Fadil menahan napas di balik semak-semak, matanya tidak lepas dari dua bandit yang tengah mengamati area sekitar. Ia bisa merasakan detak jantungnya semakin cepat, dadanya naik turun karena ketegangan.
"Kita harus bergerak cepat sebelum ada petualang lain yang datang," ujar pria berbaju kulit. "Kalau memang ada pemula yang membunuh Rabid Fang, dia pasti masih di sekitar sini. Kita tangkap saja dan lihat apakah dia punya sesuatu yang berharga," sahut pria bersenjata busur. Fadil menggertakkan giginya. Tidak ada waktu untuk ragu. Jika ia tetap bersembunyi terlalu lama, mereka mungkin akan menemukannya. Namun, jika ia bertindak gegabah, ia bisa terbunuh. Ia menimbang pilihannya. Kabur adalah opsi aman, tetapi kemungkinan mereka akan mengejarnya. Mengintai bisa memberi lebih banyak informasi, tapi juga berisiko ditemukan. Menyerang lebih dulu? Itu mungkin pilihan paling berbahaya, tetapi juga bisa menjadi kejutan bagi mereka. 'Aku tidak bisa terus lari… Aku harus belajar menghadapi lawan selain monster,' pikirnya. Ia meraih belatinya lebih erat dan mengambil keputusan. Dengan gerakan cepat, ia merunduk dan bergerak mengitari semak-semak, mencari sudut terbaik untuk menyerang. Ia mengamati pria dengan busur—jika ia membiarkan orang itu tetap berdiri, maka serangannya bisa datang dari jarak jauh. Dialah ancaman terbesar. Fadil mengambil batu kecil dan melemparkannya ke arah semak lain. Suara gemerisik langsung menarik perhatian kedua bandit. "Di sana!" seru pria bersenjata busur. Kesempatan itu tidak ia sia-siakan. Fadil menerjang keluar dari tempat persembunyian, mengincar pria pemanah terlebih dahulu. Dengan langkah cepat, ia menebaskan belatinya ke arah lengan pria itu. "ARGH!" teriak si pemanah, paniknya menjatuhkan busurnya. Namun, pria berbaju kulit bereaksi cepat. Dengan gerakan refleks, ia mencabut belatinya dan menebaskan ke arah Fadil. Ia nyaris tidak bisa menghindar. Ujung belati lawan menggores bahunya, menyisakan rasa perih. 'Cepat! Jangan beri mereka kesempatan menyerang balik!' Fadil memanfaatkan momentum. Ia mengayunkan kakinya dan menendang dada pemanah yang sedang kesakitan. Bandit itu terjatuh ke tanah dengan erangan keras. Tersisa satu lawan. Pria berbaju kulit menatapnya dengan tatapan penuh amarah. "Brengsek! Berani kau menyerang lebih dulu?!" Ia menerjang, belatinya meluncur ke arah perut Fadil. Fadil menghindar ke samping, tetapi pria itu lebih berpengalaman dalam pertarungan. Dengan cepat, ia memutar tubuhnya dan menebaskan belatinya ke arah leher Fadil. Namun, tubuh Fadil kini lebih cepat. Dengan refleks, ia merunduk dan menyodok perut lawannya dengan lututnya. Pria itu terhuyung mundur, kehilangan keseimbangan. Tanpa ragu, Fadil menghunuskan belatinya ke bahu lawannya. "Khh—!" pria itu tersentak, matanya melebar karena rasa sakit. Ia mencoba melawan, tetapi Fadil tidak memberinya kesempatan. Dengan dorongan kuat, ia menjatuhkan pria itu ke tanah dan menekan belatinya lebih dalam. Beberapa detik kemudian, tubuh bandit itu melemas. Nafasnya terhenti. Fadil terengah-engah, menatap tangannya yang kini berlumuran darah. Ia baru saja membunuh manusia untuk pertama kalinya. Suara sistem kembali bergema di kepalanya. [Quest Tersembunyi: "Bertahan dari Ancaman Manusia" Selesai] [Hadiah: 10 EXP, 5 Koin Tembaga, Dagger Bandit] [Level Naik!] Ia menelan ludah. Meski tubuhnya lelah dan pikirannya kacau, ia tahu satu hal: dunia ini tidak akan