Selepas Isya, aku baru tiba kembali di rumah. Selesai shalat magrib, sebenarnya aku sudah beranjak meninggalkan rumah Fahreza. Namun, aku tak langsung pulang. Aku mampir ke sebuah masjid besar di pinggir jalan. Meminta petunjuk dan kemantapan hati untuk keputusan yang akan kuambil. Menimang-nimang kata-kata dari Fahreza saat di rumahnya.Karena dia kukuh tidak ingin menemaniku menemui Feli di apartementnya. Dia tidak ingin ikut-ikutan menyembunyikan kebenaran dari Hilma.Hingga kakiku telah menjejak lantai rumahku kembali kini, bersama dengan keputusan yang kubawa. Keputusan yang kuharapkan bisa diterima tak hanya olehku. Karena aku sendiri pun sebenarnya sangat bingung berada di posisi saat ini. Andai aku tak memiliki empati, aku pasti tidak akan peduli pada calon bayi yang akan Feli lenyapkan. Aku tidak akan mengurusinya sampai detik ini.Melewati teras aku pun menekan hendel pintu rumahku. Masuk ke dalam seraya mengucap salam. Tetapi, tidak ada jawaban. Rumah nampak sudah sepi. Sed
Entah harus bagaimana aku mensyukurinya. Andaikan seluruh pohon yang tumbuh di alam semesta ini, kusulap menjadi pensil lalu kutuliskan apa-apa saja nikmat yang telah Allah berikan padaku. Rasanya tidaklah akan cukup. Masih lebih banyak nikmat yang belum tertulis oleh pensil yang kubuat itu. Saking banyaknya nikmat yang kudapat.Apalagi, mendapatkan istri seperti Hilma. Saat ini, aku tengah membawa motorku untuk kembali ke apartemen Feli. Membonceng Hilma di jok belakang. Dia memelukku erat di atas motor saat ini.Kedua tangannya melingkari pinggang dan bertautan di depan perutku. Wajahnya mendekat dan hampir tenggelam di cerukan leherku.Jauh dari dugaanku. Nyatanya, Hilma tidak sedikitpun marah terhadap apa yang kuceritakan.Jauh dari perkiraanku. Hilma justru sangat ingin agar bayi dalam kandungan Feli selamat. Terlepas dari bayi itu adalah hasil dari hubungan terlarang. Jika tidak ada alasan medis yang mengancam, bayi itu tidak pantas untuk dilenyapkan. Bayi itu tetap berhak lahir
"Jika seisi dunia memusuhi kamu karena bayi yang sedang kamu kandung, maka aku orang pertama yang akan selalu ada untuk kamu. Jika seluruh dunia menginginkan kamu melenyapkan bayi tidak berdosa ini, maka aku yang akan berdiri di depan kamu, memasang badan untuk menghadapi dan menentangnya. Bahkan ayahnya sekali pun, akan aku hadapi jika menyangkut keselamatan bayi ini. Siapa pun akan aku lawan, agar bayi tak berdosa ini tetap bisa tumbuh dengan nyaman dalam rahim ibunya sampai waktunya lahir nanti. Dia akan lahir sebagai bayi bersih dan suci, tidak akan ikut menanggung dosa yang diperbuat orang tuanya.""Bahkan seekor harimau yang terkenal buas dan pemangsa hebat, dia tidak memakan anaknya sendiri saat merasakan lapar dan tidak menemukan makanan apa pun. Harimau tidak akan mengorbankan darah dagingnya untuk kepentingannya sendiri. Kamu lihat bagaimana harimau saat berjalan? Kepala, perut dan kemaluannya berada dalam keadaan sejajar 'kan?""Itu karena mereka tidak dikarunia akal. Lihat
Wajah Feli masih sendu. Menatap Hilma dengan tatapan memelas. Pelupuk mata itu masih dipenuhi kaca-kaca."Apa Tuhan akan menerima taubatku, Mba? Apa masih pantas, perempuan penuh dosa sepertiku ini bertaubat dan dimaafkan?" tanyanya lirih."Sst! Ssst! Jangan pernah berpikir seperti itu. Ampunan Allah itu sangatlah luas dan tak terbatas. Bertaubat, mohon ampun, dan jangan kembali mengulangi kesalahan yang sama. Bahkan jangan pernah terbersit sedikit pun untuk kembali mengulang kesalahan itu. Insyaallah, taubat kita diterima," jawab Hilma kemudian.Feli terdiam menatap Hilma. Sementara tangan Hilma terulur mengusap lembut pundak perempuan yang tengah berbadan dua itu."Bantu aku, Mba. Bantu aku untuk bertaubat dan berubah. Bimbing aku," pinta Feli kemudian. Membuat netraku membulat sempurna saat mendengarnya."Maukah kamu membantuku, Mba?" lanjut Feli bertanya.Tanpa ragu dan seperti tanpa berpikir lagi. Hilma mengangguk cepat, mengiyakan permintaan dari Feli. Disentuhnya pipi serta dib
