"Apakah kau benar-benar pernah melihat 'harta curian' yang telah dikumpulkan oleh ayahku?" Samantha mencoba menelisik pengetahuan Si Pria Pemilik Perahu. Gadis itu menyimpan begitu banyak pertanyaan yang harus diperoleh jawabannya. Maka dari itu, ketika bertemu anak buah Tuan Edmund menjadi kesempatan untuk mencari tahu lebih banyak jawaban dari pertanyaan tesebut. Lelaki itu enggan menjawab. "Ah, lagi-lagi kau menyimpan rahasia.""Nona, bukannya saya tidak mau menjawab. Pertanyaan dari Nona sungguh membingungkan."Samantha heran dengan tanggapan lelaki yang tengah mengendalikan laju perahu. "Kami tidak pernah diberitahu apa pun yang tidak perlu kami tahu." Samantha pun menoleh pada perahu lain. Jarak antara perahu yang tengah ditumpanginya hanya beberapa meter saja sehingga cukup untuk saling bicara satu sama lain. "Mereka pun tidak akan tahu, Nona. Kami hanya bertugas menyelematkan dirimu serta membawanya ke tempat yang lebih aman."Samantha menoleh ke arah lain. Perahu yang s
"Hantu laut! Hantu laut!"Suara teriakan itu didengar oleh Felix yang tengah duduk santai di buritan. Sebilah pisau menjadi temannya kala bersantai. Benda tersebut dijadikannya alat untuk membelah buah kering di tangan. Ada kekesalan ketika anak buahnya meributkan tentang "hantu laut". Karena hal itu, dia pun mengacungkan pisau itu sembari berteriak, "siapa yang membicarakan 'hantu laut' maka aku akan membunuhnya!"Anak buahnya yang semula berisik, kini terdiam. "Felix, mungkin anak buahmu benar. Mereka tidak sedang mengigau," ternyata Tuan Edmund tertarik untuk ikut bicara. "Ah, kau tidak usah meracuni pikiran mereka."Edmund tertawa. "Aku hanya menyampaikan kenyataan.""Diam!""Hei, ingat peristiwa malam kemarin? Kekacauan terjadi di sini setelah mereka melihat hantu laut."Felix terdiam. Entah apa maksud dari Edmund _sebagai tawanan_ ketika bicara dengan nada terkesan meledek. Edmund jelas mempermalukan Felix sebagai pemimpin di atas kapal. Felix berusaha agar tidak terpengaruh
"Di sana!" seseorang menunjuk pada kegelapan.Tentu saja semua perhatian tertuju kepadanya. Senapan di tangan terarah kepada "sesuatu" yang dimaksud. Mereka siap melepaskan tembakan walaupun pada akhirnya tidak setiap objek dalam kegelapan bisa terlihat dengan jelas. "Ya ya, di sana!""Itu perahu layar!"Setiap orang berteriak demi memperjelas apa yang tengah mereka hadapi. Felix _sebagai komandan_ harus bisa menyaring informasi yang diterima dari penglihatan para prajurit. Dia hanya berdiri di tengah-tengah mereka, tidak ada orang lain yang boleh memberi perintah karena kekuasaan ada di tangannya. "Jangan sampai lengah, perahu layar itu bukan hal yang harus diperhatikan!"Anak buah kapal tidak menyahut. "Ah, penumpang perahu itu mungkin menghilang!"Felix berlari-lari di tepi geladak. Kemudian menengok ke bawah. Cahaya dari lentera tidak cukup memperjelas apa yang ada di sana. Hingga, suara teriakan terdengar dari haluan."Itu dia!"Ternyata seorang lelaki berpakaian basah tengah