memberinya belas kasihan. Dan ia harus terus bertahan, dengan cara apa pun. Fadil berdiri di tengah hutan yang sunyi, napasnya masih berat setelah pertarungan tadi. Ia menatap tubuh bandit yang terbujur kaku di tanah, darah menggenang di sekitar mereka. Tangannya masih gemetar, tetapi ia tidak punya waktu untuk larut dalam perasaan bersalah. Dunia ini kejam, dan ia harus terus bergerak. Suara sistem kembali bergema di kepalanya. [Item Baru Diperoleh: Dagger Bandit] Fadil meraih belati yang sebelumnya digunakan bandit itu. Pegangannya kasar, tetapi bilahnya tajam dan lebih baik daripada belatinya sendiri. Ia menyarungkan senjata itu di ikat pinggangnya dan bergegas meninggalkan tempat itu. Langkah kakinya pelan namun mantap, ia bergerak lebih dalam ke dalam hutan. Meski ia berhasil menang, pertarungan itu membuktikan satu hal: ia masih terlalu lemah. Jika ia bertemu lawan yang lebih kuat, mungkin ia tidak akan selamat. Saat ia melangkah, sebuah suara samar terdengar di kejauhan. Bukan suara hewan atau angin yang menerpa dedaunan—melainkan suara langkah kaki manusia. Fadil segera mencari tempat persembunyian, menempel di balik batang pohon besar. Ia mengintip dari sela-sela dedaunan, matanya menangkap siluet seseorang yang mendekat. Sosok itu mengenakan jubah hitam panjang dengan tudung menutupi kepalanya. Gerakannya tenang, tetapi ada aura bahaya yang memancar darinya. Pria itu berhenti sejenak, menunduk memeriksa tubuh bandit yang telah mati. Fadil menahan napas. Orang itu menyentuh dada mayat bandit, lalu menggumamkan sesuatu. Cahaya redup berwarna ungu keluar dari tangannya, dan dalam sekejap, tubuh bandit itu mengering seolah seluruh energinya tersedot habis. 'Necromancer?!' Fadil merasakan bulu kuduknya meremang. Sosok berjubah itu berbisik pelan, dan tiba-tiba, mayat bandit yang sudah kering itu bergerak. Dengan suara retakan mengerikan, tubuhnya perlahan bangkit, matanya yang kini bersinar merah menatap kosong ke depan. Fadil menggigit bibirnya. Ia sudah cukup lelah setelah melawan dua bandit, dan sekarang ia harus berhadapan dengan sesuatu yang lebih mengerikan. 'Aku harus pergi dari sini sebelum dia menyadari keberadaanku.' Namun, sebelum ia bisa bergerak, pria berjubah itu berbicara dengan suara rendah namun jelas. "Keluar dari tempat persembunyianmu, anak muda. Aku tahu kau ada di sana." Jantung Fadil berdegup kencang. Pilihannya terbatas: tetap bersembunyi dan berharap orang itu pergi, atau menghadapi kemungkinan yang jauh lebih berbahaya. Ia mengepalkan belati di tangannya. Apapun yang akan terjadi, ia harus siap menghadapinya. Fadil masih menempel di balik pohon, menahan napas. Pria berjubah hitam itu tetap berdiri di dekat mayat yang baru saja dihidupkannya kembali, matanya tajam menatap ke arah tempat Fadil bersembunyi. "Aku tahu kau ada di sana. Jangan buang waktuku," katanya dengan suara datar. Fadil menelan ludah. Mungkin ini saatnya menggunakan strategi yang lebih... unik. "T-Tidak ada siapa-siapa di sini! Ini hanya suara angin!" katanya, berusaha mengubah nada suaranya agar terdengar seram. Necromancer itu mengerutkan alis. "Kau serius?" "Iya! Aku arwah pohon ini! Pergilah sebelum aku mengutukmu dengan... uh... daunku yang busuk?" Fadil melanjutkan, setengah menyesali idenya sendiri. Seketika, suasana hutan menjadi hening. Bahkan mayat hidup yang baru saja bangkit tampak kebingungan. Necromancer itu menutup matanya sejenak, lalu menghela