"Hantu laut?" Felix memelototi anak buahnya. "Kau pikir apa yang telah terjadi kepada kita adalah ulah dari hantu laut?""Saya kira begitu, Tuan Komandan.""Ah, omong kosong!"Kemarahan Letnan Felix membuat seluruh kelasi bertambah lelah. Tidak ada waktu untuk beristirahat bagi anak buah kapal Angkatan Laut setelah peristiwa kebakaran malam tadi. Felix tak henti-hentinya mencaci maki anak buahnya karena keteledoran. Tentu saja prajurit yang mendapatkan tugas ber jaga malam menjadi pihak yang paling disalahkan. Mereka pula yang memperoleh hukuman paling berat. "Maafkan kami, Tuan," seorang prajurit tertunduk lesu karena amarah sang pimpinan. "Ah, mudah sekali kalian meminta maaf."Hukuman menjadi hal yang lazim diterima para pelaut ketika melakukan kesalahan. Mereka terpaksa menerima begitu saja hukuman tersebut serta tidak bisa menghindar. Lagipula menghindar ke mana, tidak ada tempat untuk melarikan diri. Hanya lautan luas sepanjang mata memandang. "Karena kalian yang berdosa, aku
"Apakah kau benar-benar pernah melihat 'harta curian' yang telah dikumpulkan oleh ayahku?" Samantha mencoba menelisik pengetahuan Si Pria Pemilik Perahu. Gadis itu menyimpan begitu banyak pertanyaan yang harus diperoleh jawabannya. Maka dari itu, ketika bertemu anak buah Tuan Edmund menjadi kesempatan untuk mencari tahu lebih banyak jawaban dari pertanyaan tesebut. Lelaki itu enggan menjawab. "Ah, lagi-lagi kau menyimpan rahasia.""Nona, bukannya saya tidak mau menjawab. Pertanyaan dari Nona sungguh membingungkan."Samantha heran dengan tanggapan lelaki yang tengah mengendalikan laju perahu. "Kami tidak pernah diberitahu apa pun yang tidak perlu kami tahu." Samantha pun menoleh pada perahu lain. Jarak antara perahu yang tengah ditumpanginya hanya beberapa meter saja sehingga cukup untuk saling bicara satu sama lain. "Mereka pun tidak akan tahu, Nona. Kami hanya bertugas menyelematkan dirimu serta membawanya ke tempat yang lebih aman."Samantha menoleh ke arah lain. Perahu yang s
"Hantu laut! Hantu laut!"Suara teriakan itu didengar oleh Felix yang tengah duduk santai di buritan. Sebilah pisau menjadi temannya kala bersantai. Benda tersebut dijadikannya alat untuk membelah buah kering di tangan. Ada kekesalan ketika anak buahnya meributkan tentang "hantu laut". Karena hal itu, dia pun mengacungkan pisau itu sembari berteriak, "siapa yang membicarakan 'hantu laut' maka aku akan membunuhnya!"Anak buahnya yang semula berisik, kini terdiam. "Felix, mungkin anak buahmu benar. Mereka tidak sedang mengigau," ternyata Tuan Edmund tertarik untuk ikut bicara. "Ah, kau tidak usah meracuni pikiran mereka."Edmund tertawa. "Aku hanya menyampaikan kenyataan.""Diam!""Hei, ingat peristiwa malam kemarin? Kekacauan terjadi di sini setelah mereka melihat hantu laut."Felix terdiam. Entah apa maksud dari Edmund _sebagai tawanan_ ketika bicara dengan nada terkesan meledek. Edmund jelas mempermalukan Felix sebagai pemimpin di atas kapal. Felix berusaha agar tidak terpengaruh
"Di sana!" seseorang menunjuk pada kegelapan.Tentu saja semua perhatian tertuju kepadanya. Senapan di tangan terarah kepada "sesuatu" yang dimaksud. Mereka siap melepaskan tembakan walaupun pada akhirnya tidak setiap objek dalam kegelapan bisa terlihat dengan jelas. "Ya ya, di sana!""Itu perahu layar!"Setiap orang berteriak demi memperjelas apa yang tengah mereka hadapi. Felix _sebagai komandan_ harus bisa menyaring informasi yang diterima dari penglihatan para prajurit. Dia hanya berdiri di tengah-tengah mereka, tidak ada orang lain yang boleh memberi perintah karena kekuasaan ada di tangannya. "Jangan sampai lengah, perahu layar itu bukan hal yang harus diperhatikan!"Anak buah kapal tidak menyahut. "Ah, penumpang perahu itu mungkin menghilang!"Felix berlari-lari di tepi geladak. Kemudian menengok ke bawah. Cahaya dari lentera tidak cukup memperjelas apa yang ada di sana. Hingga, suara teriakan terdengar dari haluan."Itu dia!"Ternyata seorang lelaki berpakaian basah tengah
