Zulfa Zahra El-Faza
“Huh ... huh ... huh ....”Aku terperanjat dari posisiku dengan napas yang memburu. Tenggorokanku seperti tercekat, seolah ada banyak sekam yang mengganjal di dalamnya. Apa yang barusan kulihat benar-benar seperti nyata. Tubuhku bergetar mengingat jelas bagaimana detailnya.“Kenapa, Fa?”Menoleh ke samping kanan, aku melihat Gus Fatih yang juga terbangun dari tidur. Nada suara dan ekspresi wajahnya tampak begitu khawatir menatapku. Lampu meja yang berada di atas nakas bagian sisinya telah ia nyalakan. Membuat kamar kami yang semula gelap dirubung oleh cahaya remang-remang yang berasal dari pijarnya. Sekarang pukul dua dini hari.Bluk!Bukannya menjawabnya, aku langsung menyurukkan tubuh untuk memeluk masku itu. Sungguh, aku takut apa yang kulihat dalam mimpi benar-benar terjadi. Sangat takut sekali.“Kenapa, Cah Ayu?” Gus Fatih kembali menanyaiku.Aku bisa merasakan tubuhnya yang semula tegan“Apa yang kamu lakukan, Shofiya?”Aji menggeram sembari memelototi seorang perempuan cantik yang duduk di pinggiran ranjang tempat tidur. Wajah laki-laki itu merah padam dengan rahang mengeras yang mempertontonkan urat lehernya yang tegang menyembul, seolah mau lepas.Shofiya, perempuan yang menjadi penyebab marahnya gus muda yang tidak lain adalah suami perempuan itu sendiri hanya menunduk dengan nyali yang berada di ambang menuju angka nol.Dalam hati merutuki diri sendiri karena kebodohannya yang membuat Aji sampai memarahinya seperti ini. Ya, dia memang ingin berinteraksi dengan Aji. Interaksi manusia normal yang tinggal seatap dengan bercakap-cakap santai semisal. Tidak muluk-muluk, bukan? Namun, Shofiya tidak menyangka, saat untuk pertama kalinya Aji terlebih dulu mengajaknya bicara, suaminya itu malah menatapnya dengan bara kebencian di matanya.Mungkin tindakan perempuan itu memang melewati batas, tetapi di sisi lain benaknya membenarkan p
Zulfa Zahra El-FazaAku tidak tahu apa saja yang dimasukkan Gus Fatih dalam makanan yang dibuatnya. Yang jelas dari baunya, masakannya itu pasti sangat lezat. Aromanya begitu enak dan aku tidak sabar untuk mencicipinya.Selepas menyeretnya ke dapur khusus ndalem, Gus Fatih mendudukkanku di sebuah kursi yang tersedia di sana. Sejengkal saja aku kemudian tidak diizinkan untuk mendekat dan membantunya memasak.Boro-boro mengetahui bumbu apa saja yang dimasukkan dalam olahannya oleh suamiku itu, melihat bahan-bahan yang digunakannya secara menyeluruh pun aku tak bisa.Counter dapur terletak sekitar dua setengah meter dari tempatku duduk. Dan yang bisa kulihat dengan jelas sedari tadi hanyalah punggung tegap Gus Fatih yang masih berbalutkan baju koko warna hitam menutup semua kegiatannya.Ya, sedari tadi aku hanya disuguhi pemandangan bahu lebarnya itu sehingga tidak tahu apa saja yang sedang dikerjakannya di depan kompor listrik yang sampai s
