Satu minggu berlalu. Proses BAP yang dilakukan oleh semua saksi dan juga kedua tersangka akhirnya selesai diproses. Kini, Samuel dan Rayhan tengah berada di kantor milik keluarga Samuel untuk melakukan pendataan ulang. "Jani udah nggak bisa gerak, emang? Perasaan rebahan mulu gue lihat," ucap Samuel menghampiri Rayhan yang tengah melakukan proses pembaharuan data di kantor tersebut. Rayhan tersenyum kemudian mengangguk. "Iya. Usia kandungannya kan, sudah mau memasuki delapan bulan. Dia sudah tidak bisa banyak bergerak karena berat, katanya."Samuel manggut-manggut dengan pelan. "Bentar lagi gue punya ponakan, dong?" ucapnya lalu meringis pelan. Rayhan mengangguk. "Tentu! It's your sister. Meski bukan aku yang sudah buatnya hamil, aku harap kamu dapat menerima calon keponakan kamu nanti, Samuel."Pria itu menggaruk alisnya sembari tersenyum tipis. "Ya. Elo tenang aja. Gue akan nerimanya karena elo juga nerima bayi itu. Jangan sampai berubah pikiran, kalau elo masih pengen jadi laki
Rayhan tengah berdiri di rooftop sembari menatap ke depan seraya memasukan kedua tangannya ke dalam saku celananya. Malam pertama kematian Indra yang mengenaskan. Tak ingin dihukum seumur hidup, memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan dalih sama saja. Rayhan kemudian menyunggingkan senyum lalu menoleh ke samping di mana Jani menghampirinya. "Kenapa, hm? Sudah malam, sebaiknya tidur, yaa." Jani menggeleng pelan. "Belum ngantuk, Mas. Kamu juga masih di sini.""Kalau laki-laki agak wajar di jam segini belum tidur. Kamu tidak boleh, apalagi lagi hamil seperti ini. Angin malam tidak baik untuk kondisi kamu, Sayang. Yuk!" Rayhan akhirnya membawa Jani masuk ke dalam karena tak ingin berlama-lama di luar sana. "Om Fadly dan keluarganya masih di sini, Mas. Masih ngobrol di ruang tengah sama Mama."Rayhan menoleh kemudian menganggukkan kepalanya. "Sampai sidang nanti, dia di sini. Arga akan disidang minggu depan."Jani mengangguk. "Kamu sudah dapat bocoran, berapa lama, Arga dihukum?" ta
Satu minggu kemudian. Sidang akan dimulai di jam sepuluh nanti. Rayhan baru bersiap-siap untuk menghadiri sidang putusan Arga di hari ini. Tok tok!“Masuk!” titah Rayhan yang tengah mengenakan dasinya. Maya masuk ke dalam kamar anaknya kemudian mengulas senyumnya kepada lelaki itu. “Ada apa, Ma?” tanyanya kemudian. Maya menghela napasnya dengan panjang. “Sepertinya Mama tidak akan hadir di sidang itu, Nak. Tidak apa-apa, kan? Jani tidak ada teman di sini kalau Mama ke sana juga.” Rayhan menganggukan kepalanya. “Nggak apa-apa, Ma. Lagi pula, Arga juga nggak akan peduli siapa saja yang menghadiri sidang nanti. Jadi, Mama di sini saja temani Jani.”Maya mengusapi lengan anaknya itu kemudian menghela napasnya dengan panjang. “Sepertinya kakakmu itu tidak akan pernah menerima hukuman ini dan terus merasa tidak bersalah atas apa yang telah dia lakukan pada Jani dan kedua orang tuanya.” Rayhan tersenyum kemudian menganggukkan kepalanya. “Beberapa kali diinterogasi juga dia tidak mau m
Waktu sudah menunjuk angka lima sore. Usai menghadiri sidang Arga, Rayhan tak langsung pulang ke rumah. Melainkan mengikuti mobil polisi yang membawa Arga ke rutan. Memastikan apakah Arga dibawa ke sana atau tidak. Sebab ia sangat tahu betapa liciknya kakaknya itu sehingga bisa membuat apa saja yang dia inginkan. Rayhan menatap dengan lekat kala Arga dibawa masuk ke dalam rutan. “Sudah masuk ke dalam. Apa yang membuatnya sangat yakin bila dia akan bebas dan mengambil kembali semua yang sudah aku kembalikan pada yang lebih berhak?” Rayhan bergumam sembari memandang ke depan melihat Arga yang sudah masuk ke dalam rutan. “Tidak ada yang mencurigakan untuk saat ini. Tapi, suatu saat nanti dia pasti akan merencanakan sesuatu,” gumamnya lagi. Ia lalu melajukan mobilnya kembali setelah melihat dengan mata kepalanya sendiri yang mana Arga sudah masuk ke dalam sel tahanan di sebuah rutan yang ada di kota itu. Sementara di rumah. Jani menanyakan keberadaan Rayhan kepada Samuel yang mana m
