Entah harus bagaimana aku mensyukurinya. Andaikan seluruh pohon yang tumbuh di alam semesta ini, kusulap menjadi pensil lalu kutuliskan apa-apa saja nikmat yang telah Allah berikan padaku. Rasanya tidaklah akan cukup. Masih lebih banyak nikmat yang belum tertulis oleh pensil yang kubuat itu. Saking banyaknya nikmat yang kudapat.Apalagi, mendapatkan istri seperti Hilma. Saat ini, aku tengah membawa motorku untuk kembali ke apartemen Feli. Membonceng Hilma di jok belakang. Dia memelukku erat di atas motor saat ini.Kedua tangannya melingkari pinggang dan bertautan di depan perutku. Wajahnya mendekat dan hampir tenggelam di cerukan leherku.Jauh dari dugaanku. Nyatanya, Hilma tidak sedikitpun marah terhadap apa yang kuceritakan.Jauh dari perkiraanku. Hilma justru sangat ingin agar bayi dalam kandungan Feli selamat. Terlepas dari bayi itu adalah hasil dari hubungan terlarang. Jika tidak ada alasan medis yang mengancam, bayi itu tidak pantas untuk dilenyapkan. Bayi itu tetap berhak lahir
"Jika seisi dunia memusuhi kamu karena bayi yang sedang kamu kandung, maka aku orang pertama yang akan selalu ada untuk kamu. Jika seluruh dunia menginginkan kamu melenyapkan bayi tidak berdosa ini, maka aku yang akan berdiri di depan kamu, memasang badan untuk menghadapi dan menentangnya. Bahkan ayahnya sekali pun, akan aku hadapi jika menyangkut keselamatan bayi ini. Siapa pun akan aku lawan, agar bayi tak berdosa ini tetap bisa tumbuh dengan nyaman dalam rahim ibunya sampai waktunya lahir nanti. Dia akan lahir sebagai bayi bersih dan suci, tidak akan ikut menanggung dosa yang diperbuat orang tuanya.""Bahkan seekor harimau yang terkenal buas dan pemangsa hebat, dia tidak memakan anaknya sendiri saat merasakan lapar dan tidak menemukan makanan apa pun. Harimau tidak akan mengorbankan darah dagingnya untuk kepentingannya sendiri. Kamu lihat bagaimana harimau saat berjalan? Kepala, perut dan kemaluannya berada dalam keadaan sejajar 'kan?""Itu karena mereka tidak dikarunia akal. Lihat
Wajah Feli masih sendu. Menatap Hilma dengan tatapan memelas. Pelupuk mata itu masih dipenuhi kaca-kaca."Apa Tuhan akan menerima taubatku, Mba? Apa masih pantas, perempuan penuh dosa sepertiku ini bertaubat dan dimaafkan?" tanyanya lirih."Sst! Ssst! Jangan pernah berpikir seperti itu. Ampunan Allah itu sangatlah luas dan tak terbatas. Bertaubat, mohon ampun, dan jangan kembali mengulangi kesalahan yang sama. Bahkan jangan pernah terbersit sedikit pun untuk kembali mengulang kesalahan itu. Insyaallah, taubat kita diterima," jawab Hilma kemudian.Feli terdiam menatap Hilma. Sementara tangan Hilma terulur mengusap lembut pundak perempuan yang tengah berbadan dua itu."Bantu aku, Mba. Bantu aku untuk bertaubat dan berubah. Bimbing aku," pinta Feli kemudian. Membuat netraku membulat sempurna saat mendengarnya."Maukah kamu membantuku, Mba?" lanjut Feli bertanya.Tanpa ragu dan seperti tanpa berpikir lagi. Hilma mengangguk cepat, mengiyakan permintaan dari Feli. Disentuhnya pipi serta dib
