"M–Mas, tunggu dulu!" panggil Lestari mendekati suaminya.
"Apa lagi?" tanya Rayyan ketus sambil menghentikan langkahnya. "Aku nggak ngerti, Mas. Bukannya kita ini suami-istri. Kenapa kok, aku dan Mas tidurnya misah?" Sungguh saat ini di kepala Lestari dipenuhi oleh tanda tanya besar. Rayyan tersenyum sinis. "Kamu pikir saya nerima kamu karena apa, heh? Kamu itu cuma tebusan utang ayahmu! Kamu harus turuti semua apa kata saya, dan jadilah istri yang penurut. Paham?!" "Tap–tapi, Mas." "Cukup! Saya nggak ada waktu buat menjelaskan banyak hal sekarang. Nanti saya akan jelaskan apa-apa hak dan kewajiban kamu di rumah ini. Sekarang saya harus ke kantor!" Rayyan pun kembali melangkahkan kaki keluar rumahnya. Dada Lestari terasa sesak seketika. Ia bingung, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa. Ya, dia sadar kalau dirinya hanya menjadi alat untuk menjeda pembayaran utang ayahnya. Namun, sungguh ia tidak menyangka kalau akan dianggap rendah seperti ini oleh suami yang ia sangka sebagai lelaki dewasa yang akan bersikap pengertian serta peduli terhadap dirinya. "Nyonya ...," panggil Nunung kepada istri tuannya. Dengan wajah sendu, Tari menoleh ke arah sang asisten. "Nyonya maaf, saya juga heran kenapa tuan menyuruh saya menyiapkan kamar itu kemarin. Katanya itu memang untuk nyonya. Saya nggak berani bertanya kenapa kok, beda kamar dengan tuan." "Hmm, ya sudah, Bi. Nggak apa-apa. Aku biasa kok, tidur sendirian." Lestari tersenyum getir. Nunung pun membalas senyum itu dengan anggukan. 'Sudahlah, nggak usah dipikirkan. Toh, aku juga nggak siap sebenarnya menikah dengan orang asing seperti Mas Rayyan. Anggap saja ini jeda untuk aku bisa mengenal dia lebih jauh lagi nanti,' tukas Tari di dalam hati, menghibur diri sendiri. * Malam pun tiba. Jam dinding telah menunjukkan pukul 22.00 WIB. "Mana Tari?" tanya Rayyan kepada Nunung sembari duduk tersandar di atas sofa ruang tengah rumahnya. "Sudah masuk kamar sehabis makan malam tadi, Tuan," jawab Nunung yang barusan selesai membereskan perlengkapan dapur. "Panggilkan dia sekarang!" "Ta–pi mungkin Nyonya muda sudah tidur, Tuan," sahut Nunung lagi. "Aku suruh bangunkan!" bentak Rayyan tidak mau tahu. "Ba–baik, Tuan." Dengan cepat Nunung berlari menuju ke kamar Lestari dan mengetuk pintunya. Cukup lama asisten rumah tangga itu mengetuk, karena memang Lestari sudah tertidur lelap. Akan tetapi, akhirnya wanita muda itu pun muncul dengan wajah yang kuyu karena masih mengantuk. "Ada apa, Bi?" tanya Lestari sambil mengucek kedua matanya. "Dipanggil Tuan, Nyonya," jawab Nunung apa adanya. "Oh, Mas Rayyan sudah pulang?" Nunung mengangguk. "Ada di ruang tengah, Nyonya." Lestari lalu mengikat rambut sepinggangnya yang tergerai. Kemudian ia melangkah menuju ruang keluarga. Rayyan melirik ke arah sang istri ketika wanita itu mendekat. Sungguh, ia melihat wanita muda itu semakin bertambah cantik saja dengan daster batik lengan panjang tanpa hijab seperti itu. 