Seorang lelaki terduduk di sudut pasar, darah segar mengalir dari luka pada lengan dan kaki. Tubuhnya kaku, hanya organ wajah yang masih berfungsi. Kedua tangan dan kaki mati total, akibat putusnya syaraf vital yang terhubung ke otak. Ditilik dari luka yang minim namun fatal, jelas semua ini perbuatan seorang profesional.
Malam itu, sewajarnya suasana gang kota saat matahari tenggelam, sepi membungkam. Ini bukan kota besar dengan bangunan gagah menjulang, tak ada keramaian lebih di kala puncak malam datang. Kalau bukan derik serangga dan desau angin dingin, mungkin keadaannya seperti ruang hampa.
Lelaki itu sudah berusaha minta tolong, bahkan sampai teriakan terakhir. Tapi tak ada seorang pun yang datang. Dunia benar-benar membuang muka. Rasa sakit terlupakan sudah, menyisakan rassa takut dan putus asa.
Seorang gadis kecil berdiri di hadapan pemuda itu, dengan santai memutar sebuah pisau ditangan, serupa bocah memainkan pena. Lihai, jelas jika ia tidak seperti anak kebanyakan. Ketenangan yang menggaris pada matanya sungguh di luar batas.
"Denis, 21 tahun, mahasiswa dan kau ... seorang pelaku pedofilia." Gadis itu membaca identitas dari kartu pengenal orang di hadapannya. Ia menghela napas berat sebelum melanjutkan, "sayang sekali kau salah memilih korban"
Lelaki bernama Denis menelan ludah, ketakutan tampak jelas terpancar pada matanya. Ia tak menyangka bocah yang seminggu terakhir menjadi target, punya kepribadian mengerikan. Siapa sebenarnya anak ini?
Permainan pisau berhenti, ia memasukkannya ke dalam tas. "Oh maaf, aku belum memperkenalkan diri. Walaupun, yah ... aku yakin paman pasti sudah tahu. Namaku Nina, 10 tahun, kelas 3." Nina tersenyum semanis mungkin, senyum yang malah membuat pria itu semakin diselubungi rasa takut. Tidak wajar gadis kecil bisa tersenyum saat tubuhnya berceceran darah.
Gadis berambut panjang itu memperhatikan pakaian sekolahnya, noda darah merembes dimana-mana, jelas tidak mungkin ia pulang dalam keadaan seperti ini. Bias-bisa ada orang yang melihat.
"Gara-gara paman pakaianku jadi kotor, kalau sudah begini mau tidak mau aku harus menggantinya. Paman sih …." Ia mengomel panjang sembari membuka seragam sekolah.
Situasi seperti ini selalu diingatkan oleh pamannya, tak ada yang dapat mengetahui kapan ancaman tiba dan memaksanya bertindak tegas. Atau mungkin kejam. Maka untuk mencegah terjadinya hal yang tak diinginkan, ia selalu membawa dua setel pakaian ke mana pun.
"Sip, selesai!!!" soraknya menatap setelan seragam bersih yang ia kenakan, "Saatnya pulang"
Baru beberapa meter meninggalkan lelaki itu, langkah Nina terhenti, nasehat pamannya terngiang kembali, 'Jika terpaksa melakukan tindak kriminal, jangan pernah meninggalkan barang bukti, sidik jari, apalagi saksi.'
"Ups, hampir lupa," gumamnya beranjak kembali. "Halo paman, ada yang Nina lupa" gadis itu memungut seragam kotor, memasukkannya ke dalam ransel. Denis masih tegang, namun perlahan ketenangan muncul. Sepertinya anak hanya ingin pulang, jadi tak ada yang perlu ia takutkan lagi.
"Paman tahu? Pamanku selalu berkata jika kita melakukan kejahatan, tidak boleh ada barang bukti. Nah, seragam sudah Nina bawa. Tak boleh ada sidik jari. Paman tahu sendiri tadi Nina memakai sarung tangan. Dan tidak boleh ada saksi …."
Mendengar kata terakhir gadis itu, wajah yang tadi menggurat syukur menegang kembali, rasa tenang yang tadi tercipta sirna bak tak pernah ada. Berkali ia berusaha minta tolong dengan sisa-sisa suara. Tapi nihil.
"Maaf ya, Paman. Aku tidak bisa membiarkanmu hidup atau kau akan menyebarkan kejadian ini pada orang lain." tawanya ceria kemudian.
Dengan perlahan Nina merobek perut korban pertamanya dengan pisau bedah, sehati-hati mungkin agar tak menyentuh apa pun. Denis hanya berteriak tertahan, suaranya terkuras habis. Rasa seperti terbakar mencabik-cabik dadanya.
Tidak ada lagi harapan. Anak ini gila!
