Hilma menoleh padaku. Pendar matanya seolah menginginkan kepastian. Hingga aku pun meraih tangannya dan mengangguk yakin."Ya sudah, Ay. Aku ikut apa yang kamu putuskan. Mudah-mudahan menjadi jalan terbaik untuk kita semua," jawab serta harapnya.Aku tersenyum lebar mendengarnya. Hilma lalu beranjak dari duduknya. Menuju lemari dan mengambil kotak perhiasan dari dalamnya.Lekas aku dan Hilma keluar dari kamar dan menemui Bu Cantika kembali. Di mana bayi dalam gendongannya nampak masih terlelap.Melihat aku dan Hilma yang kembali, Bu Cantika memasang raut wajah penuh harap. Aku duduk di hadapannya. Sementara Hilma memilih duduk di sebelah Bu Cantika.Hilma menyentuh pundak Bu Cantika. "Bu, bayi kecil ini merupakan sebuah amanah untuk orang tuanya. Feli, meminta saya untuk merawatnya. Feli mempercayakan bayi itu kepada saya dan Mas Yuda. Tetapi, pagi ini juga saya baru tahu, jika saya ternyata tengah hamil.""Oh ya? Alhamdulillah. Selamat ya, Mba Hilma. Sehat-sehat ibu serta bayinya sam
POV Yuda*************Tujuh bulan kemudian."Sayang, kamu sudah siap?" tanyaku di luar kamar. Hari ini weekend. Aku dan Hilma sudah menjadwalkan pemeriksaan kehamilannya."Udah, Ay. Yuk?" Hilma keluar dari dalam kamar sambil membenahi tas slempang hitamnya.Aku tersenyum melihatnya. Usia kehamilannya sudah memasuki 30 minggu. Kedua pipinya sudah seperti bakpao. Bentuk tubuhnya juga berubah semakin melebar. Apalagi pada perutnya, lebih besar dari kehamilan pertama."Ya udah, ayok!" Aku berjalan lebih dulu keluar dari rumah. Hilma mengekor dan setelah sama-sama di luar, aku pun mengunci pintu rumah. Mengeluarkan motor lalu memasang gembok kembali pada gerbang pagar.Setelah aku siap dengan motorku, Hilma pun menyusul dan duduk di jok belakang. Barulah aku melajukan si kuda besi menyusuri jalan komplek menuju klinik dokter kandungan.Tak tega sebenarnya membawa Hilma naik motor seperti ini dalam kondisi tengah hamil. Tapi mau bagaimana? Usaha tokoku baru saja mulai ramai. Aku belum bera
Setelah dari klinik, aku membawa motorku ke sebuah babyshop. Karena sudah waktunya Hilma membeli perlengkapan untuk bayinya. Sekitar lima belas menit berkendara. Akhirnya motorku tiba di parkiran luas khusus pengunjung babyshop yang kudatangi.Aku bersama dengan Hilma masuk ke dalamnya. Mengambil tas belanja lalu mulai memilih perlengkapan yang diperlukan bayi baru lahir. Aku menyerahkan semua pilihan pada Hilma. Aku hanya bertugas menemaninya di toko ini.Sampai semuanya selesai, lalu aku membayar pada kasir seluruh barang yang dibeli Hilma. Membuahkan sekitar lima kresek besar berisikan perlengkapan bayi.Kembali aku dan Hilma menaiki motor. Meninggalkan babyshop dan menyusuri jalanan besar yang cukup lengang di siang hari yang cukup terik saat ini.Bukannya membawa motor ke arah jalan pulang. Aku justru melakukannya ke sebuah taman terbuka hijau. Memasuki gerbangnya lalu menyimpan motor di parkiran. Berjalan bersama Hilma melewati rindangnya pepohonan di taman ini. Kemudian memilih
POV Yuda🌻🌻🌻🌻🌻Waktu terasa begitu cepat berlalu. Hari demi hari terlewati berganti minggu lalu bulan. Hingga saat ini, usia kehamilan Hilma sudah memasuki sembilan bulan. Perutnya sudah semakin membuncit. Bahkan, dia jadi mudah lelah dan kepayahan saat beraktivitas karena kehamilannya yang semakin besar. Persalinannya pun semakin dekat. Berdasarkan pemeriksaan terakhir, semuanya tetap baik dan normal. Posisi bayi pun sudah sangat bagus untuk lahir nanti.Toko yang aku kelola, semakin hari semakin berkembang. Pelanggan semakin berdatangan. Sudah satu bulan terakhir, aku memperkerjakan orang untuk mengantar barang-barang pesanan pelanggan. Karena aku kewalahan jika mengerjakannya sendirian. Selain mengantar barang, karyawanku itu pun juga membuka toko lebih awal, lalu menutupnya lebih malam. Sehingga pemasukan bisa semakin meningkat. Aku juga menambah item jualanku berupa sayur mayur dan lauk pauk yang kubeli di pasar Induk. Maka setiap pagi, toko ku selalu ramai oleh para ibu-ibu
