"Jadi, Anda menawarkan anak gadis Anda yang beberapa kali gagal nikah itu kepada saya?" Rayyan mendengkus sembari menatap Dinar dengan tatapan merendahkan.
"Bu–bukan seperti itu, Mas Rayyan. Saya cuma hendak menawarkan ikatan kekerabatan. Dengan hal itu, mungkin Mas Rayyan lebih percaya sama saya, dan mau memberi keringanan waktu untuk saya bisa mengumpulkan uang lagi agar bisnis kita tidak terhenti padahal belum saja dimulai," kilah Dinar Abdullah panjang lebar. Ia melirik ke arah Gunawan, sang pemberi ide. "Anak Anda masih perawan tidak?" Seketika saja Dinar mengangkat pandangannya. Sungguh, di dalam hatinya merasa tersinggung dengan pertanyaan seperti itu. "Mak–Maksud Mas Rayyan gimana?" "Kita sama-sama tahu ... banyak perempuan yang kelihatannya lugu dan polos. Nyatanya sama aja kayak perempuan-perempuan murahan di luar sana. Sudah menggadaikan kehormatannya sendiri atas nama cinta. Bukan begitu, Pak Dinar? Anda sendiri tentu tahulah gimana pergaulan anak muda zaman sekarang." "Oh, i–iya, Mas Rayyan. Mas memang benar soal zaman yang semakin edan saat ini," pungkas Dinar memahami apa yang Rayyan sampaikan. "Jadi, putri Anda masih terjaga atau sudah dicicipi mantan pacarnya?" Kembali Rayyan mencecar pertanyaan yang ia curigai sebenarnya. "Ooh, jelas aja anak saya tidak seperti gadis-gadis di luar sana, Mas. Dia jarang keluar rumah. Kalau keluar palingan hanya ke masjid mengajar anak-anak TPA. Dan dia belum pernah pacaran. Saya tidak pernah mengizinkan dia pacaran, Mas. Ke Nak Fadil aja dia nggak pacaran, langsung saya tunangkan waktu itu," bantah Dinar. "Oh ya? Tapi, saya dengar-dengar kalau dia pernah punya pacar?" Dahi Dinar berkerut kencang. "Siapa maksud Mas Rayyan?" "Siapa namanya, Gun? Bukan Fadil, tapi yang sebelum itu." Rayyan menoleh ke arah Gunawan yang sejak tadi hanya menyimak pembicaraan orang-orang penting di hadapannya. "Ee–eh, i–itu hanya isu di antara warga aja, Bos. Yang saya tahu, Dek Lestari nggak pernah punya pacar," sahut Gunawan ikut membantah apa yang Rayyan perkirakan. "Siapa memangnya, Mas Gun?" tanya Dinar penasaran dengan isu yang beredar di masyarakat desanya itu. "I–tu, Gan. Yang guru honorer yang meninggal dan mayatnya hilang di sungai itu, loh," jawab Gunawan. Refleks kedua mata tua Dinar membulat. "Oooh, pemuda nggak jelas itu?" Tampak Rayyan mengeraskan kedua rahangnya. Entah mengapa ia tidak senang dengan sebutan 'pemuda nggak jelas' yang Dinar sebutkan barusan. Akan tetapi, ia hanya diam saja. "Tari nggak pernah punya hubungan dengan dia, Mas Rayyan. Itu cuma gosip murahan!" cetus Dinar. "Jadi, Anda yakin putri Anda masih terjaga kesuciannya?" "Tentu saja. Kalau Mas tidak percaya, biar saya panggil anaknya." Dinar menoleh ke arah dalam rumahnya. "Buuu ...!" panggilnya pada sang istri. Nurma tergopoh-gopoh menghampiri ke ruang tamu. "Mana Tari?" tanya Dinar. "Ada di kamarnya, Yah. Ada apa?" tanya Nurma heran. "Panggil dia ke sini!" titah pria tua itu. Nurma menoleh ke arah Rayyan dan bergiliran menatap Gunawan dengan sorot curiga. "Cepetan, Bu!" seru Dinar. "Ah, i–ya, Yah!" Nurma pun segera berbalik dan kembali masuk ke dalam. Tak lama kemudian muncullah Lestari diiringi oleh sang ibu. "Ayah manggil Tari?" tanya gadis cantik, kembang desa itu. Terdengar suara yang serak basah milik Lestari. Suara itu begitu menggoda di telinga Rayyan. Itu pertama kalinya ia mendengar suara gadis cantik tersebut. Namun, entah mengapa dengan cepat lelaki itu mendengkus pelan. Ia memicingkan mata menatap tajam ke arah gadis di depannya. Ada yang terbakar di dalam dadanya karena mengingat sesuatu. "Duduk sini!" suruh Dinar sembari menunjuk kursi jati di