Adhim Zein A. Hisyam:
Posisi? Sebuah pesan singkat masuk dari Adhim. Pelita yang baru memarkirkan mobil di basement langsung mengukir senyum cerah melihat pesan itu. Tanpa turun dari mobil BMW-nya, perempuan itu langsung membalasnya. Nur Walis Pelita: Parkiran, Kak. Ini saya udah mau ke atas masuk apartemen Adhim Zein A. Hisyam: Oke Gimana tadi pertemuannya sama Mbak Cecil? Nur Walis Pelita: Lancar, Kak. Alhamdulillah Adhim Zein A. Hisyam: Alhamdulillah Saya ini mau jalan pulang, Pelita. Ada sesuatu yg kamu mau? Senyum di bibir Pelita semakin merekah lebar membaca pesan itu. Nur Walis Pelita: Apa ya? Kalau saya minta beliin pizza bolej? *boleh Adhim Zein A. Hisyam: Boleh Ada lagi?"Kak Adhim, selamat Kakak udah lulus ujian skripsi," ucap Pelita pada Adhim beberapa saat setelah Adhim keluar dari ruang ujiannya sambil menyerahkan seikat bunga yang langsung diterima oleh suaminya itu. Pelita terlihat anggun mengenakan dress berwarna merah bata yang membalut tubuhnya dengan perut hamil enam bulan yang tampak semakin besar. Sedangkan Adhim, ia terlihat gagah berbalutkan kemeja putih, celana bahan berwarna hitam, dan jas almamater kampus. Beberapa sekon yang lalu Adhim masih ditahan oleh teman-temannya setelah keluar dari ruang ujian. Namun, melihat kedatangan Pelita yang diantar oleh Arina, Adhim langsung menghampiri Pelita. Meninggalkan semua bunga, coklat, dan printilan lain yang diberikan oleh teman-temannya untuk datang ke arah Pelita. Teman-teman Adhim yang terdiri dari teman beberapa ormawa yang diikutinya dahulu sebelum menginjak semester tua, adik tingkatnya, dan anak-anak klub motor membiarkan. M
Koridor apartemen itu cukup lengang. Adhim berjalan di depan dengan banyak hampers yang diperolehnya setelah sidang skiripsi tadi pagi di kedua belah tangan. Sedang Pelita, ia melangkah pelan di belakang Adhim dengan beberapa ikat bunga Adhim dalam genggaman. Perempuan itu bersikeras membantu membawakan barang-barang itu sehingga Adhim pun tidak memiliki pilihan lain selain membiarkannya. Pelita itu keras kepala. "Apa ini?" lirih Adhim tak lama kemudian saat tiba di depan unit apartemen mereka. Ada seikat bunga mawar merah tergeletak di depan pintu ketika laki-laki jangkung itu hendak membukanya. Tanpa aba-aba, Adhim perlahan menunduk meraih bunga yang teronggok itu sampai Pelita yang juga merasa penasaran berdiri di sisi Adhim. Ketika Pelita menyadari buket itu adalah bunga yang biasa diterimnya, ia langsung mencegah Adhim mengamati bunga itu lebih lanjut. "Bunga saya, Kak," kata Pelita meraih
Tap, tap, tap .... Sebuah suara langkah kaki kembali terdengar mendekat. "Ada tamu siapa, Bu? Kenapa tidak disuruh masuk?" Itu Opa Pelita. "Bu?" Oma Pelita tidak menjawab dan tetap stagnan menatap cucunya. Sang Opa pun melihat ke depan dan menatap Adhim. "Le?" Laki-laki sepuh itu juga masih mengingat Adhim. "Nduk, Pelita?" Ia juga langsung mengenali cucunya ketika menatap Pelita yang tampak mengelap matanya yang basah dengan sebelah tangan di samping Adhim. "Ada apa ini?" Suara laki-laki itu kemudian langsung berubah menjadi sedikit tidak bersahabat ketika menyadari ada perubahan fisik pada tubuh sang cucu. "Saya dan Pelita datang untuk meminta maaf dan menceritakan yang sebenarnya, Opa, Oma. Mohon izinkan kami masuk," pinta Adhim. "Saya mohon ...." Pelita menangis tersedu. "Maafin Pelita," isaknya lirih.
