"Hahahahaaaa! Yang bener, Boss?" Bobby tertawa sumbang sembari melirik ke arah spion melihat wajah Lestari yang menunduk dalam di sana. Andai kata benar, ia tentu sangat senang menerima wanita secantik Lestari. "Iya!" cetus Rayyan lagi, "tapi langkahi dulu mayatku!" lanjut pria itu yang membuat Bobby akhirnya menurunkan kedua sudut bibirnya. Wajah pria 28 tahun itu pun memerah karena malu. Sontak Lestari pun mengangkat kembali pandangan matanya ke arah wajah sang suami yang hanya di lihat dari arah samping belakang. Entah mengapa, lanjutan omongan suaminya itu membuat amarah yang tadinya menggelegak, seolah padam seketika. 'Ah, Mas ... aku kira kamu sekeji itu padaku ...,' bisik hatinya merasa lega. *** "Kalian tidur di kamar ini berdua!" Nunung dan Lestari berpandang-pandangan satu sama lain. Mereka berdua paham, kamar yang ditunjuk oleh Rayyan itu posisinya paling dekat dapur di rumah tua tersebut. Artinya memang kemungkinan besar adalah untuk pembantu. Akan tetapi, me
"Saya besok pagi-pagi sekali mesti ke bandara karena ada pertemuan dengan klien di Singapur. Saya harus berangkat ke sana. Kalau orang tuamu mau datang ya datang ajalah! Tapi, saya nggak bakalan ngebatalkan keberangkatan demi keluarga kamu itu!" cetus Rayyan. Sungguh, apabila benar Rayyan punya kepentingan sehingga tidak bisa menyambut orang tuanya, Lestari tidak masalah. Hanya saja cara bicara suaminya itu entah mengapa terasa begitu menusuk, hingga istri mana pun pasti akan tersinggung jika seperti itu. "Mmm, iya, Mas. Kalau Mas nggak bisa menemui ibu dan ayah nggak apa-apa. Mas mau aku masakkan apa nanti malam, Mas? Aku tadi pagi lupa tanya," sahut Lestari tetap berusaha bicara sebaik-baiknya kepada sang suami. "Saya sudah bilang tadi, 'kan? Kamu ini, masih muda udah pikun!" cetus Rayyan keras. Nyuut! Kembali hati Lestari seperti ditusuk-tusuk rasanya. Perih. "Saya malam ini nggak pulang. Terserah kamu mau masak apa aja yang mau kamu makan! Jangan sampai kamu nggak ma
"Bagus! Pantes aja Dinar mau ke rumah saya hari ini. Pasti dia mau nyombongin berita itu." Rayyan terkekeh senang. "Ooh, Pak Dinar mau dateng ke rumah Boss?" "Iya, mungkin sekalian mau nengok anak perempuannya." Bobby manggut-manggut. "Mbak Tari kelihatannya jadi istri yang baik ya, Boss? Sering saya lihat dia nyium tangan Boss sebelum Boss pergi," puji Bobby, "aku juga pengen punya istri kayak gitu. Mana cantik banget lagi." "Halah! Baik, baik! Baik apa, kecantikannya buat memperdaya laki-laki? Lihat aja si Gilang itu!" cetus Rayyan tampak kesal. Entah mengapa dirinya tidak suka mendengar Bobby terus saja memuji kecantikan sang istri. Seperti ada yang terbakar di dalam dadanya. "Hmm ... kok, aku jadi ragu kalau Mbak Tari kayak gitu, Boss. Soalnya kalo ketemu saya aja nunduk gitu. Padahal 'kan, aku ganteng gini. Banyak cewek naksir aku, loh. Tapi, Mbak Tari selalu nundukin pandangannya gitu." Plekh! "Auwwh!" Bobby menggosok kepalanya yang dipukul dengan majalah oleh Rayya
"Hai ...! Mr. Suryana!" John Harold menjabat tangan Soni dengan semangat. Wanita cantik dengan tampilan seronok yang sedang bersama Soni langsung membulatkan kedua matanya ketika melihat ke arah Rayyan. Meski hanya sebentar kedua mata mereka berserobok, karena wanita itu langsung mengalihkan pandangan dan berbisik kepada lelaki tua di sampingnya. "Aku mau ke toilet, Mas." Ia gegas berjalan menjauh. Dulu bersama Rayyan, Clara tidak pernah memakai pakaian seterbuka itu karena lelaki itu pasti melarangnya. Kini penampilan Clara tak ubahnya seperti wanita malam murahan bagi Rayyan. Clara mengenakan dress setengah paha berwarna merah cabe, kemudian bahu serta dadanya pun terekspos dengan pakaian model sabrina. Sungguh, Clara memang menarik, tetapi jika ingat dengan pengkhianatannya, maka Rayyan merasa sangat dendam. Soni juga terkesiap ketika menoleh ke arah pria yang ada di hadapan John Harold. "Oh, Pak Rayyan Yudistira. Anda rupanya?" Sejurus kemudian lelaki tua itu mengulurkan