Setibanya di rumah sakit yang hanya sepuluh menit. Hilma langsung dibawa ke ruangan bersalin. Hilma memintaku menemaninya.Seorang dokter perempuan telah siap membantu persalinan hari ini. Dokter yang selama ini juga menangani Hilma saat hamil. Karena saat pemeriksaan di klinik, dokter di sana menyarankan kami untuk check up di rumah sakit besar. Guna mengantisipasi hal lain karena Hilma mengandung bayi kembar.Satu dokter dan satu perawat berada di ruangan ini. Aku pun berjongkok di sisi ranjang di mana Hilma terbaring.Hilma menggenggam tanganku kuat-kuat, saat mengikuti berbagai instruksi dari dokter.Hilma mulai mengejan. Dia menarik tangannya dari tanganku. Beralih meremas rambut di kepalaku.Rambutku dijambak begitu keras setiap Hilma mengejan. Rasanya kepalaku hendak tertarik saking kuatnya jambakan yang Hilma lakukan.Tangisan bayi mulai terdengar. Hilma pun berhenti menjambakku. Napasnya sedikit terengah sampai kemudian teratur kembali. Keringat telah membanjiri seluruh wajahn
25 TAHUN KEMUDIAN🍒🍒🍒"Oee ... oee ... oee"Aku menoleh ke arah kamar di belakangku saat suara tangisan terdengar begitu kencang memekakkan gendang telinga. Tangis yang tak kunjung berhenti, teramat menggangguku yang sedang menonton televisi di pagi hari."OEEE ... OEEE ... OEEE!" Tangis itu kembali terdengar. Aku mengepalkan tangan di atas meja di depanku."OEE OEE OEEE!" Bukannya mengecil, tangis bayi itu justru semakin keras saja. Membuatku muak sekali. Rumahku yang tadinya tenang dan damai, tidak kurasakan lagi sejak tiga bulan terakhir. Sejak bayi itu lahir dan ibunya tinggal di rumahku."OEEE ...."Kuteguk kopi latte dalam cangkir hingga tandas lalu beranjak cepat dari sofa dan masuk ke dalam kamar. Di mana bayi itu memang masih terus menangis di atas tempat tidur."Berisik, berisik! Diem!" hardikku setelah berada di ujung tempat tidur.Namun, tangisnya tetap saja tak mau berhenti. Bayi berusia tiga bulan lebih itu tak kunjung diam.Cklekk!Pintu kamar mandi dalam kamar ini
Jam delapan pagi, aku baru selesai mandi untuk bersiap ke rumah sakit. Aku merupakan seorang dokter umum yang bertugas di rumah sakit swasta ternama. Sudah sekitar empat tahun aku mengabdikan diri pada pelayanan kesehatan tersebut.Selesai mengeringkan tubuh ini dengan handuk. Aku mulai mencari kemejaku di dalam lemari. Namun, hanya tersisa beberapa potong celana dan kaos saja ternyata. Sepertinya aku memang belum membereskan kemeja milikku di ruangan laundry. Karena beberapa hari terakhir ini aku sibuk dan pulang agak malam. Di mana biasanya, aku sudah pulang sebelum jam tiga.Kupakai celana katun hitam lebih dulu. Membiarkan tubuh atasku bertelanjang dada dengan handuk kecil melingkar di leher.Keluar dari dalam kamar. Hidungku mengendus-endus bau yang tiba-tiba saja terhidu. Tak hentinya aku mengendus untuk memastikan bau apa yang sebenarnya tercium.Hingga aku menyadari dan mengenali baunya. Seperti aroma gosong. Namun entah dari mana.Aku pun melangkahkan kaki menjauh dari depan
"Halah! Aku gak butuh penjelasan kamu. Memang dasarnya saja, kamu itu perempuan pembawa sial!" teriakku lantang karena merasa muak."ARSA!"Aku menoleh cepat saat suara Ayah meneriakkan namaku. Benar saja, Ayah dan Ibu Hilma berjalan bersamaan menghampiriku di depan kamar Maira saat ini. Entah kapan mereka datang. Aku bahkan tidak mendengar ketukan pintu akan kedatangannya."Bagaimana bisa kamu mengatakan seperti itu pada istri kamu?!" Ayah bertanya dengan suara tingginya."Istighfar, Nak. Apa kesalahan Mai, sampai kamu berkata keterlaluan seperti itu?" Kali ini, Ibu Hilma yang bertanya. Dia mendekat pada Maira dan merangkul menantunya itu."Dia ini memang pembawa sial, Bu, Yah! Ibunya meninggal saat melahirkan dia, Papanya pun harus meninggal karena kecelakaan saat dia masih dalam kandungan. Bahkan ibu angkatnya pun juga meninggal. Lalu Bang Arka, abangku juga harus meninggal saat bertugas di perbatasan. Itu semua karena perempuan ini, Bu, Yah. Dia ini hanya pembawa sial. Pembawa sia