Tok! Tok! Tok! Terdengar suara ketukan pintu. Rayyan lalu berseru, "Masuk!" Muncullah Nunung dari balik pintu tersebut. Dahinya sontak mengernyit kencang. Wanita tua itu heran dengan bunga-bunga yang berserakan di atas lantai di ruang tersebut. "Besok pagi aja bereskan itu. Sini makanan saya!" titah Rayyan sambil mendudukkan badannya dari rebahan di pinggir ranjangnya. "Ah, iya, Tuan. Ini nasi dan pepes ikan buatan Nyonya tadi sore," ujar Nunung mendekat, lalu meletakkan sebuah nampan yang berisi nasi serta lauk pauk ke atas nakas di samping ranjang besar sang tuan. "Makasih," ucap Rayyan seraya meraih piring nasinya. Lelaki itu menelan air liur karena penampakan ikan pepes dan aroma harumnya yang begitu menggoda, "Tari sudah disiapkan makannya?" "Sudah, Tuan. Tinggal tunggu Nyonya bangun nanti," sahut Nunung. "Oke. Bibi boleh keluar," pungkas Rayyan sembari mulai memasukkan sesendok makanan ke dalam mulutnya. Nunung pun keluar dari kamar tersebut. "Hmm ... enak s
"Lusa kamu bawa mobil ke rumah saya, Bob." Rayyan memainkan pulpen di tangannya. "Rumah Boss yang mana?" Tukh! "Akh!" Bobby memegang dahinya yang dilempar pulpen oleh sang atasan. Bibirnya maju satu centi karena terasa sedikit sakit di sana. "Ya rumah yang sekarang saya tinggali!" cetus Rayyan kesal. 'Dasar Bos darting! Salahku apa coba? Wong rumahnya memang banyak! Menjak adiknya meninggoy malah makin parah sifat emosiannya!' omel Bobby dalam hati. "Oke, Boss. Jam berapa?" "Nanti saya kabari lagi. Saya sama Tari bakal pindah ke rumah tua," ujar Rayyan menjelaskan. "Oh, gitu? Rumah tua nggak jadi dikontrakkan?" "Nggak jadi. Ternyata yang mau ngontrak itu calon suami Clara. Si Clara yang bakal tinggal di sana." "Wah! Kok, mantan istri Boss mau aja disewain rumah keluarga mantan suaminya?" tanya Bobby heran. Ia tahu betul soal sejarah hubungan sang boss besar dengan mantan istrinya itu. "Mana saya tahu! Bukan urusan saya!" ketus Rayyan cuek. "Ternyata dunia ini s
"Kita mau pindah ke mana, Mas?" tanya Lestari dengan wajah bingung. "Kamu jangan banyak tanya. Saya ini suami, kamu mesti nurut aja, tak perlu banyak cingcong. Intinya kamu kemasin barang-barang kamu, besok tinggal ikut pergi pindah!" Lestari pun menundukkan pandangan. Ia merasa sangat tidak dihargai oleh suaminya. Percuma saja berstatus sebagai istri, tetapi diperlakukan layaknya kacung saja oleh Rayyan. Ia sama sekali tak berhak untuk mendapatkan penjelasan apa pun kalau sudah diperintahkan. "Ini tambahin!" Rayyan menyorong piringnya yang hampir bersih. Seperti biasa, lelaki itu selalu menikmati masakan Lestari yang enak. Bahkan sudah dua hari ini ia sengaja tidak makan malam dulu di luar seperti biasanya, biar terasa lebih nikmat lagi ketika ia makan. Rayyan akan bekerja sampai selesai, baru ia pulang dan makan masakan istrinya. Lagipula lidahnya sudah tidak merasa cocok lagi dengan makanan di luar sana. Ya, untuk apa makan di luar, kalau tidak ada yang seenak makanan di rumah?
