Pukul dua siang hari.Semua orang sudah berkumpul di ruangan depan rumah Ayah. Masing-masing sofa sudah terisi. Aku duduk diapit Ibu dan juga Ayah. Sebelah kanan, ada Bang Arsa. Mba Mai tidak ikut berkumpul, karena menjaga Keanu di halaman belakang yang ingin bermain. Sementara di depanku dan terhalang meja kaca, tentunya ada Mas Seno bersama Pak Rasyid. Bu Dhiza mengisi sofa single di sebelah kiri. Jamuan terbaik dari Ayah dan Ibu, sudah dihidangkan di atas meja."Ehm. Agar tidak mengulur waktu dan makin memperlambat. Kami ingin langsung saja pada inti pertemuan siang hari ini," ujar Pak Rasyid membuka pembicaraan. "Apa Nak Halwa sudah mempunyai jawaban atas permintaan kami tempo hari?"Aku menunduk. Menatap pada kuku jari jemariku. Tidak ada keberanian menatap para tamu yang mengisi ruangan depan saat ini.Ayah yang berada di sampingku terdengar berdehem. Tangannya terulur meraih tanganku dan menggenggamnya, membuatku menoleh dan akhirnya menatap pada Ayah yang tengah memandang pada
"Saya terima nikah dan kawinnya Halwa Himalaya Nayunda binti Batara Yuda dengan mas kawin dua puluh lima gram perhiasan emas dan seperangkat alat sholat dibayar tunai!""Bagaimana para saksi?""SAHH!""Alhamdulillah.""Alhamdulilah ... Barakallahu laka ...."Aku menunduk. Akad pernikahan yang langsung diwalikan oleh Ayah terdengar lantang diucapkan Mas Seno meski aku berada di ruangan yang berbeda. Hingga doa selepas ijab qobul selesai dibacakan, barulah aku diminta keluar dari ruang make up.Aku diapit oleh Ibu dan asisten MUA yang menjadi make up artist di pernikahanku. Aku dituntun keluar dari ruang make up sampai berada satu meja dengan Mas Seno yang mengenakan tuxedo hitamnya.Ibu menuntunku sampai duduk di sampingnya. Aku hanya menunduk. Merasa kaku dan canggung.Bayangkan saja, pernikahan ini terjadi begitu cepat. Semua persiapan adalah untuk Kak Hafsa, tapi karena ia telah berpulang, jadilah aku yang menggantikan. Aku pun tidak kuasa untuk menolak. Sehingga keputusan ini yang
Setelah resepsi yang hampir seharian kini acara itu selesai sudah. Hari telah berganti menjadi malam. Aku sudah meninggalkan gedung pernikahan dan berada di dalam kamar pribadi di rumah Ayah. Pakaian pengantin serta heels yang membuat kaki pegal, sudah berganti dengan piyama tidur dan sandal teplek. Riasan di wajahku juga sudah bersih. Aku sudah tidak lagi menyandang gelar ratu sehari.Di dalam kamar, aku duduk termenung di kursi meja rias. Di depanku, kotak mahar pernikahan ini tersimpan. Satu set perhiasan emas dua puluh empat karat seberat dua puluh lima gram masih terbungkus rapi dalam box bening. Aku memandanginya dengan perasaan tak menentu."Kak Hafsa, seharusnya mahar ini untuk kakak. Seharusnya kakak yang menjalani malam ini. Bukan aku," gumamku dalam hati. Kugigit bibir menahan perasaan sakit mengingat kepergian saudara kembarku itu.Mahar ini memang permintaan Kak Hafsa. Total dari berat emas tersebut adalah simbol dari umur kami. Aku tidak kepikiran untuk mengganti mahar y
POV SENOPATI~Halwa menatapku tak berkedip. Seiring dengan langkah kakiku yang telah berada di samping tempat tidur. Pelan-pelan sekali aku menurunkan Halwa yang sebelumnya berada dalam gendongan. Memindahkan tubuhnya hingga baring di atas kasur.Tubuhku masih membungkuk dengan pandangan mata kami yang masih saling mengunci. Tangan Halwa bahkan masih melingkar di leherku.Jangan dikira aku baik-baik saja. Hatiku kebat-kebit dan lebih dari sekedar tersengat aliran listrik. Seluruh bulu roma di tubuhku rasanya berdiri akibat sedekat ini dengan lawan jenis. Namun tidak perlu khawatir, karena kedekatan ini adalah halal. Seumur hidup hingga usiaku menginjak tiga puluh lima tahun, dan dipaksa untuk segera menikah, baru kali ini aku menyentuh lawan jenis.Jangan dikira juga aku berani sampai merengkuh Halwa seperti tadi. Aku hanya mencoba menghapus jarak yang mungkin tercipta setelah pernikahan ini. Aku tidak mau hubungan yang telah halal ini justru menjadi dingin karena aku mengabaikan pas
