Halwa melotot menatapku.Aku tersenyum dan kian mendekatkan kemeja di tanganku padanya. Menatapnya agar segera melakukan perintahku.Halwa mendorong tanganku di depan tubuhnya. "Mas bisa pake sendiri. Gak usah manja!" sahutnya menghardik."Tapi mas meminta kamu yang memakaikannya."Halwa menggeleng. "Gak usah manja deh. Mas bukan anak TK!" sungutnya sambil membuang muka. "Masa' pakai kemeja aja harus nyuruh aku. Yang bener aja!" cicitnya menggerutu.Kuhembus napas pelan. "Ya sudah, mas gak akan pakai," jawabku kemudian berbalik badan. Berjalan menuju tempat tidur dan menaruh kemejanya di atas kasur. Aku naik ke kasur lalu membaringkan tubuh yang hanya berbalut handuk."Mana kunci pintunya, Mas? Aku mau keluar. Mau keliling yayasan sekalian nengok anak-anak Ibtida'." Halwa mengulurkan tangannya.Aku menoleh dan menggeleng. "Mas gak mau buka pintu sebelum kamu memasangkan kemejanya. Lagipula, siapa yang mengizinkan kamu ke
Aku masih merasainya. Merasakan hal yang baru pertama kali aku dapatkan. Meski hanya saling menempel, tapi efeknya luar biasa. Kupu-kupu berterbangan memenuhi hati dan perutku. Menimbulkan gelenyar indah yang baru kali ini kurasakan.Aku bukan pencium handal. Ini saja adalah ciuman pertamaku. Sehingga sekujur tubuh Rasanya membeku dan aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Hingga dorongan kerasa terasa di dada. Seketika mata ini terbuka seiring tubuh yang mundur.Pelukanku di pinggang Halwa terlepas. Namun aku masih berdiri di hadapannya. Napasku berderu tak teratur sedangkan Halwa menatapku nyalang."Mas jangan selalu mencari-cari kesempatan!" hardiknya dengan jari telunjuk mengarah di depanku.Satu alisku terangkat. Kutatap lekat Halwa yang nampak menahan gejolak kemarahan. Aku melangkah maju, mengikis jarak kembali dengannya. Kutepis kasar jari telunjuknya yang berada tepat di depan wajahku itu.Brukkk!Kedua tanganku mendarat p
Matahari sudah meninggi. Bertahta di puncaknya pada siang hari yang cerah ini. Namun sayang, cuaca tidak seindah hatiku.Jam istirahat siang, usai shalat Dhuhur berjamaah. Aku kembali mengisi ruangan khusus sebagai kepala sekolah di tingkatan Tsanawi. Duduk di kursi eksekutif sambil bertopang dagu. Menghadap pada layar laptop yang menyala serta ditemani seporsi siomay untuk mengganjal perut. Harusnya aku pulang ke rumah. Beristirahat sembari makan siang di sana. Tapi rasanya aku tak semangat untuk pulang.TOK TOK TOK!Ketukan pada pintu membuatku mendongak. Zulfikar ada di ambang pintu yang memang dibiarkan terbuka. Adik bontotku itu masuk dan berjalan mendekat ke arah mejaku."Mas, kebetulan mas belum pulang. Ini ada beberapa berkas yang harus ditandatangan. Terus juga ada pengajuan beasiswa dari Abidzar ke Kairo, Mas."Aku manggut-manggut menerima penjelasannya. Mendekatkan beberapa map berisi berkas yang dibawa Zulfikar. Menyiapkan bol
Aku masih memperhatikan Abidzar. Penglihatanku tidak salah. Ia memang sedang menatap pada Halwa yang berada di sebrangnya. Tapi, kenapa?Kenapa Abidzar menatap Halwa sedemikian rupa? Apa yang dia lihat dari perempuan yang berstatus istriku itu, tetapi tidak bisa kusentuh bahkan kumiliki.Aku makin tidak mengerti, ketika bibir tipis Abidzar melengkungkan senyum saat netranya masih menatap pada Halwa.Ada apa ini?Apa diam-diam Abidzar memiliki perasaan pada Halwa?Aku mendecih dalam hati.Mikir apa sih aku ini? Abidzar tidak mungkin untuk selancang itu. Tidak, tidak. Aku tahu anak itu. Kurasa, dia hanya kagum karena malam ini Halwa memang terlihat lebih cantik. Dan aku sebagai suami, hanya bisa merutuk karena tidak meminta Halwa memakai niqob penutup wajahnya. Seharusnya aku mampu meminta Halwa untuk bercadar, tapi aku sudah kalah lebih dulu. Aku menyerahkan apa saja yang ingin Halwa lakukan. Aku ... tidak peduli lagi. Ampuni aku, Ya Allah. Jika ini berdosa, maka mohon ampuni aku. Aku
