Share

Part 50

Author: Puput Pelangi
last update Last Updated: 2024-06-30 17:00:14

Pelita memesan sebuah tiket kereta api menuju Surabaya. Namun, di sinilah sekarang ia berada. Sebuah pelataran rumah bergaya Joglo dengan halaman luas dan tetumbuhan yang rimbun nan asri di sekelilingnya.

Hampir segalanya ada. Pohon mangga, pohon delima, rambutan, sawo kecik, srikaya, nangka, sirsak, bambu, dan masih banyak lagi. Berbagai tumbuhan herbal juga ada di sebelah kanan halaman itu dan bunga-bunga yang cantik mekar di sisi kirinya.

Bau mawar, kenanga, dan melati langsung menyeruak harum di hidung Pelita saat gadis cantik itu membawa kakinya melangkah menyusuri halamannya yang luas setelah turun dari taksi, menuju rumah khas Jawa yang ada di ujung jalan setapak berpaving itu.

Setelah tahun-tahun berganti dan terbang, dirinya pulang.

Saat liburan, Pelita sebenernya sering mampir ke tempat itu sesekali. Namun baru kali ini dirinya merasa kembali.

Pelita memperhatikan sekelilingnya sebelum menaiki undakan tangga menuju teras. Sama s
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Neng Zulfa   Part 51

    Udara terasa mencekik setiap kali Adhim mengambil napas. Sudah empat hari sejak dirinya mengetahui kabar kehamilan Pelita, dan selama empat hari itu juga, dirinya belum bisa menemukannya. Ia kelabakan ke sana-kemari mencari keberadaan perempuan yang berhasil menjungkirbalikkan hidupnya itu. Namun, sampai sekarang belum ada titik temu. Dua hari yang lalu, Aldo mengatakan jika Pelita ada di Yogyakarta. Arina yang menemukannya. Gadis bersurai kecokelatan itu mencoba berpikir seperti Pelita dan berhasil menebak Yogyakarta sebagai salah satu tempat yang mungkin dikunjungi Pelita dalam situasi seperti ini. Dan ternyata benar, di sana Pelita Arina temukan saat gadis bersurai kecokelatan itu bertandang. Bagaimana Arina mengetahui alamat tempat yang didatangi Pelita? Sebagai asisten pribadi, Arina tahu, kadangkala Pelita ke sana saat waktu senggang dimilikinya. Beberapa kali Pelita juga m

    Last Updated : 2024-07-01
  • Neng Zulfa   Part 52

    "Astaghfirullahalazim." Shodiq hanya bisa mengucap istigfar setelah mendengar apa yang dialami oleh saudara sepupunya di kota perantauannya. Laki-laki seperempat baya itu masih tidak menyangka, hal seburuk itu bisa dialami oleh Adhim, keluarganya, orang terdekatnya. "Aku sudah mencemari nama baik Abah, Umi, dan keluarga besar kita, Cak. Aku sudah menghancurkan masa depan seorang perempuan. Aku seorang pendosa besar." Shodiq bisa melihat penyesalan dan keputusasaan tergurat sempurna dalam suara berat dan wajah murung Adhim. Sungguh, baru kali ini Shodiq melihat Adhim seterpuruk ini. Meski tidak mengalami, Shodiq bisa memahami seberat apa masalah yang tengah Adhim hadapi. "Aku akan mendoakan yang terbaik untuk sampean, Dhim. Aku juga akan membantu sampean merahasiakannya untuk sementara. Gusti Allah Maha Kuasa. Insyaallah akan ada hikmah yang besar dari kejadian ini. Allah sedang menegur kita, Dh

    Last Updated : 2024-07-02
  • Neng Zulfa   Part 53

    Tempat dengan bau obat-obatan dan antiseptik yang khas itu tampak ingar bingar. Di salah satu bangku panjangnya, Arina mengetuk-ngetukkan sepatu sneakers warna putih yang ia kenakan dengan permukaan lantai tempat itu secara gusar berkali-kali. Kepalanya menoleh ke lorong masuk secara berkala dengan kedua netra yang menatap awas wajah setiap orang yang melintas di sana. Jantungnya berdetak kencang. Saat seseorang yang ditunggunya akhirnya datang, gadis berambut kecokelatan itu langsung bangkit dari tempat duduk dan berjalan cepat menghampiri laki-laki itu. "Arina, di mana Pelita?" tanya laki-laki itu dengan napas yang sedikit memburu. "Di dalam, Kak," jawab Arina. "Masih belum sadar dari tadi." Laki-laki yang tak lain adalah Aldo itu pun langsung menghela napas kasar. "Kak Adhim ... bagaimana, Kak?" tanya Arina kemudian setelah tercipta jeda. Aldo kembali menatapnya. "Bang Adhim d

