Langit belum terang sempurna. Udara dingin masih dingin dengan kabut menyelimuti. Aku bersama Ayah Mertua baru saja kembali ke rumah setelah melaksanakan shalat Subuh berjamaah di masjid komplek.
"Nak Seno, kita sarapan pagi dulu. Ayok, Nak," ajak Ayah Mertua saat kami baru saja melewati ruangan tengah. Aku bermaksud ke kamar yang semalam aku tempati bersama Halwa."Ajak Halwa juga. Kita sarapan sama-sama," sambung Ayah Mertua kembali.Aku hanya mengangguk seraya tersenyum. Ayah Mertua lantas melanjutkan langkahnya menuju ruangan makan. Sementara aku menuju kamar Halwa. Menekan hendel hingga pintunya terbuka."Astaghfirullah!" Halwa yang sedang duduk di depan cermin rias beristighfar dengan nada kaget. Aku lantas masuk dan menutup pintu kamar. Tidak mengerti kenapa Halwa begitu kaget, seperti aku ini penampakan saja. Tempat tidur yang semalam kami tempati pun sudah rapi.Aku berjalan mendekat ke arah meja rias di mana Halwa terlihat sedan"Kalau kamu gak mau. Biar mas yang berikan," lanjutku dengan wajah yang nyaris tak berjarak.Dia diam saja dengan bibir yang dirapatkan."Pilihannya hanya dua, kamu yang mencium atau kamu yang dicium!" sambungku yang masih menunggu jawabannya. Namun Halwa belum memberi respon selain gelengan kepala."Kamu menolak? Kamu ingkar janji!" tukasku mengingatkannya.Aku membawa tanganku menyentuh ujung dagu Halwa. Mengangkatnya hingga wajah cantik Halwa yang semula menunduk turut terangkat. Dan membuat kami saling beradu tatap. Satu alisku terangkat menagih jawabannya."Kamu diam, berarti Mas yang mencium kamu!" ucapku cepat. Halwa terlihat panik, mulutnya terbuka dan ia menggeleng berulang kali."Kamu masih mau mengelak kalau video itu editan, hmm? Kamu pikir, Mas kekurangan pekerjaan sampai harus mengedit-edit video seperti itu, iya?" cecarku pada Halwa yang masih hanya diam.Kuhembus napas kasar karena Halwa diam saja, berbeda dengan saat tadi yang terus nyerocos dan merepet. Bahkan menanta
Aku menoleh pada sang pelaku di mana Halwa tengah menatapku sengit. Dia melotot dan keningku mengernyit. Apa yang salah dengan jawabanku? Aku memang membangun satu rumah impian di tanah kosong samping Madrasah Tsanawi. Tingkatan sekolah yang berada di bawah kepemimpinanku sebagai kepala Madrasahnya. Rumah yang memang sudah selesai dibangun dan isinya sudah lengkap."Wah, Alhamdulillah. Ibu ikut senang kalau memang waktunya cepat," tukas Ibu Mertua. "Kalau begitu, kamu harus segera berkemas, Wa."Seketika Halwa memutus tatapannya dan bahunya terkulai lesu. Kakinya pun sudah diangkat dari atas kakiku. "Bu ... Ibu gak senang ya aku tinggal di sini?" Suaranya terdengar merajuk."Karena sekarang kamu sudah menikah, Wa. Kamu sudah memiliki suami yang wajib kamu patuhi dan taati. Kamu sudah menjadi seorang istri, tanggung jawab kami sebagai orang tua, sudah berpindah pada suami kamu. Dan kami tidak berhak lagi menahan kamu. Ayah yakin kamu lebih paham soal ini,"
Hari kembali berganti dan keperjakaanku masih tersegel. Jangankan melepas keperjakaan, mendapatkan morning kiss saja tidak kesampaian. Halwa selalu mencari celah untuk menghindar. Sampai pagi hari ini, ketika jarum pendek pada arloji di tanganku menunjuk di angka enam. Aku sudah bersiap untuk meluncur ke stasiun.Aku memindahkan tas berisi pakaian dan perlengkapan Halwa ke bagasi mobil. Semuanya kulakukan sendiri dan entah ke mana perempuan itu. Beberapa kado masih bisa dibawa, sementara sisa kado yang masih tertinggal kemungkinan akan diangkut menyusul nanti."Ya ampun, dari tadi dicariin tahunya udah duduk duluan di sini," seruku saat mendapati Halwa ternyata sudah mengisi di bangku belakang.Perempuan berstatus istriku itu terdengar hanya mendengkus tanpa menyahut ucapanku. Aku lantas masuk dan turut duduk di sebelah Halwa. Perempuan dengan gamis merah marun dan kerudung pashmina itu membuang muka ke arah kaca mobil yang sudah dibuka.Tak lama