Samantha hanya melihat titik cahaya dari kejauhan. Dia tidak bisa memastikan apa yang tengah terjadi di atas kapal Angkatan Laut pimpinan Letnan Felix. Gadis itu pun tidak bisa mengetahui apa yang terjadi kepada Tuan Edmund, sang ayah. Hal yang bisa dilakukannya hanyalah menunggu di atas perahu layar bersama seorang lelaki si pemilik perahu. "Apakah kau bisa menjamin jika rencana kalian berhasil?" "Sebuah pertanyaan yang tidak bisa saya jawab, Nona. Maaf," lelaki si pemilik perahu bicara pelan tanpa melakukan apa-apa. "Oh, Tuhan. Andaikan aku tidak mengacaukan semuanya." Samantha tiba-tiba saja digerayangi rasa bersalah dalam pikirannya. "Seharusnya aku pura-pura tidak tahu jika ayahku memang diculik.""Maaf, Nona. Saya pun awalnya tidak tahu jika keadaan begitu rumit kali ini." Lelaki pemilik perahu itu sama-sama menunggu serta mengamati keadaan. "Tuan Edmund hanya berpesan jika apa yang telah direncanakannya akan berubah. Dan, kami diberi perintah untuk berpikir sendiri apabila k
"Ah, sialan!" Felix marah besar ketika mendapati Edmund _sang tawanan_ lepas dari belenggu kemudian menceburkan diri ke laut. "Tangkap dia!"Sebenarnya, perintah itu sudah jelas untuk dilaksanakan oleh anak buah kapal. Hanya saja, ada saja prajurit yang tidak mengerti keadaan. Sebuah senapan diarahkan kepada si tawanan yang tengah berenang di permukaan air."Hei, goblok! Jangan ditembak!" Felix meraih senapan itu kemudian menampar anak buahnya, "dia tidak boleh mati!" Hal yang membuat para prajurit berada dalam dilema, mereka harus menangkap hidup-hidup tawanan yang kabur. Edmund masih dianggap sebagai orang yang penting di mata Felix. Lelaki paruh baya itu menjadi satu-satunya orang yang memiliki informasi rahasia tentang "harta curian" yang tengah diburu oleh Felix. Namun, di sisi lain tawanan yang telah kabur itu sulit untuk kembali ditangkap, kecuali dengan satu cara."Turunkan sekoci! Kejar dia!"Dua orang prajurit menurunkan sekoci untuk mengejar tawanan yang kabur. Dalam renta
Samantha menyambut pagi dengan perasaan berbeda dibandingkan beberapa jam sebelumnya. Senyuman tersungging dari bibir gadis itu. Tanpa disadari, air mata pun menetes perlahan membasahi lekuk pipi. Bukan lagi air mata kesedihan. Namun, kali ini tangisan haru menghiasi wajah karena sang ayah telah kembali ada di sisinya. "Ayah, Ayah janji jika tidak akan pergi jauh lagi dariku?" "Ya, Ayah janji kepadamu. Tidak akan ada pelarian atau apa pun itu." Tuan Edmund bicara dengan nada rendah, "karena sekarang Ayah dilindungi oleh banyak orang."Senyuman kali ini bukan lagi senyuman kebahagiaan. Samantha merasa lucu dengan sikap ayahnya. "Ayah masih bisa menyombongkan diri.""Ha, Ayah hanya menunjukkan kenyataan, Nak." Seraya menoleh kepada barisan perahu di sisi kiri dan sisi kanan. Samantha pun melakukan hal yang sama. Dia menyaksikan betapa masih banyak anak buah Tuan Edmund yang mengendarai perahu dengan layar terkembang. Jika semalam, hanya ada sepuluh perahu serupa menyerang kapal Angka
Ketika perahu menepi di pantai, Samantha menjadi orang yang paling kegirangan. Kakinya menapaki batu karang yang menghitam. "Ah! Indah rasanya bisa menapak kembali di daratan.""Sepertinya kau sangat merindukan daratan." Tuan Edmund memberi perintah kepada seorang lelaki penghuni pulau untuk menambatkan perahu yang tengah ditumpangi. "Selamat datang di pulau ....""Pulau apa namanya?""Entahlah. Anggap saja ini Pulau Tak Bernama."Samantha mengernyitkan dahi. "Ya, banyak sekali pulau-pulau kecil di lautan. Tidak terlalu penting juga orang-orang memberi nama setiap pulau."Samantha menempelkan telunjuk tangan kanannya ke dahi. Sedangkan tangan kirinya ditempelkan di pinggang."Apa yang kau pikirkan?""Aku sedang memikirkan sebuah nama yang bagus untuk pulau ini."Tuan Edmund hanya tersenyum. Lelaki yang menjemput di tepi pantai, mengajak kedua orang itu untuk menyusuri sebuah jalan berpasir. Bukan jalan yang lebar, hanya cukup untuk dilewati oleh satu orang. Maka dari itu, mereka ber