sebelahnya, tepat di seberang tempat duduk Rayyan. Gunawan mengangguk dan mengulas senyum ramah ketika pandangannya tertumbuk ke mata Lestari serta ibunya. Sementara Rayyan, ekspresi wajahnya masih saja dingin seperti biasanya. Tari dan sang ibu mendaratkan bobotnya di kursi. Keduanya merasa penasaran apa yang hendak disampaikan oleh Dinar, atau Lelaki tampan tapi arogan di hadapan mereka. "Gini ... Mas Rayyan mau tahu. Apa kamu pernah berpacaran dengan seorang lelaki sebelum ini?" tanya Dinar membuka omongan kepada putrinya. Baru saja Lestari ingin membuka mulutnya– "Hmm, bukan itu intinya," sela Rayyan dengan suara beratnya yang khas membuat semua orang menoleh ke arahnya. Entah mengapa denyut jantung Lestari berdebar ketika melihat dan mendengar pria itu lebih jelas. Ia merasa gugup berhadapan langsung seperti ini setelah paham kalau pria inilah yang bakal dijodohkan kepadanya, sebagai penawaran agar sang ayah tidak didesak untuk segera melunaskan utang. "Intinya aku mau tahu, kamu ini masih perawan atau tidak?" Deg! Nurma dan Lestari kaget dengan pertanyaan itu. Mereka merasa tersinggung sebab seolah Rayyan menuduh Tari telah melakukan perbuatan nista padahal belum menikah. "Maksudnya apa Mas Rayyan nanya seperti itu? Anak saya bukan perempuan murahan!" seru Nurma tidak terima. "Bu," bisik Lestari sambil memegang lutut ibunya. Ia tidak mau sang ibu terpancing emosi. Dinar tampak mengalihkan pandangan ketika sang istri menoleh ke arahnya dengan tatapan nanar. "Saya masih perawan, Pak." Rayyan mendengkus dan langsung tertawa kecil. Ia merasa lucu dengan panggilan yang Lestari sebut untuknya. 'Apa aku kelihatan setua itu?' tanyanya membatin. Ya, memang usia Lestari masih sangat muda. Umurnya baru menginjak 21 tahun. Sedangkan Rayyan Yudistira sudah 33 tahun. Lelaki itu pernah menikah dulu, tetapi hanya dua tahun usia pernikahannya. Rayyan menceraikan sang istri sebab kedapatan berselingkuh. Bahkan ia melihat dengan kedua matanya sendiri wanita itu bercinta dengan lelaki lain. Hal itulah yang menyebabkan ia tidak lagi percaya dengan yang namanya cinta. Cinta dan perhatian tulusnya kepada Clara—sang mantan istri—dulu, ternyata tidak membuat ia merasa dicintai, justru ia dikhianati. "Kenapa, Mas?" Dinar heran mengapa Rayyan tiba-tiba tertawa ketika mendengar putrinya menyatakan kalau ia masih perawan. "Nggak ... maaf. Saya cuma merasa lucu dengan panggilannya. Katanya mau jadi istri saya. Tapi, panggil 'Pak'." Rayyan kembali tertawa. "Oooh." Dinar ber'oh' ria dan ikut tersenyum. Ia pikir tadi Rayyan tidak percaya pada putrinya. "Kalau saya nanti membuktikan dia tidak perawan lagi, saya bakal menceraikannya, bagaimana?" Kedua rahang Lestari mengeras. Ia benar-benar merasa terhinakan dengan ucapan Rayyan. Namun, ia tidak berani untuk membantah. "Bapak ... eh, Mas boleh mengetes keperawananku dulu sebelum kita menikah." Kontan saja semua orang terkejut dan menoleh ke satu arah ketika Lestari mengatakan hal tersebut. Dinar langsung berdiri dengan tatapan nyalang ke arah putrinya. "Apa-apaan kamu?!" . ."Tari ...," lirih Nurma tidak percaya dengan apa yang barusan ia dengar. Sepertinya tidak mungkin putrinya berbicara melantur seperti itu. Masak harus seperti itu dulu hanya untuk membuktikan ucapannya kepada Rayyan? Rayyan menatap ke arah gadis cantik berhijab biru tersebut dengan begitu lekat. 'Huh! Ternyata kamu memang perempuan murahan!' bisik hatinya mencela. "Bu–bukan begitu maksudnya, Yah! Ja–ngan salah paham!" Tari langsung tergagap ketika melihat sang ayah marah dan semua orang menatap aneh ke arahnya. Bahkan Gunawan sampai ternganga mendengar ucapannya tadi. "Maksud kamu apa, Nak?" tanya Nurmala penasaran. "Maksudnya gini, Bu. Bisa aja aku diperiksa dulu ke dokter, untuk membuktikan kalau aku masih perawan gitu. Bukan kayak yang kalian sangkakan. Ya, nggak mungkin juga aku mau berbuat dosa besar itu ...," ujar Lestari menyampaikan maksud omongannya tadi yang bilang kepada Rayyan untuk mengetes keperawanan. "Ooooh." Semua orang ber'oh' ria setelah mendengar penjel
