"Coba kamu istikharah, Nak. Kamu minta petunjuk sama Allah atas jawaban apa yang harus kamu ambil," timpal Ayah memberi saran.Aku terdiam dengan kepala tenggelam di dada Ibu. Merasakan dekapan hangatnya tanpa bersuara."Yah, Bu. Seharusnya ayah dan Ibu menolak permintaan ini. Aku gak setuju kalau Halwa yang harus melanjutkan pernikahan ini. Keluarga Senopati, mereka gak bisa seenaknya dengan memaksakan kemauan mereka. Jangan karena Halwa menjadi salah satu murid dan sekarang jadi pengajar di sana, mereka bisa seenaknya mengatur masa depan Halwa. Aku gak setuju kalau Seno menikahi Halwa. Aku gak setuju!" Bang Arsa dengan lantangnya bersuara."Mas, kamu harus tenang. Ini kan yang diminta untuk menikah Halwa, kamu jangan emosi begini." Mba Mai nampak menenangkan suaminya yang terlihat menggebu-gebu."Tapi Halwa ini adikku, Mai. Dia adik perempuanku. Secara gak langsung, dia dan Seno akan melakukan tradisi naik ranjang yang pernah aku lakukan juga. Aku gak mau, Halwa merasakan lika-liku
Tiga hari berlalu."Bagaimana, Wa? Sudah kamu melakukan istikharah?" tanya Ayah setelah selesai sarapan pagi. Aku sarapan bersama Ayah dan Ibu di ruangan makan. Bang Arsa Dan Mba Mai sudah pulang ke rumahnya. Sehingga rumah ini terasa sepi tanpa suara tangis Keanu juga Arsyila.Usai sarapan, belum ada yang beranjak dari meja makan. Sehingga Ayah membuka pembicaraan dengan satu pertanyaan.Aku menunduk lalu mengangguk. "Sudah, Yah. Aku sudah istikharah seperti yang Ayah anjurkan.""Lalu bagaimana, Nak? Apa jawaban kamu?" Kali ini Ibu yang duduk di hadapanku yang bertanya.Kutarik napas dalam-dalam sebelum mengembusnya perlahan. "Abu-abu, Bu," jawabku sambil tertunduk lesu. Dan seketika terdengar helaan napas berat dari Ayah. "Kenapa kamu tidak yakin, Nak? Kenapa kamu tidak berserah saat melaksanakannya? Kamu sendiri ragu dengan ibadahmu, padahal Allah itu Maha Pemberi Petunjuk, Nak. Dia Maha Tahu, kenapa kamu ragu?" cecar Ayah seakan mengetahui apa yang telah aku lakukan.Kuhembus nap
Ada kaku yang menyelimuti. Hening yang terbentuk serta jarak yang tercipta. Di balik beton pembatas balkon teras mall saat ini. Aku berdiri dengan seorang lelaki. Menghadap jalanan raya yang mulai dipadati kendaraan di bawah sana. Sekitar lima puluh sentimeter, kami bertemu setelah semalam aku memintanya."Ada apa?" tanyanya dengan suara terdengar sangat lembut. Saat aku hendak menyusulnya, aku melihatnya berpakaian begitu rapi dengan kemeja kotak-kotak hitam panjang dan sarung. Padahal ini mall, entah bagaimana reaksi orang-orang melihatnya bepergian dengan mengenakan sarung begitu.Aku tak menoleh. Pandanganku lurus ke depan sejak tadi. Melihat keramaian lalu lintas yang menjadi pemandangan utama di teras mall ini."Kamu tahu 'kan kalau kakakku meninggal karena kecelakaan?" tanyaku dengan memberanikan diri menoleh padanya.Ah, tak sanggup.Untungnya dia menatap lurus ke depan. Sehingga kau bisa cepat-cepat memalingkan wajahku kembali. Selalu ada getaran dalam hati ini saat harus mel