napas panjang. "Kau benar-benar berpikir aku akan tertipu oleh hal semacam itu?" Fadil menghela napas. "Baiklah, baiklah! Aku menyerah." Ia keluar dari balik pohon dengan tangan terangkat. "Tapi, serius, kalau aku beneran arwah pohon, kamu bakal takut nggak?" "Tidak." "Yah, percobaan yang gagal..." Fadil menggaruk kepalanya, lalu melirik mayat hidup yang berdiri kaku. "Jadi, ini... temenmu?" Necromancer itu melirik mayat tersebut. "Bukan. Ini hanya alat." Lalu, dengan satu jentikan jari, mayat itu ambruk kembali ke tanah. "Wah, aku kira dia bakal jadi partner percakapanmu yang setia," ujar Fadil, melipat tangan. Pria berjubah itu menyipitkan mata. "Kau benar-benar banyak bicara." "Itu mekanisme pertahanan diri, bang. Kalau aku diem, aku bakal makin takut. Jadi, daripada panik, lebih baik aku ngomong aja. Ngomong-ngomong, siapa namamu? Kalau boleh tahu, sih. Kalau nggak boleh ya... nggak apa-apa." Necromancer itu terdiam sesaat. Seakan mempertimbangkan sesuatu. "Orang memanggilku Alden," katanya akhirnya. "Dan kau, bocah yang suka bicara ini, siapa namamu?" Fadil tersenyum kecil. "Namaku Fadil. Jadi, Alden, kenapa kamu ada di hutan ini? Jangan bilang kamu lagi nyari mayat buat koleksi pribadi?" Alden menatapnya tanpa ekspresi. "Aku punya urusan. Dan sekarang, aku ingin tahu, apa urusanmu di sini?" Fadil berpikir sejenak. "Jujur aja? Aku tersesat. Dan sekarang aku baru saja sadar kalau aku ngobrol santai dengan seseorang yang bisa bikin orang mati jalan lagi. Ini masuk kategori 'hari yang aneh' buatku." Alden menatapnya lama, lalu—untuk pertama kalinya—seperti menahan senyum kecil. "Kau memang aneh." Fadil mengangkat bahu. "Aku tahu. Tapi aku juga penasaran... Kalau misalnya aku mati, kamu bakal bangkitin aku juga nggak?" Alden mengernyit. "Kenapa kau menanyakan hal seperti itu?" "Soalnya kalau iya, aku mau pesen. Tolong kasih aku suara seram pas bangkit, kayak 'AKU AKAN BALAS DENDAM!' gitu. Biar dramatis." Alden menatapnya lama, lalu menghela napas. "Aku harus pergi. Jangan mati sebelum kau menjadi lebih kuat, Fadil." Dengan itu, Alden berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Fadil yang masih berdiri di tempatnya. "Oke... Itu orang keren banget," gumamnya. "Tapi juga agak serem." Dengan pertemuan aneh ini, Fadil merasa petualangannya baru saja bertambah satu tingkat lebih gila.Setelah pertemuan anehnya dengan Alden, Fadil melanjutkan perjalanannya lebih dalam ke hutan. Langkahnya terasa lebih ringan, meski pikirannya masih dipenuhi pertanyaan tentang necromancer itu."Kenapa dia bisa santai aja ngobrol sama orang asing di tengah hutan? Terus, kenapa dia nggak langsung ngebunuhku? Biasanya karakter kayak gitu kan suka brutal…" gumamnya sendiri.Tiba-tiba, suara dari belakang membuatnya tersentak."Aku masih di sini, kau tahu?"Fadil hampir tersandung kakinya sendiri. Ia berbalik dan menemukan Alden berdiri tak jauh darinya, tangan terlipat dengan ekspresi datarnya."Kamu ngikutin aku?!""Aku hanya ingin tahu sesuatu," jawab Alden, tanpa mengubah ekspresinya."Kalau mau nanya alamat rumah, maaf, aku sendiri juga nyasar," kata Fadil, mencoba mencairkan suasana.Alden mengabaikan candaan itu. "Aku penasaran… Kenapa kau ada di sini sendirian? Kau bukan penduduk desa biasa, bukan?"Fadil menghela napas. "Jujur? Aku memang bukan orang biasa. Aku pengen jadi lebih