POV HilmaAku tersenyum haru melihat pemandangan saat ini. Di mana Feli baru saja selesai melaksanakan ibadah shalat dhuhur. Tak cepat-cepat beranjak, dia terlihat mendawamkan wirid terlebih dulu. Seperti yang kuajarkan empat bulan terakhir ini.Sejak malam di mana aku dan Yuda datang ke apartemennya. Feli ternyata mau mendengarkan kami. Dia mau menerima bimbinganku untuk shalat taubat. Dia mendengarkan aku dan Yuda, agar tetap mempertahankan kandungannya.Sejak hari itu, aku rutin mendatanginya di kamar apartemen ini. Datang bersama si kembar dengan diantar Yuda hingga basement. Kemudian dia akan pulang untuk menjaga toko. Lalu sore harinya, dia akan kembali untuk menjemputku. Setiap menemuinya, tak lupa kubawakan buah-buahan serta susu khusu ibu hamil.Sekarang, usia kehamilannya sudah masuk sembilan bulan. Jika tidak ada halangan, sekitar dua Minggu lagi Feli akan melahirkan. Berdasarkan pemeriksaan terakhir, posisi bayinya sudah bagus dan pas. Namun, kabar tak baiknya, Feli menga
"Bayinya selamat. Lahir dengan berat badan 3 kilogram dan tinggi 45 cm. Berjenis kelamin perempuan," ucap seorang dokter perempuan yang menangani persalinan Feli di rumah sakit rujukan.Senyumku mengembang kala mendengarnya. Setelah satu setengah jam menunggu tindakan operasi Caesar, akhirnya kabar baik itu datang."Alhamdulillah," seruku seraya mengusap wajah dengan kedua telapak tangan.Yuda yang telah datang setengah jam yang lalu, merangkulku dan tak kalah senangnya sepertiku."Tetapi … ibunya kritis."Deg.Aku dan Yuda saling menoleh. Senyumku seketika lenyap. Sirna begitu saja di bibirku dan berganti dengan kecemasan"Tekanan darahnya tetap tinggi, napasnya pun semakin sesak. Pasien sedang melewati masa kritis pasca operasi" jelasnya lagi."Tolong lakukan yang terbaik, Dok. Selamatkan ibunya, tolong," pintaku cepat.Dokter perempuan di hadapanku ini mengangguk. "Tim kami akan berusaha sebaik dan semampu kami. Sambung doanya ya, Pak, Bu.""Pasti, Dok. Pasti."Dokter perempuan den
"Kamu baik-baik aja, Sayang?" tanya Yuda kembali.Aku menggeleng entah. Aku pun tak dapat menjelaskan apa yang kurasakan saat ini."Ay, kamu pegang dulu bayi ini, ya," ucapku seraya menyerahkan bayi dalam gendongan pada Yuda.Gegas aku menuju kamar mandi di kamar utama. Membungkuk di depan bak wastafel dan mual-mual. Ingin muntah tetapi tidak ada yang keluar selain air liur."Sayang, jangan-jangan …." Yuda sudah berada di belakangku. Mengurut leherku dengan bayi di gendongannya.Aku menoleh karena Yuda menjeda ucapannya. Aku menatapnya penuh tanya.Yuda menganggukkan kepalanya. Seakan dia sudah tahu apa yang ingin kupastikan.Yuda keluar dari kamar mandi. Lalu kembali dengan memberikan alat test kehamilan padaku. Setelah pintunya tertutup rapat dan menguncinya. Aku segera mencoba alat test kehamilan di tanganku.***********Aku keluar dari kamar mandi dengan alat test kehamilan di tangan."Gimana, Sayang?" Yuda seketika menodong pertanyaan. Saat aku menghampirinya yang tengah duduk di
POV Yuda.🌻🌻🌻Aku dan Hilma saling bertukar tatap dan terdiam. Segala tanya memenuhi pikiranku. Tatapanku dan Hilma seketika terputus, saat aku mengalihkan pandangan pada bayi dalam gendonganku.Bayi merah yang baru saja kehilangan ibunya ini, harus kembali menerima kenyataan tak kalah pahit. Ternyata dia telah menjadi yatim piatu di saat baru lahir seperti ini.Ah, Ya Rabbi.Netraku tiba-tiba memanas, melihat bayi mungil tak berdosa dalam gendonganku saat ini. Dia masih lelap dan tak terusik akan kabar buruk yang harus didapatinya.Setelah ibu yang harusnya merawat, berpulang untuk selamanya. Kini, seorang ayah yang diharapakan akan menjaganya, juga telah berpulang bahkan lebih dulu dari sang ibu.Masih belum sirna, kebingungan akan permintaan Bu Cantika yang tiba-tiba mendatangi rumahku pagi ini. Istri dari almarhum Bos Angga itu, nampak menyimpan sebuah amplop putih di atas meja. Sebuah amplop dengan logo rumah sakit swasta."Ini hasil pemeriksaan atas diri saya. Dokter memvonis,