    Last Updated : 2024-07-03
  • Neng Zulfa   Part 54

    Menikah. Di usianya yang sudah dua puluh tahun ini, Pelita tidak pernah membayangkan hal itu sebelumnya. Ia malah pernah berpikir bahwa dirinya tidak akan menikah untuk selamanya. Gadis itu berpikir, tidak masalah jika dirinya harus hidup sendiri di dunia. Apa yang terjadi kepada kedua orang tuanya memberikan pandangan buruk pada Pelita soal keluarga dan pernikahan. Namun, setelah apa yang terjadi, dan dengan calon bayi yang sedang tumbuh di rahimnya saat ini, Pelita seolah dipaksa untuk memikirkan hal itu kembali. "Saya mohon menikahlah dengan saya," pinta Adhim yang masih duduk di sisinya, yang pada akhirnya membuat Pelita menatap laki-laki yang menjadi ayah biologis janin yang ada di kandungannya itu dengan wajah berurai air matanya setelah mengalihkan wajahnya sedari tadi. Pelita menghela napas. "Semua ini nggak mudah buat saya, Kak," sahutnya akhirnya mau bersuara meski pelan. "Kita nggak saling kenal,"

    Last Updated : 2024-07-04
  • Neng Zulfa   Part 55

    "Uhuk! Uhuk! Uhuk!" Adhim terbatuk setelah Leon melepasnya dan berhenti memukulinya. Aldo dan Shodiq langsung menghampiri laki-laki berambut gondrong dengan tampilan urakan itu. "Bang, lo gapapa? Kenapa lo diem aja dihajar layak gitu?" tanya Aldo cemas. Adhim yang masih terbatuk mengangkat satu tangannya ke depan, "Gue nggak pa-pa, Do," katanya. "Uhuk!" Laki-laki itu terbatuk lagi. "Gue pantas menerimanya," lanjut Adhim yang langsung membuat Aldo merasa mencelus kian berdosa. Adhim Zein Ad-Din Hisyam, singanya arena motor dan adu kekuatan yang ditakuti oleh semua geng motor seantero Kota Bandung karena ilmu bela dirinya pasrah dihajar seseorang karena kesalahan yang dirinya sebabkan. "Tapi ...." Aldo diam tidak bisa melanjutkan kalimatnya. "Maafin gue," katanya lirih tanpa suara. Adhim dan June saling berpandangan sebentar dengan June yang melempar tatapan yang sul

    Last Updated : 2024-07-05
  • Neng Zulfa   Part 56

    "Saya terima nikah dan kawinnya Nur Walis Pelita binti Herman Ludwig Wilhelm dengan mas kawin uang sepuluh juta, mukena, mushaf Al-Qur'an, dan buku seri Supernova tersebut." "Saksi, bagaimana? Sah?" "Sah." "SAH!" "Alhamdulillah rabbil 'alamin ...." Adhim langsung mengambil napasnya setelah dirinya dinyatakan sah menikahi Pelita. Laki-laki itu menahan napasnya tadi. Ia tidak langsung bernapas setelah mengucapkan qabul dalam satu tarikan napas hingga akad pernikahannya dinyatakan sah. Barusan, Leon yang menikahkannya dengan Shodiq dan Aldo yang menjadi saksi pernikahannya. Dalam ketentuan syariat, urutan wali adalah ayah, kakek dari pihak ayah, saudara laki-laki kandung, dan seterusnya. Namun Leon yang menjadi wali nikah Pelita karena Herman Ludwig Wilhelm yang berada jauh dari mereka. Selain itu, Papa Pelita itu diragukan apa keyakinannya saat ini, sebab terakhir ka

