"Ringkus saja dia!" Felix mengoreksi perintah sebelumnya. "Aku ingin tahu bagaimana reaksi Sultan jika melihat mereka."Lelaki itu tetap pada rencana awal untuk menggelandang komplotan perompak ke hadapan Sultan di Pontianak. Dia harus menunjukkan bukti kinerjanya kepada warga di sepanjang garis pantai pulau Kalimantan. Pemerintah yang memberinya tugas tidak boleh dikecewakan. "Bagaimana dengan pemimpinnya?" "Tentu saja dia yang harus mempertanggung jawabkan perbuatannya."Felix menatap ke arah kapal Kalajengking Hitam di sisi kapal dagang. Dia tertawa sembari berkacak pinggang. Tidak ada hal lucu. Lelaki itu hanya merasa puas atas apa yang telah dicapainya. Kapal Kalajengking Hitam yang ditakuti oleh para pelaut di sekitar Laut Jawa ternyata begitu mudah untuk dilumpuhkan. Para perompak yang terkenal sangar itu sudah bisa dikalahkan dalam satu kali serangan. Jebakan yang telah direncanakan oleh Felix mampu mengelabui komplotan perompak. Padahal, sebelumnya sulit sekali komplotan te
Felix merasa senang ketika dia bertemu orang yang dikenalnya. Lelaki itu tertawa ketika masuk ke dalam lambung kapal dagang. Dia menemui Samantha yang disekap semalaman. "Bagaimana kabarmu, Nak?" Felix bertanya sembari membuka penutup wajah tawanannya."Ah, apa maksudmu? Basa-basi.""Kau tahu, suasana hatiku sedang senang hari ini."Samantha tidak peduli. Dia memasang wajah ketus. "Aku merasa jika kabar baik ini harus disampaikan kepadamu.""Aku tidak mau tahu!"Felix kembali tertawa. Suaranya agak menggema dalam ruangan kosong nan luas. "Kapan kau akan melepaskan aku?""Kau harus bersabar." Felix berbalik badan. "Sekarang, sudah saatnya kau sarapan."Felix berjalan pelan meninggalkan Samantha. "Aaaa! Aku menyesal telah menyelamatkanmu! Seharusnya aku biarkan saja kau dimakan hiu!"Felix hanya tertawa ketika kembali diingatkan akan kejadian hiu yang memangsa seorang anak buahnya hingga tewas. Andaikan kala itu si hiu tidak ditusuk matanya oleh Samantha maka mungkin Felix pun akan
Si Tuan Besar mendorong tubuh Felix. Tapi, upaya lelaki paruh baya itu tidak berhasil membuat tubuh jangkung lawannya terjengkang. "Hahaha, aku sudah mengira kau akan marah besar.""Berani-beraninya kau menyentuh gadis itu!" seraya melayangkan tinju, Tuan Besar membentak Letnan Felix. Perkelahian pun terjadi antara keduanya. Pulpen, benda yang semula menjadi awal pertengkaran hanya tergeletak di atas meja. Benda itu berbahan logam warna hitam dengan ujung pena berbahan emas. Terukir dengan huruf kaligrafi bersambung agak miring nama dari pemiliknya: Samantha Anderson. "Aku akan membunuhmu!" si Tuan Besar memiliki alasan kenapa dia marah. "Silakan, jika kau berani?"Felix mundur ke arah dinding sedangkan si Tuan Besar mengambil pulpen di atas meja dengan tangan kanannya. "Aaa!" Pulpen dijadikan senjata untuk menusuk wajah Felix. "Bajingan!"Ujung benda itu memang tajam, bisa dijadikan alat untuk melukai. Karena alasan itu pula si Tuan Besar meraih benda tersebut dari meja kemudian
Samantha merasa heran ketika digelandang keluar dari lambung kapal. Tidak terdengar suara berisik selayaknya sebuah pertempuran pernah terjadi di sana. Ada dua tangan dari orang yang berbeda terasa memegangi kedua lengan gadis itu. Dia tahu jika lantai yang diinjak adalah geladak kapal dagang. Meskipun matanya tidak bisa melihat sekeliling, tapi gadis itu sudah hafal jalan yang dilalui karena pernah melalui tempat itu sebelumnya. Telapak kaki Samantha bisa merasakan betapa lantai kapal terasa licin karena usia kapal itu yang sudah tua. Entah berapa lama kendaraan yang ditumpangi pernah melaut serta diterpa cuaca yang berbeda pada setiap wilayah yang dilaluinya. "Buka penutup wajahnya!" terdengar suara seseorang memberi perintah. Walaupun samar, Samantha bisa menerka jika suara itu keluar dari mulut Letnan Felix. Kain hitam penutup wajah itu pun dibuka. Udara segar terhirup sehingga sedikit melegakan pikiran karena bisa melihat apa yang tengah terjadi di sekelilingnya. Ternyata, bany
