Nur Walis Pelita POV
Jika ditanya perasaan apa yang kumiliki pada Kak June, maka aku menyayanginya. Dia adalah orang luar pertama yang peduli padaku, sayang padaku, bahkan tulus mencintaiku. Kak June adalah malaikat tanpa sayapku. Dia pelindungku. Saat kecil, sejak pindah ke Jakarta aku tidak memiliki teman. Rumah kami berdiri di kawasan elite dan tidak ada anak kecil lain yang kukenal di sekitar kompleks, sangat berbeda ketika kami masih tinggal di Yogyakarta, temanku sangat banyak dan ada di mana-mana. Di Jakarta, Papa melarangku keluar dari rumah selain les dan sekolah. Hari-hariku kuhabiskan untuk bermain boneka dan masak-masakan di dalam rumah atau di taman bersama bibi, sebab kakakku sendiri, Kak Leon, dia tidak pernah mau jika kuajak bermain boneka. Sesekali aku juga bermain dengan Mama saat Mama tidak pergi ke butik atau toko bunganya. Suatu hari, Kak Leon pulang bersama seorang temannya. Dan"Bang, lo ada sesuatu sama Pelita?" Pertanyaan lirih yang baru saja dilontarkan Aldo itu sukses membuat Adhim menghentikan aktivitasnya, mengikat gelang tali hitam dengan bandul batu giok warna hijau di ujung. Laki-laki berambut gondrong itu melirik sekilas ke arah temannya itu lantas meneruskan kegiatannya lagi, tanpa mengatakan sepatah kata pun. Merasa tidak mendapat respons, Aldo mencondongkan badannya ke arah Adhim. Menoleh ke arah pintu sejenak yang tidak sepenuhnya tertutup lantas berbisik lirih ke telinga Adhim setelah yakin tidak ada siapa-siapa di sekitar mereka, "Jangan bilang kalau Pelita adalah cewek itu." Adhim langsung menoleh cepat ke arah Aldo mendengar penuturan laki-laki itu. Mata elangnya menatap ke arah pintu sebentar lantas melihat wajah Aldo lagi. "Apa maksud lo?" tanya Adhim dengan wajah biasa. Namun, ada riak keterkejutan dalam parasnya. Aldo menghela napas. Ia bangkit d
Setya pun segera berlalu. "Kenapa, Pelita?" June langsung melempari Pelita pertanyaan seperginya Setya dari hadapan mereka. "Kenapa kamu menghalangi aku menghajar laki-laki kurang ajar itu?" "Kak, tolong ...," lirih Pelita. June menghela napas sambil mengistirahatkan kedua tangannya di masing-masing pinggang. Dua buah kancing kemeja paling atasnya ia lepaskan serampangan. "Dia udah kurang ajar sama kamu," katanya beberapa saat kemudian, menatap lembut namun dengan suara yang masih bernada tidak terima. "Enggak, Kak." Pelita menggeleng dengan tatapan mata yang seolah memohon pengertian June. June mendesah sambil mengurut pangkal hidung bangirnya menggunakan sebelah tangan, "Aku nggak ngerti lagi sama kamu, Pelita. Bisa-bisanya kamu menyetujui kontrak kerja sama sama orang seperti Setya saat aku ke Singapura kemarin? Kamu seharusnya nggak taken kontrak itu!" Pelita tersenyum simpul
"Dengan keluarga Saudari Pelita?" June hendak pergi dengan seorang perawat untuk mengurus administrasi Pelita saat dokter yang menangani gadis itu keluar dari ruang pemeriksaan dan berujar seperti itu. June yang sudah akan bertolak pun berbalik, menghampiri sang dokter yang berdiri di depan pintu. "Ada apa, Dokter?" tanyanya. Arina yang juga berdiri di sana langsung mendekat ke arah June dan dokter laki-laki berusia empat puluh tahunan itu karena ingin tahu bagaimana keadaan Pelita. "Begini, saya perlu berbicara dengan suaminya. Apakah Anda suaminya?" tanya dokter itu lagi. Dahi June praktis mengernyit mendengarnya. Begitu pula dahi Arina. Kedua insan itu kemudian saling tatap kebingungan. Merasa telah terjadi sesuatu yang aneh, June akhirnya meminta Arina pergi menggantikannya mengurus administrasi Pelita di meja resepsionis bersama perawat yang sebelumnya akan pergi dengannya t
Di dunia ini tidak ada yang benar-benar Pelita percayai selain dirinya sendiri. Sebab semua orang selalu meninggalkannya, pergi, dan mengkhianatinya. Mamanya, Papanya, Leon, June, juga Arina. Semesta selalu mempermainkan Pelita melalui orang-orang yang disayanginya. Pelita tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia hancur. Seolah tidak ada jalan keluar lagi untuknya. Ia bahkan tidak bisa melarikan diri karena apa yang terjadi benar-benar membuat Pelita lumpuh kali ini. "Jawab, Pelita ... siapa ayah anak itu?" June masih menanyakan hal yang sama kepadanya dengan wajah laki-laki jangkung itu yang terlihat terluka dan air mata yang semakin nyata jatuh dari manik cokelatnya. Pelita semakin menundukkan kepala. Ia mencengkeram kain seprai ranjang rumah sakit dengan kedua tangan. Sebelumnya Pelita pikir semuanya akan baik-baik saja. Tidak akan ada sesuatu yang terjadi pada dirinya setelah kejadian itu.