"Saya tidak bisa menginap di sini. Kalau Tari masih mau di sini bersama keluarganya untuk satu atau dua hari, silakan saja," tukas Rayyan kepada keluarga Dinar Abdullah setelah berakhirnya acara resepsi pernikahan. Lestari tersenyum lebar mendengar itu. "Bener boleh, Mas?" "Nggak!" sela Dinar, "Tari sudah jadi istri Mas Rayyan, dia mesti ikut suaminya. Seorang istri wajib mendampingi suaminya." Lestari menoleh ke arah sang ayah. Tadinya ia sudah merasa senang dengan keputusan sang suami yang membolehkannya menginap barang dua hari pertama ini. "Hmm, ya itu terserah," jawab Rayyan, "saya mesti ke kantor pagi-pagi besok, karena ada rapat penting. Jadi, malam ini harus kembali ke kediaman saya sendiri." "Ayah, Tari di sini dulu ya dua malam ini. Soalnya mmm, Tari masih mau sama ibu dulu sebelum benar-benar pindah dari rumah ini," pinta Lestari kepada ayahnya dengan wajah memelas. Suara manja Lestari membuat aliran darah Rayyan sedikit berdesir. Apalagi mengingat tadi, sang i
"M–Mas, tunggu dulu!" panggil Lestari mendekati suaminya. "Apa lagi?" tanya Rayyan ketus sambil menghentikan langkahnya. "Aku nggak ngerti, Mas. Bukannya kita ini suami-istri. Kenapa kok, aku dan Mas tidurnya misah?" Sungguh saat ini di kepala Lestari dipenuhi oleh tanda tanya besar. Rayyan tersenyum sinis. "Kamu pikir saya nerima kamu karena apa, heh? Kamu itu cuma tebusan utang ayahmu! Kamu harus turuti semua apa kata saya, dan jadilah istri yang penurut. Paham?!" "Tap–tapi, Mas." "Cukup! Saya nggak ada waktu buat menjelaskan banyak hal sekarang. Nanti saya akan jelaskan apa-apa hak dan kewajiban kamu di rumah ini. Sekarang saya harus ke kantor!" Rayyan pun kembali melangkahkan kaki keluar rumahnya. Dada Lestari terasa sesak seketika. Ia bingung, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa. Ya, dia sadar kalau dirinya hanya menjadi alat untuk menjeda pembayaran utang ayahnya. Namun, sungguh ia tidak menyangka kalau akan dianggap rendah seperti ini oleh suami yang ia sangka sebaga
Lestari meraih kaki kanan sang suami dan meletakkan di atas pahanya yang sudah terlapis dengan handuk. Kemudian ia mengelap-elap kaki tersebut hingga kering. Berikutnya kaki sebelah lagi. "Sudah, Mas," ucapnya setelah selesai. Ia mendongak melihat ke arah sang suami. Rayyan lalu bangkit menuju ke ruang makan. "Saya mau makan. Siapkan!" Nunung berlari kecil dan bergerak hendak meraih makanan dan memanaskannya kembali. Ia heran, karena biasanya sang tuan tidak pernah makan malam di rumah karena selalu pulang larut malam. dan tentu saja ini sudah lewat waktu normal makan malam. "Bi!" cetus Rayyan memanggil Nunung. "Iya, Tuan?" Nunung menoleh ke arah majikannya. "Biar dia yang lakukan. Bibi tidur aja sana!" Nunung terlihat bingung menoleh ke arah Lestari yang sedang membuang air baskom bekas kaki suaminya ke dalam wastafel, kemudian kembali menoleh lagi ke arah tuannya. Rayyan mengambil duduk di kursi makan utama tanpa bicara lagi. Lestari yang mendengar ucapan sang sua
