"Hei hei hei!" Tuan Edmund berteriak ketika melihat Felix berniat membunuh Samantha, "tenang ... kita bisa membicarakan ini." Naluri seorang ayah untuk melindungi putrinya memang ada dalam diri Edmund. Mata lelaki itu berkaca-kaca, tak kuasa membayangkan jika kematian putri tunggalnya terjadi hari itu juga. "Aku masih menginginkan putriku hidup. Kau tahu itu," suara Tuan Edmund terdengar gugup. "Benarkah?" Samantha mempertanyakan omongan ayahnya sendiri. "Tenu saja, Sayangku.""Jika demikian, lantas kenap ayah meninggalkan aku dan ibu?""Ah, aku rasa kau mengerti ... jika ini bagian dari pekerjaan."Samantha memalingkan wajah dari pandangan mata ayahnya. Air mata tidak lagi membasahi pipi. Karena wajahnya yang kusam, bekas aliran air mata membentuk garis di wajah. Gadis itu tampaknya sulit menghilangkan kekesalan kepada sang ayah. Bagaimana tidak, Edmund meninggalkan anak dan istirnya begitu saja demi mengamankan harta curian dari orang-orang yang mungkin kembali mencurinya. Feli
Keesokan harinya, kapal Angkatan Laut yang dipimpin oleh Letnan Felix berlayar menuju tempat yang dimaksud oleh Edmund Anderson. Mereka berpisah dengan tawanan lain yang diangkut menggunakan kapal dagang menuju kota Pontianak bersama kapal Kalajengking Hitam yang akan diserahkan kepada Sultan sebagai barang bukti. Sedangkan Samantha tetap menjadi tawanan Felix sebagai jaminan jika pengakuan Tuan Edmund bukanlah bualan belaka. "Oh, aku mengerti, kau ingin disanjung oleh pejabat-pejabat di Singapura karena telah menemukanku, sekaligus mendapatkan pujian dari Sultan Pontianak karena telah melumpuhkan perompak," Edmund menggelengkan kepala. "Baguslah jika kau mengerti, Tuan." Felix tersenyum. Dia tampak senang karena telah menyelesaikan satu misi kemudian berlanjut pada misi selanjutnya. "Dasar serakah!" Edmund bicara pelan, "kadang aku mempertanyakan kesetiaanmu.""Saya setia kepada orang yang sanggup membayar saya, Tuan."Samantha enggan banyak bicara bahkan ketika Felix mengajaknya
"Apa maksud Ayah?" Samantha melotot kepada Tuan Edmund. "Ah, aku tidak menjamin kedatangan orang tak dikenal tidak akan mengakibatkan malapetaka."Perkataan Edmund didengar oleh Felix yang masih terkantuk-kantuk. Namun, orang yang diperhatikan tidak terlalu peduli. Lelaki paruh baya itu memilih untuk memalingkan wajah. Samantha tahu jika maksud dari ayahnya tidaklah main-main. Keriuhan di atas geladak kapal Angkatan Laut bertambah setelah semua kru kapal terbangun. Mereka dibangunkan oleh temannya sendiri setelah memperoleh perintah dari Letnan Felix. "Ha, tampaknya kau panik, Letnan. Kenapa pula harus membangunkan semua orang." Tuan Edmund bicara sekenanya. "Kau takut jika kapal yang mendekat malah menyerang kapal ini ....""Diam! Itu hanya kapal nelayan yang terhempas gelombang. Buat apa kami susah-susah." Felix tidak ingin kehilangan muka di depan anak buahnya sendiri. Samantha mulai mengerti alasan kenapa Letnan Felix harus membangunkan kru yang tengah tertidur. Mereka harus b
Samantha naik ke atas perahu layar. Entah perahu milik siapa. Pemiliknya pun belum sempat memperkenalkan diri. "Kita menjauh dari sini, Nona.""Bagaimana dengan ayahku? Aku tidak ingin meninggalkan dia sendirian di sana." Samantha menunjuk dengan tangan kirinya sebuah kapal yang tengah terbakar. "Ini permintaan Tuan Edmund, Nona. Sebaiknya kau mengikuti rencana kami." Lelaki itu kini membuka sehelai kain yang menutupi wajahnya. "Menurut saya, ini pilihan terbaik, Nona."Samantha heran ketika lelaki pemilik perahu membicarakan tentang "rencana" . Dia juga menyebutkan nama "Tuan Edmund" seakan sudah saling kenal lama. Gadis itu menghela nafas sembari terus berpikir keras. Memikirkan alasan kenapa peristiwa yang baru saja dialaminya tiba-tiba saja terjadi. "Sebenarnya, kau siapa?""Ah, nanti saja kita bicara. Sekarang, kita harus segera menjauh dari penjahat keparat itu." Si lelaki pemilik perahu bicara sembari menahan luka yang menganga di perutnya dengan tangan kiri. Sedangkan tanga
