Aku menangis sendirian. Wajahku tenggelam di kedua lutut yang rapat. Kuabaikan kedua kaki yang sudah kesemutan karena berjongkok sejak tadi. Tidak ada yang ingin aku lakukan sekian menangis. Menumpahkan kesakitan dalam hati karena Abidzar tidak ingin memperjuangkan hubungan kami.Dia justru dengan mudahnya melepaskan aku untuk dinikahi Mas Seno. Tanpa ada perjuangan sedikit saja dairnha terhadapku.Rasanya sulit diungkapkan.Terlalu sakit. Aku tidak menyangka Abi aja menyakitiku sedalam ini.Aku sudah mengenalnya sejak duduk di bangku sekolah madrasah Aliyah yang setara SMA negeri. Hanya mengenal sekilas dan tidak begitu dekat. Tetapi saat aku melanjutkan pendidikan untuk kuliah di perguruan tinggi yang juga berada di bawah naungan yayasan. Kami menjadi lebih saling mengenal.Terlebih ketika ada acara-acara besar di yayasan. Kami pasti akan terlibat sebagai panitia atau penyelenggara.Aku pun masih ingat, ketika tujuh tahun yang lalu, hubungan kami yang semula hanya teman mulai diwarn
"Kamu jahat!""Kamu tega, Bi!"Suaraku tidak lagi sekencang tadi. Hanya teriakan lirih lalu diikuti bahuku yang berguncang. Sampai kemudian aku kembali terduduk di samping Abangku.Seketika Bang Arsa merangkulku. Membawa Kepalaku mendekap di dadanya. Bang Arsa mendekapku erat. Menepuk-nepuk pundak ini dan aku tidak bisa lagi menyembunyikan rasa sakit ini.Aku gagal berpura-pura baik-baik saja di depannya. Tangisku pecah dan aku tergugu dalam dekapan Bang Arsa.Aku mengeluarkan tangis. Segala sesak yang menghimpit dalam hati aku uraikan melalui tangisan. Bang Arsa tidak berucap apapun. Tidak berusaha menghentikan tangisku melainkan mengusap lembut punggung ini. Menepuk-nepuk bahu dan mengelus lembut kepalaku. Seakan ia mengerti, bahwa yang aku butuhkan saat ini hanyalah menangis.Meski tidak pernah ada kebersamaan kami secara intim. Tapi kilasan bayangan pertemuan kami saat-saat acara besar di yayasan, berkelebat memenuhi ingatan. Mengundang gelenyar indah itu timbul dan justru terasa
"Kamu punya pacar?" celetuk Bang Arsa membuyarkan lamunan. Aku tergeragap karenanya. Kuusap dahi menyembunyikan kekagetan."Kamu pacaran? Kan gak boleh, kenapa malah pacaran?" Bang Arsa kembali melontarkan pertanyaan.Aku memainkan bibir. Belum tahu harus menjawab bagaimana. Dan satu hal, apa hubunganku dengan Abidzar memang layak disebut berpacaran? Entah.Aku lantas menoleh pada Bang Arsa di sebelahku. "Emm, kalau Abang pernah pacaran gak?" tanyaku yang sengaja mengalihkan pembahasan.Abangku itu memalingkan wajahnya dariku. Nampak dari samping, Bang Arsa menarik bibir bawahnya dan mengatup rapat, lantas menggelengkan kepala. "Gak pernah. Abang gak pernah pacaran selama hidup abang," jawabnya tanpa memandangku.Keningku mengernyit. "Pernah suka sama perempuan?"Terdengar decihan dari Bang Arsa yang kemudian menggeleng lagi. "Biasa aja. Gak ada perempuan yang bisa bikin abang terpesona."Kali ini aku membeliak. "Jadi ... bisa dibilang kalau Mba Mai itu cinta pertamanya Abang? Abang j
Pukul dua siang hari.Semua orang sudah berkumpul di ruangan depan rumah Ayah. Masing-masing sofa sudah terisi. Aku duduk diapit Ibu dan juga Ayah. Sebelah kanan, ada Bang Arsa. Mba Mai tidak ikut berkumpul, karena menjaga Keanu di halaman belakang yang ingin bermain. Sementara di depanku dan terhalang meja kaca, tentunya ada Mas Seno bersama Pak Rasyid. Bu Dhiza mengisi sofa single di sebelah kiri. Jamuan terbaik dari Ayah dan Ibu, sudah dihidangkan di atas meja."Ehm. Agar tidak mengulur waktu dan makin memperlambat. Kami ingin langsung saja pada inti pertemuan siang hari ini," ujar Pak Rasyid membuka pembicaraan. "Apa Nak Halwa sudah mempunyai jawaban atas permintaan kami tempo hari?"Aku menunduk. Menatap pada kuku jari jemariku. Tidak ada keberanian menatap para tamu yang mengisi ruangan depan saat ini.Ayah yang berada di sampingku terdengar berdehem. Tangannya terulur meraih tanganku dan menggenggamnya, membuatku menoleh dan akhirnya menatap pada Ayah yang tengah memandang pada
