Jani menatap lekat wajah Rayhan yang masih berdiri di hadapannya menanyakan tentang alasan mengapa ia ingin pergi. Jani menghela napasnya dengan panjang. “Kita bahas ini setelah nonton saja ya, Mas.”Rayhan kemudian menarik tangan Jani. “Kalau begitu, kita batalkan nontonnya. Aku tidak ingin kamu pergi apalagi dengan alasan kita sudah bukan lagi pasangan suami-istri. Kamu sendiri yang datang dan mengajakku berbincang waktu aku koma. Kenapa sekarang malah ingin pergi?” Jani menelan saliva dengan pelan. Ia kemudian melangkahkan kakinya keluar diikuti oleh Rayhan yang masih penasaran dengan alasan Jani. “Jani, tunggu!” Rayhan menarik tangan Jani.Perempuan itu tampak menitikan air matanya seraya menatap lirih wajah Rayhan. Ia lantas menarik tangannya dan membawanya masuk ke dalam pelukannya. Mengusapi punggung perempuan itu dengan lembut tanpa bersuara apa pun. Di tengah keramaian bahkan tak peduli dengan orang-orang yang melihat mereka. Hanya isak tangis saja yang keluar dari mulut
Di Jakarta.Pergulatan yang dilakukan oleh Marisa dan Arga semakin memanas. Tidak pernah sehari pun mereka absen bercinta. Bahkan Marisa berhasil membuat Arga melupakan Jani sebab lelaki itu tak pernah membahasnya lagi. "Ough! Good, Honey!" desah Marisa kala tubuhnya didesak habis oleh Arga yang semakin menggila. Mendorong tubuhnya dengan alunan tempo yang sangat kencang membuat Marisa memekik tak karuan. Namun, bisa ia tahan dan akan selalu melayaninya agar Arga segera melupakan Jani. Puncaknya telah tiba. Arga mendorongnya lebih cepat agar benihnya segera keluar dari tempatnya. Selalu mengenakan pengaman agar Marisa tidak mengandung benih yang dia keluarkan. Karena baginya, hanya Jani yang boleh mengandung anaknya. "Arga. Ada yang ingin aku sampaikan ke kamu."Arga menoleh pada Marisa. Mengerutkan keningnya menatap datar wajah perempuan itu. "Ada apa?" tanyanya kemudian. Marisa mengenakan baju terlebih dahulu kemudian menghampiri Arga yang masih duduk di tepi tempat tidur henda
Rayhan menelan salivanya dengan pelan mendengar penuturan dari Jani. Cukup panjang dan membuatnya diam membisu. “Ternyata banyak, hal yang belum aku bicarakan pada kamu, Jani. Kenapa pula, aku harus menyembunyikan hal itu dari kamu,” ucapnya dengan pelan. “Dan itu hanya kamu saja yang tahu, Mas. Selama ini, selama aku menjadi istri kamu, fokus kamu hanya menemaniku, membuat aku tertawa dan selalu menuruti semua yang aku inginkan. Termasuk mencintaiku dengan tulus.“Tapi, aku tidak tahu. Apakah benar, itu tulus atau hanya pura-pura. Jika ingat kamu sering bertemu dengan Meisya, aku rasa hanya aku saja yang mencintai kamu. Dan kamu menutupi itu semua karena menghargaiku sebagai istri kamu.”Jani tersenyum getir. Rasanya, jika ia kembali ke Jakarta pun semakin tersiksa karena ia tidak menginginkan Arga. Namun, jika bertahan di sana dan satu persatu rahasia Rayhan terungkap, ia belum siap untuk patah hati untuk keduanya kalinya. “Jani. Aku pastikan jika itu tidak ada hubungannya dengan
Arga semakin tak karuan setelah tahu jika Jani sudah bersama dengan Rayhan di tempat yang hingga saat ini belum ia ketahui. “Jadi, selama tiga bulan ini dia kabur, ternyata sudah tahu jika Rayhan masih hidup. Arggh! Nggak bisa dibiarin.” Arga menjambak rambutnya sembari menyandarkan punggungnya di kursi. “Sudah kuduga. Selama ini Mama tahu, sebenarnya Jani sudah tahu jika Rayhan masih hidup. Arrghh! Sialan! Siapa yang sudah memberi tahu Jani tentang keberadaan Rayhan? Samuel?! Dia, pasti yang sudah memberi tahu hal ini kepada Jani.”Arga mengeratkan giginya dengan tangan mengepal erat. Emosinya memuncak kala tahu jika Jani benar-benar menemui Rayhan bahkan sudah tahu jika Rayhan masih hidup. “Kurang ajar! Lihat saja! Aku tidak akan pernah membiarkan kalian bahagia! Semoga Rayhan cepat mati. Jangan pernah siuman sampai selamanya! Berengsek!” pekiknya kemudian. Tangannya menyapu semua barang yang ada di atas meja. Hingga suara pecahan dari beberapa barang terdengar begitu nyaring di