POV HilmaAku tersenyum haru melihat pemandangan saat ini. Di mana Feli baru saja selesai melaksanakan ibadah shalat dhuhur. Tak cepat-cepat beranjak, dia terlihat mendawamkan wirid terlebih dulu. Seperti yang kuajarkan empat bulan terakhir ini.Sejak malam di mana aku dan Yuda datang ke apartemennya. Feli ternyata mau mendengarkan kami. Dia mau menerima bimbinganku untuk shalat taubat. Dia mendengarkan aku dan Yuda, agar tetap mempertahankan kandungannya.Sejak hari itu, aku rutin mendatanginya di kamar apartemen ini. Datang bersama si kembar dengan diantar Yuda hingga basement. Kemudian dia akan pulang untuk menjaga toko. Lalu sore harinya, dia akan kembali untuk menjemputku. Setiap menemuinya, tak lupa kubawakan buah-buahan serta susu khusu ibu hamil.Sekarang, usia kehamilannya sudah masuk sembilan bulan. Jika tidak ada halangan, sekitar dua Minggu lagi Feli akan melahirkan. Berdasarkan pemeriksaan terakhir, posisi bayinya sudah bagus dan pas. Namun, kabar tak baiknya, Feli menga
"Bayinya selamat. Lahir dengan berat badan 3 kilogram dan tinggi 45 cm. Berjenis kelamin perempuan," ucap seorang dokter perempuan yang menangani persalinan Feli di rumah sakit rujukan.Senyumku mengembang kala mendengarnya. Setelah satu setengah jam menunggu tindakan operasi Caesar, akhirnya kabar baik itu datang."Alhamdulillah," seruku seraya mengusap wajah dengan kedua telapak tangan.Yuda yang telah datang setengah jam yang lalu, merangkulku dan tak kalah senangnya sepertiku."Tetapi … ibunya kritis."Deg.Aku dan Yuda saling menoleh. Senyumku seketika lenyap. Sirna begitu saja di bibirku dan berganti dengan kecemasan"Tekanan darahnya tetap tinggi, napasnya pun semakin sesak. Pasien sedang melewati masa kritis pasca operasi" jelasnya lagi."Tolong lakukan yang terbaik, Dok. Selamatkan ibunya, tolong," pintaku cepat.Dokter perempuan di hadapanku ini mengangguk. "Tim kami akan berusaha sebaik dan semampu kami. Sambung doanya ya, Pak, Bu.""Pasti, Dok. Pasti."Dokter perempuan den
"Kamu baik-baik aja, Sayang?" tanya Yuda kembali.Aku menggeleng entah. Aku pun tak dapat menjelaskan apa yang kurasakan saat ini."Ay, kamu pegang dulu bayi ini, ya," ucapku seraya menyerahkan bayi dalam gendongan pada Yuda.Gegas aku menuju kamar mandi di kamar utama. Membungkuk di depan bak wastafel dan mual-mual. Ingin muntah tetapi tidak ada yang keluar selain air liur."Sayang, jangan-jangan …." Yuda sudah berada di belakangku. Mengurut leherku dengan bayi di gendongannya.Aku menoleh karena Yuda menjeda ucapannya. Aku menatapnya penuh tanya.Yuda menganggukkan kepalanya. Seakan dia sudah tahu apa yang ingin kupastikan.Yuda keluar dari kamar mandi. Lalu kembali dengan memberikan alat test kehamilan padaku. Setelah pintunya tertutup rapat dan menguncinya. Aku segera mencoba alat test kehamilan di tanganku.***********Aku keluar dari kamar mandi dengan alat test kehamilan di tangan."Gimana, Sayang?" Yuda seketika menodong pertanyaan. Saat aku menghampirinya yang tengah duduk di
POV Yuda.🌻🌻🌻Aku dan Hilma saling bertukar tatap dan terdiam. Segala tanya memenuhi pikiranku. Tatapanku dan Hilma seketika terputus, saat aku mengalihkan pandangan pada bayi dalam gendonganku.Bayi merah yang baru saja kehilangan ibunya ini, harus kembali menerima kenyataan tak kalah pahit. Ternyata dia telah menjadi yatim piatu di saat baru lahir seperti ini.Ah, Ya Rabbi.Netraku tiba-tiba memanas, melihat bayi mungil tak berdosa dalam gendonganku saat ini. Dia masih lelap dan tak terusik akan kabar buruk yang harus didapatinya.Setelah ibu yang harusnya merawat, berpulang untuk selamanya. Kini, seorang ayah yang diharapakan akan menjaganya, juga telah berpulang bahkan lebih dulu dari sang ibu.Masih belum sirna, kebingungan akan permintaan Bu Cantika yang tiba-tiba mendatangi rumahku pagi ini. Istri dari almarhum Bos Angga itu, nampak menyimpan sebuah amplop putih di atas meja. Sebuah amplop dengan logo rumah sakit swasta."Ini hasil pemeriksaan atas diri saya. Dokter memvonis,