"Siapa kamu sebenarnya?" Samantha bersikukuh ingin mengetahui siapa orang yang telah menolongnya. Seorang lelaki Melayu bertubuh sedang setidaknya demikian bila dibandingkan dengan balatentara bayaran pimpinan Felix. Wajahnya dihiasi kumis tipis serta alis tebal dekat kelopak matanya. Dia tampak kelelahan karena kurang tidur semalaman."Apakah kau bagian dari komplotan Kalajengking Hitam?" Samantha terus menelisik. "Bukan. Bahkan saya tidak mengenal mereka." Orang itu tersenyum. Samantha memiliki banyak pertanyaan dalam benaknya. Bahkan kecurigaan pun muncul dalam pikiran. Namun, dia tidak ingin orang yang baru dikenalnya merasa tidak nyaman jika gadis itu terlalu memperlihatkan rasa curiga. "Terima kasih, terima kasih karena telah menyelamatkan aku.""Oh, Nona. Seharusnya anda berterimakasih kepada ayah anda sendiri," seraya menawarkan sepotong roti, "bukan kepada saya."Samantha baru menyadari jika orang ini memang anak buah Tuan Edmund setelah mengatakan hal demikian. "Jadi, ay
"Hantu laut?" Felix memelototi anak buahnya. "Kau pikir apa yang telah terjadi kepada kita adalah ulah dari hantu laut?""Saya kira begitu, Tuan Komandan.""Ah, omong kosong!"Kemarahan Letnan Felix membuat seluruh kelasi bertambah lelah. Tidak ada waktu untuk beristirahat bagi anak buah kapal Angkatan Laut setelah peristiwa kebakaran malam tadi. Felix tak henti-hentinya mencaci maki anak buahnya karena keteledoran. Tentu saja prajurit yang mendapatkan tugas ber jaga malam menjadi pihak yang paling disalahkan. Mereka pula yang memperoleh hukuman paling berat. "Maafkan kami, Tuan," seorang prajurit tertunduk lesu karena amarah sang pimpinan. "Ah, mudah sekali kalian meminta maaf."Hukuman menjadi hal yang lazim diterima para pelaut ketika melakukan kesalahan. Mereka terpaksa menerima begitu saja hukuman tersebut serta tidak bisa menghindar. Lagipula menghindar ke mana, tidak ada tempat untuk melarikan diri. Hanya lautan luas sepanjang mata memandang. "Karena kalian yang berdosa, aku
"Apakah kau benar-benar pernah melihat 'harta curian' yang telah dikumpulkan oleh ayahku?" Samantha mencoba menelisik pengetahuan Si Pria Pemilik Perahu. Gadis itu menyimpan begitu banyak pertanyaan yang harus diperoleh jawabannya. Maka dari itu, ketika bertemu anak buah Tuan Edmund menjadi kesempatan untuk mencari tahu lebih banyak jawaban dari pertanyaan tesebut. Lelaki itu enggan menjawab. "Ah, lagi-lagi kau menyimpan rahasia.""Nona, bukannya saya tidak mau menjawab. Pertanyaan dari Nona sungguh membingungkan."Samantha heran dengan tanggapan lelaki yang tengah mengendalikan laju perahu. "Kami tidak pernah diberitahu apa pun yang tidak perlu kami tahu." Samantha pun menoleh pada perahu lain. Jarak antara perahu yang tengah ditumpanginya hanya beberapa meter saja sehingga cukup untuk saling bicara satu sama lain. "Mereka pun tidak akan tahu, Nona. Kami hanya bertugas menyelematkan dirimu serta membawanya ke tempat yang lebih aman."Samantha menoleh ke arah lain. Perahu yang s
"Hantu laut! Hantu laut!"Suara teriakan itu didengar oleh Felix yang tengah duduk santai di buritan. Sebilah pisau menjadi temannya kala bersantai. Benda tersebut dijadikannya alat untuk membelah buah kering di tangan. Ada kekesalan ketika anak buahnya meributkan tentang "hantu laut". Karena hal itu, dia pun mengacungkan pisau itu sembari berteriak, "siapa yang membicarakan 'hantu laut' maka aku akan membunuhnya!"Anak buahnya yang semula berisik, kini terdiam. "Felix, mungkin anak buahmu benar. Mereka tidak sedang mengigau," ternyata Tuan Edmund tertarik untuk ikut bicara. "Ah, kau tidak usah meracuni pikiran mereka."Edmund tertawa. "Aku hanya menyampaikan kenyataan.""Diam!""Hei, ingat peristiwa malam kemarin? Kekacauan terjadi di sini setelah mereka melihat hantu laut."Felix terdiam. Entah apa maksud dari Edmund _sebagai tawanan_ ketika bicara dengan nada terkesan meledek. Edmund jelas mempermalukan Felix sebagai pemimpin di atas kapal. Felix berusaha agar tidak terpengaruh