Mai menjauhkan badannya dariku dengan netra membulat mengarah padaku. Sedangkan aku, tersenyum penuh seringai. Entah apa yang baru saja kulakukan, tetapi instingku yang seolah menuntut agar aku menyentuh Mai. Insting lelaki yang berdekatan dengan lawan jenisnya, apalagi kami merupakan pasangan yang halal dan sah.Perempuan berstatus istriku ini masih menatapku tak percaya. Bibirnya nampak melongo dan tangannya menyentuh pipi yang tadi kukecup."Mas? Apa yang kamu lakukan?" tanya Maira dengan suara pelan."Apa? Apa tidak boleh, aku mengecup perempuan yang sudah sah aku nikahi?" tanyaku balik.Maira nampak memandang ke bawah diikuti gelengan kepala. Sebelum kemudian dia kembali mengangkat wajahnya dan menatapku. "Mas, tolong kembalikan kalungnya, Mas. Setelah itu, aku akan segera pergi dari rumah kamu," ucapnya memelas.Tentu saja aku menggeleng cepat. "Aku enggak akan memberikan kalung ini. Karena aku yakin, kamu gak akan pergi tanpa kalung ini. Iya 'kan? Jadi lebih baik aku tahan kalu
"Tunggu sebentar di sini!"Aku tidak menyia-nyiakan waktu yang Mai berikan. Buru-buru aku keluar dari dalam kamar Maira menuju kamarku. Mengambil ponselku lalu menghubungi Hafsa lewat panggilan seluler. Tanpa memikirkan jika ini sudah tengah malam untuk menghubunginya.Namun ternyata, ada panggilan tak terjawab dari Hafsa yang berdering sebanyak lima kali. Aku cepat-cepat menghubunginya balik.Menunggu Hafsa menerima panggilan dariku. Aku kembali menuju kamar Maira dengan ponsel di tangan. Tombol loud speaker sudah lebih dulu ku aktifkan. Mai di hadapanku, menatapku penuh tanya dan selidik."Hallo, assalamualaikum, Bang." Akhirnya Hafsa menerima panggilan dariku."Ya hallo, Dek. Kamu belum tidur? Ada apa kamu nelpon abang?" tanyaku cepat."Ibu masuk rumah sakit, Bang. Tiba-tiba aja Ibu pingsan di kamar mandi tadi. Ini aku sama ayah lagi di rumah sakit," ucapnya terdengar panik."P-pingsan? Memangnya Ibu kenapa sampai pingsan? tanyaku tak kalah panik."Ibu gak mau makan, Bang. Susah ba
"Kamu bahkan melihat sendiri bagaimana jasad itu dikuburkan. Jangan main-main kamu ini!" hardik Ayah dengan keras.Aku menggeleng cepat. "Aku tidak main-main, Yah. Aku ... bicara serius. Maira ternyata masih hidup," ucapku pelan karena tidak ingin menggangu keadaan di dalam ruangan ini.Ayah mendecih. "Ayah dan Ibu, serta kedua adik perempuan kamu, memang begitu kehilangan Maira, Sa. Tapi kami tidak sampai gila seperti kamu. Mengira orang yang jelas-jelas sudah dikuburkan masih hidup. Bagaimana kamu ini?!" cecarnya tidak mempercayaiku."Tapi Yah—""Sudah cukup. Jangan mengada-ada kamu! Kamu gak lihat, keadaan ibu sampai seperti ini? Sekarang kamu mau kasih tahu dia, kalau menantunya itu masih hidup? Begitu? Jangan gila kamu, Sa!" Ayah benar-benar tidak mempercayaiku."Yah tolonglah dengar du—""Tidak, Sa. Kamu kelewatan. Bahkan kamu sendiri yang memastikan jasad itu di rumah sakit, dan membawanya ke rumah.""Iya, Yah. Ta
Jam enam pagi, aku menunaikan janjiku.Kubawa Maira ke pemakaman umum, di mana jasad yang aku dan seluruh keluargaku mengira itu dirinya dikuburkan. Memarkirkan roda empatku lalu melewati gapura TPU. Berjalan di depan Maira menyusuri beberapa blok makam lain. Hingga tibalah di sebuah pusara yang masih baru. Bunga tabur bahkan masih memenuhi seluruh badan makam. Patok nisan yang masih berupa papan, mengukir dengan jelas nama serta tanggal lahir Maira, pun hari naasnya.Aku berdiri tegap di samping makam, dan Maira ada di sebelahku. Ia menoleh padaku dan menatap penuh tanya."Inilah yang membuat Ibu Hilma sakit dan sekarang harus dirawat di rumah sakit," ucapku membuka pembicaraan.Maira nampak menggelengkan kepalanya. "S—siapa yang kalian kuburkan? N—ni—san itu tertulis namaku? Kenapa bisa?" tanyanya tergagap.Aku mengangguk lemah. Kuhela napas kasar seraya membuat tubuh ini berjongkok."Biar kuceritakan, kemari lah," pintaku pada