Zulfa Zahra El-FazaPagi-pagi sekali, ndalem diributkan dengan kedatangan tamu istimewa.Aku yang sehabis Subuh sudah terkulai lemas karena morning sickness memutuskan bangkit dari ranjang dan melihatnya ke luar.Seharusnya pagi ini aku memiliki jam mulang di madrasah diniyah, tetapi karena kondisi yang tidak memungkinkan, aku meminta guru pengganti agar menggantikanku.Urusan dapur pun diambil alih sepenuhnya oleh Dewi. Dan saat sarapan bersama, aku memilih tetap berada di kamar sambil rebahan. Tidak makan dan hanya meneguk segelas susu hamil rasa mangga yang dibawakan oleh Gus Fatih. Sebab makan pun percuma, aku akan langsung muntah setelahnya.Sejauh ini aku tidak mengerti, pada minggu-minggu awal kehamilan aku tidak mengalami morning sickness seperti ini, ketika sudah tahu kalau sedang hamil saja, aku kemudian mulai merasakan gejala-gejalanya.“Mas Fatiiih ....”Aku mengernyitkan dahi saat tiba di pintu penghubung ru
Zulfa Zahra El-FazaApa yang terjadi di masa lalu tidak dapat dihapuskan. Apa yang terjadi di masa depan tidak ada yang bisa meramal. Dan apa yang terjadi saat ini, maka itu yang harus dijalani.Gus Fatih pergi.Hari itu, pagi setelah Lu'lu'il Misri-nya bertamu, Cak Danang mencarinya untuk mengurus perihal rumah makannya di Wonosalam. Padaku ia berpamitan begitu mesranya dengan mencium keningku di hadapan Laila.Aku mencoba memperingatinya tapi Gus Fatih tak peduli. Bahkan saat Laila berdeham, deheman tidak biasa yang kesannya dibuat-buat untuk mengingatkan eksistensinya di antara kami, Gus Fatih tetap tidak menghiraukannya sama sekali.Sekali lagi ia menciumku. Lalu seharian itu, sepupu cantik Gus Fatih yang berasal dari Mesir itu pun berakhir menggodaku. Aku sampai lupa yang namanya bisa mengangkat wajah tanpa tersipu karena Laila yang terus menggodaku tiada habisnya.Seperti kata Gus Fatih saat berpamitan, ia dan Cak Danang ti
Zulfa Zahra El-FazaSetelah melintasi meja-meja persegi panjang dengan beberapa pelanggan yang sedang menyantap makanannya di sana, kami berjalan melewati semacam lorong yang di sisi kanannya terdapat ruangan berpintu yang entah ruangan apa itu.Pintu kayu berpelitur ruangan dengan daun ganda itu ditutup sehingga tidak ada akses yang membuat mataku bisa menelisik ke dalam. Bingkai jendela yang terbuka pun tidak ada karena tampaknya memang tidak ada satu pun ventilasi berbentuk jendela di sana.Daripada lorong—yang sebenarnya terlalu luas jika disebut lorong itu, di sebelah kirinya terdapat jalan penghubung yang menurutku seharusnya jauh lebih mudah untuk dilewati jika ingin masuk ‘ke depan’. Namun karena alasan yang hanya diketahui Gus Fatih, dia mengajak kami melewati lorong itu.Berjalan lurus terus, di depan pintu kedua yang kami temui sepanjang lorong, Gus Fatih tiba-tiba menghentikan langkah kakinya. Ruangan kali ini terlihat lebih kecil dari
Zulfa Zahra El-FazaDi luar rumah makan, seorang pegawai mendatangi kami bertiga mengantar minuman.Aku tidak ingat Gus Fatih ataupun Laila memesan minuman itu sebelumnya. Tiga gelas orange squash dengan sedotan bergaris merah putih. Karena aku sendiri juga tidak memesan apa pun.“Matur nuwun, Yu.”Gus Fatih mengucapkan terima kasih kepada laki-laki pengantar minuman itu. Nametag BAYU terpasang di saku kiri kemejanya.Laki-laki bernama Bayu itu tersenyum. “Kentang goreng dan nasi kuningnya masih disiapkan di belakang, Gus,” ucapnya kemudian berjalan mundur. Persis cak-cak santri yang ada di ndalem ketika selesai menyuguhkan kudapan.“Wah, Mas tahu aja kalau aku kepengin makan nasi kuning.” Laila berbisik lirih ke arah Gus Fatih.Meja kecil yang kami duduki berbentuk lingkaran dengan tiga kursi yang kami duduki memutar. Jadi bertiga kami duduk saling bersisian. Aku bisa mendengar dengan jelas ucapan Laila.Gus Fa
