Share

Bab 7

"M–Mas, tunggu dulu!" panggil Lestari mendekati suaminya.

"Apa lagi?" tanya Rayyan ketus sambil menghentikan langkahnya.

"Aku nggak ngerti, Mas. Bukannya kita ini suami-istri. Kenapa kok, aku dan Mas tidurnya misah?" Sungguh saat ini di kepala Lestari dipenuhi oleh tanda tanya besar.

Rayyan tersenyum sinis. "Kamu pikir saya nerima kamu karena apa, heh? Kamu itu cuma tebusan utang ayahmu! Kamu harus turuti semua apa kata saya, dan jadilah istri yang penurut. Paham?!"

"Tap–tapi, Mas."

"Cukup! Saya nggak ada waktu buat menjelaskan banyak hal sekarang. Nanti saya akan jelaskan apa-apa hak dan kewajiban kamu di rumah ini. Sekarang saya harus ke kantor!" Rayyan pun kembali melangkahkan kaki keluar rumahnya.

Dada Lestari terasa sesak seketika. Ia bingung, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa. Ya, dia sadar kalau dirinya hanya menjadi alat untuk menjeda pembayaran utang ayahnya. Namun, sungguh ia tidak menyangka kalau akan dianggap rendah seperti ini oleh suami yang ia sangka sebagai lelaki dewasa yang akan bersikap pengertian serta peduli terhadap dirinya.

"Nyonya ...," panggil Nunung kepada istri tuannya.

Dengan wajah sendu, Tari menoleh ke arah sang asisten.

"Nyonya maaf, saya juga heran kenapa tuan menyuruh saya menyiapkan kamar itu kemarin. Katanya itu memang untuk nyonya. Saya nggak berani bertanya kenapa kok, beda kamar dengan tuan."

"Hmm, ya sudah, Bi. Nggak apa-apa. Aku biasa kok, tidur sendirian." Lestari tersenyum getir.

Nunung pun membalas senyum itu dengan anggukan.

'Sudahlah, nggak usah dipikirkan. Toh, aku juga nggak siap sebenarnya menikah dengan orang asing seperti Mas Rayyan. Anggap saja ini jeda untuk aku bisa mengenal dia lebih jauh lagi nanti,' tukas Tari di dalam hati, menghibur diri sendiri.

*

Malam pun tiba. Jam dinding telah menunjukkan pukul 22.00 WIB.

"Mana Tari?" tanya Rayyan kepada Nunung sembari duduk tersandar di atas sofa ruang tengah rumahnya.

"Sudah masuk kamar sehabis makan malam tadi, Tuan," jawab Nunung yang barusan selesai membereskan perlengkapan dapur.

"Panggilkan dia sekarang!"

"Ta–pi mungkin Nyonya muda sudah tidur, Tuan," sahut Nunung lagi.

"Aku suruh bangunkan!" bentak Rayyan tidak mau tahu.

"Ba–baik, Tuan." Dengan cepat Nunung berlari menuju ke kamar Lestari dan mengetuk pintunya.

Cukup lama asisten rumah tangga itu mengetuk, karena memang Lestari sudah tertidur lelap.

Akan tetapi, akhirnya wanita muda itu pun muncul dengan wajah yang kuyu karena masih mengantuk. "Ada apa, Bi?" tanya Lestari sambil mengucek kedua matanya.

"Dipanggil Tuan, Nyonya," jawab Nunung apa adanya.

"Oh, Mas Rayyan sudah pulang?"

Nunung mengangguk. "Ada di ruang tengah, Nyonya."

Lestari lalu mengikat rambut sepinggangnya yang tergerai. Kemudian ia melangkah menuju ruang keluarga.

Rayyan melirik ke arah sang istri ketika wanita itu mendekat. Sungguh, ia melihat wanita muda itu semakin bertambah cantik saja dengan daster batik lengan panjang tanpa hijab seperti itu. 'Rambutnya hitam, panjang, dan bagus sekali,' pujinya di dalam hati.

"Mas sudah pulang?" Lestari menyapa sang suami yang masih tersandar setengah berbaring di sofa. Lestari meraih tangan sang suami dan mencium punggung tangan itu sambil sedikit membungkuk.

"Sudah tahu masih tanya," cetus pria itu, "ambilkan air hangat untuk merendam kakiku sekarang."

Kedua alis Tari bertautan. Ia mencoba mencerna apa yang sang suami perintahkan. Ia masih belum bisa berpikir jernih karena baru saja terkejut bangun.