Aku menangis sendirian. Wajahku tenggelam di kedua lutut yang rapat. Kuabaikan kedua kaki yang sudah kesemutan karena berjongkok sejak tadi. Tidak ada yang ingin aku lakukan sekian menangis. Menumpahkan kesakitan dalam hati karena Abidzar tidak ingin memperjuangkan hubungan kami.Dia justru dengan mudahnya melepaskan aku untuk dinikahi Mas Seno. Tanpa ada perjuangan sedikit saja dairnha terhadapku.Rasanya sulit diungkapkan.Terlalu sakit. Aku tidak menyangka Abi aja menyakitiku sedalam ini.Aku sudah mengenalnya sejak duduk di bangku sekolah madrasah Aliyah yang setara SMA negeri. Hanya mengenal sekilas dan tidak begitu dekat. Tetapi saat aku melanjutkan pendidikan untuk kuliah di perguruan tinggi yang juga berada di bawah naungan yayasan. Kami menjadi lebih saling mengenal.Terlebih ketika ada acara-acara besar di yayasan. Kami pasti akan terlibat sebagai panitia atau penyelenggara.Aku pun masih ingat, ketika tujuh tahun yang lalu, hubungan kami yang semula hanya teman mulai diwarn
"Kamu jahat!""Kamu tega, Bi!"Suaraku tidak lagi sekencang tadi. Hanya teriakan lirih lalu diikuti bahuku yang berguncang. Sampai kemudian aku kembali terduduk di samping Abangku.Seketika Bang Arsa merangkulku. Membawa Kepalaku mendekap di dadanya. Bang Arsa mendekapku erat. Menepuk-nepuk pundak ini dan aku tidak bisa lagi menyembunyikan rasa sakit ini.Aku gagal berpura-pura baik-baik saja di depannya. Tangisku pecah dan aku tergugu dalam dekapan Bang Arsa.Aku mengeluarkan tangis. Segala sesak yang menghimpit dalam hati aku uraikan melalui tangisan. Bang Arsa tidak berucap apapun. Tidak berusaha menghentikan tangisku melainkan mengusap lembut punggung ini. Menepuk-nepuk bahu dan mengelus lembut kepalaku. Seakan ia mengerti, bahwa yang aku butuhkan saat ini hanyalah menangis.Meski tidak pernah ada kebersamaan kami secara intim. Tapi kilasan bayangan pertemuan kami saat-saat acara besar di yayasan, berkelebat memenuhi ingatan. Mengundang gelenyar indah itu timbul dan justru terasa
"Kamu punya pacar?" celetuk Bang Arsa membuyarkan lamunan. Aku tergeragap karenanya. Kuusap dahi menyembunyikan kekagetan."Kamu pacaran? Kan gak boleh, kenapa malah pacaran?" Bang Arsa kembali melontarkan pertanyaan.Aku memainkan bibir. Belum tahu harus menjawab bagaimana. Dan satu hal, apa hubunganku dengan Abidzar memang layak disebut berpacaran? Entah.Aku lantas menoleh pada Bang Arsa di sebelahku. "Emm, kalau Abang pernah pacaran gak?" tanyaku yang sengaja mengalihkan pembahasan.Abangku itu memalingkan wajahnya dariku. Nampak dari samping, Bang Arsa menarik bibir bawahnya dan mengatup rapat, lantas menggelengkan kepala. "Gak pernah. Abang gak pernah pacaran selama hidup abang," jawabnya tanpa memandangku.Keningku mengernyit. "Pernah suka sama perempuan?"Terdengar decihan dari Bang Arsa yang kemudian menggeleng lagi. "Biasa aja. Gak ada perempuan yang bisa bikin abang terpesona."Kali ini aku membeliak. "Jadi ... bisa dibilang kalau Mba Mai itu cinta pertamanya Abang? Abang j
Pukul dua siang hari.Semua orang sudah berkumpul di ruangan depan rumah Ayah. Masing-masing sofa sudah terisi. Aku duduk diapit Ibu dan juga Ayah. Sebelah kanan, ada Bang Arsa. Mba Mai tidak ikut berkumpul, karena menjaga Keanu di halaman belakang yang ingin bermain. Sementara di depanku dan terhalang meja kaca, tentunya ada Mas Seno bersama Pak Rasyid. Bu Dhiza mengisi sofa single di sebelah kiri. Jamuan terbaik dari Ayah dan Ibu, sudah dihidangkan di atas meja."Ehm. Agar tidak mengulur waktu dan makin memperlambat. Kami ingin langsung saja pada inti pertemuan siang hari ini," ujar Pak Rasyid membuka pembicaraan. "Apa Nak Halwa sudah mempunyai jawaban atas permintaan kami tempo hari?"Aku menunduk. Menatap pada kuku jari jemariku. Tidak ada keberanian menatap para tamu yang mengisi ruangan depan saat ini.Ayah yang berada di sampingku terdengar berdehem. Tangannya terulur meraih tanganku dan menggenggamnya, membuatku menoleh dan akhirnya menatap pada Ayah yang tengah memandang pada