"Selain Opa, Oma, dan Kak Leon, Pelita sudah tidak memiliki siapa-siapa di dunia ini. Hanya kalian keluarga yang Pelita punya. Terima kasih. Terima kasih karena Opa dan Oma masih mau memaafkan dan mendukung Pelita." Kedua mata indah Pelita terus mengeluarkan cairannya. Suaranya mengalun lirih namun masih cukup terdengar jelas meski sedikit sengau. "Kamu ini bicara apa, Nduk?" sahut Oma Pelita. "Opa dan Oma pasti akan selalu mendukung kamu," lanjutnya dengan larikma yang turut bercucuran. "Jangan pernah berpikir jika kamu hanya sendiri di dunia ini." Perempuan tua itu membungkus tangan kanan Pelita yang duduk di sampingnya dengan kedua tangan lalu menggenggamnya erat. "Sudah, ya? Jangan menangis! Ndak apik." Pelita menatap sang oma, saling pandang sebentar lalu berpelukan erat. "Nak Adhim, tolong jaga baik-baik cucu Oma," tutur Oma Pelita lagi. Adhim yang duduk tak jauh dari keduanya di sebuah k
"Ya Allah Gusti. Astaghfirullahaladhim .... Astaghfirullahaladhim .... Astaghfirullah .... Astaghfirullah .... Bagaimana semua ini bisa terjadi, Nak? Ya Allah .... Adhim!" Nyai Azizah menangis keras di depan putranya sambil berkali-kali mengucap istigfar. Apa yang sebenarnya terjadi, Adhim telah menceritakan semuanya. "Ampuni Adhim, Umi. Maafkan Adhim," ucap Adhim sambil berusaha meraih kedua tangan uminya. Laki-laki itu bersimpuh di depan sang umi yang duduk di tepi ranjang kamar. Setelah mendengar semua cerita Adhim di ruang tamu, Nyai Azizah yang sangat terkejut langsung pergi ke kamarnya tanpa merespons apa-apa dengan kedua netra yang bercucuran larikma. Adhim pun langsung menyusul untuk meminta maaf hingga sang umi menangis keras sambil mengucapkan istigfar berkali-kali seperti tadi. "Kulo telah berbuat dosa besar, Mi. Kulo benar-benar menyesali perbuatan terkutuk itu. Tolon
Setelah keluar dari kamar sang umi, hal pertama yang Adhim lakukan adalah mencari keberadaan Pelita, sebab Adhim tidak menemukan presensi istrinya itu di ruang tamu ketika Adhim menghampiri ruangan terakhir ia melihat perempuan yang sedang mengandung anaknya itu. 'Pelita kamu di mana?' Adhim mengirimi Pelita pesan. Laki-laki itu hampir panik saat pesan yang ia kirim balon chat-nya hanya memiliki centang satu, sampai Ratna, sang kakak ipar, mendatangi Adhim tepat sebelum Adhim mencoba menelepon Pelita dengan nomor biasa. "Pelita Mbak minta pergi ke kamar kamu. Dia ada di sana, Dek. Tadi Mbak antar," kata Ratna. Adhim langsung menghembuskan napas lega. "Matur nuwun, Mbak," gumam laki-laki jangkung itu lalu bergegas pergi ke kamarnya. "Pelita," panggil Adhim begitu ia masuk kamar. Segera Admin mendapati Pelita berdiri membelakanginya, menatap potret dirinya bersama Zulfa yang tergan
Tidak ada yang berubah dari kamar Adhim. Masih bernuansa biru kehitaman dengan desain ruangan yang serupa luar angkasa. Seseorang seolah-olah akan bisa melihat langit malam yang bertabur bintang ketika berbaring di atas ranjangnya ketika menatap ke langit-langit atap. Sejak dulu memang didesain seperti itu oleh si empunya kamar. Di ruangan itu, Pelita mengelus-elus permukaan perutnya yang besar. Air matanya masih jatuh bercucuran. Semakin ke sini, Pelita merasa bahwa dirinya memang ditakdirkan tidak untuk mencecap bahagia. Pelita merasa semesta benar-benar kejam mempermainkan hidupnya. Sebab bahagia, kata itu tidak akan pernah bertahan lama memeluknya. "Pelita." Suara Adhim tiba-tiba terdengar. Laki-laki itu berdiri di ambang pintu kamar. Menatap Pelita sejenak di posisi itu kemudian menghampiri. Pelita yang semula diam dalam tangis langsung menyeka pipinya yang basah.
Tok tok tok! Beberapa menit setelah waktu jemaah salat Subuh dilangsungkan, seseorang mengetuk pintu kamar yang ditempati Adhim dan Pelita. Masih dalam balutan mukena sehabis salat, Pelita bergegas menuju pintu dan membuka papan kayu itu demi menemukan sosok Ratna yang tersenyum lebar ke arahnya. Cepat-cepat, Pelita menunjukkan senyum manisnya meski hal itu tentu tidak bisa menutupi wajah sembabnya dengan kedua belah mata yang memerah dan sedikit bengkak karena semalaman menangis. "Mbak Ratna," lirih perempuan berparas cantik itu. "Pelita," sahut Ratna masih sambil tersenyum. "Ini, ada buah jambu biji merah buat kamu." Ratna menunjukkan kresek hitam berukuran sedang berisikan beberapa butir buah jambu yang besar-besar. "Subuh tadi ada tetangga yang memberi hasil kebunnya ke Umi. Satu keranjang penuh. Abah menyuruh membawakan beberapa buat kamu sebelum sisanya dikasihkan ke mbak-mbak santri. Jam