"Tuaan ... Tuan! Su–sudah, Tuaaan!" pinta Nunung yang ketakutan di depan pintu kamar mandi. "Kamu utang padaku sejuta buat kemeja yang tadi kamu rusakkan itu!! Besok, kamu harus bayaar!!" Rayyan mendorong tubuh gemetar Lestari dengan kakinya hingga membuat wanita muda itu tersungkur di lantai keramik yang basah. "Astagfirullah," lirih Nunung ikut meringis melihat hal itu.Lestari menangis terisak-isak dengan sangat menyedihkan. Kemudian lelaki kejam tersebut pun melempar selang air ke sembarang tempat. "Berengsek! Aku jadi terlambat gara-gara perempuan tak berguna macam kamu!" serunya sembari melenggang keluar dari kamar mandi tersebut. Sesampai di dalam kamarnya, Rayyan mencengkeram rambut kepalanya sendiri. "Sialaaaan! Aaarghh ...!" Ia terduduk di pinggir tempat tidur besarnya, lalu mengusap wajah dengan dua telapak tangan yang basah. Ia mendongak sambil menarik napas dalam-dalam, mencoba meredam emosinya sendiri. "Ya Allah ... perempuan bangsaa*t ... kamu membuat aku jadi ikut
"Loh, Pak. Memangnya ada apa?" tanya Soni heran dengan perubahan sikap Rayyan yang mendadak. "Wak Isam!" Rayyan memanggil Isam tanpa menjawab pertanyaan Soni. Tergopoh-gopoh Isam menghampiri ke ruang tamu. "Iya, Mas?" "Tolong antar Pak Soni ke luar, Wak!" suruh Rayyan kepada Isam. Soni menatap nanar ke arah sang pengusaha muda nan kaya raya itu. Ia merasa tersinggung karena diusir tanpa penjelasan seperti ini. Akan tetapi, ia cukup tahu diri, ia tidak mau memperpanjang persoalan. Rayyan berhak menolak orang yang mau menyewa rumah itu. Soni pun pergi dari rumah itu dengan rasa kesal dan sekaligus penasaran dengan alasan Rayyan menolaknya. Rayyan berjalan masuk ke dalam ruang tengah, kemudian mendaratkan bobotnya dengan perasaan yang tak keruan. Bagaimana tidak, ia sangat mengenal perempuan yang fotonya ditunjukkan oleh Soni tadi. Perempuan itu adalah seseorang yang pernah begitu dekat baginya. Ya, itu adalah Clara. Wanita yang telah ia ceraikan lima tahun lalu. Wanita c
Setiba Rayyan di rumahnya, ia langsung menuju ke arah bagian belakang. "Eh, Tuan!" Nunung kaget. Ketika ia keluar dari kamar mandi mengambil air untuk mengompres Lestari, tiba-tiba muncul majikannya di depan mata. Rayyan tak menyahut, ia langsung meloyor masuk ke dalam kamar sang istri. Kedua alis tebalnya kontan bertautan satu sama lain. Namun, ia tergamang pada saat melihat Lestari menggigil di pembaringannya. "A–Ampun, Mas ... maafin aku. Aku nggak sengaja, Mas," igau Tari dengan mata terpejam. Tubuhnya meringkuk dalam balutan selimut tebal di sana. Entah mengapa, hati Rayyan merasa sedikit tersentuh melihat pemandangan itu. "Tadi sore Nyonya hampir jatuh pingsan setelah menyiapkan makan malam, Tuan," ungkap Nunung. Rayyan menarik napas berat di tempatnya berdiri. "Sini!" Lelaki arogan itu meminta baskom kecil yang dipegang oleh Nunung. Awalnya sang asisten rumah tangga heran, tetapi akhirnya ia pun menyodorkan apa yang ada di tangannya ke arah sang tuan. "Apa dia sud
Tok! Tok! Tok! Terdengar suara ketukan pintu. Rayyan lalu berseru, "Masuk!" Muncullah Nunung dari balik pintu tersebut. Dahinya sontak mengernyit kencang. Wanita tua itu heran dengan bunga-bunga yang berserakan di atas lantai di ruang tersebut. "Besok pagi aja bereskan itu. Sini makanan saya!" titah Rayyan sambil mendudukkan badannya dari rebahan di pinggir ranjangnya. "Ah, iya, Tuan. Ini nasi dan pepes ikan buatan Nyonya tadi sore," ujar Nunung mendekat, lalu meletakkan sebuah nampan yang berisi nasi serta lauk pauk ke atas nakas di samping ranjang besar sang tuan. "Makasih," ucap Rayyan seraya meraih piring nasinya. Lelaki itu menelan air liur karena penampakan ikan pepes dan aroma harumnya yang begitu menggoda, "Tari sudah disiapkan makannya?" "Sudah, Tuan. Tinggal tunggu Nyonya bangun nanti," sahut Nunung. "Oke. Bibi boleh keluar," pungkas Rayyan sembari mulai memasukkan sesendok makanan ke dalam mulutnya. Nunung pun keluar dari kamar tersebut. "Hmm ... enak s
