"Bang, lo ada sesuatu sama Pelita?"
Pertanyaan lirih yang baru saja dilontarkan Aldo itu sukses membuat Adhim menghentikan aktivitasnya, mengikat gelang tali hitam dengan bandul batu giok warna hijau di ujung. Laki-laki berambut gondrong itu melirik sekilas ke arah temannya itu lantas meneruskan kegiatannya lagi, tanpa mengatakan sepatah kata pun. Merasa tidak mendapat respons, Aldo mencondongkan badannya ke arah Adhim. Menoleh ke arah pintu sejenak yang tidak sepenuhnya tertutup lantas berbisik lirih ke telinga Adhim setelah yakin tidak ada siapa-siapa di sekitar mereka, "Jangan bilang kalau Pelita adalah cewek itu." Adhim langsung menoleh cepat ke arah Aldo mendengar penuturan laki-laki itu. Mata elangnya menatap ke arah pintu sebentar lantas melihat wajah Aldo lagi. "Apa maksud lo?" tanya Adhim dengan wajah biasa. Namun, ada riak keterkejutan dalam parasnya. Aldo menghela napas. Ia bangkit dSetya pun segera berlalu. "Kenapa, Pelita?" June langsung melempari Pelita pertanyaan seperginya Setya dari hadapan mereka. "Kenapa kamu menghalangi aku menghajar laki-laki kurang ajar itu?" "Kak, tolong ...," lirih Pelita. June menghela napas sambil mengistirahatkan kedua tangannya di masing-masing pinggang. Dua buah kancing kemeja paling atasnya ia lepaskan serampangan. "Dia udah kurang ajar sama kamu," katanya beberapa saat kemudian, menatap lembut namun dengan suara yang masih bernada tidak terima. "Enggak, Kak." Pelita menggeleng dengan tatapan mata yang seolah memohon pengertian June. June mendesah sambil mengurut pangkal hidung bangirnya menggunakan sebelah tangan, "Aku nggak ngerti lagi sama kamu, Pelita. Bisa-bisanya kamu menyetujui kontrak kerja sama sama orang seperti Setya saat aku ke Singapura kemarin? Kamu seharusnya nggak taken kontrak itu!" Pelita tersenyum simpul
"Dengan keluarga Saudari Pelita?" June hendak pergi dengan seorang perawat untuk mengurus administrasi Pelita saat dokter yang menangani gadis itu keluar dari ruang pemeriksaan dan berujar seperti itu. June yang sudah akan bertolak pun berbalik, menghampiri sang dokter yang berdiri di depan pintu. "Ada apa, Dokter?" tanyanya. Arina yang juga berdiri di sana langsung mendekat ke arah June dan dokter laki-laki berusia empat puluh tahunan itu karena ingin tahu bagaimana keadaan Pelita. "Begini, saya perlu berbicara dengan suaminya. Apakah Anda suaminya?" tanya dokter itu lagi. Dahi June praktis mengernyit mendengarnya. Begitu pula dahi Arina. Kedua insan itu kemudian saling tatap kebingungan. Merasa telah terjadi sesuatu yang aneh, June akhirnya meminta Arina pergi menggantikannya mengurus administrasi Pelita di meja resepsionis bersama perawat yang sebelumnya akan pergi dengannya t
Di dunia ini tidak ada yang benar-benar Pelita percayai selain dirinya sendiri. Sebab semua orang selalu meninggalkannya, pergi, dan mengkhianatinya. Mamanya, Papanya, Leon, June, juga Arina. Semesta selalu mempermainkan Pelita melalui orang-orang yang disayanginya. Pelita tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia hancur. Seolah tidak ada jalan keluar lagi untuknya. Ia bahkan tidak bisa melarikan diri karena apa yang terjadi benar-benar membuat Pelita lumpuh kali ini. "Jawab, Pelita ... siapa ayah anak itu?" June masih menanyakan hal yang sama kepadanya dengan wajah laki-laki jangkung itu yang terlihat terluka dan air mata yang semakin nyata jatuh dari manik cokelatnya. Pelita semakin menundukkan kepala. Ia mencengkeram kain seprai ranjang rumah sakit dengan kedua tangan. Sebelumnya Pelita pikir semuanya akan baik-baik saja. Tidak akan ada sesuatu yang terjadi pada dirinya setelah kejadian itu.
Pelita keluar dari kamar rawatnya setelah menemukan tas kecil berisi ponsel dan dompet miliknya di atas nakas. Ia memakai tas itu dan merasa bersyukur karena tidak menemukan June ataupun Arina di luar saat ia melongok dari dalam kamar. Setelahnya, gadis itu mengayunkan langkah kakinya cepat-cepat menyusuri lorong panjang rumah sakit mencari jalan keluar. Keputusan Pelita sudah final, ia akan pergi. Ke mana pun asal tidak ada seorang pun yang bisa menemukannya. Tidak papanya, tidak kakaknya, tidak June, tidak Arina, dan tidak siapa pun itu yang berniat mencarinya. Soal pekerjaan dan kuliah, Pelita bisa memikirkan itu nanti. Yang penting sekarang dirinya harus pergi. Saat ia berbelok dari satu lorong ke lorong lain yang diyakini Pelita mengarah ke pintu keluar, gadis itu tercekat karena orang yang paling tidak ingin ditemuinya muncul tepat di depannya. Refleks, Pelita langsung memundurkan beberapa kali langkah kakinya.
