Boram mengerjapkan mata, bertanya dengan tampang cengok. "Hah?”
Boram yang semula memperhatikan mata hitam itu lekat perlahan menurunkan pandangan ke sudut bibir yang tertarik membentuk senyuman manis membuatnya salah fokus bergeser beberapa inci ke bibir tipis yang bergerak mengucapkan nama yang sejak tadi dia ulang.
"Nama gue Samudra, Mbak."
"Oh."
Masih dalam dekapan cowok itu, Boram mengangguk. Entah dia keenakan dipeluk atau lupa dengan posisi mereka. Boram memeluk tasnya di depan dada dengan telapak tangan kanannya menyetuh dada cowok itu tepat di area jantung.
"Bibir gue jangan dilihatin terus seperti itu, Mbak. Bahaya."
Boram kelabakan dan langsung melepaskan diri dengan salah tingkah.
"Sori," ucapnya pelan.
Cowok itu terkekeh pelan, menyisir rambutnya ke belakang dengan jari, memperhatikan setiap gerakan Boram yang merapikan baju serta rambutnya.
Boram tersenyum tulus, "Makasih banyak ya,Dek."
Samudra mendelik, nampak tidak terima dengan panggilan itu. "Samudra,Mbak. Bukan dek."
"Itu panggilan yang normal karena kamu lebih muda dari saya. Terlebih kamu masih anak SMA."
Samudra menggeleng cepat, "Nggak! Gue nggak terima di anggap adek. Gila aja, macho gini masa dikira dedek gemes."
Boram bengong. Samudra membungkuk untuk mengambil alih sepatu heels di tangannya seraya bergumam, "Jadi ya mbak, gue nggak suka dipanggil begitu. Nama gue Samudra Arkana. Titik. Tapi kalau mbak punya panggilan sayang yang lain, nggak apa-apa asal jangan dek," Ucapnya arogan saat kembali menegakkan punggung menatap intens Boram yang hanya bisa terdiam.
Samudra mendekat sejengkal, menyeringai tengil. Tanpa melepaskan tatapan mereka, Samudra perlahan turun membuat Boram otomatis ikut menurunkan pandangan sampai dia bersimpuh di depan kakinya, mengambil telapak tangan Boram dan meletakkannya di pundaknya. Boram mengerjapkan mata, Samudra tersenyum.
Boram memperhatikan Samudra yang menundukkan kepala mulai membuka ikatan kedua sepatu miliknya dan melepasnya perlahan hingga Boram harus berpegangan pada pundak itu mencoba menyeimbangkan diri sampai kedua sepatu heels hitamnya terpasang sempurna di kakinya tanpa bersentuhan dengan tanah sedikitpun.
Agak lebih romantis dari saat memasangnya tadi yang terburu-buru.
Samudra berdiri, Boram sudah salah tingkah dengan wajah bersemu merah. Cowok itu memakai lagi sepatunya dan menoleh ke arah sekolah yang sepi karena sudah jam pelajaran sekolah.
"Mbak masuk saja duluan. Gue harus balik ke pasukan gue lagi." Samudra berjalan mendekati pintu coklat itu.
"Ehh, kamu mau ke mana?"
Langkah Samudra terhenti di depan pintu dan menoleh, "Tawuran lagi dong,Mbak. Nanggung. Atau mba lebih suka gue temani jalan-jalan di dalam?”
"Eh, bukan gitu. Astaga, kamu nih. Tawuran itu kan bahaya."
Samudra terkekeh geli, "Cie perhatian cie. Makasih ya Tuhan ada yang merhatiin Samudra."
Boram mendengkus, "Ngarep banget kamu. Aku kan cuma mengingatkan."
"Iya iya mbak jangan cemberut gitu dong. Dadah mbak cantik. Sampai ketemu lagi nanti." Samudra melambaikan tangan dan mengedip sekali membuat Boram langsung mendelik melihatnya.
"Eh Samudra—" Boram kembali memanggil dan Samudra kembali berbalik.
