Share

Bab 6

"Saya tidak bisa menginap di sini. Kalau Tari masih mau di sini bersama keluarganya untuk satu atau dua hari, silakan saja," tukas Rayyan kepada keluarga Dinar Abdullah setelah berakhirnya acara resepsi pernikahan.

Lestari tersenyum lebar mendengar itu. "Bener boleh, Mas?"

"Nggak!" sela Dinar, "Tari sudah jadi istri Mas Rayyan, dia mesti ikut suaminya. Seorang istri wajib mendampingi suaminya."

Lestari menoleh ke arah sang ayah. Tadinya ia sudah merasa senang dengan keputusan sang suami yang membolehkannya menginap barang dua hari pertama ini.

"Hmm, ya itu terserah," jawab Rayyan, "saya mesti ke kantor pagi-pagi besok, karena ada rapat penting. Jadi, malam ini harus kembali ke kediaman saya sendiri."

"Ayah, Tari di sini dulu ya dua malam ini. Soalnya mmm, Tari masih mau sama ibu dulu sebelum benar-benar pindah dari rumah ini," pinta Lestari kepada ayahnya dengan wajah memelas.

Suara manja Lestari membuat aliran darah Rayyan sedikit berdesir. Apalagi mengingat tadi, sang istri begitu cantik mempesona di acara pesta pernikahan mereka.

Baru saja Dinar mau membantah lagi omongan sang putri, tetapi–

"Ya, sebaiknya Tari di sini dulu. Dia mungkin belum bersiap-siap untuk pindah. Saya juga tidak bisa menunggu lama sekarang. Lusa, saya akan kemari menjemputnya," pungkas Rayyan membuat Dinar tidak jadi melanjutkan omongannya.

"Hmm, ya sudah kalau begitu. Baik, Mas," sahut Dinar mengalah.

"Saya permisi dulu." Rayyan kemudian memberi isyarat kepada Bobby dan beberapa ajudannya yang lain untuk pergi dari rumah itu.

"M–Mas!" panggil Lestari ketika langkah Rayyan hampir melewati teras rumah. Wanita muda itu melangkah cepat menyusul sang suami.

Rayyan menoleh ke belakang.

"Mas, makasih udah bolehin aku nginep di sini dulu." Lestari mengulurkan tangan hendak menyalami Rayyan.

Awalnya Rayyan menatap tangan sang istri dengan heran. Dulu istri pertamanya tidak pernah seperti itu. Dengan ragu ia menyambut uluran tangan Lestari. Punggung telapak tangannya pun dicium oleh sang istri. Kembali darah sang pria terasa berdesir hangat.

"Assalamualaikum, Mas," ucap Lestari dengan senyum hangatnya. Ia bersyukur mempunyai suami yang meski tampak dingin, tapi sebenarnya pengertian kepada dirinya. Ia berharap Rayyan akan menjadi seperti suami yang ia idamkan selama ini.

"Wa alaikumus sallam," jawab Rayyan singkat. Kemudian lelaki itu berlalu menuju ke kendaraan mewahnya yang sudah menunggu di halaman.

***

Setelah dua malam Lestari menginap di rumah orang tuanya, Rayyan pun menjemput untuk memboyongnya ke rumah yang baru beberapa hari ini dia beli. Ya, lelaki itu sengaja membeli rumah baru yang tidak begitu besar untuk ia tinggali bersama sang istri. Entah mengapa, ia tidak ingin Lestari berada di rumah besarnya.

Lestari tersenyum semringah ketika kakinya melangkah keluar dari mobil. Pandangannya memindai situasi rumah barunya yang tampak cantik juga sederhana. Rumah itu cukup pas baginya, luasnya sekitar 200 m², dengan luas tanah 400 m². Tampak indah dengan warna favoritnya yaitu perpaduan hijau daun pisang dengan hijau toska.

Lestari membayangkan kalau ia akan menanam beberapa tanaman bunga di dalam pot-pot untuk menambah indah dan asri rumahnya ini.

"Ayo, jangan melamun!" seru Rayyan yang menunggu wanitanya memasuki dalam rumah yang pintunya sudah ia bukakan.

"Eh, iya, Mas!" sahut Tari sembari berlari kecil menyusul suaminya.

Rayyan mendengkus melihat tingkah istrinya yang terlihat seperti anak kecil itu.

Sang sopir menurunkan dua buah koper milik Lestari, kemudian memanggulnya membawa benda itu masuk.

Di dalam rumah terlihat sudah lengkap dengan furniture seperti satu set sofa, lemari bufet besar pembatas antara ruang tamu dengan ruang tengah, kemudian ada satu set meja dan kursi makan, setelahnya ruang dapur.

"Selamat datang, Tuan dan Nyonya muda." Sesosok wanita paruh baya dengan hijab abu-abu menyambut kedatangan sang nyonya rumah. Dia adalah asisten rumah tangga yang baru direkrut oleh Rayyan sepekan belakangan, tak lama setelah ia membeli rumah itu.

"Eh, terima kasih, Bu, sambutannya." Lestari mendekati sang wanita tua dan mengulurkan tangan menyalaminya, "kenalkan, aku Tari," ucapnya ramah.

"Ah, iya, Nyonya muda. Saya Nunung, panggil aja Bi Nunung." Wanita paruh baya itu menyambut uluran tangan Lestari.

"Sudah! Sini kamu, Tari!" panggil Rayyan dengan wajah dinginnya itu.

Lestari menghampiri sang suami.

"Letakkan saja di situ kopernya! Kamu boleh keluar!" titah Rayyan kepada sang sopir.

"Baik, Pak," sahut sopir tersebut, kemudian ia melangkah keluar rumah.

Rayyan menggiring sang istri menuju ke sebuah kamar tak jauh dari arah dapur. Ya, ada tiga buah kamar kecil di sekitar sana. Sementara di bagian depan, ada dua kamar lain yang berukuran lebih besar.

"Kamu tidur di sini!" ujar Rayyan seraya membuka salah satu kamar kecil tersebut.

Nunung terlihat menunduk di tempatnya berdiri. Di dalam hati ia tidak paham, mengapa Rayyan menyuruhnya menyiapkan kamar itu. Padahal itu termasuk kamar yang hanya berukuran 3x3 m² saja, seperti kamar pribadinya yang seorang pembantu.

"Mmm, oke, Mas." Meski heran, Lestari mengiyakan saja apa yang sang suami sampaikan.

"Itu!" Rayyan menunjuk sebuah kamar yang terlihat paling besar di arah bagian depan.

Lestari menoleh ke arah yang ditunjuk suaminya.

"Itu kamar saya! Satunya kamar tamu. Dan kamu jangan pernah masuk ke dalam kamar saya, kalau saya tidak mengizinkan. Paham?!"

Deg!

Keheranan Lestari menjadi bertambah dengan hal itu. "Ja–jadi kita nggak satu kamar, Mas?" tanya wanita muda itu dengan sorot mata bingung.

"Kamu akan satu kamar dengan saya, kalau saya yang perintahkan. Sekarang saya mau ke kantor dulu. Masih banyak pekerjaan yang harus saya kerjakan." Rayyan kemudian melenggang menuju ke arah pintu keluar diiringi tatapan Lestari yang sangat keheranan.

.

.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status