"Saya terima nikah dan kawinnya Halwa Himalaya Nayunda binti Batara Yuda dengan mas kawin dua puluh lima gram perhiasan emas dan seperangkat alat sholat dibayar tunai!""Bagaimana para saksi?""SAHH!""Alhamdulillah.""Alhamdulilah ... Barakallahu laka ...."Aku menunduk. Akad pernikahan yang langsung diwalikan oleh Ayah terdengar lantang diucapkan Mas Seno meski aku berada di ruangan yang berbeda. Hingga doa selepas ijab qobul selesai dibacakan, barulah aku diminta keluar dari ruang make up.Aku diapit oleh Ibu dan asisten MUA yang menjadi make up artist di pernikahanku. Aku dituntun keluar dari ruang make up sampai berada satu meja dengan Mas Seno yang mengenakan tuxedo hitamnya.Ibu menuntunku sampai duduk di sampingnya. Aku hanya menunduk. Merasa kaku dan canggung.Bayangkan saja, pernikahan ini terjadi begitu cepat. Semua persiapan adalah untuk Kak Hafsa, tapi karena ia telah berpulang, jadilah aku yang menggantikan. Aku pun tidak kuasa untuk menolak. Sehingga keputusan ini yang
Aku membawa Halwa ke dalam kamar. Menutup pintu menggunakan kaki hingga berdebam kencang. Melanjutkan langkah menuju tempat tidur, lalu menjatuhkan bobotku tanpa menurunkan Halwa lebih dulu. Posisinya yang digendong seperti bayi koala, membuat ia kini berada di atas tubuhku yang sudah setengah bersandar di headboard kasur.Kedua tanganku terulur mengusap sisi rambutnya. Membelai wajah cantik itu lalu menyelipkan rambut ke belakang dan telinganya bersama pandangan kami yang saling mengunci."Syaratnya ... apa boleh aku meminta hak sebagai suami? Apa kamu tidak keberatan aku memintanya malam ini?" tanyaku seraya mengungkap syarat yang kumaksud.Halwa menunduk sambil menggigit bibirnya. Menggerakkan bola matanya tak tentu arah seakan salah tingkah. "Kamu ... menginginkannya malam ini, Mas? Tapi ... kondisiku seperti ini. Bagaimana jika tidak berjalan maksimal? Emmh, maksudku, tanganku sedang cedera seperti ini, apa tidak akan jadi masalah?"Aku tersenyum kecil dengan kedua tangan masih ak
Secangkir teh tawar hangat akhirnya tersaji. Aku bersama Halwa duduk berdua mengisi meja makan. Ia menikmati segelas susu vanila dengan roti selai kacang meski menggunakan tangan kirinya. Sampai kemudian Halwa selesai lebih dulu dan barulah aku. Halwa telah bangkit, membereskan meja makan bekas kami sarapan dengan satu tangannya."Udah, biar aku yang beresin," ujarku sembari menahan tangan Halwa.Ia menggeleng dan menarik tangannya dariku. "Gak papa, Mas. Biar aku aja," tolaknya masih terus membereskan meja.Aku lantas membiarkan. Halwa selesai menumpuk piring serta cangkir yang tadi kami gunakan. Ia beranjak dari meja makan ini, membawa perabot kotor menuju wastafel pencuci piring.Namun, tentu saja aku tak tinggal diam. Lekas aku menyusul dan berdiri di belakangnya. Terlihat sekali Halwa tak mampu bekerja dengan normal hanya dengan satu tangan. Aku menyentak napas membuatnya berbalik badan. Cepat aku meraih pinggangnya. Membawa tubuhnya sedikit bergeser lalu mengangkat hingga ia te
