdua sudah tahu permasalahan yang tengah menimpa lelaki tua itu. Sampai-sampai beberapa hari ini Dinar terlihat stress dan penyakit jantungnya pun jadi kambuh, sehingga ia sempat masuk ke UGD tiga hari lalu. Untung saja tidak terjadi hal yang lebih buruk dari itu. "Ma–maaf, Bu. Dek Tari .... Sa–ya cuma menyampaikan ide aja. Kalau diterima syukuur. Kalau nggak diterima juga nggak apa-apa. Ya udah, s
Memori Lestari seketika melayang kembali pada kejadian malam di mana seorang pemuda yang ia sukai—Gilang Hardian—datang dan menyampaikan pinangannya kepada sang ayah. "Maaf, Lestari ini anak kami satu-satunya. Saya tidak mungkin menyerahkan dia ke laki-laki nggak berbobot macam kamu." Nada suara itu memang terdengar datar. Namun, omongan yang sangat merendahkan itu terasa begitu menusuk sampai ke ulu hati Gilang. Dirinya memang bukan orang yang kaya. Namun, dirinya sangat mencintai Lestari, seorang kembang di desa itu. "Yah ... kok, Ayah seperti itu?" Lestari menatap sang ayah dengan sorot sedih. Dirinya juga mencintai Gilang. Ia sengaja menyuruh pria itu untuk segera melamar, karena memang banyak pria dari perjaka sampai duda yang naksir kepadanya. Ia khawatir jika salah satu di antara orang-orang itu datang melamar lebih dulu, maka sang ayah akan menerima. Gilang hanya bisa tertunduk mendengar hinaan ayah dari sang gadis. Pria itu memang hanyalah seorang guru honorer di Desa H
"Jadi, Anda menawarkan anak gadis Anda yang beberapa kali gagal nikah itu kepada saya?" Rayyan mendengkus sembari menatap Dinar dengan tatapan merendahkan. "Bu–bukan seperti itu, Mas Rayyan. Saya cuma hendak menawarkan ikatan kekerabatan. Dengan hal itu, mungkin Mas Rayyan lebih percaya sama saya, dan mau memberi keringanan waktu untuk saya bisa mengumpulkan uang lagi agar bisnis kita tidak terhenti padahal belum saja dimulai," kilah Dinar Abdullah panjang lebar. Ia melirik ke arah Gunawan, sang pemberi ide. "Anak Anda masih perawan tidak?" Seketika saja Dinar mengangkat pandangannya. Sungguh, di dalam hatinya merasa tersinggung dengan pertanyaan seperti itu. "Mak–Maksud Mas Rayyan gimana?" "Kita sama-sama tahu ... banyak perempuan yang kelihatannya lugu dan polos. Nyatanya sama aja kayak perempuan-perempuan murahan di luar sana. Sudah menggadaikan kehormatannya sendiri atas nama cinta. Bukan begitu, Pak Dinar? Anda sendiri tentu tahulah gimana pergaulan anak muda zaman sekarang.
"Tari ...," lirih Nurma tidak percaya dengan apa yang barusan ia dengar. Sepertinya tidak mungkin putrinya berbicara melantur seperti itu. Masak harus seperti itu dulu hanya untuk membuktikan ucapannya kepada Rayyan? Rayyan menatap ke arah gadis cantik berhijab biru tersebut dengan begitu lekat. 'Huh! Ternyata kamu memang perempuan murahan!' bisik hatinya mencela. "Bu–bukan begitu maksudnya, Yah! Ja–ngan salah paham!" Tari langsung tergagap ketika melihat sang ayah marah dan semua orang menatap aneh ke arahnya. Bahkan Gunawan sampai ternganga mendengar ucapannya tadi. "Maksud kamu apa, Nak?" tanya Nurmala penasaran. "Maksudnya gini, Bu. Bisa aja aku diperiksa dulu ke dokter, untuk membuktikan kalau aku masih perawan gitu. Bukan kayak yang kalian sangkakan. Ya, nggak mungkin juga aku mau berbuat dosa besar itu ...," ujar Lestari menyampaikan maksud omongannya tadi yang bilang kepada Rayyan untuk mengetes keperawanan. "Ooooh." Semua orang ber'oh' ria setelah mendengar penjel
