Share

Bab 4

"Jadi, Anda menawarkan anak gadis Anda yang beberapa kali gagal nikah itu kepada saya?" Rayyan mendengkus sembari menatap Dinar dengan tatapan merendahkan.

"Bu–bukan seperti itu, Mas Rayyan. Saya cuma hendak menawarkan ikatan kekerabatan. Dengan hal itu, mungkin Mas Rayyan lebih percaya sama saya, dan mau memberi keringanan waktu untuk saya bisa mengumpulkan uang lagi agar bisnis kita tidak terhenti padahal belum saja dimulai," kilah Dinar Abdullah panjang lebar. Ia melirik ke arah Gunawan, sang pemberi ide.

"Anak Anda masih perawan tidak?"

Seketika saja Dinar mengangkat pandangannya. Sungguh, di dalam hatinya merasa tersinggung dengan pertanyaan seperti itu. "Mak–Maksud Mas Rayyan gimana?"

"Kita sama-sama tahu ... banyak perempuan yang kelihatannya lugu dan polos. Nyatanya sama aja kayak perempuan-perempuan murahan di luar sana. Sudah menggadaikan kehormatannya sendiri atas nama cinta. Bukan begitu, Pak Dinar? Anda sendiri tentu tahulah gimana pergaulan anak muda zaman sekarang."

"Oh, i–iya, Mas Rayyan. Mas memang benar soal zaman yang semakin edan saat ini," pungkas Dinar memahami apa yang Rayyan sampaikan.

"Jadi, putri Anda masih terjaga atau sudah dicicipi mantan pacarnya?" Kembali Rayyan mencecar pertanyaan yang ia curigai sebenarnya.

"Ooh, jelas aja anak saya tidak seperti gadis-gadis di luar sana, Mas. Dia jarang keluar rumah. Kalau keluar palingan hanya ke masjid mengajar anak-anak TPA. Dan dia belum pernah pacaran. Saya tidak pernah mengizinkan dia pacaran, Mas. Ke Nak Fadil aja dia nggak pacaran, langsung saya tunangkan waktu itu," bantah Dinar.

"Oh ya? Tapi, saya dengar-dengar kalau dia pernah punya pacar?"

Dahi Dinar berkerut kencang. "Siapa maksud Mas Rayyan?"

"Siapa namanya, Gun? Bukan Fadil, tapi yang sebelum itu." Rayyan menoleh ke arah Gunawan yang sejak tadi hanya menyimak pembicaraan orang-orang penting di hadapannya.

"Ee–eh, i–itu hanya isu di antara warga aja, Bos. Yang saya tahu, Dek Lestari nggak pernah punya pacar," sahut Gunawan ikut membantah apa yang Rayyan perkirakan.

"Siapa memangnya, Mas Gun?" tanya Dinar penasaran dengan isu yang beredar di masyarakat desanya itu.

"I–tu, Gan. Yang guru honorer yang meninggal dan mayatnya hilang di sungai itu, loh," jawab Gunawan.

Refleks kedua mata tua Dinar membulat. "Oooh, pemuda nggak jelas itu?"

Tampak Rayyan mengeraskan kedua rahangnya. Entah mengapa ia tidak senang dengan sebutan 'pemuda nggak jelas' yang Dinar sebutkan barusan. Akan tetapi, ia hanya diam saja.

"Tari nggak pernah punya hubungan dengan dia, Mas Rayyan. Itu cuma gosip murahan!" cetus Dinar.

"Jadi, Anda yakin putri Anda masih terjaga kesuciannya?"

"Tentu saja. Kalau Mas tidak percaya, biar saya panggil anaknya." Dinar menoleh ke arah dalam rumahnya. "Buuu ...!" panggilnya pada sang istri.

Nurma tergopoh-gopoh menghampiri ke ruang tamu.

"Mana Tari?" tanya Dinar.

"Ada di kamarnya, Yah. Ada apa?" tanya Nurma heran.

"Panggil dia ke sini!" titah pria tua itu.

Nurma menoleh ke arah Rayyan dan bergiliran menatap Gunawan dengan sorot curiga.

"Cepetan, Bu!" seru Dinar.

"Ah, i–ya, Yah!" Nurma pun segera berbalik dan kembali masuk ke dalam.

Tak lama kemudian muncullah Lestari diiringi oleh sang ibu.

"Ayah manggil Tari?" tanya gadis cantik, kembang desa itu.