Usia kandungan Jani sudah memasuki usia tiga puluh empat minggu. Kini ia tengah berada di rumah sakit bersama dengan Rayhan yang menemaninya untuk periksa kandungan. "Bayinya sudah berada di posisi yang baik. Sekitar dua sampai tiga minggu, akan melahirkan jika memang memilih untuk lahir secara normal." Dokter memberi tahu tentang kondisi bayi di dalam perut Jani. Perempuan itu menoleh pada Rayhan yang tengah bingung apakah ia harus pergi ke Jerman atau tidak sebab mengingat perkiraan persalinan Jani sekitar tiga minggu lagi. "Itu sudah fiks ya, Dok? Sekitar dua sampai tiga minggu lagi?" tanya Rayhan memastikan lagi. Perempuan itu menganggukkan kepalanya. "Ya. Biasanya jarang yang gagal dalam perkiraan tersebut. Karena usia kandungan ibu Jani juga sudah masuk usia sembilan bulan. Itu artinya tinggal menunggu waktunya saja."Rayhan kemudian manggut-manggut dengan peran lalu menoleh ke arah Jani yang sedang menatap ke arahnya.Perempuan itu mengulas senyumnya sembari mengusap di tan
“Tujuanku beli ini juga karena itu sih. Aku ingin ajak dia jalan-jalan nanti ke tempat yang belum pernah aku kunjungi. Sama kamu juga tentunya.” Rayhan menyunggingkan senyum tipis. “Kayak yang bakal aku bolehin aja, kaalu berangkat hanya berdua.”Jani menerbitkan cengiran kepada lelaki itu. “Aku nggak berani lihat muka kamu kalau udah marah.”Rayhan mencubit gemas hidung perempuan itu. “Makanya jangan bikin aku marah.”“Siap, komandan!” Rayhan terkekeh lalu mengacak rambut perempuan itu dan kembali mencari keperluan untuk bayi Jani yang akan launching tiga minggu lagi. Waktu sudah menunjuk angka delapan malam. Usai makan malam bersama. Jani langsung masuk ke dalam kamar untuk merapikan semua perlengkapan yang ia beli dengan Rayhan di mall. “Ma. Nanti ini, dicuci duluan buat dibawa ke rumah sakit,” ucap Jani sembari memisahkan pakaian yang akan dibawa ke rumah sakit nanti. Maya mengangguk dan mengambilnya. “Iya, Nak. Besok saja nanti kita cuci. Ada lagi, yang ingin kamu bawa untu
Dua hari ditinggal ke Jerman membuat Jani sedikit kesepian setelah baru tiga bulan bersama dengan Rayhan. Namun, harus ia tahan karena bukan pergi karena liburan, melainkan karena bekerja. "Masih lagi udah melamun aja, lo." Samuel menghampiri Jani yang tengah duduk di gazebo dekat kolam berenang.Jani menoleh pelan ke arah kakaknya itu. “Ngapain lagi. Nyiram tanaman udah, belanja si bayi juga udah. Teleponan sama Mas Rayhan juga udah.”Samuel menyunggingkan senyum melihat raut wajah Jani yang tampak kesepian karena ditinggal oleh Rayhan ke Jerman.“Mau jalan-jalan? Keliling komplek aja, sambil nyari jajanan. Udah mau lahiran, kudu banyak gerak. Ayo!”Jani menatap Samuel dengan lekat. “Kenapa nggak sekalian nyari jodoh buat Kakak aja?”Samuel menggetok kening Jani. “Bahas itu mulu lo, aah! Males gue.”Jani terkekeh pelan. Ia kemudian beranjak dari duduknya dan menggandeng tangan Samuel yang mengajaknya jalan-jalan keliling komplek sembari mencari jajanan yang bisa mereka makan. "Aku
Sudah sepuluh hari berlalu. Jani merasakan mulas di perutnya saat bangun dari tidurnya. Ia melihat jam baru menunjuk angka enam pagi. "Sstth ...." Jani meringis pelan sembari mengusapi perutnya yang sudah tidak karuan itu. Ia lalu mengambil ponselnya karena sedari tadi berdering. "Halo, Kak. Bisa ke rumah? Perut aku mules banget," pintanya lirih sembari mengusapi perutnya. "Waduh! Padahal gue diminta jemput Rayhan ke bandara. Bentar lagi dia balik, Jani.""Oh, gitu. Ya udah, aku sama Mama aja ke rumah sakitnya. Kakak jemput Mas Rayhan aja." Jani menutup panggilan tersebut lalu beranjak dari tempat tidur, melangkah dengan menahan sakit di perutnya. "Mama ...." "Ya ampun, Non Jani. Ketubannya sudah keluar itu," teriak ART kala melihat Jani keluar dari kamarnya. Maya lantas berlari menghampiri Jani dan langsung berteriak memanggil security agar membawa Jani ke dalam mobil hendak dibawa ke rumah sakit. "Sejak kapan mulesnya, Nak?" tanya Maya sembari mengusapi punggung menantunya