Aku memegangi pipi karena sentuhan tersebut. Perlahan aku menengok hingga kepala tertoleh ke samping. Halwa terlihat santai, duduk menopang pipinya. Sesaat pandangan kami beradu. Aku menatapnya intens.
"Kenapa?" tanya Halwa dengan nada ketus.Aku menggeleng pelan. "Kamu yang sudah cium barusan?"Terdengar Halwa menyentak napasnya. "Ada orang lain yang duduk di bangku ini?""Jadi beneran kamu?""Terpaksa!"Aku tersenyum simpul. "Kalau kamu mau mengulang lagi, silahkan. Mas siap!"Halwa mendecih. "Enggaklah! Cukup!" ketusnya menyahut sambil membuang wajah.Aku hanya bisa tersenyum karenanya. Kuarahkan kembali kepala hingga menoleh pada kaca jendela dengan tangan tetap memegangi pipi. Walau hanya sekilas tapi rasanya membuat hati ini dipenuhi kupu-kupu. Karena selain Ummi, aku tidak pernah dicium siapapun lagi. Sehingga rasanya lain dan membekas.Aku kembali menoleh untuk melihat Halwa. Dia terlihat menyanHalwa bergidik ngeri. Berulangkali ia menggelengkan kepalanya kemudian membuang muka. Ia berjalan pada pintu putih di samping kaca besar transparan itu. Halwa membuka pintunya dan masuk ke sana. Entah apa yang dia cari, karena di balik pintu tersebut hanyalah tempat untuk buang air kecil dan besar. Hanya ada closet dan ruangannya pun tidak terlalu besar. Tidak ada capstok atau perlengkapan mandi. Semua kebutuhan untuk mandi, tersedia di tempat dengan pembatas kaca.Halwa sudah keluar dengan wajah menekuk. Tas slempang yang semula terpasang di pundaknya, kini ia jinjing. Sungguh, wajahnya terlihat lesu dan kesal. Sementara aku, tertawa kecil melihatnya.Halwa menatapku dengan bibirnya yang merengut. Mendelik tajam seperti ingin menerkam. Dia berjalan mendekat ke arah kasur. Aku menyentak napas dan hanya tersenyum miring tertuju padanya."Apa Mas udah gi la?" tanya Halwa dengan penuh penekanan.Aku menggeleng. "Kalau gila, mas gak mungkin bisa menik
Hari hampir sore dan aku masih terkurung di dalam kamar. Sudah sekitar empat jam aku dikurung dan Halwa tak kunjung kembali. Kunci kamar ini dua-duanya dibawa Halwa karena masih berada dalam satu gantungan. Sehingga aku tidak memegang cadangannya. Aku hanya terdiam di ujung tempat tidur saat ini. Waktu sudah ashar, dan aku sudah shalat tadi, khawatir jika Halwa tak kembali cepat-cepat sehingga aku sembahyang di dalam kamar.Kuhembus napas kasar. "Halwa ke mana?" tanyaku sambil bertopang dagu. Aku sudah berbaring. Berguling-guling di atas tempat tidur, tapi Halwa masih belum juga datang.Aku sudah mencoba menghubungi nomornya. Sayangnya, dia tidak membawa ponsel. Karena benda pipihnya itu ada di dalam tas slempangnya, di mana untuk membuka layarnya diperlukan sandi yang sama sekali tidak aku ketahui."Sebentar lagi masuk magrib. Aku masih dikurung di sini? Astaghfirullah ...." Aku mendesah sambil mengusap wajah kasar.Masa' iya aku harus mencongkel
TOK TOK TOK!"Dek! Buka, Dek. Kamu kenapa? Kamu baik-baik aja 'kan?" tanyaku sungguh khawatir. Apa iya harus aku pecahkan pembatas kaca ini untuk dapat menerobos ke dalamnya? Kan tidak mungkin. Tapi aku juga cemas dengan Halwa di dalam sana yang entah sedang apa dan kenapa."Dek? Jangan buat mas khawatir!"TOK TOK TOK!Aku masih berusaha membujuk dan mengetuk kacanya. Sampai aku mondar-mandir karena bingung serta cemas yang bercampur. Hingga nampak Halwa mematikan kran dari showernya membuat air tidak lagi mengalir membasahi tubuhnya itu.TOK TOK TOK!"Dek! Tolong buka pintu kacanya. Kamu kenapa? Ada apa?" teriakku usai menggedor kacanya cukup keras.Halwa di dalam sana terlihat mengangkat kepalanya yang semula terbenam. Dia menoleh dan aku bisa melihat wajahnya yang pucat dengan sepasang mata kemerahan. Seperti orang lelah dan sudah bepergian jauh.Aku mengetuk kacanya kembali agar Halwa segera membukanya. Dan