Pelita keluar dari kamar rawatnya setelah menemukan tas kecil berisi ponsel dan dompet miliknya di atas nakas. Ia memakai tas itu dan merasa bersyukur karena tidak menemukan June ataupun Arina di luar saat ia melongok dari dalam kamar. Setelahnya, gadis itu mengayunkan langkah kakinya cepat-cepat menyusuri lorong panjang rumah sakit mencari jalan keluar. Keputusan Pelita sudah final, ia akan pergi. Ke mana pun asal tidak ada seorang pun yang bisa menemukannya. Tidak papanya, tidak kakaknya, tidak June, tidak Arina, dan tidak siapa pun itu yang berniat mencarinya. Soal pekerjaan dan kuliah, Pelita bisa memikirkan itu nanti. Yang penting sekarang dirinya harus pergi. Saat ia berbelok dari satu lorong ke lorong lain yang diyakini Pelita mengarah ke pintu keluar, gadis itu tercekat karena orang yang paling tidak ingin ditemuinya muncul tepat di depannya. Refleks, Pelita langsung memundurkan beberapa kali langkah kakinya.
Di bawah rindang pohon mangga, Aldo terduduk lemas dengan rerumputan hias taman sebagai alas duduknya. Gravitasi seolah sedang memaku laki-laki itu ke bumi sehingga Aldo tidak memiliki tenaga lagi untuk berdiri karena apa yang didengar telinganya beberapa menit lalu. Saat itu, Aldo baru tiba di sebuah rumah sakit Kota Bandung itu untuk menengok salah satu anak di rumah singgahnya yang sakit sekaligus bertemu dengan Adhim. Namun, di tengah perjalanan, ia melihat Arina berjalan terseok di belakang June dengan wajah berantakannya. Gadis berambut kecokelatan itu mengeluarkan air mata. Karena merasa penasaran dengan apa yang terjadi, Aldo pun mengikuti mereka secara diam-diam hingga sampai di taman rumah sakit itu dan mendengar berita mengejutkan yang membuatnya kehilangan energi seperti saat ini. Pelita hamil. Dan dari pembicaraan Arina dan June yang didengarnya, gadis itu sedang mengandung enam minggu sekarang. Aldo tidak bodo
"Apa lo bilang? Brengsek! Lo ngehamilin adek gue?" Leon menerjang June yang ada di depannya lalu mencengkram kuat kerah kemeja navy yang dikenakan temannya itu setelah mendengar berita apa yang June katakan. "Lo sendiri yang janji bakal jagain dia, June!" Leon menggeram dengan gigi bergemerutuk. "Iya. Gue emang ngizinin lo nikah sama adek gue kalau dia mau. Tapi kenapa lo hamilin dia, Bangsat?" Laki-laki itu melayangkan tinjunya ke wajah June. Namun, dengan sigap June menahannya dengan tangan kirinya. "Lo salah paham, Yon," kata June. "Gue nggak ngehamilin, Pelita," lanjutnya. "Bukan gue yang hamilin dia." June mencoba melepas cekalan Leon pada kerah kemejanya. "Bullshit!" Leon misuh tidak percaya. "Kalau bukan elo siapa?" Ia menatap nyalang June yang masih ada di depannya sambil mempererat cengkraman. "Gue sama sekali nggak nyangka, June, lo ... lo udah ngerusak kepercayaan gue sama elo!"
"Apa maksud Kakak?" Tercipta jeda. Pelita menatap sendu laki-laki yang ada di depannya. Gadis itu masih tidak percaya atas apa yang laki-laki itu katakan kepadanya hingga ia melayangkan tanya seperti itu. Beberapa saat kemudian, gadis itu menggeleng, "Enggak. Aku nggak akan ngelakuin itu," katanya. Laki-laki itu menghela napas. "Ini demi kebaikan kamu! Ini demi masa depan kamu!" Pelita kembali menggeleng. "Aku nggak mau!" katanya kekeh. "Denger ..., masa depan kamu masih panjang! Aku nggak akan biarin kamu memiliki anak tanpa suami. Ikutin kata Kakak!" Pelita menggeleng kuat-kuat di atas ranjang rumah sakitnya. "Nggak," keras kepalanya. "Pelita ...." Kali ini seolah ada peringatan dalam suara Leon yang mengudara. Namun, Pelita tetap teguh dengan keputusannya. "Aku nggak mau!" tukas gadis itu. Leon mendesah