Setibanya di kamar, aku menurunkan Halwa di tempat tidur. "Aku siapkan dulu airnya, ya?"Halwa mengangguk cepat. Aku menjauh dari tempat tidur dan masuk ke kamar mandi berdinding kaca. Menyiapkan air hangat memenuhi bath tub, tak lupa menambahkan bath bomb hingga berbuih dan wangi semerbak.Setelah air siap, aku kembali menemui Halwa yang terduduk di bibir tempat tidur."Air hangat sudah siap," ucapku memberitahu. Aku lalu menjatuhkan tubuh di hadapan Halwa. Bertumpu dengan kedua lutut hingga tinggi kami sejajar.Aku mengulurkan tangan menangkup wajahnya yang bulat. Manik mata itu seakan menghipnotis membuatku selalu ingin menatapnya lama-lama. Semburat senyum tersungging di bibir Halwa. Tangannya tergerak meraih tanganku yang tengah membelai pipinya."Buka kerudungnya, ya?" ucapku merasa perlu meminta izin. Halwa mengangguk tanpa protes. Tanganku lalu dengan cepat menyingkap kain penutup kepalanya hingga terlepas.Aku tak mampu berpaling. Kupandangi Halwa dengan tangan menyelipkan si
260#Aku membawa kepala Halwa tenggelam di dada. Tidak peduli di jalanan umum, aku masih tetap mendekapnya erat. Kubelai lembut kepalanya yang tertutup kerudung instan. Wajahku tenggelam, menciumi puncak kepalanya. Entah keberanian darimana, entah bagaimana bisa aku melakukan semua, mendekapnya erat dan tanpa ragu seperti saat ini.“Jangan pergi …,” ucapku lirih tanpa berhenti mengecup puncak kepalanya. Terasa dekapan tangan Halwa kian erat di pinggang.“Aku sudah mengecewakan kamu, Mas. Aku bukan perempuan yang baik. Aku rasanya tidak pantas menjadi pendamping pria setulus dan sebaik kamu,” sahutnya membuatku menggeleng.“Gak ada yang bilang seperti itu. Abi dan Ummi tidak akan membiarkanku menikahi perempuan yang salah,” jawabku tanpa melepaskan dekapan.“Ehhem, ehhem. Jadi gimana nih? Mau peluk-pelukan terus di sini gitu?” Suara Abi membuat Halwa menarik diri dari dekapanku. Sementara aku membalik badan hingga berhadapan deng
259.Zulfikar mendengkus. “Mas Seno kenapa kayak kaget gitu, sih? Masa’ istrinya pergi ke rumah orang tuanya Mas gak tahu?”Aku menggeleng menanggapi keheranan dari adikku itu, “Mas gak tahu, Fik.”“Emangnya Mas ke mana? Mas gak tidur di rumah? Mas biarin Mba Halwa sendirian di rumah?”Aku menggeleng pelan. “Gak gitu, Mas Cuma ketiduran di masjid.”“Ya ampun … Mas. Bisa-bisanya malah ketiduran di masjid dan gak tahu istrinya pulang ke rumah orang tuanya.”Aku merasa gusar. Benar-benar tidak menyangka jika Halwa akan pergi ke rumah orang tuanya. Hatiku mendadak tidak enak. “Tolong sekarang kamu telfon Abi atau Ummi, Fik,” pintaku pada adik bontotku tersebut.“Mau ngapain, Mas?”“Ya bilang sama Abi, kalau Mas mau ikut.“Mas tinggal nyusul aja nanti. Mas belum siap-siap juga!”Aku mendesah. Aku lantas menjelaskan pada Fikar apa yang sednag terjadi.
258.Detik dari jarum jam duduk di atas nakas terus terdengar. Menemani malamku yang berlalu tanpa bisa tidur. Sejak masuk kamar dan memutuskan untuk membawa tubuh ini rebah di atas kasur, aku sama sekali belum dapat tidur. Entah sudah berapa kali aku berguling ke kana juga kiri. Tengkurap lalu terlentang lagi. Menutup wajah dengan bnatal. Membaca wirid tapi tetap sama. Aku tak dapat tidur. Aku masih terjaga. Entah kenapa, tapi satu yang terasa mengganggu malamku ialah Halwa dan pembicaraan kami tadi. Wajah cantik yang tak lagi dipenuhi keangkuhan itu tertus membayang di pelupuk mata. Juga pelukannya yang tiba-tiba ia lakukan padaku. Semua terasaa membekas dan menari-nari dalam ingatan.“Fiuhh …’’ Aku mendesah seraya memutar badan hingga terlentang. Menatap langit-lagit kamar dengan perasaan entah.Terdiam sesaat sebelum kemudian tangan ini terulur meraih jam di atas nakas. “Jam dua malam, tapi aku masih gak ngantuk,” gumamku lirih. Kuhembus napas kasar dan akhirnya menyibak selimut.