Kami hanya jiwa-jiwa terluka yang bertemu di saat yang tidak tepat. Namun, jauh dari kata terlambat.Semoga ….***Zulfa Zahra El-FazaDi ruangan besar yang memiliki celah masuk berupa pintu berdaun ganda, aku tidak benar-benar istirahat seperti yang Gus Fatih minta. Yang kulakukan tetap duduk di pinggir ranjang sembari mengedarkan pandang ke sekeliling.Ruangan yang menyerupai kamar itu lebih besar ukurannya dari kamar kami di ndalem, begitu pun jika dibandingkan dengan kamarku yang ada di Kediri, yang ukurannya bisa dikatakan hanya empat per lima dari luas kali lebar kamarku dan Gus Fatih yang ada di ndalem Jombang itu.Lantainya bersih mengkilap dengan warna cream—sama seperti keramik yang dipasang di luar begitu juga corak abstraknya. Hanya bagian dinding yang dicat warna berbeda. Jika di luar dindingnya dicat dengan warna putih tulang, dinding kamar ini dipoles dengan cat warna biru langit. Tinggal ditambah lukisan dinding c
Sidoarjo, tengah hari“Kenapa sampean melakukan ini, Gus? Secinta itukah sampean pada Neng Zulfa?” lirih, tanya Shofiya.Lawan bicaranya hanya diam.Di kamarnya, perempuan itu menatap nanar wajah samping Aji yang tengah berdiri tepat di depan lemari.Sebuah kenyataan yang baru Shofiya dapat membuat perempuan itu memberanikan diri membuka percakapan lagi dengan sang suami setelah apa yang diperbuatnya tempo hari—menjebak suaminya dengan obat tidur dan obat perangsang.Berhadapan dengan Aji yang bersikap sedingin es kepadanya membuat manik hazel Shofiya sedikit berkaca-kaca—seperti biasa, hampir menangis. Namun, jangan pernah panggil ia Shofiya Nada Hannan jika perempuan itu tidak sanggup mempertahankan cairan larikma itu dalam kedua netra.Jika di festival film tahunan yang diadakan yayasan pondoknya dulu Zulfa berperan sebagai sutradara dan Zinda mengambil peran sebagai cameraman, maka Shofiya adalah pemeran wanita terbaik yang p
Setelah melaporkan penculikan Pelita ke kantor polisi, Adhim dan Aldo memutuskan mencari tempat penginapan di Karawang. Mereka memutuskan menginap semalam di sebuah hotel yang ada di kota itu sembari memikirkan langkah yang harus mereka lakukan selanjutnya. Mereka memesan satu kamar untuk berdua. Mengingat kondisi Adhim, Aldo tidak tega jika harus membiarkan Adhim tidur sendirian. Jam menunjukkan pukul 23.17 WIB. Aldo pamit keluar untuk mencari makan malam untuk dirinya dan Adhim. Ketika Aldo kembali, laki-laki berambut cepak itu mendapati Adhim yang terisak di atas hamparan sajadah dalam doanya. Aldo paham Adhim pasti sangat terluka dan cemas akan keadaan Pelita. Aldo menunda melangkahkan tungkainya benar-benar masuk ke dalam kamar itu apalagi membuat suara agar tidak mengganggu Adhim. Ia tetap bergeming di pintu sampai Adhim sendiri yang menyadari keberadaannya.