Hampir satu jam aku menghabiskan waktu berendam di dalam bath tub. Aku bangkit dan membasuh tubuh dengan air shower sebelum benar-benar keluar dari kamar mandi berpintu kaca ini. Gairah yang sangat menyiksaku, perlahan akhirnya mendingin. Rudal bawahku juga sudah tidak menegang seperti tadi meski hasrat ini belum benar-benar meredup.Berbalut handuk, aku menuju lemari dan memasang pakaian tidurku. Jari jemariku keriput, putih pias seperti tak ada darah yang mengalir karena lamanya aku berendam. Menyisir rambut sebelum kemudian keluar meninggalkan kamar.Menuruni anak tangga dan bergegas ke dapur. Menyeduh kopi untuk menghangatkan tubuhku yang rasanya tidak karuan ini. Kulit tubuhku terasa dingin tapi di dalamnya, aku masih merasakan kegerahan.Cangkir porselen di atas meja bar mengepulkan asap dari kopi yang baru selesai kubuat. Dua telapak tanganku memegangi sisinya yang mengalirkan kehangatan. Setelah dirasa cukup, lantas kutuangkan kopi yang masih panas pada piring kecil yang menja
Akhirnya aku pulang kembali ke rumah. Berbicara dengan Zulfikar hanya menambah rumit pikiranku saja. Apalagi dia selalu mendesak agar aku mau menggunakan obat yang dibelinya itu.Hhh ... yang ada aku dan Halwa malah sama-sama tersiksa nanti. Tak hanya itu, ada hal yang lebih gila dari adik bontotku itu. Dia menyarankan agar aku dan Halwa bersama-sama menonton film yang dapat memancing keinginan s*ksual kami. Tidak habis pikir aku dibuatnya.Setibanya di dalam rumah, aku mengecek kembali kamar yang ditempati Halwa. Istriku itu masih terbaring di sana dengan terbungkus selimut. Sempat ragu, tetapi akhirnya aku memberanikan diri untuk masuk. Mengunci pintu dan menaruh kedua kuncinya dalam saku celana.Berjalan menuju tempat tidur, lalu mengambil tempat di sisi yang kosong. Beringsut naik dengan pelan agar Halwa tidak terganggu dengan pergerakanku.Pelan-pelan aku membaringkan tubuh. Terbaring miring menghadap Halwa yang tertidur pulas sambil memeluk gulingnya.Aku hanya bisa menatapnya.
Halwa melotot menatapku.Aku tersenyum dan kian mendekatkan kemeja di tanganku padanya. Menatapnya agar segera melakukan perintahku.Halwa mendorong tanganku di depan tubuhnya. "Mas bisa pake sendiri. Gak usah manja!" sahutnya menghardik."Tapi mas meminta kamu yang memakaikannya."Halwa menggeleng. "Gak usah manja deh. Mas bukan anak TK!" sungutnya sambil membuang muka. "Masa' pakai kemeja aja harus nyuruh aku. Yang bener aja!" cicitnya menggerutu.Kuhembus napas pelan. "Ya sudah, mas gak akan pakai," jawabku kemudian berbalik badan. Berjalan menuju tempat tidur dan menaruh kemejanya di atas kasur. Aku naik ke kasur lalu membaringkan tubuh yang hanya berbalut handuk."Mana kunci pintunya, Mas? Aku mau keluar. Mau keliling yayasan sekalian nengok anak-anak Ibtida'." Halwa mengulurkan tangannya.Aku menoleh dan menggeleng. "Mas gak mau buka pintu sebelum kamu memasangkan kemejanya. Lagipula, siapa yang mengizinkan kamu ke
Aku masih merasainya. Merasakan hal yang baru pertama kali aku dapatkan. Meski hanya saling menempel, tapi efeknya luar biasa. Kupu-kupu berterbangan memenuhi hati dan perutku. Menimbulkan gelenyar indah yang baru kali ini kurasakan.Aku bukan pencium handal. Ini saja adalah ciuman pertamaku. Sehingga sekujur tubuh Rasanya membeku dan aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Hingga dorongan kerasa terasa di dada. Seketika mata ini terbuka seiring tubuh yang mundur.Pelukanku di pinggang Halwa terlepas. Namun aku masih berdiri di hadapannya. Napasku berderu tak teratur sedangkan Halwa menatapku nyalang."Mas jangan selalu mencari-cari kesempatan!" hardiknya dengan jari telunjuk mengarah di depanku.Satu alisku terangkat. Kutatap lekat Halwa yang nampak menahan gejolak kemarahan. Aku melangkah maju, mengikis jarak kembali dengannya. Kutepis kasar jari telunjuknya yang berada tepat di depan wajahku itu.Brukkk!Kedua tanganku mendarat p