"Saya tidak bisa menginap di sini. Kalau Tari masih mau di sini bersama keluarganya untuk satu atau dua hari, silakan saja," tukas Rayyan kepada keluarga Dinar Abdullah setelah berakhirnya acara resepsi pernikahan. Lestari tersenyum lebar mendengar itu. "Bener boleh, Mas?" "Nggak!" sela Dinar, "Tari sudah jadi istri Mas Rayyan, dia mesti ikut suaminya. Seorang istri wajib mendampingi suaminya." Lestari menoleh ke arah sang ayah. Tadinya ia sudah merasa senang dengan keputusan sang suami yang membolehkannya menginap barang dua hari pertama ini. "Hmm, ya itu terserah," jawab Rayyan, "saya mesti ke kantor pagi-pagi besok, karena ada rapat penting. Jadi, malam ini harus kembali ke kediaman saya sendiri." "Ayah, Tari di sini dulu ya dua malam ini. Soalnya mmm, Tari masih mau sama ibu dulu sebelum benar-benar pindah dari rumah ini," pinta Lestari kepada ayahnya dengan wajah memelas. Suara manja Lestari membuat aliran darah Rayyan sedikit berdesir. Apalagi mengingat tadi, sang i
"M–Mas, tunggu dulu!" panggil Lestari mendekati suaminya. "Apa lagi?" tanya Rayyan ketus sambil menghentikan langkahnya. "Aku nggak ngerti, Mas. Bukannya kita ini suami-istri. Kenapa kok, aku dan Mas tidurnya misah?" Sungguh saat ini di kepala Lestari dipenuhi oleh tanda tanya besar. Rayyan tersenyum sinis. "Kamu pikir saya nerima kamu karena apa, heh? Kamu itu cuma tebusan utang ayahmu! Kamu harus turuti semua apa kata saya, dan jadilah istri yang penurut. Paham?!" "Tap–tapi, Mas." "Cukup! Saya nggak ada waktu buat menjelaskan banyak hal sekarang. Nanti saya akan jelaskan apa-apa hak dan kewajiban kamu di rumah ini. Sekarang saya harus ke kantor!" Rayyan pun kembali melangkahkan kaki keluar rumahnya. Dada Lestari terasa sesak seketika. Ia bingung, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa. Ya, dia sadar kalau dirinya hanya menjadi alat untuk menjeda pembayaran utang ayahnya. Namun, sungguh ia tidak menyangka kalau akan dianggap rendah seperti ini oleh suami yang ia sangka sebaga
Lestari meraih kaki kanan sang suami dan meletakkan di atas pahanya yang sudah terlapis dengan handuk. Kemudian ia mengelap-elap kaki tersebut hingga kering. Berikutnya kaki sebelah lagi. "Sudah, Mas," ucapnya setelah selesai. Ia mendongak melihat ke arah sang suami. Rayyan lalu bangkit menuju ke ruang makan. "Saya mau makan. Siapkan!" Nunung berlari kecil dan bergerak hendak meraih makanan dan memanaskannya kembali. Ia heran, karena biasanya sang tuan tidak pernah makan malam di rumah karena selalu pulang larut malam. dan tentu saja ini sudah lewat waktu normal makan malam. "Bi!" cetus Rayyan memanggil Nunung. "Iya, Tuan?" Nunung menoleh ke arah majikannya. "Biar dia yang lakukan. Bibi tidur aja sana!" Nunung terlihat bingung menoleh ke arah Lestari yang sedang membuang air baskom bekas kaki suaminya ke dalam wastafel, kemudian kembali menoleh lagi ke arah tuannya. Rayyan mengambil duduk di kursi makan utama tanpa bicara lagi. Lestari yang mendengar ucapan sang sua
Lestari benar-benar bingung dengan sikap Rayyan. Mengapa dirinya yang mesti mengerjakan semua itu padahal Rayyan sudah memiliki asisten rumah tangga. "Ta–Tapi, Tuan ... itu semua bukannya kerjaan saya?" sela Nunung takut-takut. Pertanyaan wanita tua itu mewakili tanya di benak Lestari. "Mulai sekarang Bibi tugasnya hanya membersihkan kamar saya! Sementara yang lainnya ... itu dia yang kerjakan!" seru Rayyan. "M–Mas ... aku nggak masalah Mas suruh mengerjakan semuanya. Ta–tapi kenapa mesti kasar seperti ini? Aku ini istrimu, Mas," pungkas Lestari sambil menahan genangan air yang mendesak hampir tumpah dari pelupuk matanya. "Bagus kalau kamu nggak masalah mengerjakan semuanya. Itu memang tugas seorang istri! Kenapa saya bersikap kasar?" Rayyan tersenyum sinis, "itu karena kamu dan keluargamu sendiri!" Lelaki itu pun berbalik kemudian melangkah lebar menuju ke arah kamarnya. "Mas! Mas, tunggu!" Lestari mengejar sang suami dan berusaha menangkap lengan lelaki itu. Sekali lagi Ra