Di bawah rindang pohon mangga, Aldo terduduk lemas dengan rerumputan hias taman sebagai alas duduknya. Gravitasi seolah sedang memaku laki-laki itu ke bumi sehingga Aldo tidak memiliki tenaga lagi untuk berdiri karena apa yang didengar telinganya beberapa menit lalu. Saat itu, Aldo baru tiba di sebuah rumah sakit Kota Bandung itu untuk menengok salah satu anak di rumah singgahnya yang sakit sekaligus bertemu dengan Adhim. Namun, di tengah perjalanan, ia melihat Arina berjalan terseok di belakang June dengan wajah berantakannya. Gadis berambut kecokelatan itu mengeluarkan air mata. Karena merasa penasaran dengan apa yang terjadi, Aldo pun mengikuti mereka secara diam-diam hingga sampai di taman rumah sakit itu dan mendengar berita mengejutkan yang membuatnya kehilangan energi seperti saat ini. Pelita hamil. Dan dari pembicaraan Arina dan June yang didengarnya, gadis itu sedang mengandung enam minggu sekarang. Aldo tidak bodo
"Apa lo bilang? Brengsek! Lo ngehamilin adek gue?" Leon menerjang June yang ada di depannya lalu mencengkram kuat kerah kemeja navy yang dikenakan temannya itu setelah mendengar berita apa yang June katakan. "Lo sendiri yang janji bakal jagain dia, June!" Leon menggeram dengan gigi bergemerutuk. "Iya. Gue emang ngizinin lo nikah sama adek gue kalau dia mau. Tapi kenapa lo hamilin dia, Bangsat?" Laki-laki itu melayangkan tinjunya ke wajah June. Namun, dengan sigap June menahannya dengan tangan kirinya. "Lo salah paham, Yon," kata June. "Gue nggak ngehamilin, Pelita," lanjutnya. "Bukan gue yang hamilin dia." June mencoba melepas cekalan Leon pada kerah kemejanya. "Bullshit!" Leon misuh tidak percaya. "Kalau bukan elo siapa?" Ia menatap nyalang June yang masih ada di depannya sambil mempererat cengkraman. "Gue sama sekali nggak nyangka, June, lo ... lo udah ngerusak kepercayaan gue sama elo!"
Srek srek srek ….Suara sikat yang beradu dengan cucian terdengar riuh di telinga. Belum lagi suara gemericik air yang mengguyur dan membasahi tubuh di balik pintu kamar mandi yang berjajar rapi di sepanjang blok itu. Ditambah para santri putri yang berbaris mengantre di luar masing-masing pintu yang juga menciptakan keributan. Di antara mereka, ada yang asyik bergosip, ada yang melakukan olah vokal, ada yang berteriak-teriak karena tidak sabar menunggu temannya di dalam, dan ada pula yang memilih berdiri menyandar di tembok sambil melalar hafalan nadhom.“Neng Zulfa, yakin tidak mau mencalonkan diri jadi ketua pondok putri tahun ini?” tanya seorang santri bernama Dewi sambil terus bergelut dengan cucian yang disikatnya.Santri putri berparas ayu di samping Dewi itu menggeleng, tangannya juga sibuk menyikat. “Tidak, De. Aku tidak pantas mencalonkan diri jadi ketua pondok,” jawabnya seperti gumaman. “Banyak yang lebih pantas dariku.”Suara lirihnya itu membuat Dewi, sang sahabat yang j
Zulfa Zahra El-FazaSudah dua minggu Gus Fatih resmi menjadi suamiku. Akad nikah diadakan di Kediri, rumahku. Lalu seperti adat orang ala Jawa Timuran, resepsi diadakan sehari setelahnya. Bedanya resepsi pernikahan kami dilangsungkan dua kali, sehari di Kediri dan sehari di Jombang.Acaranya tidak mewah tetapi cukup meriah. Yang hadir banyak, sangat malahan. Mereka wali para santri Abah-Umi, Kiai dan Bu Nyai—yang sekarang menjadi mertuaku, para alumni, tokoh masyarakat dan warga sekitar, saudara, kerabat, teman-temanku maupun Gus Fatih, juga tamu para masyayikh dari berbagai pesantren di Jawa Timur. Bahkan ada juga yang datang jauh-jauh dari Jawa Tengah dan Jawa Barat—para masyayikh sahabat kedua orang tua dan mertuaku. Semuanya datang untuk mendoakan pernikahanku.Ya, pernikahanku. Pernikahan ini bukan hanya sekadar pernikahan antara aku dan Gus Fatih, suamiku. Tidak sekadar menyatukan kami dalam ikatan suci. Secara tidak langsung pernikahan ini juga menjadi penyatuan dari dua pesant