Matahari sudah meninggi. Bertahta di puncaknya pada siang hari yang cerah ini. Namun sayang, cuaca tidak seindah hatiku.Jam istirahat siang, usai shalat Dhuhur berjamaah. Aku kembali mengisi ruangan khusus sebagai kepala sekolah di tingkatan Tsanawi. Duduk di kursi eksekutif sambil bertopang dagu. Menghadap pada layar laptop yang menyala serta ditemani seporsi siomay untuk mengganjal perut. Harusnya aku pulang ke rumah. Beristirahat sembari makan siang di sana. Tapi rasanya aku tak semangat untuk pulang.TOK TOK TOK!Ketukan pada pintu membuatku mendongak. Zulfikar ada di ambang pintu yang memang dibiarkan terbuka. Adik bontotku itu masuk dan berjalan mendekat ke arah mejaku."Mas, kebetulan mas belum pulang. Ini ada beberapa berkas yang harus ditandatangan. Terus juga ada pengajuan beasiswa dari Abidzar ke Kairo, Mas."Aku manggut-manggut menerima penjelasannya. Mendekatkan beberapa map berisi berkas yang dibawa Zulfikar. Menyiapkan bol
Aku membawa Halwa ke dalam kamar. Menutup pintu menggunakan kaki hingga berdebam kencang. Melanjutkan langkah menuju tempat tidur, lalu menjatuhkan bobotku tanpa menurunkan Halwa lebih dulu. Posisinya yang digendong seperti bayi koala, membuat ia kini berada di atas tubuhku yang sudah setengah bersandar di headboard kasur.Kedua tanganku terulur mengusap sisi rambutnya. Membelai wajah cantik itu lalu menyelipkan rambut ke belakang dan telinganya bersama pandangan kami yang saling mengunci."Syaratnya ... apa boleh aku meminta hak sebagai suami? Apa kamu tidak keberatan aku memintanya malam ini?" tanyaku seraya mengungkap syarat yang kumaksud.Halwa menunduk sambil menggigit bibirnya. Menggerakkan bola matanya tak tentu arah seakan salah tingkah. "Kamu ... menginginkannya malam ini, Mas? Tapi ... kondisiku seperti ini. Bagaimana jika tidak berjalan maksimal? Emmh, maksudku, tanganku sedang cedera seperti ini, apa tidak akan jadi masalah?"Aku tersenyum kecil dengan kedua tangan masih ak
Secangkir teh tawar hangat akhirnya tersaji. Aku bersama Halwa duduk berdua mengisi meja makan. Ia menikmati segelas susu vanila dengan roti selai kacang meski menggunakan tangan kirinya. Sampai kemudian Halwa selesai lebih dulu dan barulah aku. Halwa telah bangkit, membereskan meja makan bekas kami sarapan dengan satu tangannya."Udah, biar aku yang beresin," ujarku sembari menahan tangan Halwa.Ia menggeleng dan menarik tangannya dariku. "Gak papa, Mas. Biar aku aja," tolaknya masih terus membereskan meja.Aku lantas membiarkan. Halwa selesai menumpuk piring serta cangkir yang tadi kami gunakan. Ia beranjak dari meja makan ini, membawa perabot kotor menuju wastafel pencuci piring.Namun, tentu saja aku tak tinggal diam. Lekas aku menyusul dan berdiri di belakangnya. Terlihat sekali Halwa tak mampu bekerja dengan normal hanya dengan satu tangan. Aku menyentak napas membuatnya berbalik badan. Cepat aku meraih pinggangnya. Membawa tubuhnya sedikit bergeser lalu mengangkat hingga ia te