'Rambutnya hitam, panjang, dan bagus sekali,' pujinya di dalam hati. "Mas sudah pulang?" Lestari menyapa sang suami yang masih tersandar setengah berbaring di sofa. Lestari meraih tangan sang suami dan mencium punggung tangan itu sambil sedikit membungkuk. "Sudah tahu masih tanya," cetus pria itu, "ambilkan air hangat untuk merendam kakiku sekarang." Kedua alis Tari bertautan. Ia mencoba mencerna apa yang sang suami perintahkan. Ia masih belum bisa berpikir jernih karena baru saja terkejut bangun. "Kamu denger nggak?!" bentak Rayyan tiba-tiba. Tari terlonjak kaget. "De–dengar, Mas. Sebentar aku ambilkan." Sungguh, dia menjadi takut terhadap Rayyan kini. Mengapa lelaki itu bicara dengan membentak-bentak terus? Sebelumnya meski selalu dingin, pria itu tidak semengerikan ini sikapnya. Lestari berjalan menuju ke dapur, ia dibantu oleh Nunung yang menunjukkan di mana baskom. Wanita tua itu lalu menyiapkan air untuk dijerang sebentar di atas kompor. "Biarkan dia kerjakan sendiri, Bi!" teriak Rayyan yang bisa melihat gerak-gerik kedua wanita beda generasi di ruang dapur itu dari tempatnya bersandar. "I–iya, Tuan!" jawab Nunung yang akhirnya memilih diam dan berdiri saja di dekat meja kompor di sana. Lestari kemudian melanjutkan apa yang tadi dikerjakan Nunung. Ia menjerang sebentar air keran yang sudah dimasukkan ke dalam panci kecil. Ketika mendidih, air itu pun Tari tuangkan ke dalam baskom, kemudian ia campur dengan air keran yang dingin. Setelah itu, ia meraba air dan memperkirakan suhunya. Ketika dirasa cukup hangatnya, wanita muda itu segera membawa baskom berisi air tersebut ke hadapan sang suami. "Ini, Mas." Ia meletakkan baskom di atas lantai di depan kaki Rayyan. "Bukakan sepatuku. Gosok-gosok dan pijat-pijat kakiku dalam air." Lestari hanya menurut. Ia lalu berlutut dan melakukan apa yang sang suami perintahkan yakni membukakan sepatu, lalu melipat kedua celana lelaki itu sampai hampir sebatas lutut supaya tidak basah terkena air. Rayyan melirik ke arah sang istri di hadapannya. Kemudian ia menikmati belaian serta pijatan tangan Lestari di kakinya. Meski sedikit geli dan membuat sensasi aneh di dirinya, tetapi terasa nikmat sekali pijatan wanita cantik itu. "Lain kali kalau aku belum pulang, kamu jangan tidur dulu, paham?" Lestari mendongak ke arah suaminya. "Maaf, tadi aku udah ngantuk banget, Mas," jawab perempuan itu. "Aku nggak mau dengar alasan!" sergah Rayyan yang membuat Tari kembali terlonjak. "Ba–baik, Mas." Lestari menunduk dalam. Jantungnya berdebar-debar karena berkali-kali kaget akibat suara keras suaminya. "Pijat sampai ke betis." Lestari pun melakukan apa yang dititahkan. Dengan ragu ia merasakan sensasi aneh karena menyentuh kaki berbulu lebat itu. Ini pertama kalinya ia menyentuh kaki lelaki lain selain kaki ayahnya. Ya, ia biasa memijat tubuh, tangan, dan kaki sang ayah ketika di rumahnya. Sementara Rayyan, ia sampai memejamkan mata menikmati pijatan nyaman sang istri. Setelah sekitar lima belas menit kakinya digosok dan dipijat oleh istrinya. Rayyan merasa lelahnya mereda. 'Lumayan juga ada pembantu pribadi seperti ini,' ujarnya membatin. "Sudah! Ambil handuk dan lap kaki saya!" suruhnya pada Tari. "Di mana handuknya, Mas?" tanya wanita muda yang memang masih belum tahu di mana saja barang-barang tersimpan di rumah itu. "Tanya Bi Nunung! Besok-besok kamu harus siapkan semuanya. Jangan sampai saya nunggu lama!" "Iya, Mas." Lestari pun bangkit, lalu mendekati Nunung yang sudah mengambilkan handuk bersih dari sebuah bufet penyimpanan di ruang setrika. "Di mana tadi taruhnya, Bi?" tanya Lestari kepada Nunung. "Di situ, Nyonya." Nunung menunjuk ke arah bufet dalam ruang setrika. "Oh, iya." Lestari pun berbalik. "Cepat!! Lama sekali gerakanmu itu!!" Kembali Lestari terkejut dengan teriakan itu. Bergegas ia berlari kecil menghampiri suaminya lagi. Rayyan melirik ke arah