Keesokan paginya Pelita benar-benar diantarkan oleh Adhim ke kampus, menggunakan Jeep Wrangler putihnya yang tentu saja langsung mencuri banyak perhatian ketika Pelita turun dari dalamnya. Kebetulan di tempat parkir kampus sedang banyak teman-teman satu semester dan jurusan dengan perempuan cantik itu.
Pelita menghembuskan napasnya lalu mulai berjalan seolah tidak terjadi apa-apa, tanpa menoleh kepada Adhim yang sebelum turun tadi dicium oleh Pelita punggung tangannya. Pelita sebenarnya tahu apa yang menyebabkan teman-temannya itu mematok atensi berlebih padanya melebihi yang biasa; sebab pagi tadi, Arina mengirimi Pelita pesan terusan berupa foto dirinya dan Adhim yang sedang bersama di supermarket ketika mereka berbelanja kemarin. Arina juga mengirimi Pelita screenshot apa yang sedang digosipkan satu angkatan mengenai dirinya dan Adhim di grup lambe turah angkatannya, jadi Pelita tahu apa yang menyebabkan perhatian orang-orang itu tertu"Kak Adhim." Pelita menghampiri Adhim begitu sesi pemotretan yang sedang dijalaninya selesai. Saat break sebelum sesi selanjutnya. "Pelita." Adhim bangkit dari tempat duduknya bersama Suta. Keduanya saling berpandangan sampai Pelita meraih punggung tangan Adhim untuk dicium. Disaksikan semua orang. Suta yang berdiri di samping Adhim, Arina yang datang bersama Pelita, juga June yang baru menyusul kemudian. Dan mungkin, beberapa orang kru pemotretan yang sedang berlalu lalang menyiapkan set untuk selanjutnya. "Mobil kamu sudah saya ambil dari apartemen kamu," ucap Adhim. "Iya, Kak. Terima kasih." Pelita mengangguk sambil tersenyum kecil kemudian melirik Suta. Adhim mengikuti arah pandang Pelita kemudian bersuara lagi, "Kenalin Pelita, ini Suta teman saya. Dia yang menemani saya ambil mobil kamu tadi." Suta tersenyum kepada Pelita, melihat ke Adhim sebe
Hari-hari begitu cepat berlalu. Adhim melepas masa lajangnya seperti keinginan kedua orang tuanya, meskipun tanpa sepengetahuan mereka, dan Pelita yang kini menjalani kehidupan yang semakin tak terduga di luar bayangannya, dan masih terus berusaha berdamai dengan segalanya. Sudah lebih dari satu bulan keduanya bersama. Tinggal di bawah atap yang sama dan berbagi tempat tidur yang sama pula. Pelita dan Adhim sama-sama mulai terbiasa dengan kehadiran masing-masing. Adhim menata kembali apartemennya dan membeli beberapa perabot tambahan yang tujuannya untuk melengkapi atau memenuhi kebutuhan Pelita, seperti rak buku baru untuk buku-buku Pelita, meja belajar baru, almari, rak sepatu, meja rias, oven, mixer, vas bunga, bahkan pot bunga yang digunakan Pelita untuk menanam bunga di balkon apartemen mereka---Pelita seorang pecinta bunga dan berkebun, juga masih banyak piranti lain lagi. Pelita sendiri, ia juga belajar menyesuaikan
Sepulang dari pemeriksaan di rumah sakit, Pelita dan Adhim pergi ke rumah singgah. Mereka mampir ke supermarket dan sebuah rumah makan terlebih dulu sebelumnya untuk membeli banyak jajanan dan makanan yang akan dibagikan kepada anak-anak. Saat kandungan berusia empat bulan, Allah sudah meniupkan ruh untuknya. Adhim dan Pelita sama-sama ingin berbagi kebahagiaan karenanya. Mereka tidak bisa mengadakan acara syukuran secara gamblang. Namun setidaknya, mereka bisa bersedekah dengan berbagi kepada anak-anak penghuni rumah singgah itu. Adhim menghentikan mobil Wrangler-nya di pelataran rumah singgah yang luas. Hari menjelang senja, banyak anak-anak yang sedang bermain-main di sana. Anak-anak itu pun segera menghambur ke arah Adhim dan Pelita begitu keduanya turun dari mobil. "Bang Adhim! Kak Pelita!" Nama Adhim dan Pelita diteriakkan anak-anak. Adhim dan Pelita tersenyum lantas mengeluarkan barang b
