“Apa yang kamu lakukan, Shofiya?”
Aji menggeram sembari memelototi seorang perempuan cantik yang duduk di pinggiran ranjang tempat tidur. Wajah laki-laki itu merah padam dengan rahang mengeras yang mempertontonkan urat lehernya yang tegang menyembul, seolah mau lepas.Shofiya, perempuan yang menjadi penyebab marahnya gus muda yang tidak lain adalah suami perempuan itu sendiri hanya menunduk dengan nyali yang berada di ambang menuju angka nol.Dalam hati merutuki diri sendiri karena kebodohannya yang membuat Aji sampai memarahinya seperti ini. Ya, dia memang ingin berinteraksi dengan Aji. Interaksi manusia normal yang tinggal seatap dengan bercakap-cakap santai semisal. Tidak muluk-muluk, bukan? Namun, Shofiya tidak menyangka, saat untuk pertama kalinya Aji terlebih dulu mengajaknya bicara, suaminya itu malah menatapnya dengan bara kebencian di matanya.Mungkin tindakan perempuan itu memang melewati batas, tetapi di sisi lain benaknya membenarkan pZulfa Zahra El-FazaAku tidak tahu apa saja yang dimasukkan Gus Fatih dalam makanan yang dibuatnya. Yang jelas dari baunya, masakannya itu pasti sangat lezat. Aromanya begitu enak dan aku tidak sabar untuk mencicipinya.Selepas menyeretnya ke dapur khusus ndalem, Gus Fatih mendudukkanku di sebuah kursi yang tersedia di sana. Sejengkal saja aku kemudian tidak diizinkan untuk mendekat dan membantunya memasak.Boro-boro mengetahui bumbu apa saja yang dimasukkan dalam olahannya oleh suamiku itu, melihat bahan-bahan yang digunakannya secara menyeluruh pun aku tak bisa.Counter dapur terletak sekitar dua setengah meter dari tempatku duduk. Dan yang bisa kulihat dengan jelas sedari tadi hanyalah punggung tegap Gus Fatih yang masih berbalutkan baju koko warna hitam menutup semua kegiatannya.Ya, sedari tadi aku hanya disuguhi pemandangan bahu lebarnya itu sehingga tidak tahu apa saja yang sedang dikerjakannya di depan kompor listrik yang sampai s
Zulfa Zahra El-FazaPagi-pagi sekali, ndalem diributkan dengan kedatangan tamu istimewa.Aku yang sehabis Subuh sudah terkulai lemas karena morning sickness memutuskan bangkit dari ranjang dan melihatnya ke luar.Seharusnya pagi ini aku memiliki jam mulang di madrasah diniyah, tetapi karena kondisi yang tidak memungkinkan, aku meminta guru pengganti agar menggantikanku.Urusan dapur pun diambil alih sepenuhnya oleh Dewi. Dan saat sarapan bersama, aku memilih tetap berada di kamar sambil rebahan. Tidak makan dan hanya meneguk segelas susu hamil rasa mangga yang dibawakan oleh Gus Fatih. Sebab makan pun percuma, aku akan langsung muntah setelahnya.Sejauh ini aku tidak mengerti, pada minggu-minggu awal kehamilan aku tidak mengalami morning sickness seperti ini, ketika sudah tahu kalau sedang hamil saja, aku kemudian mulai merasakan gejala-gejalanya.“Mas Fatiiih ....”Aku mengernyitkan dahi saat tiba di pintu penghubung ru
Zulfa Zahra El-FazaApa yang terjadi di masa lalu tidak dapat dihapuskan. Apa yang terjadi di masa depan tidak ada yang bisa meramal. Dan apa yang terjadi saat ini, maka itu yang harus dijalani.Gus Fatih pergi.Hari itu, pagi setelah Lu'lu'il Misri-nya bertamu, Cak Danang mencarinya untuk mengurus perihal rumah makannya di Wonosalam. Padaku ia berpamitan begitu mesranya dengan mencium keningku di hadapan Laila.Aku mencoba memperingatinya tapi Gus Fatih tak peduli. Bahkan saat Laila berdeham, deheman tidak biasa yang kesannya dibuat-buat untuk mengingatkan eksistensinya di antara kami, Gus Fatih tetap tidak menghiraukannya sama sekali.Sekali lagi ia menciumku. Lalu seharian itu, sepupu cantik Gus Fatih yang berasal dari Mesir itu pun berakhir menggodaku. Aku sampai lupa yang namanya bisa mengangkat wajah tanpa tersipu karena Laila yang terus menggodaku tiada habisnya.Seperti kata Gus Fatih saat berpamitan, ia dan Cak Danang ti
