Samantha naik ke atas perahu layar. Entah perahu milik siapa. Pemiliknya pun belum sempat memperkenalkan diri. "Kita menjauh dari sini, Nona.""Bagaimana dengan ayahku? Aku tidak ingin meninggalkan dia sendirian di sana." Samantha menunjuk dengan tangan kirinya sebuah kapal yang tengah terbakar. "Ini permintaan Tuan Edmund, Nona. Sebaiknya kau mengikuti rencana kami." Lelaki itu kini membuka sehelai kain yang menutupi wajahnya. "Menurut saya, ini pilihan terbaik, Nona."Samantha heran ketika lelaki pemilik perahu membicarakan tentang "rencana" . Dia juga menyebutkan nama "Tuan Edmund" seakan sudah saling kenal lama. Gadis itu menghela nafas sembari terus berpikir keras. Memikirkan alasan kenapa peristiwa yang baru saja dialaminya tiba-tiba saja terjadi. "Sebenarnya, kau siapa?""Ah, nanti saja kita bicara. Sekarang, kita harus segera menjauh dari penjahat keparat itu." Si lelaki pemilik perahu bicara sembari menahan luka yang menganga di perutnya dengan tangan kiri. Sedangkan tanga
"Siapa kamu sebenarnya?" Samantha bersikukuh ingin mengetahui siapa orang yang telah menolongnya. Seorang lelaki Melayu bertubuh sedang setidaknya demikian bila dibandingkan dengan balatentara bayaran pimpinan Felix. Wajahnya dihiasi kumis tipis serta alis tebal dekat kelopak matanya. Dia tampak kelelahan karena kurang tidur semalaman."Apakah kau bagian dari komplotan Kalajengking Hitam?" Samantha terus menelisik. "Bukan. Bahkan saya tidak mengenal mereka." Orang itu tersenyum. Samantha memiliki banyak pertanyaan dalam benaknya. Bahkan kecurigaan pun muncul dalam pikiran. Namun, dia tidak ingin orang yang baru dikenalnya merasa tidak nyaman jika gadis itu terlalu memperlihatkan rasa curiga. "Terima kasih, terima kasih karena telah menyelamatkan aku.""Oh, Nona. Seharusnya anda berterimakasih kepada ayah anda sendiri," seraya menawarkan sepotong roti, "bukan kepada saya."Samantha baru menyadari jika orang ini memang anak buah Tuan Edmund setelah mengatakan hal demikian. "Jadi, ay
"Hantu laut?" Felix memelototi anak buahnya. "Kau pikir apa yang telah terjadi kepada kita adalah ulah dari hantu laut?""Saya kira begitu, Tuan Komandan.""Ah, omong kosong!"Kemarahan Letnan Felix membuat seluruh kelasi bertambah lelah. Tidak ada waktu untuk beristirahat bagi anak buah kapal Angkatan Laut setelah peristiwa kebakaran malam tadi. Felix tak henti-hentinya mencaci maki anak buahnya karena keteledoran. Tentu saja prajurit yang mendapatkan tugas ber jaga malam menjadi pihak yang paling disalahkan. Mereka pula yang memperoleh hukuman paling berat. "Maafkan kami, Tuan," seorang prajurit tertunduk lesu karena amarah sang pimpinan. "Ah, mudah sekali kalian meminta maaf."Hukuman menjadi hal yang lazim diterima para pelaut ketika melakukan kesalahan. Mereka terpaksa menerima begitu saja hukuman tersebut serta tidak bisa menghindar. Lagipula menghindar ke mana, tidak ada tempat untuk melarikan diri. Hanya lautan luas sepanjang mata memandang. "Karena kalian yang berdosa, aku
"Apakah kau benar-benar pernah melihat 'harta curian' yang telah dikumpulkan oleh ayahku?" Samantha mencoba menelisik pengetahuan Si Pria Pemilik Perahu. Gadis itu menyimpan begitu banyak pertanyaan yang harus diperoleh jawabannya. Maka dari itu, ketika bertemu anak buah Tuan Edmund menjadi kesempatan untuk mencari tahu lebih banyak jawaban dari pertanyaan tesebut. Lelaki itu enggan menjawab. "Ah, lagi-lagi kau menyimpan rahasia.""Nona, bukannya saya tidak mau menjawab. Pertanyaan dari Nona sungguh membingungkan."Samantha heran dengan tanggapan lelaki yang tengah mengendalikan laju perahu. "Kami tidak pernah diberitahu apa pun yang tidak perlu kami tahu." Samantha pun menoleh pada perahu lain. Jarak antara perahu yang tengah ditumpanginya hanya beberapa meter saja sehingga cukup untuk saling bicara satu sama lain. "Mereka pun tidak akan tahu, Nona. Kami hanya bertugas menyelematkan dirimu serta membawanya ke tempat yang lebih aman."Samantha menoleh ke arah lain. Perahu yang s