Samantha hanya bisa menyaksikan bagaimana perkelahian berlangsung. Matanya tidak berkedip ketika melihat si orang tak dikenal mampu mengimbangi serangan dari para penjaga pulau."Orang itu luar biasa," lelaki pemikul tandan pisang hanya bicara pelan. Samantha mendengar perkataan orang di dekatnya, dia pun setuju dengan pernyataan itu. Gadis berambut pirang bergelombang tersebut mengangguk cepat. Ketika perkelahian semakin sengit, maka tidak ada orang yang bisa menyudahi. Pantai yang semula tenang, sekarang menjadi arena saling balas antara dua pihak yang berseteru. Golok, kelewang bahkan sebuah kapak menjadi senjata untuk melumpuhkan serangan. Mereka berkelahi dengan kaki terendam air laut. Gerakan para lelaki itu tampak tidak leluasa. Namun, hal demikian dijadikan kesempatan untuk mempermudah serangan balik apabila menggunakan perahu. Lelaki tak dikenal tersebut naik ke atas perahu miliknya, kemudian melayangkan sabetan ke arah lawan-lawannya. "Ada yang terluka," Samantha memalin
Berbulan-bulan kemudian ...***Samantha dan James kembali melakukan perjalanan ke pedalaman hutan Borneo. Bukan tanpa tujuan, justru mereka ke sana untuk dua tujuan. Kali ini, mereka mempersiapkan banyak hal. Menggunakan tiga perahu yang bisa memuat banyak barang, akhirnya rombongan berhasil mencapai danau sebagai habitat kelelawar raksasa. Tujuan utama dari James, menangkap si makhluk eksotis untuk dijadikan koleksi. Dimana misi sebelumnya mereka gagal membawa pulang hewan liar nan langka tersebut. "Ah, aku tidak menyangka jika akan kembali lagi ke tempat ini," Samantha menghela nafas panjang. Kedua tangannya memegang pinggang sambil meringis. "Sungguh tempat yang membuat aku rindu.""Ya, memang tempat yang mengundang kerinduan." James pun turun dari perahu kemudian menginjakkan kaki di atas tanah berumput. "Tapi, kali ini perjalanan terasa melelahkan dibandingkan pertama kali ke sini.""Karena sekarang kau tengah hamil." James masih tetap bicara ketus sambil menyiapkan senapan y
Sekitar satu tahun kemudian ...***Kala itu, akhir pekan nan ramai oleh orang yang melakukan hal sama. Kota Singapura, menjadi tempat persinggahan bagi Samantha dan James setelah melakukan perjalanan bersama mengelilingi pulau Sumatera. Kini, keduanya kembali menuju kota tersebut karena masih ada Nyonya Edmund sebagai orang tua yang biasa dikunjungi. Kedua sejoli menghabiskan waktu bersama di dalam kota sejak pagi. Selain mengunjungi taman kota, mereka pun sempat singgah di sebuah toko barang serba ada yang menyediakan banyak keperluan. "Nah, ini toko langgananku," James turun dari kereta kuda kemudian berdiri tepat di depan sebuah toko yang dijaga oleh seorang lelaki Cina. "Haia, selamat datang, Tuan." Si Pemilik Toko menyambut mereka dengan ramah. "Apa kabar, Tuan?""Lebih baik, dibandingkan terakhir kali aku datang ke sini."Pemilik toko itu tampaknya tidak terlalu ingat kepada James. Mungkin sudah begitu banyak orang yang datang ke sana serta ingatannya pun mulai buruk sehingg
