"Apa lo bilang? Brengsek! Lo ngehamilin adek gue?"
Leon menerjang June yang ada di depannya lalu mencengkram kuat kerah kemeja navy yang dikenakan temannya itu setelah mendengar berita apa yang June katakan. "Lo sendiri yang janji bakal jagain dia, June!" Leon menggeram dengan gigi bergemerutuk. "Iya. Gue emang ngizinin lo nikah sama adek gue kalau dia mau. Tapi kenapa lo hamilin dia, Bangsat?" Laki-laki itu melayangkan tinjunya ke wajah June. Namun, dengan sigap June menahannya dengan tangan kirinya. "Lo salah paham, Yon," kata June. "Gue nggak ngehamilin, Pelita," lanjutnya. "Bukan gue yang hamilin dia." June mencoba melepas cekalan Leon pada kerah kemejanya. "Bullshit!" Leon misuh tidak percaya. "Kalau bukan elo siapa?" Ia menatap nyalang June yang masih ada di depannya sambil mempererat cengkraman. "Gue sama sekali nggak nyangka, June, lo ... lo udah ngerusak kepercayaan gue sama elo!""Apa maksud Kakak?" Tercipta jeda. Pelita menatap sendu laki-laki yang ada di depannya. Gadis itu masih tidak percaya atas apa yang laki-laki itu katakan kepadanya hingga ia melayangkan tanya seperti itu. Beberapa saat kemudian, gadis itu menggeleng, "Enggak. Aku nggak akan ngelakuin itu," katanya. Laki-laki itu menghela napas. "Ini demi kebaikan kamu! Ini demi masa depan kamu!" Pelita kembali menggeleng. "Aku nggak mau!" katanya kekeh. "Denger ..., masa depan kamu masih panjang! Aku nggak akan biarin kamu memiliki anak tanpa suami. Ikutin kata Kakak!" Pelita menggeleng kuat-kuat di atas ranjang rumah sakitnya. "Nggak," keras kepalanya. "Pelita ...." Kali ini seolah ada peringatan dalam suara Leon yang mengudara. Namun, Pelita tetap teguh dengan keputusannya. "Aku nggak mau!" tukas gadis itu. Leon mendesah
Pelita memesan sebuah tiket kereta api menuju Surabaya. Namun, di sinilah sekarang ia berada. Sebuah pelataran rumah bergaya Joglo dengan halaman luas dan tetumbuhan yang rimbun nan asri di sekelilingnya.Hampir segalanya ada. Pohon mangga, pohon delima, rambutan, sawo kecik, srikaya, nangka, sirsak, bambu, dan masih banyak lagi. Berbagai tumbuhan herbal juga ada di sebelah kanan halaman itu dan bunga-bunga yang cantik mekar di sisi kirinya.Bau mawar, kenanga, dan melati langsung menyeruak harum di hidung Pelita saat gadis cantik itu membawa kakinya melangkah menyusuri halamannya yang luas setelah turun dari taksi, menuju rumah khas Jawa yang ada di ujung jalan setapak berpaving itu.Setelah tahun-tahun berganti dan terbang, dirinya pulang.Saat liburan, Pelita sebenernya sering mampir ke tempat itu sesekali. Namun baru kali ini dirinya merasa kembali.Pelita memperhatikan sekelilingnya sebelum menaiki undakan tangga menuju teras. Sama s
Udara terasa mencekik setiap kali Adhim mengambil napas. Sudah empat hari sejak dirinya mengetahui kabar kehamilan Pelita, dan selama empat hari itu juga, dirinya belum bisa menemukannya. Ia kelabakan ke sana-kemari mencari keberadaan perempuan yang berhasil menjungkirbalikkan hidupnya itu. Namun, sampai sekarang belum ada titik temu. Dua hari yang lalu, Aldo mengatakan jika Pelita ada di Yogyakarta. Arina yang menemukannya. Gadis bersurai kecokelatan itu mencoba berpikir seperti Pelita dan berhasil menebak Yogyakarta sebagai salah satu tempat yang mungkin dikunjungi Pelita dalam situasi seperti ini. Dan ternyata benar, di sana Pelita Arina temukan saat gadis bersurai kecokelatan itu bertandang. Bagaimana Arina mengetahui alamat tempat yang didatangi Pelita? Sebagai asisten pribadi, Arina tahu, kadangkala Pelita ke sana saat waktu senggang dimilikinya. Beberapa kali Pelita juga m
"Astaghfirullahalazim." Shodiq hanya bisa mengucap istigfar setelah mendengar apa yang dialami oleh saudara sepupunya di kota perantauannya. Laki-laki seperempat baya itu masih tidak menyangka, hal seburuk itu bisa dialami oleh Adhim, keluarganya, orang terdekatnya. "Aku sudah mencemari nama baik Abah, Umi, dan keluarga besar kita, Cak. Aku sudah menghancurkan masa depan seorang perempuan. Aku seorang pendosa besar." Shodiq bisa melihat penyesalan dan keputusasaan tergurat sempurna dalam suara berat dan wajah murung Adhim. Sungguh, baru kali ini Shodiq melihat Adhim seterpuruk ini. Meski tidak mengalami, Shodiq bisa memahami seberat apa masalah yang tengah Adhim hadapi. "Aku akan mendoakan yang terbaik untuk sampean, Dhim. Aku juga akan membantu sampean merahasiakannya untuk sementara. Gusti Allah Maha Kuasa. Insyaallah akan ada hikmah yang besar dari kejadian ini. Allah sedang menegur kita, Dh
