Felix merasa senang ketika dia bertemu orang yang dikenalnya. Lelaki itu tertawa ketika masuk ke dalam lambung kapal dagang. Dia menemui Samantha yang disekap semalaman. "Bagaimana kabarmu, Nak?" Felix bertanya sembari membuka penutup wajah tawanannya."Ah, apa maksudmu? Basa-basi.""Kau tahu, suasana hatiku sedang senang hari ini."Samantha tidak peduli. Dia memasang wajah ketus. "Aku merasa jika kabar baik ini harus disampaikan kepadamu.""Aku tidak mau tahu!"Felix kembali tertawa. Suaranya agak menggema dalam ruangan kosong nan luas. "Kapan kau akan melepaskan aku?""Kau harus bersabar." Felix berbalik badan. "Sekarang, sudah saatnya kau sarapan."Felix berjalan pelan meninggalkan Samantha. "Aaaa! Aku menyesal telah menyelamatkanmu! Seharusnya aku biarkan saja kau dimakan hiu!"Felix hanya tertawa ketika kembali diingatkan akan kejadian hiu yang memangsa seorang anak buahnya hingga tewas. Andaikan kala itu si hiu tidak ditusuk matanya oleh Samantha maka mungkin Felix pun akan
Si Tuan Besar mendorong tubuh Felix. Tapi, upaya lelaki paruh baya itu tidak berhasil membuat tubuh jangkung lawannya terjengkang. "Hahaha, aku sudah mengira kau akan marah besar.""Berani-beraninya kau menyentuh gadis itu!" seraya melayangkan tinju, Tuan Besar membentak Letnan Felix. Perkelahian pun terjadi antara keduanya. Pulpen, benda yang semula menjadi awal pertengkaran hanya tergeletak di atas meja. Benda itu berbahan logam warna hitam dengan ujung pena berbahan emas. Terukir dengan huruf kaligrafi bersambung agak miring nama dari pemiliknya: Samantha Anderson. "Aku akan membunuhmu!" si Tuan Besar memiliki alasan kenapa dia marah. "Silakan, jika kau berani?"Felix mundur ke arah dinding sedangkan si Tuan Besar mengambil pulpen di atas meja dengan tangan kanannya. "Aaa!" Pulpen dijadikan senjata untuk menusuk wajah Felix. "Bajingan!"Ujung benda itu memang tajam, bisa dijadikan alat untuk melukai. Karena alasan itu pula si Tuan Besar meraih benda tersebut dari meja kemudian
Samantha merasa heran ketika digelandang keluar dari lambung kapal. Tidak terdengar suara berisik selayaknya sebuah pertempuran pernah terjadi di sana. Ada dua tangan dari orang yang berbeda terasa memegangi kedua lengan gadis itu. Dia tahu jika lantai yang diinjak adalah geladak kapal dagang. Meskipun matanya tidak bisa melihat sekeliling, tapi gadis itu sudah hafal jalan yang dilalui karena pernah melalui tempat itu sebelumnya. Telapak kaki Samantha bisa merasakan betapa lantai kapal terasa licin karena usia kapal itu yang sudah tua. Entah berapa lama kendaraan yang ditumpangi pernah melaut serta diterpa cuaca yang berbeda pada setiap wilayah yang dilaluinya. "Buka penutup wajahnya!" terdengar suara seseorang memberi perintah. Walaupun samar, Samantha bisa menerka jika suara itu keluar dari mulut Letnan Felix. Kain hitam penutup wajah itu pun dibuka. Udara segar terhirup sehingga sedikit melegakan pikiran karena bisa melihat apa yang tengah terjadi di sekelilingnya. Ternyata, bany