Hilma menoleh padaku. Pendar matanya seolah menginginkan kepastian. Hingga aku pun meraih tangannya dan mengangguk yakin."Ya sudah, Ay. Aku ikut apa yang kamu putuskan. Mudah-mudahan menjadi jalan terbaik untuk kita semua," jawab serta harapnya.Aku tersenyum lebar mendengarnya. Hilma lalu beranjak dari duduknya. Menuju lemari dan mengambil kotak perhiasan dari dalamnya.Lekas aku dan Hilma keluar dari kamar dan menemui Bu Cantika kembali. Di mana bayi dalam gendongannya nampak masih terlelap.Melihat aku dan Hilma yang kembali, Bu Cantika memasang raut wajah penuh harap. Aku duduk di hadapannya. Sementara Hilma memilih duduk di sebelah Bu Cantika.Hilma menyentuh pundak Bu Cantika. "Bu, bayi kecil ini merupakan sebuah amanah untuk orang tuanya. Feli, meminta saya untuk merawatnya. Feli mempercayakan bayi itu kepada saya dan Mas Yuda. Tetapi, pagi ini juga saya baru tahu, jika saya ternyata tengah hamil.""Oh ya? Alhamdulillah. Selamat ya, Mba Hilma. Sehat-sehat ibu serta bayinya sam
Aku membawa Halwa ke dalam kamar. Menutup pintu menggunakan kaki hingga berdebam kencang. Melanjutkan langkah menuju tempat tidur, lalu menjatuhkan bobotku tanpa menurunkan Halwa lebih dulu. Posisinya yang digendong seperti bayi koala, membuat ia kini berada di atas tubuhku yang sudah setengah bersandar di headboard kasur.Kedua tanganku terulur mengusap sisi rambutnya. Membelai wajah cantik itu lalu menyelipkan rambut ke belakang dan telinganya bersama pandangan kami yang saling mengunci."Syaratnya ... apa boleh aku meminta hak sebagai suami? Apa kamu tidak keberatan aku memintanya malam ini?" tanyaku seraya mengungkap syarat yang kumaksud.Halwa menunduk sambil menggigit bibirnya. Menggerakkan bola matanya tak tentu arah seakan salah tingkah. "Kamu ... menginginkannya malam ini, Mas? Tapi ... kondisiku seperti ini. Bagaimana jika tidak berjalan maksimal? Emmh, maksudku, tanganku sedang cedera seperti ini, apa tidak akan jadi masalah?"Aku tersenyum kecil dengan kedua tangan masih ak
Secangkir teh tawar hangat akhirnya tersaji. Aku bersama Halwa duduk berdua mengisi meja makan. Ia menikmati segelas susu vanila dengan roti selai kacang meski menggunakan tangan kirinya. Sampai kemudian Halwa selesai lebih dulu dan barulah aku. Halwa telah bangkit, membereskan meja makan bekas kami sarapan dengan satu tangannya."Udah, biar aku yang beresin," ujarku sembari menahan tangan Halwa.Ia menggeleng dan menarik tangannya dariku. "Gak papa, Mas. Biar aku aja," tolaknya masih terus membereskan meja.Aku lantas membiarkan. Halwa selesai menumpuk piring serta cangkir yang tadi kami gunakan. Ia beranjak dari meja makan ini, membawa perabot kotor menuju wastafel pencuci piring.Namun, tentu saja aku tak tinggal diam. Lekas aku menyusul dan berdiri di belakangnya. Terlihat sekali Halwa tak mampu bekerja dengan normal hanya dengan satu tangan. Aku menyentak napas membuatnya berbalik badan. Cepat aku meraih pinggangnya. Membawa tubuhnya sedikit bergeser lalu mengangkat hingga ia te