[Ding!]Sistem Peringatan: Mental Anda sedang mengalami tekanan tinggi!Fadil menatap sosok dirinya yang lain—bayangan kelam yang mencerminkan ketakutannya. Mata kosong itu menatapnya, penuh cibiran dan rasa jijik."Kau pikir akan menjadi kuat?" Suara sosok itu terdengar serak, penuh kepahitan. "Lihatlah dirimu… masih ragu, masih takut."Fadil mengepalkan tangannya. Dia tahu ini hanya ujian, tetapi tekanan yang dia rasakan nyata. Bayangan itu tidak hanya berbicara—ia menyusup ke dalam pikirannya, menggali ketakutan yang bahkan tak berani ia akui.[Opsi Tindakan Terbuka!]1. Menyerang bayangan dengan kekuatan penuh (-20% Stamina)2. Menyangkal kata-kata bayangan itu (+5% Kemauan)3. Menerima dan menghadapi ketakutan itu (+15% Pemahaman Jiwa)Fadil menarik napas dalam. Menyerang mungkin solusi tercepat, tapi dia sadar ini bukan sekadar pertempuran fisik. Jika ini adalah uji mental, maka dia harus menghadapi ketakutannya, bukan menghindarinya."Aku tahu siapa diriku," katanya, memilih op
Fadil jatuh ke dalam kehampaan.Tidak ada cahaya, tidak ada suara. Hanya kegelapan absolut yang menelannya. Tubuhnya terasa ringan, seolah melayang di antara dimensi yang tak berujung.[Ding! Anda Memasuki ‘Abyss Sejati’] [Efek Lingkungan: Tidak Diketahui] [HP Regenerasi: Terhenti] [Skill Tertentu: Dinonaktifkan]Fadil mengerutkan kening. Semua sistem yang biasanya membantunya kini seakan kehilangan kendali.Tiba-tiba, kegelapan di sekelilingnya mulai bergerak. Seperti kabut hitam yang hidup, perlahan-lahan membentuk sesuatu.Sosok itu muncul—tinggi, berwibawa, dengan mata merah menyala seperti bara api. Jubah panjangnya seolah terbuat dari bayangan itu sendiri."Selamat datang, Pewaris Kegelapan," suara itu menggema, dalam dan berlapis, seolah berasal dari ribuan jiwa yang terperangkap.Fadil berdiri dengan hati-hati. "Siapa kau?"Sosok itu tersenyum tipis. "Aku adalah Wali Abyss. Yang menjaga gerbang ini... dan yang akan menguji apakah kau pantas melangkah lebih jauh."Fadil mengepa
[Ding! Level Naik: +5] [Ding! Hadiah Ujian: Pedang Abyssal Eclipse diperoleh!] Fadil menatap layar sistem di depannya. Lima level dalam sekali lonjakan? Itu peningkatan yang gila. Tapi lebih dari itu... Ia menunduk, melihat pedang baru yang kini berada di tangannya. Abyssal Eclipse—bilah hitam legam dengan ukiran cahaya merah di sepanjang bilahnya. Energinya begitu kuat hingga udara di sekelilingnya bergetar. “Senjata yang cocok untuk seseorang yang telah menaklukkan kegelapan.” Wali Abyss berdiri di kejauhan, mengamati dengan mata tajam. Fadil menggenggam pedangnya erat. Tapi saat itu juga—[ Ding! Efek Samping: Kutukan Abyss Mulai Aktif...] Tiba-tiba, tubuhnya terasa berat. Bayangan merayap dari ujung jarinya, menjalar naik ke lengannya. "Agh...!" Fadil terhuyung, keringat dingin membasahi wajahnya. [Ding! Efek Kutukan: Kontrol Diri Berkurang 15%] Ia merasakan dorongan yang tidak wajar—sebuah keinginan untuk menebas, menghancurkan, menghabisi apa pun di depannya. "Kegel
Fadil berdiri di tengah kehancuran. Nafasnya berat, keringat bercampur dengan sisa energi abyss yang masih berdenyut di tubuhnya. Dia menatap ke depan—makhluk-makhluk abyss telah lenyap, namun bayangan besar yang mengamatinya masih ada."Kau telah memilih jalan yang menarik, Fadil..."Sosok misterius itu akhirnya melangkah maju. Ia tinggi, diselimuti jubah hitam yang seolah menyatu dengan kegelapan di sekitarnya. Matanya merah menyala, penuh kebijaksanaan dan bahaya."Siapa kau?" tanya Fadil, menyiapkan Abyssal Eclipse.Sosok itu tersenyum tipis. "Aku? Aku adalah pemilik asli kekuatan yang kini kau gunakan."Jantung Fadil berdegup lebih cepat. Sebelum ia bisa merespons, sosok itu mengangkat tangannya—dan tiba-tiba, kegelapan di sekeliling mereka berputar, membentuk domain yang asing.[Ding! Domain Abyssal Terbuka: Singgasana Kehampaan]"Jika kau ingin menggunakan kekuatan ini, kau harus membuktikan bahwa kau layak. Tunjukkan padaku, apakah kau akan menjadi Penguasa Abyss, atau hanya b