“Apa Mbak?"
"Makasih ya."
Samudra tersenyum lebar, mata hitamnya nampak bercahaya membuat silau. Boram hanya bisa terpaku.
"Sama-sama mbak—" Samudra cengengesan dan berucap pelan, "ku."
Setelah mengatakan itu Samudra langsung keluar dan menutup pintunya dengan gerakan cepat. Boram nampak berpikir sebentar mengingat apa yang terakhir tadi dikatakan Samudra namun dia menyerah bingung dan bergerak mendekati pintu karena penasaran. Di bukanya sedikit dan melihat Samudra berlari mendekati lima cowok yang ternyata menunggu tidak jauh dari dinding sekolahan seraya berteriak.
"Sini lo semua lawan gue!!” tantangnya.
Boram ternganga dan terdiam saat menyaksikan Samudra berkelahi dengan kelima cowok itu. Hormon remaja benar-benar berbahaya. Mereka berani mengambil resiko meskipun tahu kalau berkelahi itu menawarkan hal yang tidak main-main hanya agar di cap jagoan. Nyawa.
Boram jadi ingat Kang Mas Kelana.
Boram menghela napas dan berbalik pergi menuju ke ruang kepala sekolah meski otaknya sedang memikirkan bocah tukang tawuran tadi.
***
Boram yang sedang mempelajari semua yang ditinggalkan Ibu Sisca kaget saat mendengar bunyi bel panjang yang menandakan sekolah hari itu telah usai. Boram menghela napas, menyapa dan berkenalan dengan beberapa guru yang masuk ke dalam ruangan lalu merapikan meja setelah memilih beberapa buku yang akan dia bawa pulang unuk di pelajari di rumah. Besok adalah hari pertamanya mengajar.
Setelah pamit ke para guru, Boram berjalan melintasi koridor sekolah yang sepi saat sudut matanya menangkap sosok cowok yang duduk membelakanginya nampak sedang melakukan sesuatu. Boram mengedarkan pandangan sesaat sebelum akhirnya mendekat ke cowok itu untuk melihat apa yang sedang di lakukannya. Dari belakang punggung yang diawal tadi terlihat tegak angkuh saat ini membungkuk lemah dengan tangan yang sibuk dengan obat merah dan kapas. Boram menepuk pelan pundaknya membuat cowok itu tersentak kaget saat melihatnya berdiri di sampingnya.
"Makanya jangan sok jagoan. Sekarang berdiri dan ikut Ibu."
"Mau kemana, Mbak?"
Boram berdecak. "Nama saya Boram. Mulai besok saya guru matematika kamu. Jadi, biasakan untuk memanggil saya ibu. Sekarang berdiri atau saya tinggal pulang. Cepetan—" Boram mengerjapkan matanya saat Samudra langsung berdiri tegak tepat di depannya. Boram mundur seraya meletakan kedua tangannya di dada, kaget. " Jangan bergerak tiba-tiba seperti itu."
"Maaf,Mbak. Gue terlalu bersemangat.” Samudra cengengesan. “Tapi gue lebih nyaman panggil mbak aja kalau di luar kelas.”
Boram berdecak, mau mengomeli tapi saat melihat wajahnya yang lebam, seragamnya kotor, tangannya memar dan di belakang punggungnya ada bercak darah yang mulai mengering, Boram jadi tidak tega dan malah menatapnya dengan pandangan sedih. Senyuman di wajah Samudra lenyap digantikan wajah datar.
"Jangan menatap kasihan seperti itu mbak. Gue nggak butuh dikasihani."
Boram tersadar, cepat-cepat dia ubah ekspresi wajahnya menjadi dengusan geli, "Siapa yang lagi ngasihani kamu, mukamu makin jelek kalau banyak memarnya gitu. Ikut ibu sekarang juga!"
Samudra tersenyum lebar, Boram berbalik pergi, mempercepat langkah kakinya menjauh. Boram masih memiliki hutang budi dan dia tidak tega membiarkan Samudra seperti tadi.