"Selesai, sekarang aku pamit pulang dulu ya ..." ujarnya pada tubuh yang sudah di ambang kesadaran.
Sebelum benar-benar beranjak, Nina melirik korban sekali lagi, mendekat sejenak, mengambil sesuatu yang tergeletak di samping tubuh tak bernyawa. Percikan darah membekas pada benda tersebut.
"Sebagai kenang-kenangan, bolehkah kubawa boneka yang paman belikan tadi? Bonekanya lucu, walaupun ada niat jahat di baliknya"
Ia pun pulang dengan senyum menghias di bibir.
-=9=-
"Seorang pemuda ditemukan tewas di sebuah pasar pagi ini, diduga korban meninggal akibat kehabisan darah. Beberapa luka sayatan ditemukan di tubuh korban ...." seorang pembawa acara di Channel TV menyiarkan berita pagi.
Saat itu hari minggu, Nina yang sedang bermain di rumah teman menoleh ke layar, membuat bola karet yang mereka mainkan terjatuh. Serempak anak-anak ber-yess kegirangan mendapat giliran main.
Di layar TV, tubuh seseorang telah ditutupi kain usang, mungkin warga yang pertama menemukan tubuh itu menutupinya dengan sembarang. Beberapa boneka dan mainan tergeletak di samping tubuh kaku itu, polisi mengamankannya sebagai petunjuk.
"Na!" panggil Mei membangunkan gadis mungil itu dari lamunan.
"Eh, iya?"
"Giliranmu." ujar anak dengan rambut sebahu menyodorkan bola bekel ke arah Nina, namanya Riri. Dengan heran ia menoleh ke serakkan kerang yang hanya hilang dua sejak terakhir gilirannya.
"Huh? Kalian tidak bisa memainkannya, ya?" tanya Nina disambut tawa malu oleh teman-temannya.
"Kamu pintar, Na. Mainnya hebat, selalu menang."
"Tak juga, aku cuma sedang beruntung."
Jelas ia selalu menang, permainan ini memang kesukaannya. Paman yang mengajarkan, lalu ia membawanya ke sekolahan. Dulu, orang yang sudah Nina anggap sebagai ayah itu bilang, bahwa kombinasi bola karet dan segenggam kerang adalah permainan populer anak perempuan di kampung halaman beliau.
Tak terasa siang sempurna menjelang, terik membakar permukaan bumi, menebar kehidupan. Langit terlihat cerah, hampir tak tampak buih di keindahan laut semesta itu. Rei dan Riri sedari tadi sudah pamit, tinggallah Nina di rumah Deary. Karena jarak yang lumayan jauh, ia hanya bisa menunggu pamannya menjemput.
Orang tua gadis berambut panjang itu meninggal dalam kebakaran, pergi dari sisi malaikat kecil mereka saat masih berumur dua bulan. Beruntung saat bencana itu terjadi, adik ayahnya sempat menolong, bak pangeran surga yang rela menerobos neraka demi menyelamatkan Nina kecil.
Sayang hingga sekarang, sang paman malah lebih terlihat bak iblis. Seakan kebaikannya dulu hanya kedok tuk membuat ia terlihat seperti malaikat.
"Na, kamu tidak pulang?" tanya Deary.
Perempuan berambut gelombang dengan wajah kecokelatan itu adalah teman dengan pribadi paling baik, tak pernah pamrih atas segala bantuan yang diberikannya pada orang lain.
"Kamu kan tahu sendiri kalau aku harus menunggu jemputan paman." Nina berkata sambil tetap memandang halaman, benaknya berkelebat memikirkan sesuatu.
"Kenapa diam, Na. Apa yang sedang kau pikirkan?"
"Bukan apa-apa, aku cuma berpikir tentang boneka ..." belum usai kalimat gadis itu, sebuah mobil hitam berhenti tepat di depan pintu pagar rumah Deary. "Eh, pamanku sudah datang, aku pulang dulu ya, Ry," lanjutnya berlari ke pria yang sudah membukakan pintu.
Deary tersenyum sembari melambaikan tangan melihat sahabatnya berlari.
Tak lama setelah Nina mendudukkan dirinya, mobil melesat meninggalkan rumah di tengah kota. Tangan kokoh sigap mengendalikan kendaraan, meliuk melewati kendaraan lain.