    Last Updated : 2024-07-06
  • Neng Zulfa   Part 57

    "Hoek hoek hoek." Morning sickness. Seperti biasa, pagi-pagi Pelita harus tunggang-langgang ke kamar mandi untuk memuntahkan isi perutnya. Namun kali ini ada yang berbeda. Sebuah tangan tiba-tiba memegang lengannya dari belakang lalu memberikan pijatan lembut di tengkuknya selama perempuan itu muntah. Pelita sempat terkejut. Namun, ia berhasil mengendalikan ekspresinya agar tidak diketahui oleh orang yang membantunya itu. Adhim Zein Ad-Din Hisyam, suaminya, laki-laki yang pada malam hari sebelumnya telah menikahinya. "Apakah masih mual?" tanya Adhim penuh perhatian setelah Pelita membasuh wastafel dan mencuci mulutnya dengan air. "Saya nggak pa-pa," jawab Pelita dengan wajahnya yang masih menampakkan pucat yang kentara. "Biasanya juga begini kok," tambahnya sambil menatap Adhim. "Kalau begitu apa perlu kita tunda dulu kepulangan kita ke Bandung?" tanya Adhim. "Kamu juga baru pula

    Last Updated : 2024-07-07
  • Neng Zulfa   Part 58

    Apartemen Adhim tidak bisa dibilang kecil. Meski belum setertata apartemen Pelita, perabot-perabot yang ada di dalamnya sudah lengkap. Ada dua buah kamar di lantai atas, ruang kerja dan ruang olahraga di lantai dasar, dapur, kamar mandi luar yang ada di dekat dapur, ruang santai sekaligus ruang televisi, ruang makan, dan ruang tamu. Gaya modern minimalis yang tercermin dari bagaimana tata ruang apartemen laki-laki itu. "Kamu bisa tidur di kamar saya sampai kamar yang satunya saya bereskan," kata Adhim setelah membantu Pelita membawa kopernya ke lantai atas dan berhenti tepat di depan pintu kayu kamarnya. Pelita hampir bersuara namun Adhim lebih dulu pergi meninggalkan Pelita ke kamar yang satunya. Pelita pun kembali mengatupkan bibirnya menatap tubuh tegap Adhim yang sudah hilang ditelan pintu kamar lain. Menghela napas kecil, Pelita membawa kopernya masuk ke kamar Adhim dan menutup pintunya. N

    Last Updated : 2024-07-08

Latest chapter

  • Neng Zulfa   Part 94

    Setelah melaporkan penculikan Pelita ke kantor polisi, Adhim dan Aldo memutuskan mencari tempat penginapan di Karawang. Mereka memutuskan menginap semalam di sebuah hotel yang ada di kota itu sembari memikirkan langkah yang harus mereka lakukan selanjutnya. Mereka memesan satu kamar untuk berdua. Mengingat kondisi Adhim, Aldo tidak tega jika harus membiarkan Adhim tidur sendirian. Jam menunjukkan pukul 23.17 WIB. Aldo pamit keluar untuk mencari makan malam untuk dirinya dan Adhim. Ketika Aldo kembali, laki-laki berambut cepak itu mendapati Adhim yang terisak di atas hamparan sajadah dalam doanya. Aldo paham Adhim pasti sangat terluka dan cemas akan keadaan Pelita. Aldo menunda melangkahkan tungkainya benar-benar masuk ke dalam kamar itu apalagi membuat suara agar tidak mengganggu Adhim. Ia tetap bergeming di pintu sampai Adhim sendiri yang menyadari keberadaannya.

  • Neng Zulfa   Part 93

    Grup Chat Cowok Soleh 🤟🏻😌 Dibuat oleh Aldoganteng, 05/11/xx AdhimHisyam: Istri gue diculik Arka Jeffreyy_: Hah? Kapan? Gimana bisa bang? Bondan😈: Kobisa bang? Arka kan lagi jadi buron Suta_cowoksunda: Mba Pelitanya udah ketemu? Pcc bang Bondan😈: Dimana diculiknya bang? [@Suta_cowoksunda (Pcc bang)] Otw nyamperin Jeffreyy_: Bang lo yakin mbak Pelita diculik Arka? Udah coba lo hubungi? Aldoganteng: Jangan banyak tanya lu pada. Bantu nyari!!! . Aldo melirik Adhim yang diam tanpa kata di sisinya. Seperti orang melamun dengan ponsel yang masih menyala di pegangan kedua tangannya. Mata cokelat laki-laki berambut gondrong itu tampak menatap kosong layar plasma benda pipih di tangannya itu. . Gru