Akhirnya aku tiba di rumah sakit. Menemui Ummi dan Fikar yang katanya ada di ruang rawat Teratai."Akhirnya Mas Seno dateng juga." Fikar menyambut kedatanganku."Kamu ke mana aja sih? Kok ga ada di rumah? Kenapa Nak Halwa kamu tinggalin sendirian di rumah? Sampai dia jatuh dari tangga dan kamu gak ada!" cecar Ummi yang entah harus seperti apa aku menjawabnya."Tenang dulu, Mi. Mas Seno baru aja dateng udah Ummi cecar begitu. Kasian Mas Seno pasti masih capek. Ayok Mas duduk dulu," tukas Fikar menuntunku hingga akhirnya terduduk di sebuah kursi tunggu.Terdengar hembusan napas berat dari Ummi yang menyusul duduk di sebelahku. Pun dengan Fikar. Hingga posisiku kini berada di tengah-tengah mereka."Sekarang bilang sama ummi, kamu dari mana aja?" tanya Ummi lagi."Aku ... ada urusan sebentar di luar, Mi," jawabku kemudian."Urusan apa sih? Kata adikmu, kamu ada di pacuan kuda? Kamu berkuda malam-malam begini? Terus istrimu k
"Awwwhh!"Aku mendongak. Terlihat Halwa seperti menyesap ujung jarinya setelah sebelumnya aku dengar ia meringis. Akhirnya aku melangkah, hingga berdiri cukup dekat di belakangnya. Benar saja, kulihat jari tangan itu terluka."Aghh," ringis Halwa lagi sambil mengibaskan tangannya. Kemudian ia ulurkan kembali tangannya ke arah pecahan piring yang masih berantakan itu."Stop!" seruku dan berhasil menghentikan gerakan tangan Halwa.Perempuan itu memutar kepalanya hingga menoleh dan mendongak padaku yang menjulang berdiri di belakangnya. Sejenak pandangan kami bertemu sebelum dengan cepat aku membuang muka."Biar aku yang bereskan. Kamu obati saja jari yang terluka!" titahku tanpa melihatnya."Gak papa. Aku bisa kok, cuma agak lambat aja," sahutnya."Bangun! Aku gak peduli kok jari kamu itu luka. Aku cuma gak suka, ruang makanku berantakan seperti ini. Aku gak yakin kamu bisa bereskan ini semua. Sekarang mending kamu ke luar dari sini. Aku mau bereskan semua ini!" tegasku yang masih meman
Setelah berada di dapur, lekas aku mencuci piring serta gelas yang tadi digunakan. Sehingga tidak ada perabot kotor yang mengisi bak wastafel. Usai mengeringkan tangan, aku bergegas ke luar dari dapur. Terdengar derap langkah di anak tangga, dan ternyata Halwa yang tengah naik ke lantai atas.Aku meneruskan langkah, hingga tiba di kamar lalu masuk. Menutup pintunya dan kubawa tubuh ini berbaring di atas kasur. Berbaring terlentang dengan pandangan menatap langit-langit kamar. Tiba-tiba pikiranku teringat akan kejadian barusan.Di mana aku menyuapi Halwa makan malam. Aku mengingatnya, tapi semua terasa hambar. Sebelumnya, hanya bisa dekat lalu menyentuh Halwa saja, aku sudah merasa sangat bahagia. Kini, rasa itu seakan menguap dan lenyap begitu saja. Mungkin, terlalu pahit penolakannya terhadapku, terlalu hebat ia mematahkan harapanku.Kuhembus napas kasar lalu mencoba memejamkan mata untuk beralih ke alam mimpi.🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺Usai shalat Subuh, aku sudah mengisi meja makan dan hanya