-=9=-
6 tahun kemudian.“Rey, kau tidak apa-apa ‘kan sering pindah sekolah karena ayahmu?”Pemuda di belakang kemudi tidak menggubris, matanya serius menekuni setiap panel gambar di komik yang sedang ia baca, tiada satu pun kata terlepas dari pandangannya. Itu adalah komik detektif edisi khusus ‘Kasus dan Petunjuk’, tidak ada penyelesaian di bukunya. Lagipula Rey tidak butuh itu, ia sendiri yang akan menyelesaikannya.“Rey? Kau tidak mendengar pertanyaan ibu?” Wanita di balik kemudi mendecak pasrah, anaknya selalu begitu serius saat membaca kasus-kasus fiksi. Bahkan jika tidak dilarang sang ayah, ia bisa saja menangani kasus sungguhan dengan kemampuannya.Mobil putih meliuk anggun menyalip beberapa motor, menepi di depan sebuah gerbang sekolah. Halaman luas di pekarangan sekolah tampak lengang, jam pertama sudah dimulai lima menit lalu.Pemuda bernama Rey sontak menutup komiknya saat mobil sepenuhny
"Selamat datang!" Nina membukakan pintu gerbang untuk yang lain.Terpukau. Mereka takjub melihat rumah Nina, akhirnya gadis misterius yang sudah lama dikenal memberi tahukan kediamannya. Jelas terlihat bahwa ia adalah anak dari keluarga kaya, rumah tingkat 2 dengan halaman luas dan pagar kokoh nan elegan.Bangunan bertingkat dengan gaya khas Eropa, lengkap dengan ornamen-ornamen indah. Pagar tinggi menjadi pembatas antara halaman dan jalan, memiliki arsitektur yang tak jauh berbeda. Warna krem dan cokelat mendominasi dinding luar, balkon luas dibangun tepat di atas teras.Di sisi kanan dari arah masuk, ada satu jendela besar pada masing-masing lantai, menghadap langsung ke halaman. Tak lupa balkon kecil di jendela lantai dua. Sedangkan di lain sisi, tebing buatan setinggi tiga meter menyatu dengan dinding, menumpahkan air terjun langsung ke kolam ikan di bawahnya.Desain yang begitu memukau. Wajar saja,
''The Number'.Nama yang telah lama menjadi teror, menghantui kehidupan di negara ini sejak satu setengah abad terakhir. Sekelompok profesional keji, pembunuh bayaran tanpa pandang bulu. Tak ada yang tahu pasti mengenai dia, mereka, atau siapalah orang-orang ini.Segala tentang 'The Number' sungguh masih misteri.Bahkan tidak ada jaminan jika suatu saat nanti mereka akan terekspos.Kau cukup memberi nama dan alamat orang yang kau benci di situs mereka, maka dengan bayaran sepadan, ia kan mati dengan coretan luka di tubuhnya. Bahkan hingga kasus mutilasi atau lebih parah. Memuaskan keinginan klien tentu penting.Tidak ada yang pasti dari pembunuh ini, namun beberapa bocoran mereka publikasikan entah dengan tujuan apa.'The Number' memiliki aturan tersendi
28 Februari22:32 p.m.Seorang remaja belasan tahun termenung di kamar, perkataan temannya tadi sore sungguh menghantui. Ia urung mendengarkan peringatan itu, tapi mengabaikannya juga tak semudah dikata. Sesosok wajah terbayang di pelupuk mata, senyum semanis mawar, mata indah dan caranya berbicara.Anak itu mengacak rambut gemas, merasa aneh dengan pikiran yang tak seperti dirinya. Sial! Aku bisa gila jika terus seperti ini!Suara pintu terbuka menghamburkan lamunan, seorang wanita paruh baya muncul. "Sayang, kau belum tidur? Ada apa?""Tak apa, Bu. Hanya memikirkan tugas sekolah," jawab Rey sekenanya.Wanita yang dipanggil ibu menatap anak tunggalnya lamat-lamat, ia tumbuh menjadi pemuda tampan dan pintar, rambut rapi persis mencerminkan sang ayah. Kemudian terse
1 Maret 04:48 a.m. Seorang gadis mengerjap, silau akan cahaya di hadapannya. Kepala yang seakan semakin berat, tubuh sakit, dan pedih pada bagian pundak secara bersamaan muncul. Tepat saat mendapati dirinya berada di atas pembaringan. Di kamar? "Aww!!" Rasa pedih membakar pundak kanannya saat mencoba bangun. "Sudahlah, jangan banyak bergerak. Lukamu cukup parah." Sebuah suara datang dari arah dapur, mungkin pamannya sedang menikmati kopi atau teh. Terdengar kesan aneh dalam kalimat itu, sesuatu yang tak pernah diperlihatkan sosok tegap itu. Keputus-asaan tersirat di getar suaranya. "Paman, bisakah kau masuk? Ada hal yang ingin kutanyakan padamu," ujar gadis di kamar, coba menyamankan diri. Sementara di dapur, sosok lelaki berusaha meredam rasa sesal yang menghantui. "Baiklah, tunggu sebentar." Tak berselang lama, lelaki yang selama ini merawatnya melangkah masuk. Saat melihat plester dan perban ada di tubuh sang paman, ia seketika tersadar jika tubuhnya juga berbalut