Zulfa Zahra El-FazaSetelah melintasi meja-meja persegi panjang dengan beberapa pelanggan yang sedang menyantap makanannya di sana, kami berjalan melewati semacam lorong yang di sisi kanannya terdapat ruangan berpintu yang entah ruangan apa itu.Pintu kayu berpelitur ruangan dengan daun ganda itu ditutup sehingga tidak ada akses yang membuat mataku bisa menelisik ke dalam. Bingkai jendela yang terbuka pun tidak ada karena tampaknya memang tidak ada satu pun ventilasi berbentuk jendela di sana.Daripada lorong—yang sebenarnya terlalu luas jika disebut lorong itu, di sebelah kirinya terdapat jalan penghubung yang menurutku seharusnya jauh lebih mudah untuk dilewati jika ingin masuk ‘ke depan’. Namun karena alasan yang hanya diketahui Gus Fatih, dia mengajak kami melewati lorong itu.Berjalan lurus terus, di depan pintu kedua yang kami temui sepanjang lorong, Gus Fatih tiba-tiba menghentikan langkah kakinya. Ruangan kali ini terlihat lebih kecil dari
Zulfa Zahra El-FazaDi luar rumah makan, seorang pegawai mendatangi kami bertiga mengantar minuman.Aku tidak ingat Gus Fatih ataupun Laila memesan minuman itu sebelumnya. Tiga gelas orange squash dengan sedotan bergaris merah putih. Karena aku sendiri juga tidak memesan apa pun.“Matur nuwun, Yu.”Gus Fatih mengucapkan terima kasih kepada laki-laki pengantar minuman itu. Nametag BAYU terpasang di saku kiri kemejanya.Laki-laki bernama Bayu itu tersenyum. “Kentang goreng dan nasi kuningnya masih disiapkan di belakang, Gus,” ucapnya kemudian berjalan mundur. Persis cak-cak santri yang ada di ndalem ketika selesai menyuguhkan kudapan.“Wah, Mas tahu aja kalau aku kepengin makan nasi kuning.” Laila berbisik lirih ke arah Gus Fatih.Meja kecil yang kami duduki berbentuk lingkaran dengan tiga kursi yang kami duduki memutar. Jadi bertiga kami duduk saling bersisian. Aku bisa mendengar dengan jelas ucapan Laila.Gus Fa
Kami hanya jiwa-jiwa terluka yang bertemu di saat yang tidak tepat. Namun, jauh dari kata terlambat.Semoga ….***Zulfa Zahra El-FazaDi ruangan besar yang memiliki celah masuk berupa pintu berdaun ganda, aku tidak benar-benar istirahat seperti yang Gus Fatih minta. Yang kulakukan tetap duduk di pinggir ranjang sembari mengedarkan pandang ke sekeliling.Ruangan yang menyerupai kamar itu lebih besar ukurannya dari kamar kami di ndalem, begitu pun jika dibandingkan dengan kamarku yang ada di Kediri, yang ukurannya bisa dikatakan hanya empat per lima dari luas kali lebar kamarku dan Gus Fatih yang ada di ndalem Jombang itu.Lantainya bersih mengkilap dengan warna cream—sama seperti keramik yang dipasang di luar begitu juga corak abstraknya. Hanya bagian dinding yang dicat warna berbeda. Jika di luar dindingnya dicat dengan warna putih tulang, dinding kamar ini dipoles dengan cat warna biru langit. Tinggal ditambah lukisan dinding c
Sidoarjo, tengah hari“Kenapa sampean melakukan ini, Gus? Secinta itukah sampean pada Neng Zulfa?” lirih, tanya Shofiya.Lawan bicaranya hanya diam.Di kamarnya, perempuan itu menatap nanar wajah samping Aji yang tengah berdiri tepat di depan lemari.Sebuah kenyataan yang baru Shofiya dapat membuat perempuan itu memberanikan diri membuka percakapan lagi dengan sang suami setelah apa yang diperbuatnya tempo hari—menjebak suaminya dengan obat tidur dan obat perangsang.Berhadapan dengan Aji yang bersikap sedingin es kepadanya membuat manik hazel Shofiya sedikit berkaca-kaca—seperti biasa, hampir menangis. Namun, jangan pernah panggil ia Shofiya Nada Hannan jika perempuan itu tidak sanggup mempertahankan cairan larikma itu dalam kedua netra.Jika di festival film tahunan yang diadakan yayasan pondoknya dulu Zulfa berperan sebagai sutradara dan Zinda mengambil peran sebagai cameraman, maka Shofiya adalah pemeran wanita terbaik yang p
Hujan turun mengguyur. Tanpa tanda. Merintik lebat meski tak deras. Di antara bungkusan hujan, mobil sedan Fatih menderum turun perlahan dari dataran yang lebih tinggi.Hari menjelang petang. Setelah mengimami salat Asar di dangau rumah makan miliknya, laki-laki itu memutuskan mengajak Zulfa dan Laila kembali ke pesantren. Namun siapa sangka, di tengah perjalanan langit tiba-tiba merintikkan airnya padahal sebelumnya tampak begitu cerah tanpa gelayut awan mendung sedikit pun.Zulfa duduk diam di samping kiri suaminya itu. Dan seperti sebelumnya pula, Laila duduk di belakang mereka di jok kursi penumpang belakang. Menyenandungkan lagu berbahasa Arab yang tidak pernah Zulfa dengar sebelumnya sembari mengutak-atik kamera guna meneliti gambar hasil jepretannya. Semacam qashidah, tetapi bukan selawat. Dari lirik-liriknya yang dapat Zulfa artikan, Laila menyanyikan lagu yang mengisahkan pasal cinta dan kerinduan.Zulfa ingin bersuara, tetapi wajah Fatih yang tam