Setibanya di kamar, aku menurunkan Halwa di tempat tidur. "Aku siapkan dulu airnya, ya?"Halwa mengangguk cepat. Aku menjauh dari tempat tidur dan masuk ke kamar mandi berdinding kaca. Menyiapkan air hangat memenuhi bath tub, tak lupa menambahkan bath bomb hingga berbuih dan wangi semerbak.Setelah air siap, aku kembali menemui Halwa yang terduduk di bibir tempat tidur."Air hangat sudah siap," ucapku memberitahu. Aku lalu menjatuhkan tubuh di hadapan Halwa. Bertumpu dengan kedua lutut hingga tinggi kami sejajar.Aku mengulurkan tangan menangkup wajahnya yang bulat. Manik mata itu seakan menghipnotis membuatku selalu ingin menatapnya lama-lama. Semburat senyum tersungging di bibir Halwa. Tangannya tergerak meraih tanganku yang tengah membelai pipinya."Buka kerudungnya, ya?" ucapku merasa perlu meminta izin. Halwa mengangguk tanpa protes. Tanganku lalu dengan cepat menyingkap kain penutup kepalanya hingga terlepas.Aku tak mampu berpaling. Kupandangi Halwa dengan tangan menyelipkan si
260#Aku membawa kepala Halwa tenggelam di dada. Tidak peduli di jalanan umum, aku masih tetap mendekapnya erat. Kubelai lembut kepalanya yang tertutup kerudung instan. Wajahku tenggelam, menciumi puncak kepalanya. Entah keberanian darimana, entah bagaimana bisa aku melakukan semua, mendekapnya erat dan tanpa ragu seperti saat ini.“Jangan pergi …,” ucapku lirih tanpa berhenti mengecup puncak kepalanya. Terasa dekapan tangan Halwa kian erat di pinggang.“Aku sudah mengecewakan kamu, Mas. Aku bukan perempuan yang baik. Aku rasanya tidak pantas menjadi pendamping pria setulus dan sebaik kamu,” sahutnya membuatku menggeleng.“Gak ada yang bilang seperti itu. Abi dan Ummi tidak akan membiarkanku menikahi perempuan yang salah,” jawabku tanpa melepaskan dekapan.“Ehhem, ehhem. Jadi gimana nih? Mau peluk-pelukan terus di sini gitu?” Suara Abi membuat Halwa menarik diri dari dekapanku. Sementara aku membalik badan hingga berhadapan deng
259.Zulfikar mendengkus. “Mas Seno kenapa kayak kaget gitu, sih? Masa’ istrinya pergi ke rumah orang tuanya Mas gak tahu?”Aku menggeleng menanggapi keheranan dari adikku itu, “Mas gak tahu, Fik.”“Emangnya Mas ke mana? Mas gak tidur di rumah? Mas biarin Mba Halwa sendirian di rumah?”Aku menggeleng pelan. “Gak gitu, Mas Cuma ketiduran di masjid.”“Ya ampun … Mas. Bisa-bisanya malah ketiduran di masjid dan gak tahu istrinya pulang ke rumah orang tuanya.”Aku merasa gusar. Benar-benar tidak menyangka jika Halwa akan pergi ke rumah orang tuanya. Hatiku mendadak tidak enak. “Tolong sekarang kamu telfon Abi atau Ummi, Fik,” pintaku pada adik bontotku tersebut.“Mau ngapain, Mas?”“Ya bilang sama Abi, kalau Mas mau ikut.“Mas tinggal nyusul aja nanti. Mas belum siap-siap juga!”Aku mendesah. Aku lantas menjelaskan pada Fikar apa yang sednag terjadi.
258.Detik dari jarum jam duduk di atas nakas terus terdengar. Menemani malamku yang berlalu tanpa bisa tidur. Sejak masuk kamar dan memutuskan untuk membawa tubuh ini rebah di atas kasur, aku sama sekali belum dapat tidur. Entah sudah berapa kali aku berguling ke kana juga kiri. Tengkurap lalu terlentang lagi. Menutup wajah dengan bnatal. Membaca wirid tapi tetap sama. Aku tak dapat tidur. Aku masih terjaga. Entah kenapa, tapi satu yang terasa mengganggu malamku ialah Halwa dan pembicaraan kami tadi. Wajah cantik yang tak lagi dipenuhi keangkuhan itu tertus membayang di pelupuk mata. Juga pelukannya yang tiba-tiba ia lakukan padaku. Semua terasaa membekas dan menari-nari dalam ingatan.“Fiuhh …’’ Aku mendesah seraya memutar badan hingga terlentang. Menatap langit-lagit kamar dengan perasaan entah.Terdiam sesaat sebelum kemudian tangan ini terulur meraih jam di atas nakas. “Jam dua malam, tapi aku masih gak ngantuk,” gumamku lirih. Kuhembus napas kasar dan akhirnya menyibak selimut.