sang istri yang kembali berlutut. Tersingkap sedikit betis mulus sang wanita muda membuat darah lelaki itu berdesir hangat karena pemandangan indah di hadapannya. . .Lestari meraih kaki kanan sang suami dan meletakkan di atas pahanya yang sudah terlapis dengan handuk. Kemudian ia mengelap-elap kaki tersebut hingga kering. Berikutnya kaki sebelah lagi. "Sudah, Mas," ucapnya setelah selesai. Ia mendongak melihat ke arah sang suami. Rayyan lalu bangkit menuju ke ruang makan. "Saya mau makan. Siapkan!" Nunung berlari kecil dan bergerak hendak meraih makanan dan memanaskannya kembali. Ia heran, karena biasanya sang tuan tidak pernah makan malam di rumah karena selalu pulang larut malam. dan tentu saja ini sudah lewat waktu normal makan malam. "Bi!" cetus Rayyan memanggil Nunung. "Iya, Tuan?" Nunung menoleh ke arah majikannya. "Biar dia yang lakukan. Bibi tidur aja sana!" Nunung terlihat bingung menoleh ke arah Lestari yang sedang membuang air baskom bekas kaki suaminya ke dalam wastafel, kemudian kembali menoleh lagi ke arah tuannya. Rayyan mengambil duduk di kursi makan utama tanpa bicara lagi. Lestari yang mendengar ucapan sang sua
Lestari benar-benar bingung dengan sikap Rayyan. Mengapa dirinya yang mesti mengerjakan semua itu padahal Rayyan sudah memiliki asisten rumah tangga. "Ta–Tapi, Tuan ... itu semua bukannya kerjaan saya?" sela Nunung takut-takut. Pertanyaan wanita tua itu mewakili tanya di benak Lestari. "Mulai sekarang Bibi tugasnya hanya membersihkan kamar saya! Sementara yang lainnya ... itu dia yang kerjakan!" seru Rayyan. "M–Mas ... aku nggak masalah Mas suruh mengerjakan semuanya. Ta–tapi kenapa mesti kasar seperti ini? Aku ini istrimu, Mas," pungkas Lestari sambil menahan genangan air yang mendesak hampir tumpah dari pelupuk matanya. "Bagus kalau kamu nggak masalah mengerjakan semuanya. Itu memang tugas seorang istri! Kenapa saya bersikap kasar?" Rayyan tersenyum sinis, "itu karena kamu dan keluargamu sendiri!" Lelaki itu pun berbalik kemudian melangkah lebar menuju ke arah kamarnya. "Mas! Mas, tunggu!" Lestari mengejar sang suami dan berusaha menangkap lengan lelaki itu. Sekali lagi Ra
Setelah mandi dan merapikan diri, Rayyan bersiap untuk sarapan. Ia melenggang menuju ke ruang makan. Setiba di ruang makan lelaki itu melihat Lestari sedang mengambil makanan. "Tunggu!" serunya menahan gerakan Lestari. Wanita muda yang baru saja ingin mulai makan pun mengurungkan niat memasukkan makanan itu ke mulutnya. Ia mengangkat pandangannya menatap suami dengan hati yang menciut. Nunung tidak berada di sana, karena sedang menyiram tanaman di taman belakang rumah. Sampai di meja makan, Rayyan menggeser makanan Lestari pindah ke hadapannya. Lelaki itu lalu duduk. "Kamu makan, setelah saya makan!" pungkas pria itu. Lestari hanya bisa terdiam mendengar perintah itu. "Ambilkan saya minum!" Lestari meraih teko, lantas menuangkan isinya ke dalam gelas dan menyerahkan kepada sang suami. Rayyan mengambil gelas tersebut, lalu meminum isinya beberapa tegukan. Kemudian ia lanjut menikmati makanannya. "Mulai sekarang, kamu nggak boleh makan, kalau aku tidak duluan makan. J