Aku memegangi pipi karena sentuhan tersebut. Perlahan aku menengok hingga kepala tertoleh ke samping. Halwa terlihat santai, duduk menopang pipinya. Sesaat pandangan kami beradu. Aku menatapnya intens."Kenapa?" tanya Halwa dengan nada ketus.Aku menggeleng pelan. "Kamu yang sudah cium barusan?"Terdengar Halwa menyentak napasnya. "Ada orang lain yang duduk di bangku ini?""Jadi beneran kamu?""Terpaksa!"Aku tersenyum simpul. "Kalau kamu mau mengulang lagi, silahkan. Mas siap!"Halwa mendecih. "Enggaklah! Cukup!" ketusnya menyahut sambil membuang wajah.Aku hanya bisa tersenyum karenanya. Kuarahkan kembali kepala hingga menoleh pada kaca jendela dengan tangan tetap memegangi pipi. Walau hanya sekilas tapi rasanya membuat hati ini dipenuhi kupu-kupu. Karena selain Ummi, aku tidak pernah dicium siapapun lagi. Sehingga rasanya lain dan membekas.Aku kembali menoleh untuk melihat Halwa. Dia terlihat menyan
Halwa bergidik ngeri. Berulangkali ia menggelengkan kepalanya kemudian membuang muka. Ia berjalan pada pintu putih di samping kaca besar transparan itu. Halwa membuka pintunya dan masuk ke sana. Entah apa yang dia cari, karena di balik pintu tersebut hanyalah tempat untuk buang air kecil dan besar. Hanya ada closet dan ruangannya pun tidak terlalu besar. Tidak ada capstok atau perlengkapan mandi. Semua kebutuhan untuk mandi, tersedia di tempat dengan pembatas kaca.Halwa sudah keluar dengan wajah menekuk. Tas slempang yang semula terpasang di pundaknya, kini ia jinjing. Sungguh, wajahnya terlihat lesu dan kesal. Sementara aku, tertawa kecil melihatnya.Halwa menatapku dengan bibirnya yang merengut. Mendelik tajam seperti ingin menerkam. Dia berjalan mendekat ke arah kasur. Aku menyentak napas dan hanya tersenyum miring tertuju padanya."Apa Mas udah gi la?" tanya Halwa dengan penuh penekanan.Aku menggeleng. "Kalau gila, mas gak mungkin bisa menik
Hari hampir sore dan aku masih terkurung di dalam kamar. Sudah sekitar empat jam aku dikurung dan Halwa tak kunjung kembali. Kunci kamar ini dua-duanya dibawa Halwa karena masih berada dalam satu gantungan. Sehingga aku tidak memegang cadangannya. Aku hanya terdiam di ujung tempat tidur saat ini. Waktu sudah ashar, dan aku sudah shalat tadi, khawatir jika Halwa tak kembali cepat-cepat sehingga aku sembahyang di dalam kamar.Kuhembus napas kasar. "Halwa ke mana?" tanyaku sambil bertopang dagu. Aku sudah berbaring. Berguling-guling di atas tempat tidur, tapi Halwa masih belum juga datang.Aku sudah mencoba menghubungi nomornya. Sayangnya, dia tidak membawa ponsel. Karena benda pipihnya itu ada di dalam tas slempangnya, di mana untuk membuka layarnya diperlukan sandi yang sama sekali tidak aku ketahui."Sebentar lagi masuk magrib. Aku masih dikurung di sini? Astaghfirullah ...." Aku mendesah sambil mengusap wajah kasar.Masa' iya aku harus mencongkel
TOK TOK TOK!"Dek! Buka, Dek. Kamu kenapa? Kamu baik-baik aja 'kan?" tanyaku sungguh khawatir. Apa iya harus aku pecahkan pembatas kaca ini untuk dapat menerobos ke dalamnya? Kan tidak mungkin. Tapi aku juga cemas dengan Halwa di dalam sana yang entah sedang apa dan kenapa."Dek? Jangan buat mas khawatir!"TOK TOK TOK!Aku masih berusaha membujuk dan mengetuk kacanya. Sampai aku mondar-mandir karena bingung serta cemas yang bercampur. Hingga nampak Halwa mematikan kran dari showernya membuat air tidak lagi mengalir membasahi tubuhnya itu.TOK TOK TOK!"Dek! Tolong buka pintu kacanya. Kamu kenapa? Ada apa?" teriakku usai menggedor kacanya cukup keras.Halwa di dalam sana terlihat mengangkat kepalanya yang semula terbenam. Dia menoleh dan aku bisa melihat wajahnya yang pucat dengan sepasang mata kemerahan. Seperti orang lelah dan sudah bepergian jauh.Aku mengetuk kacanya kembali agar Halwa segera membukanya. Dan
Hampir satu jam aku menghabiskan waktu berendam di dalam bath tub. Aku bangkit dan membasuh tubuh dengan air shower sebelum benar-benar keluar dari kamar mandi berpintu kaca ini. Gairah yang sangat menyiksaku, perlahan akhirnya mendingin. Rudal bawahku juga sudah tidak menegang seperti tadi meski hasrat ini belum benar-benar meredup.Berbalut handuk, aku menuju lemari dan memasang pakaian tidurku. Jari jemariku keriput, putih pias seperti tak ada darah yang mengalir karena lamanya aku berendam. Menyisir rambut sebelum kemudian keluar meninggalkan kamar.Menuruni anak tangga dan bergegas ke dapur. Menyeduh kopi untuk menghangatkan tubuhku yang rasanya tidak karuan ini. Kulit tubuhku terasa dingin tapi di dalamnya, aku masih merasakan kegerahan.Cangkir porselen di atas meja bar mengepulkan asap dari kopi yang baru selesai kubuat. Dua telapak tanganku memegangi sisinya yang mengalirkan kehangatan. Setelah dirasa cukup, lantas kutuangkan kopi yang masih panas pada piring kecil yang menja