"Hei hei hei!" Tuan Edmund berteriak ketika melihat Felix berniat membunuh Samantha, "tenang ... kita bisa membicarakan ini." Naluri seorang ayah untuk melindungi putrinya memang ada dalam diri Edmund. Mata lelaki itu berkaca-kaca, tak kuasa membayangkan jika kematian putri tunggalnya terjadi hari itu juga. "Aku masih menginginkan putriku hidup. Kau tahu itu," suara Tuan Edmund terdengar gugup. "Benarkah?" Samantha mempertanyakan omongan ayahnya sendiri. "Tenu saja, Sayangku.""Jika demikian, lantas kenap ayah meninggalkan aku dan ibu?""Ah, aku rasa kau mengerti ... jika ini bagian dari pekerjaan."Samantha memalingkan wajah dari pandangan mata ayahnya. Air mata tidak lagi membasahi pipi. Karena wajahnya yang kusam, bekas aliran air mata membentuk garis di wajah. Gadis itu tampaknya sulit menghilangkan kekesalan kepada sang ayah. Bagaimana tidak, Edmund meninggalkan anak dan istirnya begitu saja demi mengamankan harta curian dari orang-orang yang mungkin kembali mencurinya. Feli
Keesokan harinya, kapal Angkatan Laut yang dipimpin oleh Letnan Felix berlayar menuju tempat yang dimaksud oleh Edmund Anderson. Mereka berpisah dengan tawanan lain yang diangkut menggunakan kapal dagang menuju kota Pontianak bersama kapal Kalajengking Hitam yang akan diserahkan kepada Sultan sebagai barang bukti. Sedangkan Samantha tetap menjadi tawanan Felix sebagai jaminan jika pengakuan Tuan Edmund bukanlah bualan belaka. "Oh, aku mengerti, kau ingin disanjung oleh pejabat-pejabat di Singapura karena telah menemukanku, sekaligus mendapatkan pujian dari Sultan Pontianak karena telah melumpuhkan perompak," Edmund menggelengkan kepala. "Baguslah jika kau mengerti, Tuan." Felix tersenyum. Dia tampak senang karena telah menyelesaikan satu misi kemudian berlanjut pada misi selanjutnya. "Dasar serakah!" Edmund bicara pelan, "kadang aku mempertanyakan kesetiaanmu.""Saya setia kepada orang yang sanggup membayar saya, Tuan."Samantha enggan banyak bicara bahkan ketika Felix mengajaknya
"Apa maksud Ayah?" Samantha melotot kepada Tuan Edmund. "Ah, aku tidak menjamin kedatangan orang tak dikenal tidak akan mengakibatkan malapetaka."Perkataan Edmund didengar oleh Felix yang masih terkantuk-kantuk. Namun, orang yang diperhatikan tidak terlalu peduli. Lelaki paruh baya itu memilih untuk memalingkan wajah. Samantha tahu jika maksud dari ayahnya tidaklah main-main. Keriuhan di atas geladak kapal Angkatan Laut bertambah setelah semua kru kapal terbangun. Mereka dibangunkan oleh temannya sendiri setelah memperoleh perintah dari Letnan Felix. "Ha, tampaknya kau panik, Letnan. Kenapa pula harus membangunkan semua orang." Tuan Edmund bicara sekenanya. "Kau takut jika kapal yang mendekat malah menyerang kapal ini ....""Diam! Itu hanya kapal nelayan yang terhempas gelombang. Buat apa kami susah-susah." Felix tidak ingin kehilangan muka di depan anak buahnya sendiri. Samantha mulai mengerti alasan kenapa Letnan Felix harus membangunkan kru yang tengah tertidur. Mereka harus b
Samantha naik ke atas perahu layar. Entah perahu milik siapa. Pemiliknya pun belum sempat memperkenalkan diri. "Kita menjauh dari sini, Nona.""Bagaimana dengan ayahku? Aku tidak ingin meninggalkan dia sendirian di sana." Samantha menunjuk dengan tangan kirinya sebuah kapal yang tengah terbakar. "Ini permintaan Tuan Edmund, Nona. Sebaiknya kau mengikuti rencana kami." Lelaki itu kini membuka sehelai kain yang menutupi wajahnya. "Menurut saya, ini pilihan terbaik, Nona."Samantha heran ketika lelaki pemilik perahu membicarakan tentang "rencana" . Dia juga menyebutkan nama "Tuan Edmund" seakan sudah saling kenal lama. Gadis itu menghela nafas sembari terus berpikir keras. Memikirkan alasan kenapa peristiwa yang baru saja dialaminya tiba-tiba saja terjadi. "Sebenarnya, kau siapa?""Ah, nanti saja kita bicara. Sekarang, kita harus segera menjauh dari penjahat keparat itu." Si lelaki pemilik perahu bicara sembari menahan luka yang menganga di perutnya dengan tangan kiri. Sedangkan tanga