Di kantor .... "Gimana, Boss? Asik malam pertama dengan cewek muda dan cantik?" "Ck!" Rayyan berdecak keras mendengar celoteh Bobby, asisten kepercayaannya. "Aku yakin dia sudah dipake sama si Gilang. Makanya bocah itu sampe tergila-gila sama perempuan desa kayak gitu." "Masak, Boss? Katanya Mas Gilang sudah berubah jadi anak baik-baik semenjak dia mengajar SMP di Desa Harapan itu?" "Ya, memang dia jadi lebih rajin shalat. Tapi, tetap saja dulunya dia pernah jadi playboy kelas kecoak," cibir Rayyan. Bobby mengernyitkan dahinya. 'Istilah apa itu? Dasar boss bar-bar.' "Jadi nggak nutup kemungkinan kalo dia pernah makek tu cewek, dan mungkin sangat berkesan sampe-sampe dia jadi begitu bucin dan bertindak gobl*k, terjun ke sungai!" kesal pria tampan itu mengingat adik angkatnya yang tewas mengenaskan. "Jadi, Boss udah buktiin kalo istri Boss itu udah nggak perawan?" Raut wajah Bobby terlihat begitu penasaran. Rayyan melemparkan tatapan nyalang ke arah Bobby. "Hehehehee
"Mas ... Mas Rayyan, bangun." Terdengar sayup-sayup suara wanita tua di pendengaran Rayyan. "Mas Rayyan. Pindah ke dalam kamar, Mas." Srek! Rayyan terkejut dan langsung terduduk di atas karpet permadani di depan televisi. Kedua alisnya bertaut kencang mencoba mencerna apa yang terjadi. "Mas ...." Rayyan menoleh ke arah Ima yang barusan telah membangunkannya. "Iya, Bi?" Matanya memicing. Kemudian tangannya menutup mulut yang menguap lebar. "Mas jangan tidur di sini. Nanti badannya sakit. Pindah ke kamar sana!" suruh Ima kepada lelaki dewasa yang ia kenal pendiam semenjak remaja itu. Rayyan mengangkat tangannya sambil merenggangkan badan hingga terdengar bunyi 'kretek' dari tulang pinggangnya. Ia lalu bangkit berdiri sembari meraih jasnya yang tersampir di atas sofa, lelaki itu pun melirik arloji di pergelangan tangannya. Terlihat sudah pukul sepuluh malam. "Loh, Mas Rayyan mau ke mana?" tanya Ima heran karena Rayyan bergerak menuju ke arah luar rumah, padahal dia me
Dengan ragu Lestari mendekatkan piring tersebut. Lalu ia memakan sisa makanan suaminya dengan perlahan. Sungguh, kalau saja perutnya tidak keroncongan, ia sudah malas untuk makan. Ia tidak berselera lagi karena saat ini sudah benar-benar lewat waktu makan. Namun, ia merasa perutnya sudah perih sekali akibat belum diisi. "Makan yang semangat! Kamu bilang belum makan sejak pagi!" seru Rayyan kepada istrinya. "I–iya, Mas!" jawab Lestari sambil cepat-cepat menyusut air matanya yang hampir terjatuh. "Kamu nangis??" tanya Rayyan dengan senyum sinisnya, "dikasih makan malah nangis. Jadi perempuan tuh, banyak-banyak bersyukuuur!" Lelaki itu mendorong kepala Lestari. "Astagfirullah," ucap Tari refleks. "Bagus! Sering-seringlah minta ampun! Banyak dosa kamu itu!" Rayyan pun bangkit berdiri, lantas ia melenggang masuk ke dalam kamar dan membanting pintunya. Blam! Lestari memejamkan mata menahan sesak di dalam dadanya. Air matanya kembali menitik. Rasanya Lestari sudah ingin muntah saat i
"Tuaan ... Tuan! Su–sudah, Tuaaan!" pinta Nunung yang ketakutan di depan pintu kamar mandi. "Kamu utang padaku sejuta buat kemeja yang tadi kamu rusakkan itu!! Besok, kamu harus bayaar!!" Rayyan mendorong tubuh gemetar Lestari dengan kakinya hingga membuat wanita muda itu tersungkur di lantai keramik yang basah. "Astagfirullah," lirih Nunung ikut meringis melihat hal itu.Lestari menangis terisak-isak dengan sangat menyedihkan. Kemudian lelaki kejam tersebut pun melempar selang air ke sembarang tempat. "Berengsek! Aku jadi terlambat gara-gara perempuan tak berguna macam kamu!" serunya sembari melenggang keluar dari kamar mandi tersebut. Sesampai di dalam kamarnya, Rayyan mencengkeram rambut kepalanya sendiri. "Sialaaaan! Aaarghh ...!" Ia terduduk di pinggir tempat tidur besarnya, lalu mengusap wajah dengan dua telapak tangan yang basah. Ia mendongak sambil menarik napas dalam-dalam, mencoba meredam emosinya sendiri. "Ya Allah ... perempuan bangsaa*t ... kamu membuat aku jadi ikut