Setibanya di kamar, aku menurunkan Halwa di tempat tidur. "Aku siapkan dulu airnya, ya?"Halwa mengangguk cepat. Aku menjauh dari tempat tidur dan masuk ke kamar mandi berdinding kaca. Menyiapkan air hangat memenuhi bath tub, tak lupa menambahkan bath bomb hingga berbuih dan wangi semerbak.Setelah air siap, aku kembali menemui Halwa yang terduduk di bibir tempat tidur."Air hangat sudah siap," ucapku memberitahu. Aku lalu menjatuhkan tubuh di hadapan Halwa. Bertumpu dengan kedua lutut hingga tinggi kami sejajar.Aku mengulurkan tangan menangkup wajahnya yang bulat. Manik mata itu seakan menghipnotis membuatku selalu ingin menatapnya lama-lama. Semburat senyum tersungging di bibir Halwa. Tangannya tergerak meraih tanganku yang tengah membelai pipinya."Buka kerudungnya, ya?" ucapku merasa perlu meminta izin. Halwa mengangguk tanpa protes. Tanganku lalu dengan cepat menyingkap kain penutup kepalanya hingga terlepas.Aku tak mampu berpaling. Kupandangi Halwa dengan tangan menyelipkan si
260#Aku membawa kepala Halwa tenggelam di dada. Tidak peduli di jalanan umum, aku masih tetap mendekapnya erat. Kubelai lembut kepalanya yang tertutup kerudung instan. Wajahku tenggelam, menciumi puncak kepalanya. Entah keberanian darimana, entah bagaimana bisa aku melakukan semua, mendekapnya erat dan tanpa ragu seperti saat ini.“Jangan pergi …,” ucapku lirih tanpa berhenti mengecup puncak kepalanya. Terasa dekapan tangan Halwa kian erat di pinggang.“Aku sudah mengecewakan kamu, Mas. Aku bukan perempuan yang baik. Aku rasanya tidak pantas menjadi pendamping pria setulus dan sebaik kamu,” sahutnya membuatku menggeleng.“Gak ada yang bilang seperti itu. Abi dan Ummi tidak akan membiarkanku menikahi perempuan yang salah,” jawabku tanpa melepaskan dekapan.“Ehhem, ehhem. Jadi gimana nih? Mau peluk-pelukan terus di sini gitu?” Suara Abi membuat Halwa menarik diri dari dekapanku. Sementara aku membalik badan hingga berhadapan deng
259.Zulfikar mendengkus. “Mas Seno kenapa kayak kaget gitu, sih? Masa’ istrinya pergi ke rumah orang tuanya Mas gak tahu?”Aku menggeleng menanggapi keheranan dari adikku itu, “Mas gak tahu, Fik.”“Emangnya Mas ke mana? Mas gak tidur di rumah? Mas biarin Mba Halwa sendirian di rumah?”Aku menggeleng pelan. “Gak gitu, Mas Cuma ketiduran di masjid.”“Ya ampun … Mas. Bisa-bisanya malah ketiduran di masjid dan gak tahu istrinya pulang ke rumah orang tuanya.”Aku merasa gusar. Benar-benar tidak menyangka jika Halwa akan pergi ke rumah orang tuanya. Hatiku mendadak tidak enak. “Tolong sekarang kamu telfon Abi atau Ummi, Fik,” pintaku pada adik bontotku tersebut.“Mau ngapain, Mas?”“Ya bilang sama Abi, kalau Mas mau ikut.“Mas tinggal nyusul aja nanti. Mas belum siap-siap juga!”Aku mendesah. Aku lantas menjelaskan pada Fikar apa yang sednag terjadi.
258.Detik dari jarum jam duduk di atas nakas terus terdengar. Menemani malamku yang berlalu tanpa bisa tidur. Sejak masuk kamar dan memutuskan untuk membawa tubuh ini rebah di atas kasur, aku sama sekali belum dapat tidur. Entah sudah berapa kali aku berguling ke kana juga kiri. Tengkurap lalu terlentang lagi. Menutup wajah dengan bnatal. Membaca wirid tapi tetap sama. Aku tak dapat tidur. Aku masih terjaga. Entah kenapa, tapi satu yang terasa mengganggu malamku ialah Halwa dan pembicaraan kami tadi. Wajah cantik yang tak lagi dipenuhi keangkuhan itu tertus membayang di pelupuk mata. Juga pelukannya yang tiba-tiba ia lakukan padaku. Semua terasaa membekas dan menari-nari dalam ingatan.“Fiuhh …’’ Aku mendesah seraya memutar badan hingga terlentang. Menatap langit-lagit kamar dengan perasaan entah.Terdiam sesaat sebelum kemudian tangan ini terulur meraih jam di atas nakas. “Jam dua malam, tapi aku masih gak ngantuk,” gumamku lirih. Kuhembus napas kasar dan akhirnya menyibak selimut.