Dalam benak Samantha, "sudah sejauh ini aku melangkah, maka aku harus menyelesaikannya," ketika Martin menodongkan senapan tepat di belakang lehernya. Hanya memiliki waktu beberapa saat saja untuk menentukan apakah bertarung sampai mati atau menyerah sebagaimana yang diinginkan pihak lawan. Kedua tangan gadis itu diangkat ke atas sambil menatap ke dalam ruangan gelap di bawah kabin. Belum bisa melihat bagaimana keadaan sang ibu, tetapi mendengar suara saja sudah bisa dipastikan jika wanita itu tidak baik-baik saja. "Martin, hentikanlah," terdengar suara parau dari Nyonya Edmund. "Kau boleh mengambil apa yang kau inginkan, tapi lepaskan anakku. Jangan kau sakiti dia."Martin tidak menghiraukan perkataan dari kakak iparnya. "Dia tidak tahu apa-apa."Samantha menantikan bagaimana sang paman bereaksi. Tetapi, bisa diduga jika Nyonya Edmund pun tidak tahu jika sang putri sudah tahu kebusukan pamannya tersebut. "Jika kau menginginkan harta itu, ambillah. Aku tidak membutuhkannya." Nyony
Kapal Orion bergoyang-goyang setelah lubang menganga terbentuk di buritan bagian bawah. Dalam keadaan demikian, mistar layar bergoyang-goyang, membuat Samantha kesulitan menjaga keseimbangan. Ditambah, pinggang sebelah kanan gadis itu terluka. Darah membasahi bajunya sehingga berubah warna menjadi merah. Di buritan, ada seseorang yang siap menembak untuk kedua kalinya. Kali ini, dia bisa mengenali wajah orang itu. "Martin," batin Samantha berusaha memastikan jika orang yang akan membunuhnya adalah pamannya sendiri. Dor!Sekali lagi, suara senapan terdengar. Samantha berhasil mengelak dengan cara menggantungkan tubuhnya seperti seekor kelelawar. Kepala di bawah dengan kaki masih mengapit mistar layar. Tapi, tidak ada peluru yang mengenai tubuhnya. "Terima kasih, James." Bola mata Samantha tertuju kepada James yang merebut senapan dari tangan Martin. Mereka berdua pun terlihat bergumul.Bagi Samantha, dia tidak boleh terlihat kesakitan di mata James. Maka dari itu, rasa sakit pada
Setelah berbagai upaya dilakukan, pada akhirnya kapal Orion berhasil didekati oleh kapal Liberty. Posisi keduanya melaju dalam satu garis sehingga berlayar secara beriringan. Posisi yang tidak ideal untuk menembakkan meriam karena meriam-meriam dipasang di sisi lambung kapal. Dan, untuk menembakkan meriam, kedua kapal harus berada dalam posisi menyamping. Kecuali, meriam didorong hingga terpasang di posisi yang dikehendaki. Namun, itu pun bukan ide yang baik karena akan sangat merugikan. "Ah, mereka tahu kekuatan kapal ini," Samantha menyimpulkan keadaan. "Tentu saja, Nona. Kedua kapal berasal dari galangan yang sama."Kapal Orion tidak memulai untuk menembakkan meriam. Begitupula, kapal Liberty. Alasannya, "jaraknya belum cukup, Kapten." Samantha memberikan perkiraan. Apa yang akan dilakukan oleh Samantha dan para awak kapal Liberty bisa dibilang bentuk kenekatan semata. Cukup jelas terlihat awak kapal musuh sudah siap untuk menembak. Andaikan pihak kapal Liberty memulai seranga
Dalam usia yang masih belia, Samantha memiliki musuh besar. Bukan hanya musuh biasa, gadis itu harus berhadapan dengan seorang pejabat Britania Raya yang memiliki kekuasaan. Orang tersebut masih memiliki pertalian kekerabatan dengannya, Paman Martin. "Jadi, dia pamanmu, Nona?" Kapten Sayyid bertanya demi meyakinkan dirinya sendiri tentang siapa yang tengah dihadapi. "Saya pun pernah mendengar namanya. Dia pejabat di Pontianak.""Ya, betul. Dia menikah dengan adik ibu saya.""Oh, adik ipar yang culas."Samantha tersenyum ketika mendengar komentar dari sang kapten. Gadis itu menoleh kepada Sayyid yang bertindak sebagai jurumudi. Sebuah senyuman ironi tersungging dari bibirnya. Mendengar cerita dari Samantha, sepertinya pria keturunan Arab itu punya alasan untuk terus menatap ke depan demi mengejar kapal Orion yang melaju begitu kencang. "Nona," terdengar Iskandar berteriak dari geladak, "semua sudah siap!" Samantha mengacungkan ibu jari. Iskandar pun kembali masuk ke dalam lambung k