[Ding! Ujian Selesai! Keluar dari Domain Abyss...]WOOSH!Fadil merasakan gravitasi menarik tubuhnya kembali ke dunia nyata. Sensasi dingin abyss menghilang, digantikan oleh angin sejuk dan aroma tanah basah.Ia berdiri di sebuah hutan yang sunyi, cahaya bulan menyinari tubuhnya yang berbalut energi kegelapan.Di depannya, Alden bersandar di pohon dengan tangan bersedekap. "Hmph. Kau kembali lebih cepat dari yang kuduga."Fadil menatap tangannya. Bayangan di sekelilingnya bergerak mengikuti kehendaknya, seperti makhluk hidup yang siap menjalankan perintahnya.Sebuah notifikasi muncul di benaknya.[Ding! Status Diperbarui!]Nama: FadilLevel: 65Gelar: Abyss SovereignSkill Baru: Abyssal Sovereignty, Abyssal Phantom StepMata Fadil membelalak. Naik lebih dari 30 level? Kekuatan ini jauh melampaui ekspektasinya.Alden mendengus. "Jadi, bagaimana rasanya menjadi Penguasa Abyss?"Fadil tersenyum tipis. "Seperti dunia ini akhirnya ada di genggamanku."Namun sebelum Alden sempat merespons—
Fadil dan Lily tiba di sebuah kota kecil di perbatasan Kerajaan Aurelia yang masih berada di bawah kendali kerajaan. Malam sudah larut, dan sebelum melanjutkan misi, mereka memutuskan untuk menginap di penginapan sederhana.Saat masuk ke dalam, mereka disambut oleh pemilik penginapan, seorang wanita tua dengan senyum ramah. "Selamat datang! Kalian pasangan muda yang ingin menginap?"Lily langsung tersedak air liurnya. "H-Hah?! Kami bukan pasangan!"Fadil tetap tenang dan hanya mengangkat alis. "Dua kamar, kalau boleh."Wanita tua itu terkekeh. "Maaf, nak, hanya ada satu kamar tersisa. Tapi jangan khawatir, ranjangnya cukup besar untuk berdua."Lily membeku di tempat, wajahnya memerah. "A-Apa nggak ada opsi lain?!"Fadil hanya menghela napas. "Baiklah, satu kamar saja."Di dalam kamar, Lily menatap Fadil dengan tatapan curiga. "Kamu nggak bakal aneh-aneh, kan?"Fadil duduk di kursi dan menatapnya datar. "Tenang, aku lebih takut sama musuh daripada kamu."Lily cemberut. "Huh, dasar ngga
Fadil menatap tajam ke arah Roderic, yang berdiri dengan percaya diri di atas genteng kota. Angin pagi bertiup kencang, membuat jubah mereka berkibar.[Ding! Quest Diperbarui!]Judul Quest: Duel di Atap!Target: Kalahkan Jenderal Roderic dalam pertarungan langsung!Hadiah: +700 EXP, "Shadow Cloak"Roderic menghunus pedangnya, bilah peraknya berkilat diterpa matahari. "Aku akui, kau cukup cepat, tapi menangkapku adalah hal yang berbeda!"Tanpa aba-aba, Roderic melesat ke depan dengan kecepatan luar biasa! Fadil mengangkat pedangnya untuk menangkis—Clang! Benturan keras menggema di udara!Fadil hampir terdorong ke belakang, tapi dia segera mengaktifkan [Wall Run], melompat ke dinding sebelahnya, lalu menyerang balik dari sisi yang tidak terduga![Ding! Serangan Mendadak Berhasil!]Roderic terkejut, tapi masih sempat menangkis—Clang! Clang! Percikan api muncul dari setiap benturan pedang mereka!Di bawah, Lily akhirnya berhasil keluar dari tumpukan jerami dan melihat pertarungan di atas.