"Saya terima nikah dan kawinnya Halwa Himalaya Nayunda binti Batara Yuda dengan mas kawin dua puluh lima gram perhiasan emas dan seperangkat alat sholat dibayar tunai!""Bagaimana para saksi?""SAHH!""Alhamdulillah.""Alhamdulilah ... Barakallahu laka ...."Aku menunduk. Akad pernikahan yang langsung diwalikan oleh Ayah terdengar lantang diucapkan Mas Seno meski aku berada di ruangan yang berbeda. Hingga doa selepas ijab qobul selesai dibacakan, barulah aku diminta keluar dari ruang make up.Aku diapit oleh Ibu dan asisten MUA yang menjadi make up artist di pernikahanku. Aku dituntun keluar dari ruang make up sampai berada satu meja dengan Mas Seno yang mengenakan tuxedo hitamnya.Ibu menuntunku sampai duduk di sampingnya. Aku hanya menunduk. Merasa kaku dan canggung.Bayangkan saja, pernikahan ini terjadi begitu cepat. Semua persiapan adalah untuk Kak Hafsa, tapi karena ia telah berpulang, jadilah aku yang menggantikan. Aku pun tidak kuasa untuk menolak. Sehingga keputusan ini yang
Setelah resepsi yang hampir seharian kini acara itu selesai sudah. Hari telah berganti menjadi malam. Aku sudah meninggalkan gedung pernikahan dan berada di dalam kamar pribadi di rumah Ayah. Pakaian pengantin serta heels yang membuat kaki pegal, sudah berganti dengan piyama tidur dan sandal teplek. Riasan di wajahku juga sudah bersih. Aku sudah tidak lagi menyandang gelar ratu sehari.Di dalam kamar, aku duduk termenung di kursi meja rias. Di depanku, kotak mahar pernikahan ini tersimpan. Satu set perhiasan emas dua puluh empat karat seberat dua puluh lima gram masih terbungkus rapi dalam box bening. Aku memandanginya dengan perasaan tak menentu."Kak Hafsa, seharusnya mahar ini untuk kakak. Seharusnya kakak yang menjalani malam ini. Bukan aku," gumamku dalam hati. Kugigit bibir menahan perasaan sakit mengingat kepergian saudara kembarku itu.Mahar ini memang permintaan Kak Hafsa. Total dari berat emas tersebut adalah simbol dari umur kami. Aku tidak kepikiran untuk mengganti mahar y
POV SENOPATI~Halwa menatapku tak berkedip. Seiring dengan langkah kakiku yang telah berada di samping tempat tidur. Pelan-pelan sekali aku menurunkan Halwa yang sebelumnya berada dalam gendongan. Memindahkan tubuhnya hingga baring di atas kasur.Tubuhku masih membungkuk dengan pandangan mata kami yang masih saling mengunci. Tangan Halwa bahkan masih melingkar di leherku.Jangan dikira aku baik-baik saja. Hatiku kebat-kebit dan lebih dari sekedar tersengat aliran listrik. Seluruh bulu roma di tubuhku rasanya berdiri akibat sedekat ini dengan lawan jenis. Namun tidak perlu khawatir, karena kedekatan ini adalah halal. Seumur hidup hingga usiaku menginjak tiga puluh lima tahun, dan dipaksa untuk segera menikah, baru kali ini aku menyentuh lawan jenis.Jangan dikira juga aku berani sampai merengkuh Halwa seperti tadi. Aku hanya mencoba menghapus jarak yang mungkin tercipta setelah pernikahan ini. Aku tidak mau hubungan yang telah halal ini justru menjadi dingin karena aku mengabaikan pas
"Dek Halwa?" seruku pelan memanggilnya selembut mungkin. Berharap hatinya tergugah dan ia akan kembali memutar posisinya.Namun hening. Tidak ada respon bahkan hanya sebuah sahutan kecil darinya. Aku mengulurkan tangan sampai berhasil menyentuh pundaknya yang tertutup selimut."Jangan melewati batas! Atau aku akan pindah tempat tidur!" Bagai terkena ultimatum, aku dengan cepat menarik tanganku yang memang sudah melewati guling.Akhirnya aku menyimpan tanganku rapat di depan tubuh. Menatap nanar pada kunciran rambut Halwa yang menjadi pemandangan saat ini. Ada kecewa yang menyusup sangat dalam di hati ini.Bagaimana bisa Halwa yang merupakan murid di pondok membiarkanku sebagai suaminya, terhempas dalam harapan seperti ini? Padahal dia pasti tahu, adab dan kewajibannya sebagai seorang istri itu seperti apa. Aku paham jika semua ini terjadi begitu cepat. Aku pun mengerti, bahwa kami tidak lah begitu saling mengenal sebelum ini. Tapi maksudku, kenapa tidak kita sama-sama berjalan pelan-p