Boram mengabaikan tatapan intens yang seakan mempu menembus wajahnya itu. Tangannya bergerak lincah dengan kapas dan obat merah di sekitar sudut bibir, sudut mata dan dahi yang terluka. Sejak masuk ke dalam UKS, Boram mengabaikan semua pertanyaan Samudra. Setelah beberapa menit, cowok itu akhirnya duduk diam di salah satu ranjang menunggu dengan sabar Boram mengobati lukanya.
Kalau Boram bergerak, manik mata hitam itu mengekorinya. Bibirnya luka tapi masih mampu menyunggingkan senyuman di sana."Aku melakukan ini sebagai bentuk kepedulian guru terhadap muridnya. Juga sebagai bentuk balas budi karena tadi pagi kamu sudah nolongin."Samudra hanya diam dengan senyuman yang semakin lebar. Setelah selesai dengan area wajah, Boram duduk di sebelah Samudra di atas ranjang. Cowok itu otomatis duduk menghadapnya."Coba lihat tanganmu.""Bagian yang ini biarkan saja."Boram menggeleng. "Ibu mau lihat seberapa parah.""Nggak parah."Boram mendelik, menarik paksa kedua tangan itu dan melihat ruas tangan dan telapaknya memar merah. Samudra menarik tangannya, Boram menghela napas dan akhirnya membiarkannya saja."Coba berbalik, biar aku lihat punggungmu.""Memangnya ada apa di punggung gue?"Boram berdiri dan menggeleng, "Kamu ini bagaimana sih, yang punya badan kan kamu, kenapa malah balik nanya. Tadi pagi aku sempat lihat ada noda darah di sana. Apa kamu nggak ingat kalau sempat kena lemparan batu?"Samudra terkekeh, "Oh iya lupa. Sakitnya sudah hilang kok mbak, nggak apa-apa.""Ibu mau lihat."Samudra menggeser tubuhnya menyerong dan membuka beberapa kancing baju seragamnya, "Mbak suka main buka-bukaan juga ya?""Kamu ini jangan ngomong sembarangan!"Samudra terkekeh dengan tangan yang sibuk melepaskan seragam sebelah kanannya dan membukanya memperlihatkan luka memar dan guratan yang tadi pagi mengeluarkan darah. Sekarang, luka itu sudah mulai mengering. Boram membersihkannya dan mengolesinya dengan obat merah. Berusaha mati-matian untuk tidak menatap keseluruhan punggung itu."Bagaimana kamu bisa lupa punya luka seperti ini? Pasti perih kalau kena keringat.""Gue terlalu fokus dengan hal lain mbak, jadinya lupa.""Fokus tawuran?"Kepala Samudra menoleh sedikit ke arahnya dengan seringaian khas remaja nakaĺ, "Fokus nyelamatin mbak."Boram berdecak, setelah memberikan penutup luka, Boram berdiri dan mengemasi peralatan P3K ke tempatnya semula."Makasih ya,Mbak.""Sama-sama.""Mbak mau pulang kan? Bareng aja yuk.""Nggak usah. Ibu pulang sendiri.""Sebentar ya mbak, gue ambil tas dulu." "Eeh—."Terlambat. Cowok itu sudah keluar dari UKS meninggalkan Boram terbengong sendirian.***
Boram sedang melipat mukena yang baru saja digunakannya saat melihat ke arah luar Musala di mana Samudra sedang duduk di salah satu bangku sekolah sambil merokok. Boram menghela napas, mengambil tasnya dan keluar. Samudra yang melihatnya langsung berdiri, mematikan rokoknya dan menghampirinya."Sudah,Mbak?""Kamu muslim? Nggak sholat?"Samudra tersenyum, "Gue jarang sholat mbak. Gue akan sholat kalau niat bukan untuk pencitraan di depan mbak."Boram menggelengkan kepala, berjalan keluar dari area Musala melewati deretan pohon teduh hijau yang ada di sepanjang koridor diikuti oleh Samudra di sampingnya."Kenapa juga kamu harus melakukan pencitraan seperti itu?"Samudra menoleh, "Memangnya apalagi, selain ingin di pandang sebagai cowok taat beragama sama perempuan."Boram tertawa sesaat sebelum kembali diam. Mereka melewati aula sekolah untuk mencapai tempat parkir dan keluar melewati gerbang yang sudah sepi menuju ke halte."Maaf ya mbak, gue nggak punya motor. Jadi kita naik bus aja."