257.Aku membisu.Kupandangi paras cantik perempuan di hadapanku ini. Memandangnya tak mengerti sama sekali. Begitu juga dengannya yang menatapku. Pendar mata itu kini lain. Tidak ada binar keangkuhan di sana. Melainkan tatap sayu dan raut memelas yang kulihat. Tidak ada jejak kesombongan serta kebencian yang sebelumnya selalu tegas ia tunjukkan.Genggamannya di tanganku terasa lebih erat. Membuatku akhirnya tersadar dan aku menarik tanganku hingga terlepas dari pegangannya.“Mas?”Aku menggeleng cepat. “Mau kamu ini sebenarnya apa?” tanyaku sambil menatapnya sengit.“M— mas?”Aku menepis tanganku ketika Halwa mencoba meraihnya lagi. “Di saat aku menaruh harapan besar pada pernikahan kita. Di saat aku mencoba membuka hati dan siap untuk memulai jalannya rumah tangga ini, kamu mematahkan hatiku begitu hebat. Kamu menjatuhkanku tanpa ampun hingga hati ini remuk. Kamu menolakku seakan aku ini adalah lelaki yang buruk dan tidak pantas dicintai. Kamu bukan hanya membuatku kecewa, tapi kam
256.Aku memijat kening dengan kepala agak menunduk. Mengumpulkan segenap kesadaran dalam diri. Meraup wajahku, menyugar rambut samil mengembus napas kasar. Membuka mata lebar-lebar dan ternyata semua ini bukan mimpi. Aku sama sekali tidak sedang bermimpi. Halwa benar-benar mengajakku untuk shalat dhuha berjamaah.“Bisa kamu ulangi?” ucapku hanya ingin memastikanjika ini bukanlah mimpi. Barangkali pendengaranku yang bermasalah.Terdengar helaan napas berat dari Halwa. “Kita berjamaah shalat dhuha di kamar, Mas.”Aku terdiam menatapnya.“Kamu mengigau?” tanyaku cepat,Halwa menggeleng pelan. “Aku gak lagi tidur, Mas. Jadi gak mungkin aku ngigau. Aku sadar. 100 persen!” tukasnya dengan yakin.Lagi-lagi aku melongo dibuatnya.Halwa memandangku samapi aku mengerjap dan memaligkan wajah. “ya sudah, kalau kamu mau kita berjamaah—““Aku tunggu di atas ya, Mas!” Halwa berucap cepat memotong perkataanku.“E—“ Ucapanku menggantung di udara. Halwa telah lebih dulu melangkah. Menjauh dari tempatk
*“Ada remahan makanan di sini, Mas. Sekarang sudah bersih,” ucap Halwa sambil mengusap bawah bibirku. Jari tangannya masih bertengger di wajahku. Refleks wajahku tertarik ke belakang. Tanganku tergerak merraih jari jemarinya itu dan menurunkannya dari wajah ini.“lain kali kamu bisa memberitahu. Aku yang akan membersihkannya sendiri,” sahutku kemudian melangkah melewatinya.Aku melangkah tanpa mempedulikan lagi Halwa yang tertinggal di sana. Kakiku terus melangkah dan berjalan sampai keluar meninggalkan ruangan makan. Di mana akhirnya aku menghempaskan bobotku di sofa ruangan baca. Mengambi sebuah buku novel yang ada pada rak kecil di samping sofa ini. Tugas mengurusi Halwa untuk mandi dan sarapan sudah selesai. Aku juga tidak diperbolehkan ke madrasah, jadi lebih baik aku menghabiskan waktu di ruangan baca ini saja.Namun baru saja sampai pada lembar halaman ke tiga dari buku novel di tanganku, suara derap langkah menyapa indera pendengaran. Kepalaku terangkat seiring dengan derap y