Tempat dengan bau obat-obatan dan antiseptik yang khas itu tampak ingar bingar. Di salah satu bangku panjangnya, Arina mengetuk-ngetukkan sepatu sneakers warna putih yang ia kenakan dengan permukaan lantai tempat itu secara gusar berkali-kali. Kepalanya menoleh ke lorong masuk secara berkala dengan kedua netra yang menatap awas wajah setiap orang yang melintas di sana. Jantungnya berdetak kencang. Saat seseorang yang ditunggunya akhirnya datang, gadis berambut kecokelatan itu langsung bangkit dari tempat duduk dan berjalan cepat menghampiri laki-laki itu. "Arina, di mana Pelita?" tanya laki-laki itu dengan napas yang sedikit memburu. "Di dalam, Kak," jawab Arina. "Masih belum sadar dari tadi." Laki-laki yang tak lain adalah Aldo itu pun langsung menghela napas kasar. "Kak Adhim ... bagaimana, Kak?" tanya Arina kemudian setelah tercipta jeda. Aldo kembali menatapnya. "Bang Adhim d
Menikah. Di usianya yang sudah dua puluh tahun ini, Pelita tidak pernah membayangkan hal itu sebelumnya. Ia malah pernah berpikir bahwa dirinya tidak akan menikah untuk selamanya. Gadis itu berpikir, tidak masalah jika dirinya harus hidup sendiri di dunia. Apa yang terjadi kepada kedua orang tuanya memberikan pandangan buruk pada Pelita soal keluarga dan pernikahan. Namun, setelah apa yang terjadi, dan dengan calon bayi yang sedang tumbuh di rahimnya saat ini, Pelita seolah dipaksa untuk memikirkan hal itu kembali. "Saya mohon menikahlah dengan saya," pinta Adhim yang masih duduk di sisinya, yang pada akhirnya membuat Pelita menatap laki-laki yang menjadi ayah biologis janin yang ada di kandungannya itu dengan wajah berurai air matanya setelah mengalihkan wajahnya sedari tadi. Pelita menghela napas. "Semua ini nggak mudah buat saya, Kak," sahutnya akhirnya mau bersuara meski pelan. "Kita nggak saling kenal,"
"Uhuk! Uhuk! Uhuk!" Adhim terbatuk setelah Leon melepasnya dan berhenti memukulinya. Aldo dan Shodiq langsung menghampiri laki-laki berambut gondrong dengan tampilan urakan itu. "Bang, lo gapapa? Kenapa lo diem aja dihajar layak gitu?" tanya Aldo cemas. Adhim yang masih terbatuk mengangkat satu tangannya ke depan, "Gue nggak pa-pa, Do," katanya. "Uhuk!" Laki-laki itu terbatuk lagi. "Gue pantas menerimanya," lanjut Adhim yang langsung membuat Aldo merasa mencelus kian berdosa. Adhim Zein Ad-Din Hisyam, singanya arena motor dan adu kekuatan yang ditakuti oleh semua geng motor seantero Kota Bandung karena ilmu bela dirinya pasrah dihajar seseorang karena kesalahan yang dirinya sebabkan. "Tapi ...." Aldo diam tidak bisa melanjutkan kalimatnya. "Maafin gue," katanya lirih tanpa suara. Adhim dan June saling berpandangan sebentar dengan June yang melempar tatapan yang sul
"Saya terima nikah dan kawinnya Nur Walis Pelita binti Herman Ludwig Wilhelm dengan mas kawin uang sepuluh juta, mukena, mushaf Al-Qur'an, dan buku seri Supernova tersebut." "Saksi, bagaimana? Sah?" "Sah." "SAH!" "Alhamdulillah rabbil 'alamin ...." Adhim langsung mengambil napasnya setelah dirinya dinyatakan sah menikahi Pelita. Laki-laki itu menahan napasnya tadi. Ia tidak langsung bernapas setelah mengucapkan qabul dalam satu tarikan napas hingga akad pernikahannya dinyatakan sah. Barusan, Leon yang menikahkannya dengan Shodiq dan Aldo yang menjadi saksi pernikahannya. Dalam ketentuan syariat, urutan wali adalah ayah, kakek dari pihak ayah, saudara laki-laki kandung, dan seterusnya. Namun Leon yang menjadi wali nikah Pelita karena Herman Ludwig Wilhelm yang berada jauh dari mereka. Selain itu, Papa Pelita itu diragukan apa keyakinannya saat ini, sebab terakhir ka