"T—tapi, Mi, kenapa gak Ummi aja yang bantuin Halwa? Kalian kan' sama-sama perempuan."Ummi terdengar mendecak. "Kamu gimana sih, ya kamu lah suaminya yang bantuin, kalau sama Ummi meskipun sama-sama perempuan pasti Halwa malu. Beda kalau kamu yang bantu.""E—tapi, Mi—""Udah ah sana masuk, jangan tapi-tapian aja. Sana cepet, kasian istri kamu pasti udah gak nyaman!"Brukkk!Ummi mendorongku sampai masuk ke dalam rumah dan menutup pintunya dengan cepat juga keras. Aku melongo menatap daun pintu dari kayu jati solid yang kini telah tertutup rapat. Kedua bahuku terkulai lemas."Hhh ... apalagi ini?" Aku meraup wajah kasar seraya membuang napas.Seharusnya Ummi saja yang membantu Halwa untuk mandi, bukan aku, tapi ... kalau aku memberitahu alasan dan kondisi rumah tanggaku dengan Halwa yang baru seumur jagung ini, aku yakin Ummi pasti akan sangat kecewa. Tidak mungkin aku pun mengungkapkan semuanya pada Ummi. Anak lelaki te
Aku membawa Halwa ke dalam kamar. Menutup pintu menggunakan kaki hingga berdebam kencang. Melanjutkan langkah menuju tempat tidur, lalu menjatuhkan bobotku tanpa menurunkan Halwa lebih dulu. Posisinya yang digendong seperti bayi koala, membuat ia kini berada di atas tubuhku yang sudah setengah bersandar di headboard kasur.Kedua tanganku terulur mengusap sisi rambutnya. Membelai wajah cantik itu lalu menyelipkan rambut ke belakang dan telinganya bersama pandangan kami yang saling mengunci."Syaratnya ... apa boleh aku meminta hak sebagai suami? Apa kamu tidak keberatan aku memintanya malam ini?" tanyaku seraya mengungkap syarat yang kumaksud.Halwa menunduk sambil menggigit bibirnya. Menggerakkan bola matanya tak tentu arah seakan salah tingkah. "Kamu ... menginginkannya malam ini, Mas? Tapi ... kondisiku seperti ini. Bagaimana jika tidak berjalan maksimal? Emmh, maksudku, tanganku sedang cedera seperti ini, apa tidak akan jadi masalah?"Aku tersenyum kecil dengan kedua tangan masih ak
Secangkir teh tawar hangat akhirnya tersaji. Aku bersama Halwa duduk berdua mengisi meja makan. Ia menikmati segelas susu vanila dengan roti selai kacang meski menggunakan tangan kirinya. Sampai kemudian Halwa selesai lebih dulu dan barulah aku. Halwa telah bangkit, membereskan meja makan bekas kami sarapan dengan satu tangannya."Udah, biar aku yang beresin," ujarku sembari menahan tangan Halwa.Ia menggeleng dan menarik tangannya dariku. "Gak papa, Mas. Biar aku aja," tolaknya masih terus membereskan meja.Aku lantas membiarkan. Halwa selesai menumpuk piring serta cangkir yang tadi kami gunakan. Ia beranjak dari meja makan ini, membawa perabot kotor menuju wastafel pencuci piring.Namun, tentu saja aku tak tinggal diam. Lekas aku menyusul dan berdiri di belakangnya. Terlihat sekali Halwa tak mampu bekerja dengan normal hanya dengan satu tangan. Aku menyentak napas membuatnya berbalik badan. Cepat aku meraih pinggangnya. Membawa tubuhnya sedikit bergeser lalu mengangkat hingga ia te