Marisa mengempaskan tangan Arga yang menariknya itu. “Sampai kapan pun aku tidak akan pernah menggugurkan kandungan ini!” pekik Marisa seraya menatap tajam wajah Arga. Menolak perintah dari Arga yang memintanya agar menggugurkan kandungan tersebut.“Oh, yaa? Kalau memang kamu tidak ingin menggugurkan kandungan itu, rawat sendiri! Karena aku tidak ingin tanggung jawab," ucapnya dengan mata menatap tajam wajah Marisa.Lelaki itu bersikeras tidak akan pernah bertanggung jawab sampai kapan pun. Sebab yang ia inginkan bukan Marisa, melainkan Jani yang memiliki banyak segalanya dibanding Marisa.Plak!Indra menampar pipi Arga dengan sorot mata menatap tajam wajah sang anak. “Apa yang kamu harapkan dari Jani? Bahkan dia sudah tahu jika Rayhan masih hidup. Dan kamu masih mengharapkan dia kembali. Kamu tahu kan, apa yang akan dilakukan oleh Rayhan setelah dia bangun dari komanya? Menyeret kamu ke penjara!”Arga semakin
Jani baru saja menutup panggilan dari mertuanya yang memberi tahu jika Marisa tengah hamil. Ia kemudian menghela napasnya dengan panjang dan menaruh ponselnya di atas nakas samping tempat tidurnya.Tok tok tok!Rayhan mengetuk pintu kamar Jani. "Kamu belum tidur?" tanyanya dengan pelan."Belum, Mas," jawab Jani di dalam sana.Rayhan menghela napasnya dengan panjang. “Boleh aku masuk?” tanya Rayhan di luar sana.“Boleh, Mas. Masuk aja. Pintunya nggak dikunci, kok," ucapnya mempersilakan Rayhan masuk ke dalam kamarnya.Rayhan kemudian masuk dan duduk di samping Jani yang masih duduk di tepi tempat tidur itu. “Kenapa belum tidur?” tanyanya dengan pelan.Jani menggeleng pelan. “Ada telepon dari Mama. Dia bilang, Marisa hamil dan kamu pasti tahu. Arga tidak mau tanggung jawab.”Rayhan manggut-manggut dengan pelan. “Sebenarnya ini berita yang cukup bagus.
Mereka sudah kembali ke apartemen usai membeli semua keperluan. Lalu Jani masuk ke dalam kamarnya hendak mengambil surat yang dibuat oleh Rayhan dua tahun yang lalu.“Semoga dengan ini, ada sesuatu yang bisa diingat oleh Mas Rayhan,” gumamnya kemudian keluar lagi dari kamarnya.Rayhan yang tengah duduk di sofa ruang tengah sontak menoleh pada Jani yang tengah berjalan menghampirinya.“Ini, Mas. Surat yang kamu buat untuk aku saat kejadian itu,” ucapnya sembari memberikan surat tersebut kepada Rayhan.Lelaki itu membukanya. Membaca dengan saksama surat yang dia buat tersebut. Sekelibat memory kala itu lewat di dalam bayangannya. Perdebatan antara dirinya dan Arga yang samar-samar terlintas dalam otaknya.Ia kemudian memegang kepalanya yang terasa pening. Tulisan yang memang hasil tulisan dirinya membuatnya yakin dan percaya jika bayangan tersebut adalah kejadian yang telah hilang dalam memorinya.
Tirta menganga mendengar pertanyaan dari Rayhan dengan muka memelasnya yang semakin membuatnya yakin bila ucapan Rayhan tadi benar-benar ingin ia lakukan.“Aku tidak tahu, Rayhan. Tapi, jangan pernah kamu lakukan karena khawatir malah membuatmu semakin parah dan melupakan kenangan selama satu bulan ini bersama dengan Jani.”Tirta memberi saran agar lelaki itu tidak melakukan hal yang ia tanyakan tadi. Meski harus menunggu lama, ia tetap harus bersabar.“Lagi pula Jani masih setia bersamamu. Tidak ada yang mesti kamu takutkan, kan?” ucap Tirta bertanya kepada Rayhan.“Iya. Memang seperti itu kenyataannya. Tapi, ketakutan dalam diriku selalu ada dan selalu bersarang dalam benakku. Aku takut Jani menyerah sebab aku tak kunjung mengingat semuanya. Dia juga akan pergi jika memang benar, aku telah mengkhianatinya selama ini.”Tirta menghela napasnya dengan panjang. “Aku rasa, hanya Meisya saja yang