Segala sesuatu yang dilakukan untuk pertama kalinya biasanya menimbulkan efek getar-getar syahdu di jantung, tangan berkeringat dan terasa dingin, bolak-balik kamar mandi dan menatap pantulan kaca paling tidak lima menit sekali memastikan penampilan rapi. Sejenis inilah gugup yang saat ini di alami oleh Boram. Wajar kalau dia gugup di hari pertamanya mengajar meskipun Boram bukanlah orang baru di dunia pendidikan. Di kampungnya dulu, dia seorang guru matematika untuk anak unyu-unyu berseragam putih merah tapi yang akan di hadapinya hari ini kan lain karena mereka sudah nggak ada unyu-unyunya sama sekali. Bisa menakutkan dan anarkis di saat bersamaan. Boram bolak balik mengecek arlojinya sejak satu jam yang lalu, memastikan buku-buku yang akan di bawanya tersusun rapi di atas meja. "Saya lihat dari tadi sepertinya Bu Boram gelisah. Cerita saja sama saya, siapa tahu saya bisa membantu."Boram menoleh, melihat Pak Reihan yang mengampirinya. "Saya hanya sedikit gugup Pak. Tidak apa-apa
Dari pada menatap semangkok bakso yang masih mengepul panas di depannya, Boram lebih memilih memandangi sang guru olahragawan seksi – Reihan – yang sibuk memotong pentolan bakso menjadi beberapa bagian. Menatap otot tangannya yang menonjol kekar bergerak-gerak seirama dengan kegiatannya memotong. Menatap betapa seriusnya si seksi sibuk dengan baksonya. Menatap bagaimana wajah tampan itu menampilkan ekspresi menggemaskan. Saat Pak Reihan mengangkat sendok berisi mie dan pentolannya yang sudah berbentuk kecil itu mendekat ke mulutnya, Boram menatapnya tanpa kedip. Dilahapnya dalam sekali bukaan mulut, mengunyahnya nikmat lalu manik mata itu menemukan keterkesimaan Boram. Seulas senyum macho nampak di sudut bibir yang masih sibuk mengunyah itu.O EM GI. "Dimakan baksonya Bu. Jangan melamun. Nanti kalau baksonya dingin, rasanya jadi nggak enak."Boram gelagapan, reflek mengangguk dan dengan grogi mengambil sebotol kecap di dekat tangan Pak Reihan. Sangking deg-degannya, botol itu sampa
Reihan menghentikan motor besarnya di parkiran cafe yang sedang ramai. Boram turun dan melepas helm yang tadi baru saja di belinya bersama Reihan. Boram melangkah mundur dan mengangkat kepalanya untuk melihat nama cafe yang terpampang jelas di depan bangunan minimalis dua lantai itu seraya memeluk helm pinknya.Black n White Cafe."Cafe ini yang mengelola sahabat saya,Bu. Bukan pemiliknya sih tapi dia yang bertanggung jawab penuh," kata Reihan yang sudah berdiri di samping Boram ketika melihat arah pandangannya lalu mengambil helm pink miliknya dan meletakkannya di atas jok motor."Oh, saya kira mau di ajak nongkrong gitu Pak," kekehnya. Reihan menatap Boram yang langsung panik dan menggeleng, "Saya bercanda kok, Pak. Hehe." Reihan tertawa melihat tingkah kikuknya. Mereka berjalan bersisian masuk ke dalam cafe yang memang nuansanya serba hitam dan putih. Cafe nyaman dan tenang dengan lantunan musik Jazz menggema di seluruh ruangan. Ornamen pendukung cafe yang pas tata letak dan ju