"Hei hei hei!" Tuan Edmund berteriak ketika melihat Felix berniat membunuh Samantha, "tenang ... kita bisa membicarakan ini." Naluri seorang ayah untuk melindungi putrinya memang ada dalam diri Edmund. Mata lelaki itu berkaca-kaca, tak kuasa membayangkan jika kematian putri tunggalnya terjadi hari itu juga. "Aku masih menginginkan putriku hidup. Kau tahu itu," suara Tuan Edmund terdengar gugup. "Benarkah?" Samantha mempertanyakan omongan ayahnya sendiri. "Tenu saja, Sayangku.""Jika demikian, lantas kenap ayah meninggalkan aku dan ibu?""Ah, aku rasa kau mengerti ... jika ini bagian dari pekerjaan."Samantha memalingkan wajah dari pandangan mata ayahnya. Air mata tidak lagi membasahi pipi. Karena wajahnya yang kusam, bekas aliran air mata membentuk garis di wajah. Gadis itu tampaknya sulit menghilangkan kekesalan kepada sang ayah. Bagaimana tidak, Edmund meninggalkan anak dan istirnya begitu saja demi mengamankan harta curian dari orang-orang yang mungkin kembali mencurinya. Feli
Keesokan harinya, kapal Angkatan Laut yang dipimpin oleh Letnan Felix berlayar menuju tempat yang dimaksud oleh Edmund Anderson. Mereka berpisah dengan tawanan lain yang diangkut menggunakan kapal dagang menuju kota Pontianak bersama kapal Kalajengking Hitam yang akan diserahkan kepada Sultan sebagai barang bukti. Sedangkan Samantha tetap menjadi tawanan Felix sebagai jaminan jika pengakuan Tuan Edmund bukanlah bualan belaka. "Oh, aku mengerti, kau ingin disanjung oleh pejabat-pejabat di Singapura karena telah menemukanku, sekaligus mendapatkan pujian dari Sultan Pontianak karena telah melumpuhkan perompak," Edmund menggelengkan kepala. "Baguslah jika kau mengerti, Tuan." Felix tersenyum. Dia tampak senang karena telah menyelesaikan satu misi kemudian berlanjut pada misi selanjutnya. "Dasar serakah!" Edmund bicara pelan, "kadang aku mempertanyakan kesetiaanmu.""Saya setia kepada orang yang sanggup membayar saya, Tuan."Samantha enggan banyak bicara bahkan ketika Felix mengajaknya
"Apa maksud Ayah?" Samantha melotot kepada Tuan Edmund. "Ah, aku tidak menjamin kedatangan orang tak dikenal tidak akan mengakibatkan malapetaka."Perkataan Edmund didengar oleh Felix yang masih terkantuk-kantuk. Namun, orang yang diperhatikan tidak terlalu peduli. Lelaki paruh baya itu memilih untuk memalingkan wajah. Samantha tahu jika maksud dari ayahnya tidaklah main-main. Keriuhan di atas geladak kapal Angkatan Laut bertambah setelah semua kru kapal terbangun. Mereka dibangunkan oleh temannya sendiri setelah memperoleh perintah dari Letnan Felix. "Ha, tampaknya kau panik, Letnan. Kenapa pula harus membangunkan semua orang." Tuan Edmund bicara sekenanya. "Kau takut jika kapal yang mendekat malah menyerang kapal ini ....""Diam! Itu hanya kapal nelayan yang terhempas gelombang. Buat apa kami susah-susah." Felix tidak ingin kehilangan muka di depan anak buahnya sendiri. Samantha mulai mengerti alasan kenapa Letnan Felix harus membangunkan kru yang tengah tertidur. Mereka harus b
Samantha naik ke atas perahu layar. Entah perahu milik siapa. Pemiliknya pun belum sempat memperkenalkan diri. "Kita menjauh dari sini, Nona.""Bagaimana dengan ayahku? Aku tidak ingin meninggalkan dia sendirian di sana." Samantha menunjuk dengan tangan kirinya sebuah kapal yang tengah terbakar. "Ini permintaan Tuan Edmund, Nona. Sebaiknya kau mengikuti rencana kami." Lelaki itu kini membuka sehelai kain yang menutupi wajahnya. "Menurut saya, ini pilihan terbaik, Nona."Samantha heran ketika lelaki pemilik perahu membicarakan tentang "rencana" . Dia juga menyebutkan nama "Tuan Edmund" seakan sudah saling kenal lama. Gadis itu menghela nafas sembari terus berpikir keras. Memikirkan alasan kenapa peristiwa yang baru saja dialaminya tiba-tiba saja terjadi. "Sebenarnya, kau siapa?""Ah, nanti saja kita bicara. Sekarang, kita harus segera menjauh dari penjahat keparat itu." Si lelaki pemilik perahu bicara sembari menahan luka yang menganga di perutnya dengan tangan kiri. Sedangkan tanga