Samantha kesal sekaligus kaget karena dia harus dihadapkan pada situasi yang mengejutkan. Untuk sekian kalinya, gadis itu menghadapi keadaan yang selalu membutuhkan kekuatan mental lebih besar dari keadaan biasanya. Menghadapi seekor buaya, diterkam ikan hiu atau dikurung dalam sumur tua, ternyata belum seberapa jika dibandingkan dengan keadaan saat ini. "Hei, bajingan! Lepaskan ibuku!" Samantha berteriak lantang tatkala dua kapal saling mendekat. Suara orang tertawa terdengar dari kapal Orion. Ketika mendengar orang tertawa itu emosi Samantha semakin memuncak. Tangan kanannya memukul tiang layar untuk melampiaskan kekesalan. Lagi, terdengar suara orang tertawa terbahak-bahak dari atas geladak kapal Orion. "Kenapa kau melakukan ini kepada kami?! Apakah kematian ayahku tidak cukup untuk menyiksa kami?!" Tidak ada jawaban yang jelas atas pertanyaan dari Samantha. "Baiklah, apa maumu?"Orang yang diajak bicara itu ternyata menjawab dengan mantap, "kau pergi dari negeri ini bersama
Samantha berdiri di haluan. Di pinggangnya tergantung pedang panjang menjuntai nyaris menyentuh lantai. Tangan kanannya memegang teropong yang digunakan untuk melihat ke depan. Suatu benda yang terapung di permukaan air laut. "Kau yakin?""Sejujurnya aku belum begitu yakin dengan keputusan yang kita ambil." Samantha menjawab pertanyaan dari James dengan suara pelan. "Aku hanya merasa ....""Tenang saja, kau tidak perlu mengkhawatirkan aku. Bagaimanapun, aku harus bisa melakukan ini demi keselamatan kita semua."Pada akhirnya, Samantha dipercaya untuk menjadi juru runding. Meskipun dia seorang gadis muda yang tidak berpengalaman, namun semua awak kapal yakin jika seorang gadis keturunan Inggris memiliki posisi tawar lebih kuat dibandingkan orang-orang Melayu ataupun orang Arab. Mereka berharap jika kapten kapal Inggris yang akan berpapasan nanti memberi mereka izin untuk terus melaju. "Mereka mendekati kapal kita!" suara Iskandar lantang berteriak dari atas tiang layar. Pemuda itu ta
Samantha menatap lautan luas. Dari kejauhan, tampak beberapa pulau kecil. Bisa diperkirakan jika pulau tersebut tidak berpenghuni. Hanya dijadikan tempat berlabuh sementara bagi para pelaut tatkala ada kendala ketika melaut. "Aku berharap tidak ada lagi kendala atau halangan apa pun yang bisa menghambat perjalanan kita.""Ya, aku selalu berharap demikian," James bicara sembari mengangkat alis sedangkan bibirnya ditarik ke bawah. "Hei, aku serius. Kenapa kau berpikir jika tantangan selalu ada. Apakah menurutmu tantangan selalu menyenangkan?"James menganggukkan kepala. "Terkadang begitu. Aku merasa jika kendala dalam perjalanan menjadi hiburan tersendiri ....""Hiburan? Ah, kau ini terluka sedikit saja sudah banyak mengeluh." Samantha memegang bahu James yang terluka. "Seperti anak kecil.""Hei, sakit!" "Tuh, kan."Awak kapal Liberty seakan enggan turut campur pada mereka berdua. Semua orang mengerti bagaimana rasanya kasmaran. Ketika menyaksikan dua sejoli yang sedang jatuh cinta,