Boram duduk di halte dekat pasar sambil memijit pangkal kakinya yang terasa pegal. Tadi dia sudah bertemu dengan pengelola cafe dan mendapatkan pekerjaan sebagai seorang kasir part time di sana dan bisa mulai bekerja mulai besok setelah pulang mengajar. Boram senang banget karena dengan bantuan Reihan dia bisa cepat mendapat pekerjaan. Setelah dari Cafe, Boram memilih minta di turunkan di pasar tidak jauh dari komplek perumahannya untuk membeli beberapa bahan masakan untuk nanti malam sedangkan Reihan langsung berbalik arah dan pulang. Sekarang Boram merasa lelah setelah memutari pasar membeli banyak bahan masakan. Dua kresek putih besar dan helm pinknya tergeletak di samping tubuhnya.Sialnya, hujan tiba-tiba saja turun dan semakin deras memaksa Boram yang lupa membawa payung harus berteduh di halte. Langit semakin menggelap membuat malam terlihat datang lebih cepat dari seharusnya. Padahal masih jam lima sore.Boram memilih menunggu karena kalau dia nekat sudah bisa dipastikan samp
Samudra menatap langit-langit kamarnya dengan pandangan menerawang. Seluruh tubuhnya tertutup selimut yang tebal untuk menghalau dingin akibat dari kegiatan hujan-hujanannya tadi. Hanya ada satu nama di dalam kepalanya. Sosok guru matematika yang menarik hatinya sejak pertama kali mereka bertemu.Sebelum ini Samudra masa bodoh dengan yang namanya perempuan. Entah kenapa Bu Boram berbeda. Dia juga tidak mengerti dengan sikapnya jika sudah berhadapan dengan wanita itu. Yang menarik sejak pertemuan pertama mereka yang membuat Samudra tidak bisa berhenti membayangkannya adalah tatapan matanya.Bulat, hitam, memperdaya tapi terkesan kesepian.Kenapa Samudra bisa tahu karena selam ini dia hidup dengan seseorang yang juga memiliki tatapan mata seperti itu. "Sam, kamu sudah tidur?" Suara di luar kamarnya mengagetkannya."Belum,Mam," suaranya yang serak terasa tidak sampai ke pintu. Namun pintu itu tetap terbuka menampilkan Mama cantiknya yang membawa teh hangat dan obat. "Mama heran..." Ma
Boram keluar dari ruang guru mengarah ke toilet khusus staf sebelum memulai sesi mengajar pelajaran pertama dengan langkah pelan. Bel masuk belum berbunyi, jadi koridor kelas masih ramai dengan para siswa dan siswi yang berdatangan dan mengobrol heboh. Boram tersenyum merasakan semua atmosfir masa muda di sekelilingnya. Betapa menyenangkannya masa-masa SMA yang hanya terjadi sekali seumur hidup. Semua momen yang lambat laun membentuk pengalaman hidup yang bisa menentukan masa depan dan kedewasaan. Momen kebahagiaan sekaligus kesakitan.Kita berhak menentukan ingin memiliki momen yang seperti apa.Boram berbelok masuk ke dalam toilet yang kosong, melihat sekilas penampilannya yang rapi seperti biasanya di kaca. Kerutan nampak di dahinya, dia mendekat sedikit dan menekan-nekan sembab di area matanya lalu menghela napas. Semalam dia menangis. Rindu dengan Kang Mas Kelana. Ekspresi wajahnya membuatnya terpaku. Terlihat jelas perubahan yang terjadi semenjak Mas Kelana pergi. Boram merasa