"Loh, Pak. Memangnya ada apa?" tanya Soni heran dengan perubahan sikap Rayyan yang mendadak. "Wak Isam!" Rayyan memanggil Isam tanpa menjawab pertanyaan Soni. Tergopoh-gopoh Isam menghampiri ke ruang tamu. "Iya, Mas?" "Tolong antar Pak Soni ke luar, Wak!" suruh Rayyan kepada Isam. Soni menatap nanar ke arah sang pengusaha muda nan kaya raya itu. Ia merasa tersinggung karena diusir tanpa penjelasan seperti ini. Akan tetapi, ia cukup tahu diri, ia tidak mau memperpanjang persoalan. Rayyan berhak menolak orang yang mau menyewa rumah itu. Soni pun pergi dari rumah itu dengan rasa kesal dan sekaligus penasaran dengan alasan Rayyan menolaknya. Rayyan berjalan masuk ke dalam ruang tengah, kemudian mendaratkan bobotnya dengan perasaan yang tak keruan. Bagaimana tidak, ia sangat mengenal perempuan yang fotonya ditunjukkan oleh Soni tadi. Perempuan itu adalah seseorang yang pernah begitu dekat baginya. Ya, itu adalah Clara. Wanita yang telah ia ceraikan lima tahun lalu. Wanita c
"Loh? Nyonya mau pergi ke mana? Memangnya sudah dibeli rumah barunya?" Nunung bertanya heran, sebab sang majikan wanita berpamitan dengan beberapa koper yang sudah disiapkan di dekat mereka."Iya, Bi. Sudah beli rumah. Tapi, ini nggak langsung pindah ke rumah itu. Saya dan Tari mau ke tempat teman saya dulu." Jawaban itu justru keluar dari lisan Rayyan, "Bibi sementara di sini dulu. Kalau kami sudah benar-benar pindah ke rumah yang baru, Bibi akan saya jemput," lanjut lelaki itu menjelaskan."O–oh, gitu, Tuan?" Meski masih merasa heran karena kepergian majikannya yang mendadak seperti ini, Nunung hanya bisa menuruti.Lestari memilih diam dari tadi, sebab ia mengikuti suaminya saja. Saat ini, ia hanya ingin segera pergi dari rumah itu."Bi, aku pamit dulu ya ...." Lestari mendekati sang ART, kemudian memeluk wanita tua yang selama ini telah ia anggap seperti ibunya sendiri."I–iya, Nya. Hati-hati di jalan. Nyonya kabari saya kalau sudah sampai di rumah temen Tuan ya! Nyonya juga jangan
Terdengar suara isakan dari Lestari membuat Rayyan seolah baru tersadar. Lelaki itu kemudian berjalan mendekat ke arah tempat duduk istrinya, lalu merangkul pundak wanita itu. "Tari ... kamu ... nggak apa-apa?" 'Ck! Pertanyaan bodoh! Nggak apa-apa gimana? Dia sedih, Gobl0k!' Batin Rayyan memarahi dirinya sendiri sebab mengucapkan pertanyaan yang ia anggap tidak perlu itu. Lestari bangkit berdiri dengan perlahan-lahan. Kakinya terasa begitu lemas rasanya. Ia lalu berjalan pelan dan lunglai menuju ke arah kamarnya. Rayyan bingung dengan apa yang mesti ia lakukan. Lelaki itu hanya bisa mengiringi sang istri menuju ke arah kamar mereka. Sesampainya di dalam kamar. Lestari menuju ke arah ranjangnya dan merebahkan diri sembari kembali menangis di atas bantalnya. Sungguh, ia merasa begitu sedih, sebab telah membuat Gilang sangat kecewa seperti saat ini. Sementara Rayyan, pria itu hanya bisa duduk di pinggir ranjang tersebut dengan kepala yang terasa berdenyut. Ia benar-benar tidak tahu