"Siapa kamu sebenarnya?" Samantha bersikukuh ingin mengetahui siapa orang yang telah menolongnya. Seorang lelaki Melayu bertubuh sedang setidaknya demikian bila dibandingkan dengan balatentara bayaran pimpinan Felix. Wajahnya dihiasi kumis tipis serta alis tebal dekat kelopak matanya. Dia tampak kelelahan karena kurang tidur semalaman."Apakah kau bagian dari komplotan Kalajengking Hitam?" Samantha terus menelisik. "Bukan. Bahkan saya tidak mengenal mereka." Orang itu tersenyum. Samantha memiliki banyak pertanyaan dalam benaknya. Bahkan kecurigaan pun muncul dalam pikiran. Namun, dia tidak ingin orang yang baru dikenalnya merasa tidak nyaman jika gadis itu terlalu memperlihatkan rasa curiga. "Terima kasih, terima kasih karena telah menyelamatkan aku.""Oh, Nona. Seharusnya anda berterimakasih kepada ayah anda sendiri," seraya menawarkan sepotong roti, "bukan kepada saya."Samantha baru menyadari jika orang ini memang anak buah Tuan Edmund setelah mengatakan hal demikian. "Jadi, ay
Berbulan-bulan kemudian ...***Samantha dan James kembali melakukan perjalanan ke pedalaman hutan Borneo. Bukan tanpa tujuan, justru mereka ke sana untuk dua tujuan. Kali ini, mereka mempersiapkan banyak hal. Menggunakan tiga perahu yang bisa memuat banyak barang, akhirnya rombongan berhasil mencapai danau sebagai habitat kelelawar raksasa. Tujuan utama dari James, menangkap si makhluk eksotis untuk dijadikan koleksi. Dimana misi sebelumnya mereka gagal membawa pulang hewan liar nan langka tersebut. "Ah, aku tidak menyangka jika akan kembali lagi ke tempat ini," Samantha menghela nafas panjang. Kedua tangannya memegang pinggang sambil meringis. "Sungguh tempat yang membuat aku rindu.""Ya, memang tempat yang mengundang kerinduan." James pun turun dari perahu kemudian menginjakkan kaki di atas tanah berumput. "Tapi, kali ini perjalanan terasa melelahkan dibandingkan pertama kali ke sini.""Karena sekarang kau tengah hamil." James masih tetap bicara ketus sambil menyiapkan senapan y
Sekitar satu tahun kemudian ...***Kala itu, akhir pekan nan ramai oleh orang yang melakukan hal sama. Kota Singapura, menjadi tempat persinggahan bagi Samantha dan James setelah melakukan perjalanan bersama mengelilingi pulau Sumatera. Kini, keduanya kembali menuju kota tersebut karena masih ada Nyonya Edmund sebagai orang tua yang biasa dikunjungi. Kedua sejoli menghabiskan waktu bersama di dalam kota sejak pagi. Selain mengunjungi taman kota, mereka pun sempat singgah di sebuah toko barang serba ada yang menyediakan banyak keperluan. "Nah, ini toko langgananku," James turun dari kereta kuda kemudian berdiri tepat di depan sebuah toko yang dijaga oleh seorang lelaki Cina. "Haia, selamat datang, Tuan." Si Pemilik Toko menyambut mereka dengan ramah. "Apa kabar, Tuan?""Lebih baik, dibandingkan terakhir kali aku datang ke sini."Pemilik toko itu tampaknya tidak terlalu ingat kepada James. Mungkin sudah begitu banyak orang yang datang ke sana serta ingatannya pun mulai buruk sehingg