Bel istirahat berbunyi nyaring. Bersamaan dengan Boram yang selesai menutup sesi mengajarnya, merapikan tumpukan soal dan jawaban para muridnya yang sudah berhamburan keluar di atas tumpukan buku-buku mengajarnya. "Sam, aku mau ke kantin sama Risa. Kamu titip kerupuk koin seperti biasanya kan?""Hmm." Samudra bergumam. Boram masih sibuk membereskan bawaannya membelakangi kasak kusuk mereka berdua. "Ini duitnya. Tapi ingat, ke sana nggak pake lari ya. Pegangan sama Risa. Awas kedorong-dorong. Suruh aja si Risa yang ngantri. Jangan kamu."Uhh, protective banget sih terus ngomongnya pake aku-kamu lagi, desah Boram."Ishh, Sam bawel. Aku sudah tahu. Ya udah mana sini uangnya. Kamu tunggu ya. Jangan kemana-mana.""Iya."Boram berbalik dengan membawa tumpukan bukunya saat Ratu melintas di depannya seraya tersenyum, "Permisi ya Bu." Boram mengangguk, "Iya."Setelah Ratu berlalu, Boram berusaha untuk tidak mempedulikan tatapan Samudra yang ternyata sudah berpindah duduk di atas mejanya."Mb
Sebulan kemudian,Area keberangkatan International Soekarno Hatta.“Tolong, berjanjilah pada kami untuk merawatnya dengan baik.”Boram menahan tangisannya saat meminta dengan sungguh-sungguh pada Nindy yang menggendong Mutia.Nindy tersenyum. “Aku berjanji,Boram. Aku akan membesarkannya dengan baik. Kalian bisa mengunjungi kami kapanpun ke Rusia. Kami akan selalu menerima kalian dengan baik.”“Iya.”Boram mengamgguk. Nina dan suaminya yang seorang warga Rusia akhirnya mengajukan diri menjadi wali sah Mutia dan akan membesarkannya di tempat tinggal mereka seperti pesan yang ditinggalkan Nina. Boram yang sudah menganggap Mutia seperti anak kandungnya itu begitu berat melepas Mutia.“Mama..” Mutia mengulurkan tangan ingin di gendong Boram yang langsung mengambil alih. Boram memeluknya dengan erat dan menciumi wajahnya dengan sayang. Sebentar lagi mereka akan berpisah dan Boram merasa sangat sedih, Setelah Boram gantian Sam yang memberikan pelukan terakhir untuk Mutia dan kemudian mengem
Sam dan Boram saling berangkulan di depan makan Nina yang satu jam lalu baru saja dikuburkan. Boram masih tidak percaya bahwa takdir Nina akan jadi seperti ini padahal dia adalah orang yang baik. Tadi pagi mereka mendapatkan telepon dari pihak rumah sakit yang mengabarkan kalau Nina kembali kritis dan Sam langsung buru-buru ke sana sementara Boram harus menunggu Mbak Ina dulu. Sampai sana ternyata Sam sudah terkulai sedih dan mengatakan kalau Nina tidak bisa diselamatkan lagi karena pendarahan di otaknya. Boram langsung menangis histeris karena dia teringat dengan Mutia yang dia tinggalkan dengan buru-buru tadi.Meskipun dia masih memiliki ayah, tapi Reno tidak bisa menjaga anaknya sendiri karena saat ini berada di penjara."Sayang..."Sam menarik lamunan Boram membuatnya menoleh. "Ayo,kita pulang dan lihat keadaan Mutia."Boram mengangguk, teringat lagi dengan tangisan Mutia saat memeluk Ibunya untuk terakhir kalinya tadi sebelum dikuburkan. Kakak kandung Nina juga belum bisa ditemuk
"Sam..." Sam menoleh saat mendengar panggilan dari balik punggungnya dan menemukan Boram menghampirinya dengan wajah panik dan khawatir. "Apa yang terjadi sebenarnya?""Rumit,sayang." Sam memeluk Boram dengan erat, berdiri berdua tidak jauh dari ruang operasi."Kita fikir keadaan sudah menjadi lebih baik tapi ternyata masih ada yang mencoba untuk membahayakan Nina.""Apa maksudmu?"Sam menghela napas panjang, membawa Boram duduk di kursi tunggu dan mulai memberikan penjelasan."Istri kedua Reno sengaja menabrak mobil Nina hingga terpelanting dan terbalik menghantam pembatas jalan." Boram kaget seraya menutup mulutnya. "Anita, wanita itu sudah diamankan dan sekarang kita hanya bisa menunggu sambil berdoa. Bagaimana dengan Mutia?""Saat aku tinggalkan tadi dia sedang tidur dan dijaga sama Mbak Ina."Sam mengangguk, kembali menatap pintu ruang operasi karena luka yang di dapat Nina di kepala cukup serius. Sam berharap Nina bisa sembuh karena Mutia masih membutuhkannya."Semoga saja dia