"Dek Halwa?" seruku pelan memanggilnya selembut mungkin. Berharap hatinya tergugah dan ia akan kembali memutar posisinya.Namun hening. Tidak ada respon bahkan hanya sebuah sahutan kecil darinya. Aku mengulurkan tangan sampai berhasil menyentuh pundaknya yang tertutup selimut."Jangan melewati batas! Atau aku akan pindah tempat tidur!" Bagai terkena ultimatum, aku dengan cepat menarik tanganku yang memang sudah melewati guling.Akhirnya aku menyimpan tanganku rapat di depan tubuh. Menatap nanar pada kunciran rambut Halwa yang menjadi pemandangan saat ini. Ada kecewa yang menyusup sangat dalam di hati ini.Bagaimana bisa Halwa yang merupakan murid di pondok membiarkanku sebagai suaminya, terhempas dalam harapan seperti ini? Padahal dia pasti tahu, adab dan kewajibannya sebagai seorang istri itu seperti apa. Aku paham jika semua ini terjadi begitu cepat. Aku pun mengerti, bahwa kami tidak lah begitu saling mengenal sebelum ini. Tapi maksudku, kenapa tidak kita sama-sama berjalan pelan-p
"HWAAAAAA! AYAH TOLONG! ADA ORANG ASING!"Halwa berteriak sambil memundurkan tubuhnya dariku. Sontak aku melotot padanya. Memandangnya penuh keheranan. Teriakannya tadi sangatlah kencang. Telingaku bahkan sampai sakit mendengarnya."Mas?" seru Halwa dengan wajah seperti terkejut. Ia melihatku tak kalah melototnya. Pun denganku yang masih melotot padanya.TOK TOK TOK!"Halwa? Kamu kenapa? Nak Seno? Kalian baik-baik aja?"Aku bangkit dan menoleh cepat pada pintu yang diketuk dan suara ayah mertua terdengar di baliknya. Aku hendak turun untuk membuka pintu dan bicara dengan Ayah Mertua, tetapi urung. Aku memilih tetap berdiam dan duduk di tempatku."E—e—kami baik-baik aja, Yah! Kami ... gak papa!" Terpaksa aku berteriak menjawab pertanyaan Ayah Mertua."Ya sudah kalau tidak apa-apa. Ayah kembali ke kamar ayah," sahut Ayah Mertua kemudian.Keadaan seketika hening. Sepertinya Ayah Mertua sudah pergi dari depan kamar ini. Aku masih terduduk di tempatku. Masih kebingungan sampai perlahan aku
Langit belum terang sempurna. Udara dingin masih dingin dengan kabut menyelimuti. Aku bersama Ayah Mertua baru saja kembali ke rumah setelah melaksanakan shalat Subuh berjamaah di masjid komplek."Nak Seno, kita sarapan pagi dulu. Ayok, Nak," ajak Ayah Mertua saat kami baru saja melewati ruangan tengah. Aku bermaksud ke kamar yang semalam aku tempati bersama Halwa."Ajak Halwa juga. Kita sarapan sama-sama," sambung Ayah Mertua kembali.Aku hanya mengangguk seraya tersenyum. Ayah Mertua lantas melanjutkan langkahnya menuju ruangan makan. Sementara aku menuju kamar Halwa. Menekan hendel hingga pintunya terbuka."Astaghfirullah!" Halwa yang sedang duduk di depan cermin rias beristighfar dengan nada kaget. Aku lantas masuk dan menutup pintu kamar. Tidak mengerti kenapa Halwa begitu kaget, seperti aku ini penampakan saja. Tempat tidur yang semalam kami tempati pun sudah rapi.Aku berjalan mendekat ke arah meja rias di mana Halwa terlihat sedan
"Kalau kamu gak mau. Biar mas yang berikan," lanjutku dengan wajah yang nyaris tak berjarak.Dia diam saja dengan bibir yang dirapatkan."Pilihannya hanya dua, kamu yang mencium atau kamu yang dicium!" sambungku yang masih menunggu jawabannya. Namun Halwa belum memberi respon selain gelengan kepala."Kamu menolak? Kamu ingkar janji!" tukasku mengingatkannya.Aku membawa tanganku menyentuh ujung dagu Halwa. Mengangkatnya hingga wajah cantik Halwa yang semula menunduk turut terangkat. Dan membuat kami saling beradu tatap. Satu alisku terangkat menagih jawabannya."Kamu diam, berarti Mas yang mencium kamu!" ucapku cepat. Halwa terlihat panik, mulutnya terbuka dan ia menggeleng berulang kali."Kamu masih mau mengelak kalau video itu editan, hmm? Kamu pikir, Mas kekurangan pekerjaan sampai harus mengedit-edit video seperti itu, iya?" cecarku pada Halwa yang masih hanya diam.Kuhembus napas kasar karena Halwa diam saja, berbeda dengan saat tadi yang terus nyerocos dan merepet. Bahkan menanta