Dalam benak Samantha, "sudah sejauh ini aku melangkah, maka aku harus menyelesaikannya," ketika Martin menodongkan senapan tepat di belakang lehernya. Hanya memiliki waktu beberapa saat saja untuk menentukan apakah bertarung sampai mati atau menyerah sebagaimana yang diinginkan pihak lawan. Kedua tangan gadis itu diangkat ke atas sambil menatap ke dalam ruangan gelap di bawah kabin. Belum bisa melihat bagaimana keadaan sang ibu, tetapi mendengar suara saja sudah bisa dipastikan jika wanita itu tidak baik-baik saja. "Martin, hentikanlah," terdengar suara parau dari Nyonya Edmund. "Kau boleh mengambil apa yang kau inginkan, tapi lepaskan anakku. Jangan kau sakiti dia."Martin tidak menghiraukan perkataan dari kakak iparnya. "Dia tidak tahu apa-apa."Samantha menantikan bagaimana sang paman bereaksi. Tetapi, bisa diduga jika Nyonya Edmund pun tidak tahu jika sang putri sudah tahu kebusukan pamannya tersebut. "Jika kau menginginkan harta itu, ambillah. Aku tidak membutuhkannya." Nyony
Kapal Orion bergoyang-goyang setelah lubang menganga terbentuk di buritan bagian bawah. Dalam keadaan demikian, mistar layar bergoyang-goyang, membuat Samantha kesulitan menjaga keseimbangan. Ditambah, pinggang sebelah kanan gadis itu terluka. Darah membasahi bajunya sehingga berubah warna menjadi merah. Di buritan, ada seseorang yang siap menembak untuk kedua kalinya. Kali ini, dia bisa mengenali wajah orang itu. "Martin," batin Samantha berusaha memastikan jika orang yang akan membunuhnya adalah pamannya sendiri. Dor!Sekali lagi, suara senapan terdengar. Samantha berhasil mengelak dengan cara menggantungkan tubuhnya seperti seekor kelelawar. Kepala di bawah dengan kaki masih mengapit mistar layar. Tapi, tidak ada peluru yang mengenai tubuhnya. "Terima kasih, James." Bola mata Samantha tertuju kepada James yang merebut senapan dari tangan Martin. Mereka berdua pun terlihat bergumul.Bagi Samantha, dia tidak boleh terlihat kesakitan di mata James. Maka dari itu, rasa sakit pada
Setelah berbagai upaya dilakukan, pada akhirnya kapal Orion berhasil didekati oleh kapal Liberty. Posisi keduanya melaju dalam satu garis sehingga berlayar secara beriringan. Posisi yang tidak ideal untuk menembakkan meriam karena meriam-meriam dipasang di sisi lambung kapal. Dan, untuk menembakkan meriam, kedua kapal harus berada dalam posisi menyamping. Kecuali, meriam didorong hingga terpasang di posisi yang dikehendaki. Namun, itu pun bukan ide yang baik karena akan sangat merugikan. "Ah, mereka tahu kekuatan kapal ini," Samantha menyimpulkan keadaan. "Tentu saja, Nona. Kedua kapal berasal dari galangan yang sama."Kapal Orion tidak memulai untuk menembakkan meriam. Begitupula, kapal Liberty. Alasannya, "jaraknya belum cukup, Kapten." Samantha memberikan perkiraan. Apa yang akan dilakukan oleh Samantha dan para awak kapal Liberty bisa dibilang bentuk kenekatan semata. Cukup jelas terlihat awak kapal musuh sudah siap untuk menembak. Andaikan pihak kapal Liberty memulai seranga
Dalam usia yang masih belia, Samantha memiliki musuh besar. Bukan hanya musuh biasa, gadis itu harus berhadapan dengan seorang pejabat Britania Raya yang memiliki kekuasaan. Orang tersebut masih memiliki pertalian kekerabatan dengannya, Paman Martin. "Jadi, dia pamanmu, Nona?" Kapten Sayyid bertanya demi meyakinkan dirinya sendiri tentang siapa yang tengah dihadapi. "Saya pun pernah mendengar namanya. Dia pejabat di Pontianak.""Ya, betul. Dia menikah dengan adik ibu saya.""Oh, adik ipar yang culas."Samantha tersenyum ketika mendengar komentar dari sang kapten. Gadis itu menoleh kepada Sayyid yang bertindak sebagai jurumudi. Sebuah senyuman ironi tersungging dari bibirnya. Mendengar cerita dari Samantha, sepertinya pria keturunan Arab itu punya alasan untuk terus menatap ke depan demi mengejar kapal Orion yang melaju begitu kencang. "Nona," terdengar Iskandar berteriak dari geladak, "semua sudah siap!" Samantha mengacungkan ibu jari. Iskandar pun kembali masuk ke dalam lambung k