Lestari benar-benar bingung dengan sikap Rayyan. Mengapa dirinya yang mesti mengerjakan semua itu padahal Rayyan sudah memiliki asisten rumah tangga. "Ta–Tapi, Tuan ... itu semua bukannya kerjaan saya?" sela Nunung takut-takut. Pertanyaan wanita tua itu mewakili tanya di benak Lestari. "Mulai sekarang Bibi tugasnya hanya membersihkan kamar saya! Sementara yang lainnya ... itu dia yang kerjakan!" seru Rayyan. "M–Mas ... aku nggak masalah Mas suruh mengerjakan semuanya. Ta–tapi kenapa mesti kasar seperti ini? Aku ini istrimu, Mas," pungkas Lestari sambil menahan genangan air yang mendesak hampir tumpah dari pelupuk matanya. "Bagus kalau kamu nggak masalah mengerjakan semuanya. Itu memang tugas seorang istri! Kenapa saya bersikap kasar?" Rayyan tersenyum sinis, "itu karena kamu dan keluargamu sendiri!" Lelaki itu pun berbalik kemudian melangkah lebar menuju ke arah kamarnya. "Mas! Mas, tunggu!" Lestari mengejar sang suami dan berusaha menangkap lengan lelaki itu. Sekali lagi Ra
Setelah mandi dan merapikan diri, Rayyan bersiap untuk sarapan. Ia melenggang menuju ke ruang makan. Setiba di ruang makan lelaki itu melihat Lestari sedang mengambil makanan. "Tunggu!" serunya menahan gerakan Lestari. Wanita muda yang baru saja ingin mulai makan pun mengurungkan niat memasukkan makanan itu ke mulutnya. Ia mengangkat pandangannya menatap suami dengan hati yang menciut. Nunung tidak berada di sana, karena sedang menyiram tanaman di taman belakang rumah. Sampai di meja makan, Rayyan menggeser makanan Lestari pindah ke hadapannya. Lelaki itu lalu duduk. "Kamu makan, setelah saya makan!" pungkas pria itu. Lestari hanya bisa terdiam mendengar perintah itu. "Ambilkan saya minum!" Lestari meraih teko, lantas menuangkan isinya ke dalam gelas dan menyerahkan kepada sang suami. Rayyan mengambil gelas tersebut, lalu meminum isinya beberapa tegukan. Kemudian ia lanjut menikmati makanannya. "Mulai sekarang, kamu nggak boleh makan, kalau aku tidak duluan makan. J
Di kantor .... "Gimana, Boss? Asik malam pertama dengan cewek muda dan cantik?" "Ck!" Rayyan berdecak keras mendengar celoteh Bobby, asisten kepercayaannya. "Aku yakin dia sudah dipake sama si Gilang. Makanya bocah itu sampe tergila-gila sama perempuan desa kayak gitu." "Masak, Boss? Katanya Mas Gilang sudah berubah jadi anak baik-baik semenjak dia mengajar SMP di Desa Harapan itu?" "Ya, memang dia jadi lebih rajin shalat. Tapi, tetap saja dulunya dia pernah jadi playboy kelas kecoak," cibir Rayyan. Bobby mengernyitkan dahinya. 'Istilah apa itu? Dasar boss bar-bar.' "Jadi nggak nutup kemungkinan kalo dia pernah makek tu cewek, dan mungkin sangat berkesan sampe-sampe dia jadi begitu bucin dan bertindak gobl*k, terjun ke sungai!" kesal pria tampan itu mengingat adik angkatnya yang tewas mengenaskan. "Jadi, Boss udah buktiin kalo istri Boss itu udah nggak perawan?" Raut wajah Bobby terlihat begitu penasaran. Rayyan melemparkan tatapan nyalang ke arah Bobby. "Hehehehee
"Mas ... Mas Rayyan, bangun." Terdengar sayup-sayup suara wanita tua di pendengaran Rayyan. "Mas Rayyan. Pindah ke dalam kamar, Mas." Srek! Rayyan terkejut dan langsung terduduk di atas karpet permadani di depan televisi. Kedua alisnya bertaut kencang mencoba mencerna apa yang terjadi. "Mas ...." Rayyan menoleh ke arah Ima yang barusan telah membangunkannya. "Iya, Bi?" Matanya memicing. Kemudian tangannya menutup mulut yang menguap lebar. "Mas jangan tidur di sini. Nanti badannya sakit. Pindah ke kamar sana!" suruh Ima kepada lelaki dewasa yang ia kenal pendiam semenjak remaja itu. Rayyan mengangkat tangannya sambil merenggangkan badan hingga terdengar bunyi 'kretek' dari tulang pinggangnya. Ia lalu bangkit berdiri sembari meraih jasnya yang tersampir di atas sofa, lelaki itu pun melirik arloji di pergelangan tangannya. Terlihat sudah pukul sepuluh malam. "Loh, Mas Rayyan mau ke mana?" tanya Ima heran karena Rayyan bergerak menuju ke arah luar rumah, padahal dia me