Fadil menatap tajam ke arah Roderic, yang berdiri dengan percaya diri di atas genteng kota. Angin pagi bertiup kencang, membuat jubah mereka berkibar.[Ding! Quest Diperbarui!]Judul Quest: Duel di Atap!Target: Kalahkan Jenderal Roderic dalam pertarungan langsung!Hadiah: +700 EXP, "Shadow Cloak"Roderic menghunus pedangnya, bilah peraknya berkilat diterpa matahari. "Aku akui, kau cukup cepat, tapi menangkapku adalah hal yang berbeda!"Tanpa aba-aba, Roderic melesat ke depan dengan kecepatan luar biasa! Fadil mengangkat pedangnya untuk menangkis—Clang! Benturan keras menggema di udara!Fadil hampir terdorong ke belakang, tapi dia segera mengaktifkan [Wall Run], melompat ke dinding sebelahnya, lalu menyerang balik dari sisi yang tidak terduga![Ding! Serangan Mendadak Berhasil!]Roderic terkejut, tapi masih sempat menangkis—Clang! Clang! Percikan api muncul dari setiap benturan pedang mereka!Di bawah, Lily akhirnya berhasil keluar dari tumpukan jerami dan melihat pertarungan di atas.
Fadil dan Lily tiba di sebuah kota kecil di perbatasan Kerajaan Aurelia yang masih berada di bawah kendali kerajaan. Malam sudah larut, dan sebelum melanjutkan misi, mereka memutuskan untuk menginap di penginapan sederhana.Saat masuk ke dalam, mereka disambut oleh pemilik penginapan, seorang wanita tua dengan senyum ramah. "Selamat datang! Kalian pasangan muda yang ingin menginap?"Lily langsung tersedak air liurnya. "H-Hah?! Kami bukan pasangan!"Fadil tetap tenang dan hanya mengangkat alis. "Dua kamar, kalau boleh."Wanita tua itu terkekeh. "Maaf, nak, hanya ada satu kamar tersisa. Tapi jangan khawatir, ranjangnya cukup besar untuk berdua."Lily membeku di tempat, wajahnya memerah. "A-Apa nggak ada opsi lain?!"Fadil hanya menghela napas. "Baiklah, satu kamar saja."Di dalam kamar, Lily menatap Fadil dengan tatapan curiga. "Kamu nggak bakal aneh-aneh, kan?"Fadil duduk di kursi dan menatapnya datar. "Tenang, aku lebih takut sama musuh daripada kamu."Lily cemberut. "Huh, dasar ngga
[Ding! Ujian Selesai! Keluar dari Domain Abyss...]WOOSH!Fadil merasakan gravitasi menarik tubuhnya kembali ke dunia nyata. Sensasi dingin abyss menghilang, digantikan oleh angin sejuk dan aroma tanah basah.Ia berdiri di sebuah hutan yang sunyi, cahaya bulan menyinari tubuhnya yang berbalut energi kegelapan.Di depannya, Alden bersandar di pohon dengan tangan bersedekap. "Hmph. Kau kembali lebih cepat dari yang kuduga."Fadil menatap tangannya. Bayangan di sekelilingnya bergerak mengikuti kehendaknya, seperti makhluk hidup yang siap menjalankan perintahnya.Sebuah notifikasi muncul di benaknya.[Ding! Status Diperbarui!]Nama: FadilLevel: 65Gelar: Abyss SovereignSkill Baru: Abyssal Sovereignty, Abyssal Phantom StepMata Fadil membelalak. Naik lebih dari 30 level? Kekuatan ini jauh melampaui ekspektasinya.Alden mendengus. "Jadi, bagaimana rasanya menjadi Penguasa Abyss?"Fadil tersenyum tipis. "Seperti dunia ini akhirnya ada di genggamanku."Namun sebelum Alden sempat merespons—