"Jadi, kamu sudah ingat tentang Tari?" tanya Rayyan tak mau lagi berbasa-basi."Bi, nggak apa-apa, kok. Bibi lanjutin kerjaan Bibi lagi, gih," bisik Lestari lirih ke arah Nunung di sebelahnya."Eeh, i–iya. Baik, Nyonya," sahut Nunung tergagap. Akan tetapi, wanita tua itu tetap menurut. Ia pun berbalik dan melenggang kembali ke teras belakang rumah.Lestari kembali mengarahkan pandangan ke arah Gilang dan juga Rayyan yang tengah berbicara di sana dengan perasaan yang tidak menentu. 'Apa benar, Mas Gilang sudah mengingat tentang kami?' bisik hatinya bertanya-tanya."Yaaah, begitulah. Aku bahkan sudah ingat kata-kata kamu malam itu, Tari." Gilang terus melihat ke arah sang wanita.Lestari mencoba mengingat apa yang pernah ia katakan. "Kata-kataku?" Rayyan ikut menoleh ke arah sang istri dengan sorot penasaran."Ya, kamu ingat di depan Burhan kamu bilang cinta sama Mas, 'kan? Burhan bilang, nggak lama dari berita kematian Mas, kamu memang batal menikah dengan Fadil, si anak kepala desa i
Meski hatinya terasa panas, Rayyan hanya bisa menyunggingkan senyuman dengan terpaksa. Ia tidak mau rasa cemburunya itu tertangkap oleh sang istri. "Mudah-mudahan aja rumah yang ditawarkan ke Bobby kemarin cocok buatku dan Lestari nanti," lirih ucapan Rayyan pada diri sendiri. Ya, tadi Bobby bilang mereka sudah janjian untuk melakukan survey ke sebuah rumah besok. Lokasi rumah tersebut hanya sekitar dua puluh menit dari kantor pusat perusahaan Rayyan ini. Memang harganya cukup tinggi, tetapi kalau cocok, Rayyan tidak mau menunda lagi untuk mengurus kepindahannya. Ia ingin segera memboyong Lestari menjauh dari Gilang. 'Kalau lebih lama lagi aku melihat kebersamaan mereka. Aku bisa gila!' keluh pria itu membatin. *** "Kakak iparku ini mau ke mana? Pagi-pagi udah cantik aja?" sapa Gilang, ketika langkah kakinya baru sampai di ruang makan. Ia hendak bergabung dengan Rayyan dan Lestari yang sudah lebih dulu berada di sana. Mata Gilang melirik sebentar melihat ekspresi sang kakak le
Lima hari belakangan ini, ketika sedang berada di kantor, Rayyan terlihat gusar dan tidak fokus dengan pekerjaannya. Gilang sudah tiga hari ikut ke kantornya dan belajar bekerja di sana. Ia didampingi langsung oleh Bobby. Lelaki itu terlihat serius dalam belajar. "Bos yakin dengan keputusan akan memberikan posisi CEO pada Mas Gilang?" tanya Bobby kepada sang atasan. Mereka kini sedang berada di ruangan presiden direktur, yakni Rayyan sendiri. Pria itu baru saja menyampaikan kepada asisten setianya untuk mengajari Gilang agar ke depan bisa menduduki posisi CEO yang saat ini dirangkap oleh Rayyan sendiri selain ia juga sebagai owner sekaligus presiden direktur di perusahaan itu. Selama ini Rayyan memang cukup sibuk karena jabatan yang dirangkapnya itu. Meskipun demikian, selama ini ia mampu sebab didukung oleh Bobby yang selalu bisa ia andalkan. "Ya, kamu mesti ajari dia yang bener, Bobb. Gilang sebaiknya tidak usah melanjutkan jadi guru lagi. Aku nggak mau dia dihina orang lagi s
Wanita cantik yang kini wajahnya terlihat agak pucat itu mengangguk cepat. Lestari baru sadar kalau tangannya sendiri terasa sangat dingin ketika sang suami meraih dan menggenggamnya saat ini. "Ini jarimu kenapa?" tanya Rayyan ketika melihat dan meraba jari telunjuk tangan kanan Lestari yang dibalut plaster. "Ini, nggak sengaja kena pisau, Mas. Nggak apa-apa, kok! Luka kecil aja." "Kamu lain kali hati-hati," pesan sang suami. Lestari tersenyum kikuk ketika sadar kalau sedari tadi Gilang mencuri-curi pandang ke arahnya. "A–ku siapin makan siang dulu, Mas," ujarnya kepada sang suami seraya berbalik badan dan langsung berjalan ke arah dapur menyusul Nunung. Rayyan menyembunyikan helaan napasnya ketika melihat punggung sang istri yang menjauh. Di dalam hati entah mengapa ia merasa timbul kesedihan. Ia menebak kalau benar, sang istri sepertinya masih menyimpan perasaan kepada adik angkatnya. "Naah, ini diaa! Terima kasih, Bi Nunung yang caeeem ...!" seru Bobby menarik Rayyan kembali