Sidang kedua Nina selesai dengan lancar. Seminggu setelahnya Sam mengajak Boram untuk menunaikan ibadah Umrah dan akan dilanjutkan dengan jalan-jalan ke beberapa negara Timur Tengah selama tiga minggu. Setelah menempuh perjalanan panjang dan sampai di kota Madinah, semua rasa lelahnya terbayarkan saat melihat istrinya yang cantik menggunakan hijab. Mereka khusyuk beribadah dan Sam menumpahkan semua doa dan harapannya selama ini di depan Ka’bah untuk keberkahan hidupnya ke depan dan kebahagiaan dunia akhirat. Sam juga meminta skenario terbaik untuk rumah tangga mereka yang belum dikaruniai seorang anak. Berharap, doa-doa dan harapannya agar dikabulkan Tuhan. “Kenapa tidak dari dulu saja kita ke sini ya, sayang?” Sam menoleh, menatap wajah sendu istrinya yang menatap lurus ke depan di mana Ka’bah berada. Saat ini mereka sedang duduk santai tidak jauh dari Ka’bah hanya untuk sekedar duduk sembari berdoa dan membaca Al Qur’an. “Semua sudah ditakdirkan, sayang. Sekaranglah momen kita ja
Setelah masa pemulihan selama seminggu dan keadaannya sudah membaik, Boram menjalani hari-harinya seperti biasa. Dia sadar tidak bisa terus terlarut dalam kehilangan hingga membuatnya terus merasa sedih. Waktu terus bergulir dan Boram akan menjadikan yang dia lewati itu sebagai sebuah pembelajaran. Kedepannya dia bertekad untuk mulai hidup sehat begitu juga dengan Sam, menghabiskan waktu berdua entah di rumah atau jalan-jalan dan lebih hati-hati lagi dalam bertindak.Sudah berlalu dua minggu sejak sidang pertama Nina di gelar yang hasilnya cukup baik dan memiliki harapan ke depannya, Boram mengajak Nina membawa Mutia untuk jalan-jalan ke mall.Saat ini mereka sedang berada di salah satu restoran steak di dalam mall untuk makan siang.“Kita harus lebih sering jalan-jalan deh ke depannya,” ujar Boram, menyuapi Mutia kentang halus yang dimakan gadis kecil itu dengan bersemangat. “Sepertinya Mutia senang sekali bisa melihat-lihat ke ramaian.”Nina mengangguk. “Kita bisa atur jadwal kapanp
Rasanya ada yang terasa kosong di hati Boram. Setelah sadar dari pengaruh bius pasca operasi kuret, Boram lebih banyak melamun sembari mengelus perutnya. Masih belum menyangka dengan apa yang telah dia alami saat ini. Bagaimana bisa, dia tidak menyadari sama sekali kehadiran calon bayi yang sudah ada di dalam perutnya sementara dia tidak henti-hentinya berharap keajaiban itu ada. Dia merasa sedang menyesali sesuatu tapi tidak ada yang bisa dia lakukan lagi. Tuhan sudah mengambil kembali sesuatu yang sejak awal memang bukan miliknya. “Boram, makan dulu yuk.” Boram tersenyum lemah sembari menggeleng pada Jenna di sampingnya yang baru saja mengambil alih makan siang yang di antarkan pegawai rumah sakit. “Jangan seperti itu. Kamu tetap butuh makan.” “Rasanya aku malas sekali melakukan apa-pun.” Jenna menghela napas, merapikan rambut Boram dengan senyuman hangat. “Kamu tidak kasihan dengan Samudra?” Boram terdiam, Suaminya tadi pulang sebentar ke rumah saat Jenna datang untuk membant