Terdengar suara yang serak basah milik Lestari.

Suara itu begitu menggoda di telinga Rayyan. Itu pertama kalinya ia mendengar suara gadis cantik tersebut. Namun, entah mengapa dengan cepat lelaki itu mendengkus pelan. Ia memicingkan mata menatap tajam ke arah gadis di depannya. Ada yang terbakar di dalam dadanya karena mengingat sesuatu.

"Duduk sini!" suruh Dinar sembari menunjuk kursi jati di sebelahnya, tepat di seberang tempat duduk Rayyan.

Gunawan mengangguk dan mengulas senyum ramah ketika pandangannya tertumbuk ke mata Lestari serta ibunya. Sementara Rayyan, ekspresi wajahnya masih saja dingin seperti biasanya.

Tari dan sang ibu mendaratkan bobotnya di kursi. Keduanya merasa penasaran apa yang hendak disampaikan oleh Dinar, atau Lelaki tampan tapi arogan di hadapan mereka.

"Gini ... Mas Rayyan mau tahu. Apa kamu pernah berpacaran dengan seorang lelaki sebelum ini?" tanya Dinar membuka omongan kepada putrinya.

Baru saja Lestari ingin membuka mulutnya–

"Hmm, bukan itu intinya," sela Rayyan dengan suara beratnya yang khas membuat semua orang menoleh ke arahnya.

Entah mengapa denyut jantung Lestari berdebar ketika melihat dan mendengar pria itu lebih jelas. Ia merasa gugup berhadapan langsung seperti ini setelah paham kalau pria inilah yang bakal dijodohkan kepadanya, sebagai penawaran agar sang ayah tidak didesak untuk segera melunaskan utang.

"Intinya aku mau tahu, kamu ini masih perawan atau tidak?"

Deg!

Nurma dan Lestari kaget dengan pertanyaan itu. Mereka merasa tersinggung sebab seolah Rayyan menuduh Tari telah melakukan perbuatan nista padahal belum menikah.

"Maksudnya apa Mas Rayyan nanya seperti itu? Anak saya bukan perempuan murahan!" seru Nurma tidak terima.

"Bu," bisik Lestari sambil memegang lutut ibunya. Ia tidak mau sang ibu terpancing emosi.

Dinar tampak mengalihkan pandangan ketika sang istri menoleh ke arahnya dengan tatapan nanar.

"Saya masih perawan, Pak."

Rayyan mendengkus dan langsung tertawa kecil. Ia merasa lucu dengan panggilan yang Lestari sebut untuknya. 'Apa aku kelihatan setua itu?' tanyanya membatin.

Ya, memang usia Lestari masih sangat muda. Umurnya baru menginjak 21 tahun. Sedangkan Rayyan Yudistira sudah 33 tahun. Lelaki itu pernah menikah dulu, tetapi hanya dua tahun usia pernikahannya.

Rayyan menceraikan sang istri sebab kedapatan berselingkuh. Bahkan ia melihat dengan kedua matanya sendiri wanita itu bercinta dengan lelaki lain. Hal itulah yang menyebabkan ia tidak lagi percaya dengan yang namanya cinta. Cinta dan perhatian tulusnya kepada Clara—sang mantan istri—dulu, ternyata tidak membuat ia merasa dicintai, justru ia dikhianati.

"Kenapa, Mas?" Dinar heran mengapa Rayyan tiba-tiba tertawa ketika mendengar putrinya menyatakan kalau ia masih perawan.

"Nggak ... maaf. Saya cuma merasa lucu dengan panggilannya. Katanya mau jadi istri saya. Tapi, panggil 'Pak'." Rayyan kembali tertawa.

"Oooh." Dinar ber'oh' ria dan ikut tersenyum. Ia pikir tadi Rayyan tidak percaya pada putrinya.

"Kalau saya nanti membuktikan dia tidak perawan lagi, saya bakal menceraikannya, bagaimana?"

Kedua rahang Lestari mengeras. Ia benar-benar merasa terhinakan dengan ucapan Rayyan. Namun, ia tidak berani untuk membantah.

"Bapak ... eh, Mas boleh mengetes keperawananku dulu sebelum kita menikah."

Kontan saja semua orang terkejut dan menoleh ke satu arah ketika Lestari mengatakan hal tersebut.

Dinar langsung berdiri dengan tatapan nyalang ke arah putrinya. "Apa-apaan kamu?!"

.

.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status