  • Neng Zulfa   Part 92

    Kedua kelopak mata itu terbuka pelan, mengerjap untuk menyesuaikan cahaya yang diterima oleh retina matanya, hingga tak lama kemudian, netra berwarna cokelat madu yang ada di baliknya terlihat dengan sempurna. Hatinya membatin; Ini di mana? Apa yang terjadi? Sampai ... Cklek! Suara pintu yang terkuak dari sisi sebelah kanannya menarik penuh atensinya. Kepalanya terasa pusing. Dan sosok yang muncul dari balik pintu yang kini berjalan ke arahnya dengan kedua tangan terlipat di depan dada itu langsung membuat kedua matanya membola. Tak lama kemudian ia pun sadar, sesuatu telah membatasi pergerakannya. Sosok yang lebih dari cukup untuk dikenalinya itu pun tersenyum menyeringai melihat keterkejutannya. **** Setelah kurang lebih satu jam berkendara dengan kecepatan biasa-biasa saja yang tentu saja

  • Neng Zulfa   Part 91

    Bunyi nada sambung telepon itu terdengar beberapa kali tanpa sahutan, membuat subjek yang menelepon mengerutkan kening di awal dan segera didera keresahan setelah berkali-kali mengulang tetap tak mendapat balasan. "Pelita, ayo angkat telepon saya," desis Adhim kemudian berusaha menghubungi Pelita lagi. Tiba-tiba perasaannya menjadi sangat tidak enak kali ini. Mata sewarna kopi Adhim melirik jam di dinding kokoh apartemennya dengan tangan yang tetap sibuk menempelkan segenggam ponsel di telinga. Pukul 16.47 WIB, seharusnya waktu yang lebih dari cukup bagi Pelita untuk mengabarinya jika istrinya itu sudah akan atau bahkan sampai Kota Bandung. Tetapi kenapa belum? Dan mengapa pula Pelita tidak kunjung mengangkat teleponnya? Adhim mengacak-acak surai hitamnya pada percobaan ke sekian kalinya, Pelita tetap tidak menjawab panggilannya.

  • Neng Zulfa   Part 90

    "Bang." Aldo yang baru kembali dari menuntaskan hajatnya di kamar mandi memanggil Adhim. Kini mereka ada di sebuah rest area Kota Bogor, habis beristirahat untuk menunaikan salat Zuhur dan mencari makan siang. Pekerjaan keduanya di Bogor sudah selesai. Lebih cepat dari yang Adhim dan Aldo perkirakan sebelumnya. Perkiraan semula, mereka akan menyelesaikan urusan bisnisnya di Bogor malam nanti, kemudian baru akan kembali ke Bandung keesokan pagi setelah mengistirahatkan diri. Namun ternyata tidak. Pekerjaannya selesai lebih cepat di luar prediksi. "Kita jadi balik Bandung habis ini, Bang?" tanya Aldo santai sembari mendudukkan dirinya kembali di sebuah bangku kayu yang ada di depan Adhim. "Hm," balas Adhim dengan gumaman. Manik cokelatnya mengawasi Aldo yang meraih gelas esnya dan meyesap minuman dingin itu tanpa sisa.

  • Neng Zulfa   Part 89

    "Bang, lo harus lihat ini!" seruan Aldo itu berhasil membuat Adhim menoleh dengan dahi mengernyit begitu menatap apa yang ditunjukkan oleh temannya itu. "Apa ini, Do?" balas Adhim dengan tanya. Ia benar-benar tidak paham apa maksud titik-titik serupa koordinat yang ditampilkan Aldo di layar ponselnya. "Lo lihat titik ini? Ini lokasi kita, Bang, Bogor," terang Aldo. Sebelah alis Adhim terangkat menatap manik mata Aldo. "Iya. Terus?" tanyanya. "Lo lihat titik koordinat yang ada di Jakarta?" Kepala Adhim menggeleng ringan tidak paham apa yang hendak dikatakan temannya. "Ini titik koordinat yang ngasih tunjuk lokasi keberadaan Pelita, Bang." Kedua netra Adhim membola mencoba mencerna apa yang baru saja disampaikan Aldo kepadanya. "Maksud lo apa?" tanya Adhim. "Pelita? Di Jakarta?" "Jadi, lo tahu, Bang?" balas Aldo dengan tanya. "Dan emang bener, kalau Pelita ada di Jakarta?" Ia melempari tanya kepada Adhim lagi. Kepala Adhim menggeleng. "Nggak mungkin, Do.