"Hahahahaaaa! Yang bener, Boss?" Bobby tertawa sumbang sembari melirik ke arah spion melihat wajah Lestari yang menunduk dalam di sana. Andai kata benar, ia tentu sangat senang menerima wanita secantik Lestari. "Iya!" cetus Rayyan lagi, "tapi langkahi dulu mayatku!" lanjut pria itu yang membuat Bobby akhirnya menurunkan kedua sudut bibirnya. Wajah pria 28 tahun itu pun memerah karena malu. Sontak Lestari pun mengangkat kembali pandangan matanya ke arah wajah sang suami yang hanya di lihat dari arah samping belakang. Entah mengapa, lanjutan omongan suaminya itu membuat amarah yang tadinya menggelegak, seolah padam seketika. 'Ah, Mas ... aku kira kamu sekeji itu padaku ...,' bisik hatinya merasa lega. *** "Kalian tidur di kamar ini berdua!" Nunung dan Lestari berpandang-pandangan satu sama lain. Mereka berdua paham, kamar yang ditunjuk oleh Rayyan itu posisinya paling dekat dapur di rumah tua tersebut. Artinya memang kemungkinan besar adalah untuk pembantu. Akan tetapi, me
"Saya besok pagi-pagi sekali mesti ke bandara karena ada pertemuan dengan klien di Singapur. Saya harus berangkat ke sana. Kalau orang tuamu mau datang ya datang ajalah! Tapi, saya nggak bakalan ngebatalkan keberangkatan demi keluarga kamu itu!" cetus Rayyan. Sungguh, apabila benar Rayyan punya kepentingan sehingga tidak bisa menyambut orang tuanya, Lestari tidak masalah. Hanya saja cara bicara suaminya itu entah mengapa terasa begitu menusuk, hingga istri mana pun pasti akan tersinggung jika seperti itu. "Mmm, iya, Mas. Kalau Mas nggak bisa menemui ibu dan ayah nggak apa-apa. Mas mau aku masakkan apa nanti malam, Mas? Aku tadi pagi lupa tanya," sahut Lestari tetap berusaha bicara sebaik-baiknya kepada sang suami. "Saya sudah bilang tadi, 'kan? Kamu ini, masih muda udah pikun!" cetus Rayyan keras. Nyuut! Kembali hati Lestari seperti ditusuk-tusuk rasanya. Perih. "Saya malam ini nggak pulang. Terserah kamu mau masak apa aja yang mau kamu makan! Jangan sampai kamu nggak ma
"Bagus! Pantes aja Dinar mau ke rumah saya hari ini. Pasti dia mau nyombongin berita itu." Rayyan terkekeh senang. "Ooh, Pak Dinar mau dateng ke rumah Boss?" "Iya, mungkin sekalian mau nengok anak perempuannya." Bobby manggut-manggut. "Mbak Tari kelihatannya jadi istri yang baik ya, Boss? Sering saya lihat dia nyium tangan Boss sebelum Boss pergi," puji Bobby, "aku juga pengen punya istri kayak gitu. Mana cantik banget lagi." "Halah! Baik, baik! Baik apa, kecantikannya buat memperdaya laki-laki? Lihat aja si Gilang itu!" cetus Rayyan tampak kesal. Entah mengapa dirinya tidak suka mendengar Bobby terus saja memuji kecantikan sang istri. Seperti ada yang terbakar di dalam dadanya. "Hmm ... kok, aku jadi ragu kalau Mbak Tari kayak gitu, Boss. Soalnya kalo ketemu saya aja nunduk gitu. Padahal 'kan, aku ganteng gini. Banyak cewek naksir aku, loh. Tapi, Mbak Tari selalu nundukin pandangannya gitu." Plekh! "Auwwh!" Bobby menggosok kepalanya yang dipukul dengan majalah oleh Rayya
"Hai ...! Mr. Suryana!" John Harold menjabat tangan Soni dengan semangat. Wanita cantik dengan tampilan seronok yang sedang bersama Soni langsung membulatkan kedua matanya ketika melihat ke arah Rayyan. Meski hanya sebentar kedua mata mereka berserobok, karena wanita itu langsung mengalihkan pandangan dan berbisik kepada lelaki tua di sampingnya. "Aku mau ke toilet, Mas." Ia gegas berjalan menjauh. Dulu bersama Rayyan, Clara tidak pernah memakai pakaian seterbuka itu karena lelaki itu pasti melarangnya. Kini penampilan Clara tak ubahnya seperti wanita malam murahan bagi Rayyan. Clara mengenakan dress setengah paha berwarna merah cabe, kemudian bahu serta dadanya pun terekspos dengan pakaian model sabrina. Sungguh, Clara memang menarik, tetapi jika ingat dengan pengkhianatannya, maka Rayyan merasa sangat dendam. Soni juga terkesiap ketika menoleh ke arah pria yang ada di hadapan John Harold. "Oh, Pak Rayyan Yudistira. Anda rupanya?" Sejurus kemudian lelaki tua itu mengulurkan
"Boss, kenapa kayaknya diam aja dari kemarin?" tanya Bobby kepada atasannya. Ya, semenjak mereka pulang dari club tadi malam, Rayyan tak banyak bicara. Meskipun memang pria itu mempunyai karakter pendiam, tetapi jika bersama Bobby, Rayyan biasa mencandai bawahannya itu. "Aku cuma kepikiran sama si Clara," sahut Rayyan. Keduanya kini sedang dalam perjalanan menuju ke kediaman Rayyan, setelah perjalanan dari Singapura menggunakan jet pribadi Rayyan. Bobby mencebikkan bibirnya mendengar apa yang sang atasan sampaikan. Sudah ia duga, ini ada hubungannya dengan Clara. "Bagaimana dia bisa menikah dengan Soni? Padahal dulu dia selalu mengincar pria yang muda, yaa ... setidaknya seumuran denganku dan dirinya sendiri," ungkap Rayyan. Bobby melirik sebentar ke arah spion mobil di depannya, dan melihat bayangan sang boss besar. "Oh, gitu, Boss? Dulu seleranya yang lebih muda ya?" tanyanya memastikan. Ia tidak begitu mengenal Clara secara pribadi sebab ia bekerja dengan Rayyan setelah p