257.Aku membisu.Kupandangi paras cantik perempuan di hadapanku ini. Memandangnya tak mengerti sama sekali. Begitu juga dengannya yang menatapku. Pendar mata itu kini lain. Tidak ada binar keangkuhan di sana. Melainkan tatap sayu dan raut memelas yang kulihat. Tidak ada jejak kesombongan serta kebencian yang sebelumnya selalu tegas ia tunjukkan.Genggamannya di tanganku terasa lebih erat. Membuatku akhirnya tersadar dan aku menarik tanganku hingga terlepas dari pegangannya.“Mas?”Aku menggeleng cepat. “Mau kamu ini sebenarnya apa?” tanyaku sambil menatapnya sengit.“M— mas?”Aku menepis tanganku ketika Halwa mencoba meraihnya lagi. “Di saat aku menaruh harapan besar pada pernikahan kita. Di saat aku mencoba membuka hati dan siap untuk memulai jalannya rumah tangga ini, kamu mematahkan hatiku begitu hebat. Kamu menjatuhkanku tanpa ampun hingga hati ini remuk. Kamu menolakku seakan aku ini adalah lelaki yang buruk dan tidak pantas dicintai. Kamu bukan hanya membuatku kecewa, tapi kam
256.Aku memijat kening dengan kepala agak menunduk. Mengumpulkan segenap kesadaran dalam diri. Meraup wajahku, menyugar rambut samil mengembus napas kasar. Membuka mata lebar-lebar dan ternyata semua ini bukan mimpi. Aku sama sekali tidak sedang bermimpi. Halwa benar-benar mengajakku untuk shalat dhuha berjamaah.“Bisa kamu ulangi?” ucapku hanya ingin memastikanjika ini bukanlah mimpi. Barangkali pendengaranku yang bermasalah.Terdengar helaan napas berat dari Halwa. “Kita berjamaah shalat dhuha di kamar, Mas.”Aku terdiam menatapnya.“Kamu mengigau?” tanyaku cepat,Halwa menggeleng pelan. “Aku gak lagi tidur, Mas. Jadi gak mungkin aku ngigau. Aku sadar. 100 persen!” tukasnya dengan yakin.Lagi-lagi aku melongo dibuatnya.Halwa memandangku samapi aku mengerjap dan memaligkan wajah. “ya sudah, kalau kamu mau kita berjamaah—““Aku tunggu di atas ya, Mas!” Halwa berucap cepat memotong perkataanku.“E—“ Ucapanku menggantung di udara. Halwa telah lebih dulu melangkah. Menjauh dari tempatk
*“Ada remahan makanan di sini, Mas. Sekarang sudah bersih,” ucap Halwa sambil mengusap bawah bibirku. Jari tangannya masih bertengger di wajahku. Refleks wajahku tertarik ke belakang. Tanganku tergerak merraih jari jemarinya itu dan menurunkannya dari wajah ini.“lain kali kamu bisa memberitahu. Aku yang akan membersihkannya sendiri,” sahutku kemudian melangkah melewatinya.Aku melangkah tanpa mempedulikan lagi Halwa yang tertinggal di sana. Kakiku terus melangkah dan berjalan sampai keluar meninggalkan ruangan makan. Di mana akhirnya aku menghempaskan bobotku di sofa ruangan baca. Mengambi sebuah buku novel yang ada pada rak kecil di samping sofa ini. Tugas mengurusi Halwa untuk mandi dan sarapan sudah selesai. Aku juga tidak diperbolehkan ke madrasah, jadi lebih baik aku menghabiskan waktu di ruangan baca ini saja.Namun baru saja sampai pada lembar halaman ke tiga dari buku novel di tanganku, suara derap langkah menyapa indera pendengaran. Kepalaku terangkat seiring dengan derap y