Setibanya di kamar, aku menurunkan Halwa di tempat tidur. "Aku siapkan dulu airnya, ya?"Halwa mengangguk cepat. Aku menjauh dari tempat tidur dan masuk ke kamar mandi berdinding kaca. Menyiapkan air hangat memenuhi bath tub, tak lupa menambahkan bath bomb hingga berbuih dan wangi semerbak.Setelah air siap, aku kembali menemui Halwa yang terduduk di bibir tempat tidur."Air hangat sudah siap," ucapku memberitahu. Aku lalu menjatuhkan tubuh di hadapan Halwa. Bertumpu dengan kedua lutut hingga tinggi kami sejajar.Aku mengulurkan tangan menangkup wajahnya yang bulat. Manik mata itu seakan menghipnotis membuatku selalu ingin menatapnya lama-lama. Semburat senyum tersungging di bibir Halwa. Tangannya tergerak meraih tanganku yang tengah membelai pipinya."Buka kerudungnya, ya?" ucapku merasa perlu meminta izin. Halwa mengangguk tanpa protes. Tanganku lalu dengan cepat menyingkap kain penutup kepalanya hingga terlepas.Aku tak mampu berpaling. Kupandangi Halwa dengan tangan menyelipkan si
260#Aku membawa kepala Halwa tenggelam di dada. Tidak peduli di jalanan umum, aku masih tetap mendekapnya erat. Kubelai lembut kepalanya yang tertutup kerudung instan. Wajahku tenggelam, menciumi puncak kepalanya. Entah keberanian darimana, entah bagaimana bisa aku melakukan semua, mendekapnya erat dan tanpa ragu seperti saat ini.“Jangan pergi …,” ucapku lirih tanpa berhenti mengecup puncak kepalanya. Terasa dekapan tangan Halwa kian erat di pinggang.“Aku sudah mengecewakan kamu, Mas. Aku bukan perempuan yang baik. Aku rasanya tidak pantas menjadi pendamping pria setulus dan sebaik kamu,” sahutnya membuatku menggeleng.“Gak ada yang bilang seperti itu. Abi dan Ummi tidak akan membiarkanku menikahi perempuan yang salah,” jawabku tanpa melepaskan dekapan.“Ehhem, ehhem. Jadi gimana nih? Mau peluk-pelukan terus di sini gitu?” Suara Abi membuat Halwa menarik diri dari dekapanku. Sementara aku membalik badan hingga berhadapan deng
259.Zulfikar mendengkus. “Mas Seno kenapa kayak kaget gitu, sih? Masa’ istrinya pergi ke rumah orang tuanya Mas gak tahu?”Aku menggeleng menanggapi keheranan dari adikku itu, “Mas gak tahu, Fik.”“Emangnya Mas ke mana? Mas gak tidur di rumah? Mas biarin Mba Halwa sendirian di rumah?”Aku menggeleng pelan. “Gak gitu, Mas Cuma ketiduran di masjid.”“Ya ampun … Mas. Bisa-bisanya malah ketiduran di masjid dan gak tahu istrinya pulang ke rumah orang tuanya.”Aku merasa gusar. Benar-benar tidak menyangka jika Halwa akan pergi ke rumah orang tuanya. Hatiku mendadak tidak enak. “Tolong sekarang kamu telfon Abi atau Ummi, Fik,” pintaku pada adik bontotku tersebut.“Mau ngapain, Mas?”“Ya bilang sama Abi, kalau Mas mau ikut.“Mas tinggal nyusul aja nanti. Mas belum siap-siap juga!”Aku mendesah. Aku lantas menjelaskan pada Fikar apa yang sednag terjadi.
258.Detik dari jarum jam duduk di atas nakas terus terdengar. Menemani malamku yang berlalu tanpa bisa tidur. Sejak masuk kamar dan memutuskan untuk membawa tubuh ini rebah di atas kasur, aku sama sekali belum dapat tidur. Entah sudah berapa kali aku berguling ke kana juga kiri. Tengkurap lalu terlentang lagi. Menutup wajah dengan bnatal. Membaca wirid tapi tetap sama. Aku tak dapat tidur. Aku masih terjaga. Entah kenapa, tapi satu yang terasa mengganggu malamku ialah Halwa dan pembicaraan kami tadi. Wajah cantik yang tak lagi dipenuhi keangkuhan itu tertus membayang di pelupuk mata. Juga pelukannya yang tiba-tiba ia lakukan padaku. Semua terasaa membekas dan menari-nari dalam ingatan.“Fiuhh …’’ Aku mendesah seraya memutar badan hingga terlentang. Menatap langit-lagit kamar dengan perasaan entah.Terdiam sesaat sebelum kemudian tangan ini terulur meraih jam di atas nakas. “Jam dua malam, tapi aku masih gak ngantuk,” gumamku lirih. Kuhembus napas kasar dan akhirnya menyibak selimut.