Dua orang dengan pakaian sekenanya itu berbaring nyaman di balik selimut abu-abu yang membalut tubuh nyaris polos mereka setelah pergumulan panjang keduanya.Yang laki-laki dengan celana boxer hitamnya dan yang perempuan dengan lingerie berwarna merah tua yang sudah kembali terpasang dengan benar di badan molek yang terlihat semakin berisi itu.Napas keduanya terdengar memburu.Seperti sebelumnya masih belum ada kata cinta, namun Adhim dan Pelita tidak bisa disebut jarang melakukan hubungan intim selayaknya pasangan suami-istri lain pada umumnya.Meski dengan perut yang semakin mengembang, Pelita tidak pernah menolak jika diajak melakukan hubungan badan. Sebab Pelita tahu, berhubungan suami-istri umumnya adalah candu bagi mereka yang sudah merasakannya.Adhim memiliki kebutuhan biologis yang harus dipenuhi. Dan sebagai istri, sudah menjadi kewajiban Pelita untuk memenuhinya. Mereka melakukannya suka sama suka."Kak Adhim," panggi
Adhim Zein A. Hisyam: Posisi? Sebuah pesan singkat masuk dari Adhim. Pelita yang baru memarkirkan mobil di basement langsung mengukir senyum cerah melihat pesan itu. Tanpa turun dari mobil BMW-nya, perempuan itu langsung membalasnya. Nur Walis Pelita: Parkiran, Kak. Ini saya udah mau ke atas masuk apartemen Adhim Zein A. Hisyam: Oke Gimana tadi pertemuannya sama Mbak Cecil? Nur Walis Pelita: Lancar, Kak. Alhamdulillah Adhim Zein A. Hisyam: Alhamdulillah Saya ini mau jalan pulang, Pelita. Ada sesuatu yg kamu mau? Senyum di bibir Pelita semakin merekah lebar membaca pesan itu. Nur Walis Pelita: Apa ya? Kalau saya minta beliin pizza bolej? *boleh Adhim Zein A. Hisyam: Boleh Ada lagi?
"Kak Adhim, selamat Kakak udah lulus ujian skripsi," ucap Pelita pada Adhim beberapa saat setelah Adhim keluar dari ruang ujiannya sambil menyerahkan seikat bunga yang langsung diterima oleh suaminya itu. Pelita terlihat anggun mengenakan dress berwarna merah bata yang membalut tubuhnya dengan perut hamil enam bulan yang tampak semakin besar. Sedangkan Adhim, ia terlihat gagah berbalutkan kemeja putih, celana bahan berwarna hitam, dan jas almamater kampus. Beberapa sekon yang lalu Adhim masih ditahan oleh teman-temannya setelah keluar dari ruang ujian. Namun, melihat kedatangan Pelita yang diantar oleh Arina, Adhim langsung menghampiri Pelita. Meninggalkan semua bunga, coklat, dan printilan lain yang diberikan oleh teman-temannya untuk datang ke arah Pelita. Teman-teman Adhim yang terdiri dari teman beberapa ormawa yang diikutinya dahulu sebelum menginjak semester tua, adik tingkatnya, dan anak-anak klub motor membiarkan. M
Koridor apartemen itu cukup lengang. Adhim berjalan di depan dengan banyak hampers yang diperolehnya setelah sidang skiripsi tadi pagi di kedua belah tangan. Sedang Pelita, ia melangkah pelan di belakang Adhim dengan beberapa ikat bunga Adhim dalam genggaman. Perempuan itu bersikeras membantu membawakan barang-barang itu sehingga Adhim pun tidak memiliki pilihan lain selain membiarkannya. Pelita itu keras kepala. "Apa ini?" lirih Adhim tak lama kemudian saat tiba di depan unit apartemen mereka. Ada seikat bunga mawar merah tergeletak di depan pintu ketika laki-laki jangkung itu hendak membukanya. Tanpa aba-aba, Adhim perlahan menunduk meraih bunga yang teronggok itu sampai Pelita yang juga merasa penasaran berdiri di sisi Adhim. Ketika Pelita menyadari buket itu adalah bunga yang biasa diterimnya, ia langsung mencegah Adhim mengamati bunga itu lebih lanjut. "Bunga saya, Kak," kata Pelita meraih
Tap, tap, tap .... Sebuah suara langkah kaki kembali terdengar mendekat. "Ada tamu siapa, Bu? Kenapa tidak disuruh masuk?" Itu Opa Pelita. "Bu?" Oma Pelita tidak menjawab dan tetap stagnan menatap cucunya. Sang Opa pun melihat ke depan dan menatap Adhim. "Le?" Laki-laki sepuh itu juga masih mengingat Adhim. "Nduk, Pelita?" Ia juga langsung mengenali cucunya ketika menatap Pelita yang tampak mengelap matanya yang basah dengan sebelah tangan di samping Adhim. "Ada apa ini?" Suara laki-laki itu kemudian langsung berubah menjadi sedikit tidak bersahabat ketika menyadari ada perubahan fisik pada tubuh sang cucu. "Saya dan Pelita datang untuk meminta maaf dan menceritakan yang sebenarnya, Opa, Oma. Mohon izinkan kami masuk," pinta Adhim. "Saya mohon ...." Pelita menangis tersedu. "Maafin Pelita," isaknya lirih.