"Hantu laut! Hantu laut!"Suara teriakan itu didengar oleh Felix yang tengah duduk santai di buritan. Sebilah pisau menjadi temannya kala bersantai. Benda tersebut dijadikannya alat untuk membelah buah kering di tangan. Ada kekesalan ketika anak buahnya meributkan tentang "hantu laut". Karena hal itu, dia pun mengacungkan pisau itu sembari berteriak, "siapa yang membicarakan 'hantu laut' maka aku akan membunuhnya!"Anak buahnya yang semula berisik, kini terdiam. "Felix, mungkin anak buahmu benar. Mereka tidak sedang mengigau," ternyata Tuan Edmund tertarik untuk ikut bicara. "Ah, kau tidak usah meracuni pikiran mereka."Edmund tertawa. "Aku hanya menyampaikan kenyataan.""Diam!""Hei, ingat peristiwa malam kemarin? Kekacauan terjadi di sini setelah mereka melihat hantu laut."Felix terdiam. Entah apa maksud dari Edmund _sebagai tawanan_ ketika bicara dengan nada terkesan meledek. Edmund jelas mempermalukan Felix sebagai pemimpin di atas kapal. Felix berusaha agar tidak terpengaruh
"Di sana!" seseorang menunjuk pada kegelapan.Tentu saja semua perhatian tertuju kepadanya. Senapan di tangan terarah kepada "sesuatu" yang dimaksud. Mereka siap melepaskan tembakan walaupun pada akhirnya tidak setiap objek dalam kegelapan bisa terlihat dengan jelas. "Ya ya, di sana!""Itu perahu layar!"Setiap orang berteriak demi memperjelas apa yang tengah mereka hadapi. Felix _sebagai komandan_ harus bisa menyaring informasi yang diterima dari penglihatan para prajurit. Dia hanya berdiri di tengah-tengah mereka, tidak ada orang lain yang boleh memberi perintah karena kekuasaan ada di tangannya. "Jangan sampai lengah, perahu layar itu bukan hal yang harus diperhatikan!"Anak buah kapal tidak menyahut. "Ah, penumpang perahu itu mungkin menghilang!"Felix berlari-lari di tepi geladak. Kemudian menengok ke bawah. Cahaya dari lentera tidak cukup memperjelas apa yang ada di sana. Hingga, suara teriakan terdengar dari haluan."Itu dia!"Ternyata seorang lelaki berpakaian basah tengah
Samantha hanya melihat titik cahaya dari kejauhan. Dia tidak bisa memastikan apa yang tengah terjadi di atas kapal Angkatan Laut pimpinan Letnan Felix. Gadis itu pun tidak bisa mengetahui apa yang terjadi kepada Tuan Edmund, sang ayah. Hal yang bisa dilakukannya hanyalah menunggu di atas perahu layar bersama seorang lelaki si pemilik perahu. "Apakah kau bisa menjamin jika rencana kalian berhasil?" "Sebuah pertanyaan yang tidak bisa saya jawab, Nona. Maaf," lelaki si pemilik perahu bicara pelan tanpa melakukan apa-apa. "Oh, Tuhan. Andaikan aku tidak mengacaukan semuanya." Samantha tiba-tiba saja digerayangi rasa bersalah dalam pikirannya. "Seharusnya aku pura-pura tidak tahu jika ayahku memang diculik.""Maaf, Nona. Saya pun awalnya tidak tahu jika keadaan begitu rumit kali ini." Lelaki pemilik perahu itu sama-sama menunggu serta mengamati keadaan. "Tuan Edmund hanya berpesan jika apa yang telah direncanakannya akan berubah. Dan, kami diberi perintah untuk berpikir sendiri apabila k
"Ah, sialan!" Felix marah besar ketika mendapati Edmund _sang tawanan_ lepas dari belenggu kemudian menceburkan diri ke laut. "Tangkap dia!"Sebenarnya, perintah itu sudah jelas untuk dilaksanakan oleh anak buah kapal. Hanya saja, ada saja prajurit yang tidak mengerti keadaan. Sebuah senapan diarahkan kepada si tawanan yang tengah berenang di permukaan air."Hei, goblok! Jangan ditembak!" Felix meraih senapan itu kemudian menampar anak buahnya, "dia tidak boleh mati!" Hal yang membuat para prajurit berada dalam dilema, mereka harus menangkap hidup-hidup tawanan yang kabur. Edmund masih dianggap sebagai orang yang penting di mata Felix. Lelaki paruh baya itu menjadi satu-satunya orang yang memiliki informasi rahasia tentang "harta curian" yang tengah diburu oleh Felix. Namun, di sisi lain tawanan yang telah kabur itu sulit untuk kembali ditangkap, kecuali dengan satu cara."Turunkan sekoci! Kejar dia!"Dua orang prajurit menurunkan sekoci untuk mengejar tawanan yang kabur. Dalam renta