Samantha kesal sekaligus kaget karena dia harus dihadapkan pada situasi yang mengejutkan. Untuk sekian kalinya, gadis itu menghadapi keadaan yang selalu membutuhkan kekuatan mental lebih besar dari keadaan biasanya. Menghadapi seekor buaya, diterkam ikan hiu atau dikurung dalam sumur tua, ternyata belum seberapa jika dibandingkan dengan keadaan saat ini. "Hei, bajingan! Lepaskan ibuku!" Samantha berteriak lantang tatkala dua kapal saling mendekat. Suara orang tertawa terdengar dari kapal Orion. Ketika mendengar orang tertawa itu emosi Samantha semakin memuncak. Tangan kanannya memukul tiang layar untuk melampiaskan kekesalan. Lagi, terdengar suara orang tertawa terbahak-bahak dari atas geladak kapal Orion. "Kenapa kau melakukan ini kepada kami?! Apakah kematian ayahku tidak cukup untuk menyiksa kami?!" Tidak ada jawaban yang jelas atas pertanyaan dari Samantha. "Baiklah, apa maumu?"Orang yang diajak bicara itu ternyata menjawab dengan mantap, "kau pergi dari negeri ini bersama
Samantha berdiri di haluan. Di pinggangnya tergantung pedang panjang menjuntai nyaris menyentuh lantai. Tangan kanannya memegang teropong yang digunakan untuk melihat ke depan. Suatu benda yang terapung di permukaan air laut. "Kau yakin?""Sejujurnya aku belum begitu yakin dengan keputusan yang kita ambil." Samantha menjawab pertanyaan dari James dengan suara pelan. "Aku hanya merasa ....""Tenang saja, kau tidak perlu mengkhawatirkan aku. Bagaimanapun, aku harus bisa melakukan ini demi keselamatan kita semua."Pada akhirnya, Samantha dipercaya untuk menjadi juru runding. Meskipun dia seorang gadis muda yang tidak berpengalaman, namun semua awak kapal yakin jika seorang gadis keturunan Inggris memiliki posisi tawar lebih kuat dibandingkan orang-orang Melayu ataupun orang Arab. Mereka berharap jika kapten kapal Inggris yang akan berpapasan nanti memberi mereka izin untuk terus melaju. "Mereka mendekati kapal kita!" suara Iskandar lantang berteriak dari atas tiang layar. Pemuda itu ta
Samantha menatap lautan luas. Dari kejauhan, tampak beberapa pulau kecil. Bisa diperkirakan jika pulau tersebut tidak berpenghuni. Hanya dijadikan tempat berlabuh sementara bagi para pelaut tatkala ada kendala ketika melaut. "Aku berharap tidak ada lagi kendala atau halangan apa pun yang bisa menghambat perjalanan kita.""Ya, aku selalu berharap demikian," James bicara sembari mengangkat alis sedangkan bibirnya ditarik ke bawah. "Hei, aku serius. Kenapa kau berpikir jika tantangan selalu ada. Apakah menurutmu tantangan selalu menyenangkan?"James menganggukkan kepala. "Terkadang begitu. Aku merasa jika kendala dalam perjalanan menjadi hiburan tersendiri ....""Hiburan? Ah, kau ini terluka sedikit saja sudah banyak mengeluh." Samantha memegang bahu James yang terluka. "Seperti anak kecil.""Hei, sakit!" "Tuh, kan."Awak kapal Liberty seakan enggan turut campur pada mereka berdua. Semua orang mengerti bagaimana rasanya kasmaran. Ketika menyaksikan dua sejoli yang sedang jatuh cinta,