Fadil berdiri di tengah kehancuran. Nafasnya berat, keringat bercampur dengan sisa energi abyss yang masih berdenyut di tubuhnya. Dia menatap ke depan—makhluk-makhluk abyss telah lenyap, namun bayangan besar yang mengamatinya masih ada."Kau telah memilih jalan yang menarik, Fadil..."Sosok misterius itu akhirnya melangkah maju. Ia tinggi, diselimuti jubah hitam yang seolah menyatu dengan kegelapan di sekitarnya. Matanya merah menyala, penuh kebijaksanaan dan bahaya."Siapa kau?" tanya Fadil, menyiapkan Abyssal Eclipse.Sosok itu tersenyum tipis. "Aku? Aku adalah pemilik asli kekuatan yang kini kau gunakan."Jantung Fadil berdegup lebih cepat. Sebelum ia bisa merespons, sosok itu mengangkat tangannya—dan tiba-tiba, kegelapan di sekeliling mereka berputar, membentuk domain yang asing.[Ding! Domain Abyssal Terbuka: Singgasana Kehampaan]"Jika kau ingin menggunakan kekuatan ini, kau harus membuktikan bahwa kau layak. Tunjukkan padaku, apakah kau akan menjadi Penguasa Abyss, atau hanya b
[Ding! Level Naik: +5] [Ding! Hadiah Ujian: Pedang Abyssal Eclipse diperoleh!] Fadil menatap layar sistem di depannya. Lima level dalam sekali lonjakan? Itu peningkatan yang gila. Tapi lebih dari itu... Ia menunduk, melihat pedang baru yang kini berada di tangannya. Abyssal Eclipse—bilah hitam legam dengan ukiran cahaya merah di sepanjang bilahnya. Energinya begitu kuat hingga udara di sekelilingnya bergetar. “Senjata yang cocok untuk seseorang yang telah menaklukkan kegelapan.” Wali Abyss berdiri di kejauhan, mengamati dengan mata tajam. Fadil menggenggam pedangnya erat. Tapi saat itu juga—[ Ding! Efek Samping: Kutukan Abyss Mulai Aktif...] Tiba-tiba, tubuhnya terasa berat. Bayangan merayap dari ujung jarinya, menjalar naik ke lengannya. "Agh...!" Fadil terhuyung, keringat dingin membasahi wajahnya. [Ding! Efek Kutukan: Kontrol Diri Berkurang 15%] Ia merasakan dorongan yang tidak wajar—sebuah keinginan untuk menebas, menghancurkan, menghabisi apa pun di depannya. "Kegel
Fadil jatuh ke dalam kehampaan.Tidak ada cahaya, tidak ada suara. Hanya kegelapan absolut yang menelannya. Tubuhnya terasa ringan, seolah melayang di antara dimensi yang tak berujung.[Ding! Anda Memasuki ‘Abyss Sejati’] [Efek Lingkungan: Tidak Diketahui] [HP Regenerasi: Terhenti] [Skill Tertentu: Dinonaktifkan]Fadil mengerutkan kening. Semua sistem yang biasanya membantunya kini seakan kehilangan kendali.Tiba-tiba, kegelapan di sekelilingnya mulai bergerak. Seperti kabut hitam yang hidup, perlahan-lahan membentuk sesuatu.Sosok itu muncul—tinggi, berwibawa, dengan mata merah menyala seperti bara api. Jubah panjangnya seolah terbuat dari bayangan itu sendiri."Selamat datang, Pewaris Kegelapan," suara itu menggema, dalam dan berlapis, seolah berasal dari ribuan jiwa yang terperangkap.Fadil berdiri dengan hati-hati. "Siapa kau?"Sosok itu tersenyum tipis. "Aku adalah Wali Abyss. Yang menjaga gerbang ini... dan yang akan menguji apakah kau pantas melangkah lebih jauh."Fadil mengepa