********Aku menunggu dengan harap-harap cemas. Menunggu persetujuan Maira akan permintaanku.Perempuan berwajah teduh di hadapanku ini, terlihat memejamkan matanya. Mengambil napas dalam-dalam sebelum kemudian menghembusnya kasar. Matanya lalu terbuka. Pandanganku dengannya pun bersirobok."Baiklah, Mas. Aku akan memenuhi apa yang kamu mau. Hanya tiga puluh hari saja. Jika semua masih sama setelah tiga puluh hari ke depan. Aku tidak memiliki rasa apa-apa terhadapmu, begitu juga dengan perasaanmu yang tidak berubah padaku. Kita bisa mengakhiri hubungan ini. Begitu 'kan?"Aku mengangguk kaku. "I—iya, iya. Seperti itu. Tapi jika setelah tiga puluh hari nanti perasaan kita sama-sama berubah. Aku tidak akan pernah mengakhiri hubungan ini. Kamu setuju 'kan?" Aku perlu memastikan.Maira mengangguk dengan sepasang netranya yang memejam. Hembusan napas beratnya pun turut terdengar. "Iya. Tapi jika semua tetap sama, tidak ada lagi alasan agar pern
*************"Ini bekal makan seperti yang kamu minta. Hanya tahu telur balado dan tempe goreng. Kulkas di dapur kamu kosong, jadi aku memasak yang ada saja, di dalamnya juga sudah ada botol minum."Jam delapan pagi. Maira menunjukkan tote bag berisi bekal makan siang seperti yang kuminta. Sepulang dari pemakaman tadi, Maira langsung terjun ke dapur, karena menyetujui permintaanku untuk dibuatkan bekal.Aku mengangguk dengan tangan terulur meraih tote bag hitam yang diangsurkan Maira. "Terima kasih," ucapku dan Mai hanya membalasnya dengan anggukan kepala."Tunggu dulu," cegahlah ketika Mai telah berbalik badan dan hendak pergi."Apa kamu yakin, untuk menutupi kebenaran ini dari Ayah dan juga Ibu? Bagaimana jika sewaktu-waktu mereka melihat kamu di luar sana?" tanyaku pada Maira yang masih berdiri membelakangiku.Perlahan tubuh itu berbalik dan kini menghadapku lagi yang tengah duduk di sofa ruangan depan. "Iya. Aku yakin, untuk masalah di luar, aku bisa menggunakan penutup wajah. Da
Cepat-cepat aku mengambil botol minum lalu meneguk airnya. Dari ekor mata ini, kulihat Halwa kembali menyantap lauk dalam wadah."Iya. Ini kayak tahu telur balado buatannya Mba Mai kalau masak di rumah. Namanya aja balado, tapi enggak kerasa pedas, cuma anget aja, soalnya almarhum Bang Arka gak suka makanan pedas, jadinya Mba Mai kalau masak ini tuh ya begini." Halwa masih nyerocos, sedangkan aku melanjutkan makanku dengan tidak terlalu lahap."Abang bekal makan ini dari mana?" selidik Halwa.Aku berdehem pelan dan menelan kunyahan dalam mulut. "Abang beli di warung makan.""Masa, sih? Kok, rasanya gak asing di lidahku ya. Sama persis seperti masakannya Mba Mai saat masih tinggal di rumah," kukuh Halwa yang tidak salah dengan indera pengecapnya.Aku menarik napas dalam-dalam. "Wa, mungkin kamu lagi rindu sama Mba Mai. Jangan lupa buat Kirim al-fatihah ya!" ucapku seakan mengingatkan bahwa Mai sudah tiada di dunia ini. Ampuni aku, Ya Tuhan.Terdengar hembusan napas berat dari Halwa. Di
*******Keluar dari ruangan makan, aku membawa Maira menuju ruang televisi lalu menurunkannya di sofa panjang membiarkan kedua kakinya lurus. Aku pun dengan cepat menghempas bobotku di sofa yang sama. Kuangkat kaki Maira dan menempatkannya di atas pahaku."Mau apa kamu, Mas?" tanya Maira dengan suara pelan.Aku tidak menjawab, melainkan mulai memijat kaki Kiara di pangkuanku. Dimulai dari telapak kakinya yang putih bersih kemudian merambat ke betisnya. Kulakukan hal yang sama pada kedua kakinya itu bergantian.Maira pun tak lagi banyak bertanya. Aku menoleh padanya dan kudapati ia pun tengah memandangiku. Tatapan kami lagi-lagi beradu, hingga senyum tipis terulas dari bibirku. Kedua tanganku masih memijat kaki putihnya itu."Tadi aku ke rumah Ibu. Alhamdulillah, ibu sudah pulang dari rumah sakit. Terus aku lihat, Ayah sedang memijat kaki Ibu seperti ini. Jadi aku rasa, aku perlu melakukan hal yang sama untuk kamu," jelasku akhirnya.Aku masih memasang senyum tipis sambil menoleh dan