"Kamu denger nggak?!" bentak Rayyan tiba-tiba.

Tari terlonjak kaget. "De–dengar, Mas. Sebentar aku ambilkan." Sungguh, dia menjadi takut terhadap Rayyan kini. Mengapa lelaki itu bicara dengan membentak-bentak terus? Sebelumnya meski selalu dingin, pria itu tidak semengerikan ini sikapnya.

Lestari berjalan menuju ke dapur, ia dibantu oleh Nunung yang menunjukkan di mana baskom. Wanita tua itu lalu menyiapkan air untuk dijerang sebentar di atas kompor.

"Biarkan dia kerjakan sendiri, Bi!" teriak Rayyan yang bisa melihat gerak-gerik kedua wanita beda generasi di ruang dapur itu dari tempatnya bersandar.

"I–iya, Tuan!" jawab Nunung yang akhirnya memilih diam dan berdiri saja di dekat meja kompor di sana.

Lestari kemudian melanjutkan apa yang tadi dikerjakan Nunung. Ia menjerang sebentar air keran yang sudah dimasukkan ke dalam panci kecil.

Ketika mendidih, air itu pun Tari tuangkan ke dalam baskom, kemudian ia campur dengan air keran yang dingin. Setelah itu, ia meraba air dan memperkirakan suhunya.

Ketika dirasa cukup hangatnya, wanita muda itu segera membawa baskom berisi air tersebut ke hadapan sang suami. "Ini, Mas." Ia meletakkan baskom di atas lantai di depan kaki Rayyan.

"Bukakan sepatuku. Gosok-gosok dan pijat-pijat kakiku dalam air."

Lestari hanya menurut. Ia lalu berlutut dan melakukan apa yang sang suami perintahkan yakni membukakan sepatu, lalu melipat kedua celana lelaki itu sampai hampir sebatas lutut supaya tidak basah terkena air.

Rayyan melirik ke arah sang istri di hadapannya. Kemudian ia menikmati belaian serta pijatan tangan Lestari di kakinya. Meski sedikit geli dan membuat sensasi aneh di dirinya, tetapi terasa nikmat sekali pijatan wanita cantik itu.

"Lain kali kalau aku belum pulang, kamu jangan tidur dulu, paham?"

Lestari mendongak ke arah suaminya. "Maaf, tadi aku udah ngantuk banget, Mas," jawab perempuan itu.

"Aku nggak mau dengar alasan!" sergah Rayyan yang membuat Tari kembali terlonjak.

"Ba–baik, Mas." Lestari menunduk dalam. Jantungnya berdebar-debar karena berkali-kali kaget akibat suara keras suaminya.

"Pijat sampai ke betis."

Lestari pun melakukan apa yang dititahkan. Dengan ragu ia merasakan sensasi aneh karena menyentuh kaki berbulu lebat itu. Ini pertama kalinya ia menyentuh kaki lelaki lain selain kaki ayahnya. Ya, ia biasa memijat tubuh, tangan, dan kaki sang ayah ketika di rumahnya.

Sementara Rayyan, ia sampai memejamkan mata menikmati pijatan nyaman sang istri.

Setelah sekitar lima belas menit kakinya digosok dan dipijat oleh istrinya. Rayyan merasa lelahnya mereda. 'Lumayan juga ada pembantu pribadi seperti ini,' ujarnya membatin. "Sudah! Ambil handuk dan lap kaki saya!" suruhnya pada Tari.

"Di mana handuknya, Mas?" tanya wanita muda yang memang masih belum tahu di mana saja barang-barang tersimpan di rumah itu.

"Tanya Bi Nunung! Besok-besok kamu harus siapkan semuanya. Jangan sampai saya nunggu lama!"

"Iya, Mas." Lestari pun bangkit, lalu mendekati Nunung yang sudah mengambilkan handuk bersih dari sebuah bufet penyimpanan di ruang setrika.

"Di mana tadi taruhnya, Bi?" tanya Lestari kepada Nunung.

"Di situ, Nyonya." Nunung menunjuk ke arah bufet dalam ruang setrika.

"Oh, iya." Lestari pun berbalik.

"Cepat!! Lama sekali gerakanmu itu!!"

Kembali Lestari terkejut dengan teriakan itu. Bergegas ia berlari kecil menghampiri suaminya lagi.

Rayyan melirik ke arah sang istri yang kembali berlutut. Tersingkap sedikit betis mulus sang wanita muda membuat darah lelaki itu berdesir hangat karena pemandangan indah di hadapannya.

.

.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status