[Ding!]Sistem Peringatan: Mental Anda sedang mengalami tekanan tinggi!Fadil menatap sosok dirinya yang lain—bayangan kelam yang mencerminkan ketakutannya. Mata kosong itu menatapnya, penuh cibiran dan rasa jijik."Kau pikir akan menjadi kuat?" Suara sosok itu terdengar serak, penuh kepahitan. "Lihatlah dirimu… masih ragu, masih takut."Fadil mengepalkan tangannya. Dia tahu ini hanya ujian, tetapi tekanan yang dia rasakan nyata. Bayangan itu tidak hanya berbicara—ia menyusup ke dalam pikirannya, menggali ketakutan yang bahkan tak berani ia akui.[Opsi Tindakan Terbuka!]1. Menyerang bayangan dengan kekuatan penuh (-20% Stamina)2. Menyangkal kata-kata bayangan itu (+5% Kemauan)3. Menerima dan menghadapi ketakutan itu (+15% Pemahaman Jiwa)Fadil menarik napas dalam. Menyerang mungkin solusi tercepat, tapi dia sadar ini bukan sekadar pertempuran fisik. Jika ini adalah uji mental, maka dia harus menghadapi ketakutannya, bukan menghindarinya."Aku tahu siapa diriku," katanya, memilih op
Setelah pertemuan anehnya dengan Alden, Fadil melanjutkan perjalanannya lebih dalam ke hutan. Langkahnya terasa lebih ringan, meski pikirannya masih dipenuhi pertanyaan tentang necromancer itu."Kenapa dia bisa santai aja ngobrol sama orang asing di tengah hutan? Terus, kenapa dia nggak langsung ngebunuhku? Biasanya karakter kayak gitu kan suka brutal…" gumamnya sendiri.Tiba-tiba, suara dari belakang membuatnya tersentak."Aku masih di sini, kau tahu?"Fadil hampir tersandung kakinya sendiri. Ia berbalik dan menemukan Alden berdiri tak jauh darinya, tangan terlipat dengan ekspresi datarnya."Kamu ngikutin aku?!""Aku hanya ingin tahu sesuatu," jawab Alden, tanpa mengubah ekspresinya."Kalau mau nanya alamat rumah, maaf, aku sendiri juga nyasar," kata Fadil, mencoba mencairkan suasana.Alden mengabaikan candaan itu. "Aku penasaran… Kenapa kau ada di sini sendirian? Kau bukan penduduk desa biasa, bukan?"Fadil menghela napas. "Jujur? Aku memang bukan orang biasa. Aku pengen jadi lebih
Fadil menahan napas di balik semak-semak, matanya tidak lepas dari dua bandit yang tengah mengamati area sekitar. Ia bisa merasakan detak jantungnya semakin cepat, dadanya naik turun karena ketegangan."Kita harus bergerak cepat sebelum ada petualang lain yang datang," ujar pria berbaju kulit."Kalau memang ada pemula yang membunuh Rabid Fang, dia pasti masih di sekitar sini. Kita tangkap saja dan lihat apakah dia punya sesuatu yang berharga," sahut pria bersenjata busur.Fadil menggertakkan giginya. Tidak ada waktu untuk ragu. Jika ia tetap bersembunyi terlalu lama, mereka mungkin akan menemukannya. Namun, jika ia bertindak gegabah, ia bisa terbunuh.Ia menimbang pilihannya. Kabur adalah opsi aman, tetapi kemungkinan mereka akan mengejarnya. Mengintai bisa memberi lebih banyak informasi, tapi juga berisiko ditemukan. Menyerang lebih dulu? Itu mungkin pilihan paling berbahaya, tetapi juga bisa menjadi kejutan bagi mereka.'Aku tidak bisa terus lari… Aku harus belajar menghadapi lawan