Samantha hanya melihat titik cahaya dari kejauhan. Dia tidak bisa memastikan apa yang tengah terjadi di atas kapal Angkatan Laut pimpinan Letnan Felix. Gadis itu pun tidak bisa mengetahui apa yang terjadi kepada Tuan Edmund, sang ayah. Hal yang bisa dilakukannya hanyalah menunggu di atas perahu layar bersama seorang lelaki si pemilik perahu. "Apakah kau bisa menjamin jika rencana kalian berhasil?" "Sebuah pertanyaan yang tidak bisa saya jawab, Nona. Maaf," lelaki si pemilik perahu bicara pelan tanpa melakukan apa-apa. "Oh, Tuhan. Andaikan aku tidak mengacaukan semuanya." Samantha tiba-tiba saja digerayangi rasa bersalah dalam pikirannya. "Seharusnya aku pura-pura tidak tahu jika ayahku memang diculik.""Maaf, Nona. Saya pun awalnya tidak tahu jika keadaan begitu rumit kali ini." Lelaki pemilik perahu itu sama-sama menunggu serta mengamati keadaan. "Tuan Edmund hanya berpesan jika apa yang telah direncanakannya akan berubah. Dan, kami diberi perintah untuk berpikir sendiri apabila k
"Ah, sialan!" Felix marah besar ketika mendapati Edmund _sang tawanan_ lepas dari belenggu kemudian menceburkan diri ke laut. "Tangkap dia!"Sebenarnya, perintah itu sudah jelas untuk dilaksanakan oleh anak buah kapal. Hanya saja, ada saja prajurit yang tidak mengerti keadaan. Sebuah senapan diarahkan kepada si tawanan yang tengah berenang di permukaan air."Hei, goblok! Jangan ditembak!" Felix meraih senapan itu kemudian menampar anak buahnya, "dia tidak boleh mati!" Hal yang membuat para prajurit berada dalam dilema, mereka harus menangkap hidup-hidup tawanan yang kabur. Edmund masih dianggap sebagai orang yang penting di mata Felix. Lelaki paruh baya itu menjadi satu-satunya orang yang memiliki informasi rahasia tentang "harta curian" yang tengah diburu oleh Felix. Namun, di sisi lain tawanan yang telah kabur itu sulit untuk kembali ditangkap, kecuali dengan satu cara."Turunkan sekoci! Kejar dia!"Dua orang prajurit menurunkan sekoci untuk mengejar tawanan yang kabur. Dalam renta
Samantha menyambut pagi dengan perasaan berbeda dibandingkan beberapa jam sebelumnya. Senyuman tersungging dari bibir gadis itu. Tanpa disadari, air mata pun menetes perlahan membasahi lekuk pipi. Bukan lagi air mata kesedihan. Namun, kali ini tangisan haru menghiasi wajah karena sang ayah telah kembali ada di sisinya. "Ayah, Ayah janji jika tidak akan pergi jauh lagi dariku?" "Ya, Ayah janji kepadamu. Tidak akan ada pelarian atau apa pun itu." Tuan Edmund bicara dengan nada rendah, "karena sekarang Ayah dilindungi oleh banyak orang."Senyuman kali ini bukan lagi senyuman kebahagiaan. Samantha merasa lucu dengan sikap ayahnya. "Ayah masih bisa menyombongkan diri.""Ha, Ayah hanya menunjukkan kenyataan, Nak." Seraya menoleh kepada barisan perahu di sisi kiri dan sisi kanan. Samantha pun melakukan hal yang sama. Dia menyaksikan betapa masih banyak anak buah Tuan Edmund yang mengendarai perahu dengan layar terkembang. Jika semalam, hanya ada sepuluh perahu serupa menyerang kapal Angka
Ketika perahu menepi di pantai, Samantha menjadi orang yang paling kegirangan. Kakinya menapaki batu karang yang menghitam. "Ah! Indah rasanya bisa menapak kembali di daratan.""Sepertinya kau sangat merindukan daratan." Tuan Edmund memberi perintah kepada seorang lelaki penghuni pulau untuk menambatkan perahu yang tengah ditumpangi. "Selamat datang di pulau ....""Pulau apa namanya?""Entahlah. Anggap saja ini Pulau Tak Bernama."Samantha mengernyitkan dahi. "Ya, banyak sekali pulau-pulau kecil di lautan. Tidak terlalu penting juga orang-orang memberi nama setiap pulau."Samantha menempelkan telunjuk tangan kanannya ke dahi. Sedangkan tangan kirinya ditempelkan di pinggang."Apa yang kau pikirkan?""Aku sedang memikirkan sebuah nama yang bagus untuk pulau ini."Tuan Edmund hanya tersenyum. Lelaki yang menjemput di tepi pantai, mengajak kedua orang itu untuk menyusuri sebuah jalan berpasir. Bukan jalan yang lebar, hanya cukup untuk dilewati oleh satu orang. Maka dari itu, mereka ber