"Boss, kenapa kayaknya diam aja dari kemarin?" tanya Bobby kepada atasannya. Ya, semenjak mereka pulang dari club tadi malam, Rayyan tak banyak bicara. Meskipun memang pria itu mempunyai karakter pendiam, tetapi jika bersama Bobby, Rayyan biasa mencandai bawahannya itu. "Aku cuma kepikiran sama si Clara," sahut Rayyan. Keduanya kini sedang dalam perjalanan menuju ke kediaman Rayyan, setelah perjalanan dari Singapura menggunakan jet pribadi Rayyan. Bobby mencebikkan bibirnya mendengar apa yang sang atasan sampaikan. Sudah ia duga, ini ada hubungannya dengan Clara. "Bagaimana dia bisa menikah dengan Soni? Padahal dulu dia selalu mengincar pria yang muda, yaa ... setidaknya seumuran denganku dan dirinya sendiri," ungkap Rayyan. Bobby melirik sebentar ke arah spion mobil di depannya, dan melihat bayangan sang boss besar. "Oh, gitu, Boss? Dulu seleranya yang lebih muda ya?" tanyanya memastikan. Ia tidak begitu mengenal Clara secara pribadi sebab ia bekerja dengan Rayyan setelah p
"Boss, kita sudah sampai!" Rayyan terkesiap mendengar seruan Bobby. Ia yang tadi melamun pun seolah tersadar dari ingatan buruk masa lalunya. Bobby dan sopir perusahaan keluar dari pintu depan. Sang sopir lalu mengeluarkan koper milik Rayyan dan memanggul benda itu sampai di teras rumah dan di depan pintunya. Rayyan menyusul ke arah sana, dan tiba-tiba pintu rumah terbuka. Ternyata Lestari yang membuka pintu itu. "Mas sudah pulang?" Bibir perempuan itu tersenyum menyambut sang suami. Sedetik saja Rayyan seakan tertegun dengan senyum manis istri cantiknya itu. Kemudian ia tersadar ketika Lestari meraih tangannya dan mencium punggung telapak tangan itu. "Assalamualaikum, Mas," ucap sang wanita. "Wa alaikumus sallam," jawab Rayyan singkat. "Eehh, Mas Rayyan sudah datang ya?" Rayyan terkesiap sebab tiba-tiba muncul dari balik pintu itu, Dinar Abdullah yang disusul oleh istrinya, Nurmala. Pria itu pun menarik kedua sudut bibirnya dengan kagok. "Kalian eh, maksud saya, Ba
Telapak tangan Rayyan menggerayang di atas paha sang wanita yang tertutup dengan kain daster berbahan rayon itu. Sementara Lestari menggenggam tangannya sendiri sembari menahan sensasi yang sangat aneh di dalam dirinya. Tidak pernah ia berada dalam keadaan seperti demikian dengan seorang pria pun sebelumnya. Gerahamnya mengetat, dan bulu romanya kontan berdiri tegak. Sebelah sudut bibir Rayyan tertarik ke atas. "Kenapa?" tanya pria itu dengan tatapan tajam menusuk hingga palung hati sang wanita. Lestari menunduk dalam-dalam. Sungguh daging merah di dalam dadanya terasa berdebar-debar dengan apa yang Rayyan lakukan saat ini. Kemudian Rayyan mengangkat dagu sang wanita, lantas mengarahkan ke wajah yang terlihat sangat takut itu kepadanya. "Kamu sudah pernah ciuman ya?" tebak pria itu sembari membelai bibir kemerahan Lestari dengan ibu jarinya. Lestari menggelengkan kepalanya sangat pelan. Hatinya benar-benar gugup diperlakukan demikian. Ia tidak suka. Rayyan terkekeh. "Bohon
"Mas, tanah saya yang satu lagi sudah di-DP sama orang," ungkap Dinar sembari menarik kedua sudut bibirnya ke atas di sela-sela makan malam mereka. Rayyan menghentikan gerakan makannya sejenak, kemudian menaikkan kedua alisnya menoleh ke arah sang mertua. "Oh, ya?" Pria itu pura-pura baru dengar berita tersebut, padahal ia sudah tahu dari Bobby. Dinar kembali menyunggingkan senyuman semakin lebar. "Iya, Mas. Alhamdulillah, artinya pekerjaan kita yang tertunda bakal bisa dilanjutkan lagi." Nurma dan Lestari hanya menyimak sembari menikmati makan malam mereka. Nurma terlihat ikut tersenyum melihat kebahagiaan di wajah sang suami ketika menceritakan berita gembira itu kepada sang menantu. "Bagus kalau gitu, Pak. Menurut Bapak kapan rencananya kita bisa mulai pembangunan?" tanya Rayyan sembari melanjutkan suapannya. "Nanti bulan depan dia bakal membayar pelunasannya, Mas. Begitu kata orang yang bersangkutan. Setelah itu boleh dimulai pembangunannya, Mas," pungkas Dinar melanjut