“Mutia, kamu ngegemesin banget sih.”Boram nampak senang setelah memakaikan gaun pink berenda untuk Mutia selepas mandi sore karena niatnya setelah ini adalah mengajak Mutia jalan-jalan ke taman dekat komplek.“SiniTante cium dulu. Pasti harum banget.”Mutia tertawa di dalam pelukan Boram hingga membuatnya geli dan ingin melepaskan diri. Boram semakin lama semakin sayang dengan Mutia dan mulai memperlakukannya seperti anak sendiri meskipun kenyataannya begitu pahit. Namun, untuk dirinya sendiri, kehadiran Mutia membawa kegembiraan tersendiri untuknya.“Bu Boram, cemilan sama strollernya sudah siap di bawah.”Boram menoleh dan tersenyum pada Bik Umang, tukang masak di rumah Nina yang usianya sudah lanjut tapi masih giat bekerja. “Oke, Bik. Sebentar lagi kami turun ke bawah.”Boram memakaikan pita di rambut Mutia yang sudah diikat dua kanan dan kiri dengan senyuman puas lalu menggendongnya untuk turun. Sampai di bawah bik Umang menungggu sembari memegang stroller Mutia dan membantu Bor
Sam yang sedang sibuk dengan pekerjaannya di depan laptop yang menyala,melirik sekilas seseorang yang masuk ke dalam ruangannya tanpa mengetuk terlebih dahulu dan mendengkus setelahnya.“Harap ketok pintu dulu sebelum masuk.”Laki-laki yang sudah masuk ke dalam ruangannya itu berhenti melangkah, mundur beberapa jengkal untuk kembali mengetuk pintu sembari tertawa dan masuk ke dalam.“Serius banget.” Sam menyandarkan punggungnya, meladeni laki-laki di depannya itu. “Ngopi yuk.”“Bukannya kamu lagi honeymoon ya? Kok cepat banget pulangnya.”Akmal, salah satu sahabatnya di sekolah dulu selain Alka tersenyum sumringah membuat Sam menaikkan alisnya heran.“Buat apa lagi honeymoon kalau istriku ternyata sudah positif hamil.”“Hah?” Sam cengok, menghitung dalam hati usia pernikahan Akmal dan Lili yang baru berlangsung hampir dua bulan itu. “Seriusan? Cepat banget. Lili enggak kamu buntingin duluan kan?”Akmal yang seorang anggota polisi itu mengepalkan tangannya. “Enak saja!” Akmal duduk di
Sehari setelah insiden, Nina diperbolehkan pulang. Keadaannya sudah baik-baik saja dan ada beberapa polisi yang berjaga di sekitar rumah Nina agar kejadian sebelumnya tidak terulang lagi. Sam masih melakukan penyelidikan dan pengawasan terhadap kasus Nina di mana Reno, suaminya itu masih dalam status buron. Sementara Boram setiap pulang sekolah punya kegiatan baru jika sedang tidak ada jadwal mengajar les yaitu mampir ke rumah Nina untuk bermain dengan Mutia. “Mbak, saya tidak mau merepotkan sampai harus datang jauh-jauh ke sini,” ujar Nina suatu hari.“Tidak. Aku ini setelah pulang ke rumah kalau tidak ada jadwal les ya pengangguran. Terlebih jika Sam sedang menangani suatu kasus di mana dia lebih banyak lembur. Aku kadang suka main di tempat sahabatku dan bermain bersama anaknya. Jadi, kamu tidak usah khawatir.” Boram mencoba menjelaskan. “Atau kamu merasa kurang nyaman kalau aku datang terus?”Nina reflek langsung membantah. “Tentu saja tidak. Aku sangat berterima kasih tapi taku