257.Aku membisu.Kupandangi paras cantik perempuan di hadapanku ini. Memandangnya tak mengerti sama sekali. Begitu juga dengannya yang menatapku. Pendar mata itu kini lain. Tidak ada binar keangkuhan di sana. Melainkan tatap sayu dan raut memelas yang kulihat. Tidak ada jejak kesombongan serta kebencian yang sebelumnya selalu tegas ia tunjukkan.Genggamannya di tanganku terasa lebih erat. Membuatku akhirnya tersadar dan aku menarik tanganku hingga terlepas dari pegangannya.“Mas?”Aku menggeleng cepat. “Mau kamu ini sebenarnya apa?” tanyaku sambil menatapnya sengit.“M— mas?”Aku menepis tanganku ketika Halwa mencoba meraihnya lagi. “Di saat aku menaruh harapan besar pada pernikahan kita. Di saat aku mencoba membuka hati dan siap untuk memulai jalannya rumah tangga ini, kamu mematahkan hatiku begitu hebat. Kamu menjatuhkanku tanpa ampun hingga hati ini remuk. Kamu menolakku seakan aku ini adalah lelaki yang buruk dan tidak pantas dicintai. Kamu bukan hanya membuatku kecewa, tapi kam
256.Aku memijat kening dengan kepala agak menunduk. Mengumpulkan segenap kesadaran dalam diri. Meraup wajahku, menyugar rambut samil mengembus napas kasar. Membuka mata lebar-lebar dan ternyata semua ini bukan mimpi. Aku sama sekali tidak sedang bermimpi. Halwa benar-benar mengajakku untuk shalat dhuha berjamaah.“Bisa kamu ulangi?” ucapku hanya ingin memastikanjika ini bukanlah mimpi. Barangkali pendengaranku yang bermasalah.Terdengar helaan napas berat dari Halwa. “Kita berjamaah shalat dhuha di kamar, Mas.”Aku terdiam menatapnya.“Kamu mengigau?” tanyaku cepat,Halwa menggeleng pelan. “Aku gak lagi tidur, Mas. Jadi gak mungkin aku ngigau. Aku sadar. 100 persen!” tukasnya dengan yakin.Lagi-lagi aku melongo dibuatnya.Halwa memandangku samapi aku mengerjap dan memaligkan wajah. “ya sudah, kalau kamu mau kita berjamaah—““Aku tunggu di atas ya, Mas!” Halwa berucap cepat memotong perkataanku.“E—“ Ucapanku menggantung di udara. Halwa telah lebih dulu melangkah. Menjauh dari tempatk
*“Ada remahan makanan di sini, Mas. Sekarang sudah bersih,” ucap Halwa sambil mengusap bawah bibirku. Jari tangannya masih bertengger di wajahku. Refleks wajahku tertarik ke belakang. Tanganku tergerak merraih jari jemarinya itu dan menurunkannya dari wajah ini.“lain kali kamu bisa memberitahu. Aku yang akan membersihkannya sendiri,” sahutku kemudian melangkah melewatinya.Aku melangkah tanpa mempedulikan lagi Halwa yang tertinggal di sana. Kakiku terus melangkah dan berjalan sampai keluar meninggalkan ruangan makan. Di mana akhirnya aku menghempaskan bobotku di sofa ruangan baca. Mengambi sebuah buku novel yang ada pada rak kecil di samping sofa ini. Tugas mengurusi Halwa untuk mandi dan sarapan sudah selesai. Aku juga tidak diperbolehkan ke madrasah, jadi lebih baik aku menghabiskan waktu di ruangan baca ini saja.Namun baru saja sampai pada lembar halaman ke tiga dari buku novel di tanganku, suara derap langkah menyapa indera pendengaran. Kepalaku terangkat seiring dengan derap y