"Kenapa sih, Nya? Nyonya sejak pagi tadi keliatan nggak fokus gitu?" tanya Nunung ketika Lestari baru saja menumpahkan air yang ia tuang dari sebuah teko. Sebelumnya Lestari juga tak sengaja mengiris jarinya sendiri ketika menyiangi sayuran. Keduanya memasak lebih banyak hari ini sebab Rayyan tadi malam mengatakan akan membawa Gilang ke rumah tersebut. Ya, sejak itu, entah mengapa Lestari menjadi gugup sendiri. Ia juga heran, sebenarnya apa yang sedang terjadi pada dirinya. Padahal ia yakin, kalau hatinya kini telah dimiliki oleh Rayyan Yudistira, sebagai lelaki yang berstatus suaminya. "E–eh, ma–af, Bi. Biar aku yang bersihkan. Bibi lanjut nata perlengkapan makannya aja!" tukas Lestari sembari meraih gagang pel yang dipegang Nunung dan mulai mengelap air yang membasahi lantai ruang makan tersebut. Nunung pun menghela napas dan melipat bibirnya sejenak. Lalu ia menata piring dan sendok di atas meja makan seperti perintah sang nyonya. "Assalamualaikum." Deg! Degup jantung Lesta
Bobby mencebikkan bibirnya. "Nggak ada, Boss. Makanya aku bilang, kayaknya ingatan Mas Gilang masih setengah-setengah," ujar lelaki itu lagi. Rayyan menghela napas sedikit lega. Akan tetapi, kekhawatiran di wajahnya masih menyelimuti. "Gimana kalau suatu saat dia ingat semuanya, ya, Bobb? Apa yang harus saya katakan soal Tari?" Lelaki tampan itu menatap pelas ke arah sang asisten. Ia berharap bisa mendapatkan pencerahan dari Bobby. "Ya mau gimana. Ini sudah takdir, Boss. Sekarang Boss udah nikahin cewek yang Mas Gilang taksir. Mau nggak mau, Mas Gilang juga mesti menerima itu!" Ucapan Bobby terdengar tanpa beban di telinga Rayyan. Rayyan menunduk, kemudian menekan kepala dengan dua tangannya. Entah mengapa kepalanya kini terasa berdenyut tiba-tiba seperti ini. Pikirannya terasa sangat penuh. "Mbak Tari sendiri kira-kira gimana kalau tahu Mas Gilang sebenarnya masih hidup ya, Boss?" tanya Bobby kepada yang atasan yang wajahnya mulai kusut itu. "Tari sudah tahu." "Hah?!" Bobby tam
Bobby menghela napas panjang. Ia menimbang-nimbang. "Pak, apa nggak bisa diundur bulan depannya lagi ya, kami keluar dari sana?" Bobby hanya ingin mengantisipasi waktu saja. Khawatir kalau nanti ia butuh waktu lebih lama untuk mengurus kepindahan Gilang. "Aduh, Mas, maaf sekali lagi. Kayaknya nggak bisa. Soalnya itu apartemen mau dipake anak orang yang beli itu. Bulan depan tanggal 7, dia sudah masuk kuliah. Jadinya sebelum itu dia harus pindahan dan prepare semua urusan dia secepatnya. Begitu katanya, Mas!" Kembali Bobby menghela napas panjang. "Oh, iyalah, Pak. Saya nanti koordinasi dulu sama sodara saya itu. Nanti saya kabari lagi perkembangannya ke Bapak," ucap lelaki itu akhirnya. "Oke, Mas Bobby. Maaf sekali lagi. Semoga dimudahkan ya, Mas!" Keduanya pun memutuskan sambungan telepon seluler tersebut. "Aku mesti langsung kasih tahu si Boss ini!" seru Bobby sembari menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku jas. Setelah itu, ia langsung menjalankan kembali motor besarnya men