Grup Chat Cowok Soleh 🤟🏻😌 Dibuat oleh Aldoganteng, 05/11/xx AdhimHisyam: Istri gue diculik Arka Jeffreyy_: Hah? Kapan? Gimana bisa bang? Bondan😈: Kobisa bang? Arka kan lagi jadi buron Suta_cowoksunda: Mba Pelitanya udah ketemu? Pcc bang Bondan😈: Dimana diculiknya bang? [@Suta_cowoksunda (Pcc bang)] Otw nyamperin Jeffreyy_: Bang lo yakin mbak Pelita diculik Arka? Udah coba lo hubungi? Aldoganteng: Jangan banyak tanya lu pada. Bantu nyari!!! . Aldo melirik Adhim yang diam tanpa kata di sisinya. Seperti orang melamun dengan ponsel yang masih menyala di pegangan kedua tangannya. Mata cokelat laki-laki berambut gondrong itu tampak menatap kosong layar plasma benda pipih di tangannya itu. . Gru
Kedua kelopak mata itu terbuka pelan, mengerjap untuk menyesuaikan cahaya yang diterima oleh retina matanya, hingga tak lama kemudian, netra berwarna cokelat madu yang ada di baliknya terlihat dengan sempurna. Hatinya membatin; Ini di mana? Apa yang terjadi? Sampai ... Cklek! Suara pintu yang terkuak dari sisi sebelah kanannya menarik penuh atensinya. Kepalanya terasa pusing. Dan sosok yang muncul dari balik pintu yang kini berjalan ke arahnya dengan kedua tangan terlipat di depan dada itu langsung membuat kedua matanya membola. Tak lama kemudian ia pun sadar, sesuatu telah membatasi pergerakannya. Sosok yang lebih dari cukup untuk dikenalinya itu pun tersenyum menyeringai melihat keterkejutannya. **** Setelah kurang lebih satu jam berkendara dengan kecepatan biasa-biasa saja yang tentu saja
Bunyi nada sambung telepon itu terdengar beberapa kali tanpa sahutan, membuat subjek yang menelepon mengerutkan kening di awal dan segera didera keresahan setelah berkali-kali mengulang tetap tak mendapat balasan. "Pelita, ayo angkat telepon saya," desis Adhim kemudian berusaha menghubungi Pelita lagi. Tiba-tiba perasaannya menjadi sangat tidak enak kali ini. Mata sewarna kopi Adhim melirik jam di dinding kokoh apartemennya dengan tangan yang tetap sibuk menempelkan segenggam ponsel di telinga. Pukul 16.47 WIB, seharusnya waktu yang lebih dari cukup bagi Pelita untuk mengabarinya jika istrinya itu sudah akan atau bahkan sampai Kota Bandung. Tetapi kenapa belum? Dan mengapa pula Pelita tidak kunjung mengangkat teleponnya? Adhim mengacak-acak surai hitamnya pada percobaan ke sekian kalinya, Pelita tetap tidak menjawab panggilannya.
"Bang." Aldo yang baru kembali dari menuntaskan hajatnya di kamar mandi memanggil Adhim. Kini mereka ada di sebuah rest area Kota Bogor, habis beristirahat untuk menunaikan salat Zuhur dan mencari makan siang. Pekerjaan keduanya di Bogor sudah selesai. Lebih cepat dari yang Adhim dan Aldo perkirakan sebelumnya. Perkiraan semula, mereka akan menyelesaikan urusan bisnisnya di Bogor malam nanti, kemudian baru akan kembali ke Bandung keesokan pagi setelah mengistirahatkan diri. Namun ternyata tidak. Pekerjaannya selesai lebih cepat di luar prediksi. "Kita jadi balik Bandung habis ini, Bang?" tanya Aldo santai sembari mendudukkan dirinya kembali di sebuah bangku kayu yang ada di depan Adhim. "Hm," balas Adhim dengan gumaman. Manik cokelatnya mengawasi Aldo yang meraih gelas esnya dan meyesap minuman dingin itu tanpa sisa.
"Bang, lo harus lihat ini!" seruan Aldo itu berhasil membuat Adhim menoleh dengan dahi mengernyit begitu menatap apa yang ditunjukkan oleh temannya itu. "Apa ini, Do?" balas Adhim dengan tanya. Ia benar-benar tidak paham apa maksud titik-titik serupa koordinat yang ditampilkan Aldo di layar ponselnya. "Lo lihat titik ini? Ini lokasi kita, Bang, Bogor," terang Aldo. Sebelah alis Adhim terangkat menatap manik mata Aldo. "Iya. Terus?" tanyanya. "Lo lihat titik koordinat yang ada di Jakarta?" Kepala Adhim menggeleng ringan tidak paham apa yang hendak dikatakan temannya. "Ini titik koordinat yang ngasih tunjuk lokasi keberadaan Pelita, Bang." Kedua netra Adhim membola mencoba mencerna apa yang baru saja disampaikan Aldo kepadanya. "Maksud lo apa?" tanya Adhim. "Pelita? Di Jakarta?" "Jadi, lo tahu, Bang?" balas Aldo dengan tanya. "Dan emang bener, kalau Pelita ada di Jakarta?" Ia melempari tanya kepada Adhim lagi. Kepala Adhim menggeleng. "Nggak mungkin, Do.
