"Saya terima nikah dan kawinnya Nur Walis Pelita binti Herman Ludwig Wilhelm dengan mas kawin uang sepuluh juta, mukena, mushaf Al-Qur'an, dan buku seri Supernova tersebut."
"Saksi, bagaimana? Sah?" "Sah." "SAH!" "Alhamdulillah rabbil 'alamin ...." Adhim langsung mengambil napasnya setelah dirinya dinyatakan sah menikahi Pelita. Laki-laki itu menahan napasnya tadi. Ia tidak langsung bernapas setelah mengucapkan qabul dalam satu tarikan napas hingga akad pernikahannya dinyatakan sah. Barusan, Leon yang menikahkannya dengan Shodiq dan Aldo yang menjadi saksi pernikahannya. Dalam ketentuan syariat, urutan wali adalah ayah, kakek dari pihak ayah, saudara laki-laki kandung, dan seterusnya. Namun Leon yang menjadi wali nikah Pelita karena Herman Ludwig Wilhelm yang berada jauh dari mereka. Selain itu, Papa Pelita itu diragukan apa keyakinannya saat ini, sebab terakhir ka"Hoek hoek hoek." Morning sickness. Seperti biasa, pagi-pagi Pelita harus tunggang-langgang ke kamar mandi untuk memuntahkan isi perutnya. Namun kali ini ada yang berbeda. Sebuah tangan tiba-tiba memegang lengannya dari belakang lalu memberikan pijatan lembut di tengkuknya selama perempuan itu muntah. Pelita sempat terkejut. Namun, ia berhasil mengendalikan ekspresinya agar tidak diketahui oleh orang yang membantunya itu. Adhim Zein Ad-Din Hisyam, suaminya, laki-laki yang pada malam hari sebelumnya telah menikahinya. "Apakah masih mual?" tanya Adhim penuh perhatian setelah Pelita membasuh wastafel dan mencuci mulutnya dengan air. "Saya nggak pa-pa," jawab Pelita dengan wajahnya yang masih menampakkan pucat yang kentara. "Biasanya juga begini kok," tambahnya sambil menatap Adhim. "Kalau begitu apa perlu kita tunda dulu kepulangan kita ke Bandung?" tanya Adhim. "Kamu juga baru pula
Apartemen Adhim tidak bisa dibilang kecil. Meski belum setertata apartemen Pelita, perabot-perabot yang ada di dalamnya sudah lengkap. Ada dua buah kamar di lantai atas, ruang kerja dan ruang olahraga di lantai dasar, dapur, kamar mandi luar yang ada di dekat dapur, ruang santai sekaligus ruang televisi, ruang makan, dan ruang tamu. Gaya modern minimalis yang tercermin dari bagaimana tata ruang apartemen laki-laki itu. "Kamu bisa tidur di kamar saya sampai kamar yang satunya saya bereskan," kata Adhim setelah membantu Pelita membawa kopernya ke lantai atas dan berhenti tepat di depan pintu kayu kamarnya. Pelita hampir bersuara namun Adhim lebih dulu pergi meninggalkan Pelita ke kamar yang satunya. Pelita pun kembali mengatupkan bibirnya menatap tubuh tegap Adhim yang sudah hilang ditelan pintu kamar lain. Menghela napas kecil, Pelita membawa kopernya masuk ke kamar Adhim dan menutup pintunya. N
"Kak, saya izin mau keluar belanja," ujar Pelita setelah perempuan itu mengecek dapur dan isi kulkas Adhim yang nyaris berisi makanan instan semua. Mie dan nasi instan yang paling banyak, padahal laki-laki itu memiliki rice cooker di dapurnya. Pelita berniat membuat makan malam tadi, jadi ia melihat-lihat bahan makanan apa saja yang Adhim miliki di apartemen dan ternyata hanya ada makanan instan itu. Pelita berpikir, Adhim pasti sering makan makanan kurang sehat itu selama ini. Memikirkannya saja membuat Pelita merasa kasihan dan ngeri. Mendengar penuturan Pelita, Adhim yang duduk di sofa ruang tengah dengan laptop di pangkuannya menengok, menatap Pelita yang sudah terlihat rapi dengan tas kecil dan pashmina membalut kepalanya. Terlihat sudah siap berangkat. Adhim langsung melirik jam di dinding yang sudah menunjukkan pukul 5 sore lantas bangkit setelah meletakkan laptopnya ke atas meja. "Biar saya antar," ka
Keesokan paginya Pelita benar-benar diantarkan oleh Adhim ke kampus, menggunakan Jeep Wrangler putihnya yang tentu saja langsung mencuri banyak perhatian ketika Pelita turun dari dalamnya. Kebetulan di tempat parkir kampus sedang banyak teman-teman satu semester dan jurusan dengan perempuan cantik itu. Pelita menghembuskan napasnya lalu mulai berjalan seolah tidak terjadi apa-apa, tanpa menoleh kepada Adhim yang sebelum turun tadi dicium oleh Pelita punggung tangannya. Pelita sebenarnya tahu apa yang menyebabkan teman-temannya itu mematok atensi berlebih padanya melebihi yang biasa; sebab pagi tadi, Arina mengirimi Pelita pesan terusan berupa foto dirinya dan Adhim yang sedang bersama di supermarket ketika mereka berbelanja kemarin. Arina juga mengirimi Pelita screenshot apa yang sedang digosipkan satu angkatan mengenai dirinya dan Adhim di grup lambe turah angkatannya, jadi Pelita tahu apa yang menyebabkan perhatian orang-orang itu tertu