257.Aku membisu.Kupandangi paras cantik perempuan di hadapanku ini. Memandangnya tak mengerti sama sekali. Begitu juga dengannya yang menatapku. Pendar mata itu kini lain. Tidak ada binar keangkuhan di sana. Melainkan tatap sayu dan raut memelas yang kulihat. Tidak ada jejak kesombongan serta kebencian yang sebelumnya selalu tegas ia tunjukkan.Genggamannya di tanganku terasa lebih erat. Membuatku akhirnya tersadar dan aku menarik tanganku hingga terlepas dari pegangannya.“Mas?”Aku menggeleng cepat. “Mau kamu ini sebenarnya apa?” tanyaku sambil menatapnya sengit.“M— mas?”Aku menepis tanganku ketika Halwa mencoba meraihnya lagi. “Di saat aku menaruh harapan besar pada pernikahan kita. Di saat aku mencoba membuka hati dan siap untuk memulai jalannya rumah tangga ini, kamu mematahkan hatiku begitu hebat. Kamu menjatuhkanku tanpa ampun hingga hati ini remuk. Kamu menolakku seakan aku ini adalah lelaki yang buruk dan tidak pantas dicintai. Kamu bukan hanya membuatku kecewa, tapi kam
256.Aku memijat kening dengan kepala agak menunduk. Mengumpulkan segenap kesadaran dalam diri. Meraup wajahku, menyugar rambut samil mengembus napas kasar. Membuka mata lebar-lebar dan ternyata semua ini bukan mimpi. Aku sama sekali tidak sedang bermimpi. Halwa benar-benar mengajakku untuk shalat dhuha berjamaah.“Bisa kamu ulangi?” ucapku hanya ingin memastikanjika ini bukanlah mimpi. Barangkali pendengaranku yang bermasalah.Terdengar helaan napas berat dari Halwa. “Kita berjamaah shalat dhuha di kamar, Mas.”Aku terdiam menatapnya.“Kamu mengigau?” tanyaku cepat,Halwa menggeleng pelan. “Aku gak lagi tidur, Mas. Jadi gak mungkin aku ngigau. Aku sadar. 100 persen!” tukasnya dengan yakin.Lagi-lagi aku melongo dibuatnya.Halwa memandangku samapi aku mengerjap dan memaligkan wajah. “ya sudah, kalau kamu mau kita berjamaah—““Aku tunggu di atas ya, Mas!” Halwa berucap cepat memotong perkataanku.“E—“ Ucapanku menggantung di udara. Halwa telah lebih dulu melangkah. Menjauh dari tempatk
*“Ada remahan makanan di sini, Mas. Sekarang sudah bersih,” ucap Halwa sambil mengusap bawah bibirku. Jari tangannya masih bertengger di wajahku. Refleks wajahku tertarik ke belakang. Tanganku tergerak merraih jari jemarinya itu dan menurunkannya dari wajah ini.“lain kali kamu bisa memberitahu. Aku yang akan membersihkannya sendiri,” sahutku kemudian melangkah melewatinya.Aku melangkah tanpa mempedulikan lagi Halwa yang tertinggal di sana. Kakiku terus melangkah dan berjalan sampai keluar meninggalkan ruangan makan. Di mana akhirnya aku menghempaskan bobotku di sofa ruangan baca. Mengambi sebuah buku novel yang ada pada rak kecil di samping sofa ini. Tugas mengurusi Halwa untuk mandi dan sarapan sudah selesai. Aku juga tidak diperbolehkan ke madrasah, jadi lebih baik aku menghabiskan waktu di ruangan baca ini saja.Namun baru saja sampai pada lembar halaman ke tiga dari buku novel di tanganku, suara derap langkah menyapa indera pendengaran. Kepalaku terangkat seiring dengan derap y