Baru saja pesan itu terkirim, layar ponselnya langsung menampilkan notifikasi panggilan telepon dari Adhim. Pelita pun segera mengangkatnya. "Assalamualaikum, Pelita. Kamu sedang apa? Nggak tahu kenapa saya khawatir sama kamu." Pelita merasa bersalah mendengar nada cemas yang begitu kentara dalam suara Adhim itu. "Halo, Pelita. Ada apa? Kenapa saya tidak bisa menelepon kamu dari bakda Magrib tadi? Pelita? Halo?" Pelita menggigit bibir bawahnya. "H-halo, Kak Adhim. Waalaikumussamalam," jawabnya pada akhirnya setelah beberapa lama membisu dalam jeda waktu. "Maaf, Kak. Saya baru tahu Kakak nelepon." Ganti Adhim yang tidak langsung menjawab. "Pelita. Suara kamu ... kenapa?" sahut Adhim kemudian dengan nada penuh selidik. Kali ini Pelita merasakan tremor di tangannya menyadari suaranya yang pasti terdengar sengau setelah hampir seharian menangis di telinga Adhim. "Pelita?" Suara berat Adhim yang terdengar cemas mengalun lagi. "Halo, Pelita?" Pelita kali ini mencoba mengatu
Pelita menatap sendu tubuh papanya yang terbaring di atas bed rumah sakit dari kaca transparan berbentuk persegi panjang yang dipasang di permukaan pintu kamar rawat papanya itu, sejak beberapa menit yang lalu. Masih tidak menyangka, papanya yang bugar dan sehat ketika terakhir kali ditemuinya kini berbaring tak berdaya dengan tubuh yang kehilangan banyak berat badan dan pucat di atas brangkar itu, sedang diperiksa dan ditangani oleh dokter pribadinya. "Papa harus sembuh, Pa. Jangan tinggalkan Pelita kayak Mama." Perempuan itu berbisik lirih sembari menyeka matanya yang basah akan air mata. Pelita sudah terbiasa menangis tanpa suara. Ia hanya perlu mengendalikan isakan agar tidak keluar dari labiumnya. "Aku sayang Papa." Perempuan itu berusaha keras mengeyahkan rasa sesak yang mendera dadanya. "Pelita." Dokter Duta yang semula berada di dalam ruangan bersama beberapa orang perawat keluar menemui Pelita dan langsung dihadiahi pertanyaan olehnya. "Dokter, gimana kondisi Papa sa
"Maafin saya, Kak. Saya harus ke Jakarta tanpa bilang Kak Adhim. Papa saya butuh saya sekarang."Pelita bermonolog sendiri setelah memasukkan beberapa potong baju dan pakain ke tas tangannya yang memiliki ukuran sedang."Saya nggak mau ganggu kerja Kak Adhim," gumamnya lagi kemudian mengusap pipinya yang sedari tadi basah oleh air mata.Perempuan itu kini mengusap perut besarnya."Kamu juga yang kuat ya, Dek," katanya beralih mengajak bicara bayi yang ada di dalam kandungannya. "Mama harus ketemu Papanya Mama di Jakarta. Beliau butuh bantuan Mama. Maafin Mama yang bertindak egois karena harus pergi saat kamu udah mau lahir beberapa minggu lagi. Tapi Mama harus lakuin ini untuk kakek kamu. Mama minta tolong, bantu Mama, ya?! Kamu harus kuat, dan jangan rewel selama kita pergi tanpa Ayah kamu. Mama sayang kamu."Senyuman sedikit terukir di bibir cantik itu saat merasakan gerakan-gerakan yang dibuat bayinya yang seolah merespons setiap kata-