  • Neng Zulfa   Part 88

    Baru saja pesan itu terkirim, layar ponselnya langsung menampilkan notifikasi panggilan telepon dari Adhim. Pelita pun segera mengangkatnya. "Assalamualaikum, Pelita. Kamu sedang apa? Nggak tahu kenapa saya khawatir sama kamu." Pelita merasa bersalah mendengar nada cemas yang begitu kentara dalam suara Adhim itu. "Halo, Pelita. Ada apa? Kenapa saya tidak bisa menelepon kamu dari bakda Magrib tadi? Pelita? Halo?" Pelita menggigit bibir bawahnya. "H-halo, Kak Adhim. Waalaikumussamalam," jawabnya pada akhirnya setelah beberapa lama membisu dalam jeda waktu. "Maaf, Kak. Saya baru tahu Kakak nelepon." Ganti Adhim yang tidak langsung menjawab. "Pelita. Suara kamu ... kenapa?" sahut Adhim kemudian dengan nada penuh selidik. Kali ini Pelita merasakan tremor di tangannya menyadari suaranya yang pasti terdengar sengau setelah hampir seharian menangis di telinga Adhim. "Pelita?" Suara berat Adhim yang terdengar cemas mengalun lagi. "Halo, Pelita?" Pelita kali ini mencoba mengatu

  • Neng Zulfa   Part 87

    Pelita menatap sendu tubuh papanya yang terbaring di atas bed rumah sakit dari kaca transparan berbentuk persegi panjang yang dipasang di permukaan pintu kamar rawat papanya itu, sejak beberapa menit yang lalu. Masih tidak menyangka, papanya yang bugar dan sehat ketika terakhir kali ditemuinya kini berbaring tak berdaya dengan tubuh yang kehilangan banyak berat badan dan pucat di atas brangkar itu, sedang diperiksa dan ditangani oleh dokter pribadinya. "Papa harus sembuh, Pa. Jangan tinggalkan Pelita kayak Mama." Perempuan itu berbisik lirih sembari menyeka matanya yang basah akan air mata. Pelita sudah terbiasa menangis tanpa suara. Ia hanya perlu mengendalikan isakan agar tidak keluar dari labiumnya. "Aku sayang Papa." Perempuan itu berusaha keras mengeyahkan rasa sesak yang mendera dadanya. "Pelita." Dokter Duta yang semula berada di dalam ruangan bersama beberapa orang perawat keluar menemui Pelita dan langsung dihadiahi pertanyaan olehnya. "Dokter, gimana kondisi Papa sa

  • Neng Zulfa   Part 86

    "Maafin saya, Kak. Saya harus ke Jakarta tanpa bilang Kak Adhim. Papa saya butuh saya sekarang."Pelita bermonolog sendiri setelah memasukkan beberapa potong baju dan pakain ke tas tangannya yang memiliki ukuran sedang."Saya nggak mau ganggu kerja Kak Adhim," gumamnya lagi kemudian mengusap pipinya yang sedari tadi basah oleh air mata.Perempuan itu kini mengusap perut besarnya."Kamu juga yang kuat ya, Dek," katanya beralih mengajak bicara bayi yang ada di dalam kandungannya. "Mama harus ketemu Papanya Mama di Jakarta. Beliau butuh bantuan Mama. Maafin Mama yang bertindak egois karena harus pergi saat kamu udah mau lahir beberapa minggu lagi. Tapi Mama harus lakuin ini untuk kakek kamu. Mama minta tolong, bantu Mama, ya?! Kamu harus kuat, dan jangan rewel selama kita pergi tanpa Ayah kamu. Mama sayang kamu."Senyuman sedikit terukir di bibir cantik itu saat merasakan gerakan-gerakan yang dibuat bayinya yang seolah merespons setiap kata-

DMCA.com Protection Status