"Kak Adhim." Pelita menghampiri Adhim begitu sesi pemotretan yang sedang dijalaninya selesai. Saat break sebelum sesi selanjutnya. "Pelita." Adhim bangkit dari tempat duduknya bersama Suta. Keduanya saling berpandangan sampai Pelita meraih punggung tangan Adhim untuk dicium. Disaksikan semua orang. Suta yang berdiri di samping Adhim, Arina yang datang bersama Pelita, juga June yang baru menyusul kemudian. Dan mungkin, beberapa orang kru pemotretan yang sedang berlalu lalang menyiapkan set untuk selanjutnya. "Mobil kamu sudah saya ambil dari apartemen kamu," ucap Adhim. "Iya, Kak. Terima kasih." Pelita mengangguk sambil tersenyum kecil kemudian melirik Suta. Adhim mengikuti arah pandang Pelita kemudian bersuara lagi, "Kenalin Pelita, ini Suta teman saya. Dia yang menemani saya ambil mobil kamu tadi." Suta tersenyum kepada Pelita, melihat ke Adhim sebe
Hari-hari begitu cepat berlalu. Adhim melepas masa lajangnya seperti keinginan kedua orang tuanya, meskipun tanpa sepengetahuan mereka, dan Pelita yang kini menjalani kehidupan yang semakin tak terduga di luar bayangannya, dan masih terus berusaha berdamai dengan segalanya. Sudah lebih dari satu bulan keduanya bersama. Tinggal di bawah atap yang sama dan berbagi tempat tidur yang sama pula. Pelita dan Adhim sama-sama mulai terbiasa dengan kehadiran masing-masing. Adhim menata kembali apartemennya dan membeli beberapa perabot tambahan yang tujuannya untuk melengkapi atau memenuhi kebutuhan Pelita, seperti rak buku baru untuk buku-buku Pelita, meja belajar baru, almari, rak sepatu, meja rias, oven, mixer, vas bunga, bahkan pot bunga yang digunakan Pelita untuk menanam bunga di balkon apartemen mereka---Pelita seorang pecinta bunga dan berkebun, juga masih banyak piranti lain lagi. Pelita sendiri, ia juga belajar menyesuaikan
Sepulang dari pemeriksaan di rumah sakit, Pelita dan Adhim pergi ke rumah singgah. Mereka mampir ke supermarket dan sebuah rumah makan terlebih dulu sebelumnya untuk membeli banyak jajanan dan makanan yang akan dibagikan kepada anak-anak. Saat kandungan berusia empat bulan, Allah sudah meniupkan ruh untuknya. Adhim dan Pelita sama-sama ingin berbagi kebahagiaan karenanya. Mereka tidak bisa mengadakan acara syukuran secara gamblang. Namun setidaknya, mereka bisa bersedekah dengan berbagi kepada anak-anak penghuni rumah singgah itu. Adhim menghentikan mobil Wrangler-nya di pelataran rumah singgah yang luas. Hari menjelang senja, banyak anak-anak yang sedang bermain-main di sana. Anak-anak itu pun segera menghambur ke arah Adhim dan Pelita begitu keduanya turun dari mobil. "Bang Adhim! Kak Pelita!" Nama Adhim dan Pelita diteriakkan anak-anak. Adhim dan Pelita tersenyum lantas mengeluarkan barang b
Dua orang dengan pakaian sekenanya itu berbaring nyaman di balik selimut abu-abu yang membalut tubuh nyaris polos mereka setelah pergumulan panjang keduanya.Yang laki-laki dengan celana boxer hitamnya dan yang perempuan dengan lingerie berwarna merah tua yang sudah kembali terpasang dengan benar di badan molek yang terlihat semakin berisi itu.Napas keduanya terdengar memburu.Seperti sebelumnya masih belum ada kata cinta, namun Adhim dan Pelita tidak bisa disebut jarang melakukan hubungan intim selayaknya pasangan suami-istri lain pada umumnya.Meski dengan perut yang semakin mengembang, Pelita tidak pernah menolak jika diajak melakukan hubungan badan. Sebab Pelita tahu, berhubungan suami-istri umumnya adalah candu bagi mereka yang sudah merasakannya.Adhim memiliki kebutuhan biologis yang harus dipenuhi. Dan sebagai istri, sudah menjadi kewajiban Pelita untuk memenuhinya. Mereka melakukannya suka sama suka."Kak Adhim," panggi