"Lusa kamu bawa mobil ke rumah saya, Bob." Rayyan memainkan pulpen di tangannya. "Rumah Boss yang mana?" Tukh! "Akh!" Bobby memegang dahinya yang dilempar pulpen oleh sang atasan. Bibirnya maju satu centi karena terasa sedikit sakit di sana. "Ya rumah yang sekarang saya tinggali!" cetus Rayyan kesal. 'Dasar Bos darting! Salahku apa coba? Wong rumahnya memang banyak! Menjak adiknya meninggoy malah makin parah sifat emosiannya!' omel Bobby dalam hati. "Oke, Boss. Jam berapa?" "Nanti saya kabari lagi. Saya sama Tari bakal pindah ke rumah tua," ujar Rayyan menjelaskan. "Oh, gitu? Rumah tua nggak jadi dikontrakkan?" "Nggak jadi. Ternyata yang mau ngontrak itu calon suami Clara. Si Clara yang bakal tinggal di sana." "Wah! Kok, mantan istri Boss mau aja disewain rumah keluarga mantan suaminya?" tanya Bobby heran. Ia tahu betul soal sejarah hubungan sang boss besar dengan mantan istrinya itu. "Mana saya tahu! Bukan urusan saya!" ketus Rayyan cuek. "Ternyata dunia ini s
"Kita mau pindah ke mana, Mas?" tanya Lestari dengan wajah bingung. "Kamu jangan banyak tanya. Saya ini suami, kamu mesti nurut aja, tak perlu banyak cingcong. Intinya kamu kemasin barang-barang kamu, besok tinggal ikut pergi pindah!" Lestari pun menundukkan pandangan. Ia merasa sangat tidak dihargai oleh suaminya. Percuma saja berstatus sebagai istri, tetapi diperlakukan layaknya kacung saja oleh Rayyan. Ia sama sekali tak berhak untuk mendapatkan penjelasan apa pun kalau sudah diperintahkan. "Ini tambahin!" Rayyan menyorong piringnya yang hampir bersih. Seperti biasa, lelaki itu selalu menikmati masakan Lestari yang enak. Bahkan sudah dua hari ini ia sengaja tidak makan malam dulu di luar seperti biasanya, biar terasa lebih nikmat lagi ketika ia makan. Rayyan akan bekerja sampai selesai, baru ia pulang dan makan masakan istrinya. Lagipula lidahnya sudah tidak merasa cocok lagi dengan makanan di luar sana. Ya, untuk apa makan di luar, kalau tidak ada yang seenak makanan di rumah?
"Hahahahaaaa! Yang bener, Boss?" Bobby tertawa sumbang sembari melirik ke arah spion melihat wajah Lestari yang menunduk dalam di sana. Andai kata benar, ia tentu sangat senang menerima wanita secantik Lestari. "Iya!" cetus Rayyan lagi, "tapi langkahi dulu mayatku!" lanjut pria itu yang membuat Bobby akhirnya menurunkan kedua sudut bibirnya. Wajah pria 28 tahun itu pun memerah karena malu. Sontak Lestari pun mengangkat kembali pandangan matanya ke arah wajah sang suami yang hanya di lihat dari arah samping belakang. Entah mengapa, lanjutan omongan suaminya itu membuat amarah yang tadinya menggelegak, seolah padam seketika. 'Ah, Mas ... aku kira kamu sekeji itu padaku ...,' bisik hatinya merasa lega. *** "Kalian tidur di kamar ini berdua!" Nunung dan Lestari berpandang-pandangan satu sama lain. Mereka berdua paham, kamar yang ditunjuk oleh Rayyan itu posisinya paling dekat dapur di rumah tua tersebut. Artinya memang kemungkinan besar adalah untuk pembantu. Akan tetapi, me
"Saya besok pagi-pagi sekali mesti ke bandara karena ada pertemuan dengan klien di Singapur. Saya harus berangkat ke sana. Kalau orang tuamu mau datang ya datang ajalah! Tapi, saya nggak bakalan ngebatalkan keberangkatan demi keluarga kamu itu!" cetus Rayyan. Sungguh, apabila benar Rayyan punya kepentingan sehingga tidak bisa menyambut orang tuanya, Lestari tidak masalah. Hanya saja cara bicara suaminya itu entah mengapa terasa begitu menusuk, hingga istri mana pun pasti akan tersinggung jika seperti itu. "Mmm, iya, Mas. Kalau Mas nggak bisa menemui ibu dan ayah nggak apa-apa. Mas mau aku masakkan apa nanti malam, Mas? Aku tadi pagi lupa tanya," sahut Lestari tetap berusaha bicara sebaik-baiknya kepada sang suami. "Saya sudah bilang tadi, 'kan? Kamu ini, masih muda udah pikun!" cetus Rayyan keras. Nyuut! Kembali hati Lestari seperti ditusuk-tusuk rasanya. Perih. "Saya malam ini nggak pulang. Terserah kamu mau masak apa aja yang mau kamu makan! Jangan sampai kamu nggak ma