Kabar duka menyelimuti pagi. Langit yang sedari pagi cerah mulai berawan bertemankan sepi, seakan ikut sedih atas kejadian ini. Tangis kesedihan menggema di kelas-kelas, menghinggapi hati siswa-siswi. Pukulan teramat bagi para guru yang kehilangan murid berprestasi. Louis Anthony, pemain basket andalan kelas 9, meninggal dunia. Polisi dan dokter datang setelahnya, mengatakan bahwa anak itu keracunan. Mungkin disebabkan oleh zat berbahaya yang tidak sengaja masuk melalui goresan di tangan. Namun setelah hasil autopsi tiba, racun yang menyebabkan korban meninggal sungguh tak terduga. Tetrodotoxin. Racun mematikan yang umumnya hanya ditemukan pada tubuh ikan buntal. Entah bagaimana zat semematikan itu dapat sampai di tubuh Anthony. Di saat kegemparan sekolah sedang berlangsung, seseorang menghilang. ‘Ke mana Dia?’ Rey berlari ke bangunan sebelah, meski hampir tak ada kemungkinan sosok yang sedang dicarinya ada di gedung SMA. Namun sekecil apa pun kemungkinan, berarti masih ada k
Seminggu sudah sejak kepergian Anthony. Meski awan duka masih membumbung di mata teman-temannya, mereka mencoba beraktivitas seperti biasa. Memendam kesedihan tak akan membuat ia yang kau tangisi bahagia, malahan itu membuatnya sedih. Semua kembali normal, terutama teman satu kelompok tugas biologi. Hey! Bukankah seharusnya mereka sudah berpisah? Tugas Biologi sudah usai, bukan? Sejak kepergian Anthony, persahabatan Rey, Nina dan Deary semakin dekat. Bermula dari tugas kelompok, sampai ikatan tak tertulis yang ada di hati. Tak dapat dipungkiri, merekalah yang menjadi saksi utama kepergian pemuda jangkung itu. Riri? Gadis mungil itu tetaplah menjadi teman dekat. Namun jika untuk predikat sahabat, sepertinya belum cukup dekat. Ia sudah memiliki sahabat sendiri, toh di kelompok, hanya Deary yang sangat dekat padanya. Pagi ini kegiatan belajar berjalan lancar, Pak guru gan
Jam menunjukkan pukul 07:00 p.m.Seorang pria dengan setelan hitam sedang memasukkan beberapa barang ke dalam tas, terlihat begitu konsentrasi dan penuh perhitungan."Hey, kau sudah siap?" Ia bertanya tanpa menoleh."Siap 100%. Paman tahu? Kau begitu lama mempersiapkan hal semacam ini." gadis di samping si pria duduk santai sementara dua buah pisau asyik berputar-putar di jemarinya."Terserah kau saja, paman lebih memilih persiapan lengkap ketimbang harus gagal di pertandingan."Tawa satir membahana sebagai tanggapan."Baiklah, omong-omong, bagaimana targetnya?" Pisau berhenti berputar ditangannya, lalu melesat menusuk papan Dart di tembok. Double bull!"Aku sudah dapat alamat rumahnya. Tempatnya terpencil, tidak begitu jauh dari rumah Louis Anthony, target pertama bulan ini. Kemungkinan besar jika pergi, mak
Pernahkah kalian mendengar hukum Singkronitas? Sebuah kebetulan yang terjadi dalam garis serupa, begitu rapi sehingga tampak lebih seperti sandiwara hidup yang direncana. Bahkan para ideologi masih meragukan eksistensi teori tersebut di dunia. Benarkah adanya? Para detektif menolak percaya, mereka yakin di dunia tidak ada suatu hal yang terjadi secara kebetulan. Pasti ada sesuatu kaitan, hal yang saling memicu suatu kejadian. Mereka menolak percaya. Tapi … bagaimana dengan kalian?-=9=- 31 Desember Pukul 11:49 Seorang lelaki tengah duduk bersama ayahnya di sebuah sofa panjang, berbataskan asbak
Tubuh itu melangkah gontai, meninggalkan pekarangan rumah sakit dengan luka-luka yang telah mengering. Beberapa pasang mata menatap di kejauhan, seorang pria keluar rumah sakit dengan badan penuh luka? Awan pekat telah tersingkap, langit malam kembali menguar pesona, menampakkan bulan pucat yang gompal setengah. Waktu menunjukkan pukul 22:16, hanya setengah jam dari kejadian di jembatan tadi. Rey seharusnya menerima tawaran suster untuk diobati dulu, namun ia tidak bisa berpikir jernih. Tatapannya kosong dengan air mata yang sesekali berlinang. Pria itu hanya ingin sampai di rumah, merebahkan diri di kasur secepat mungkin, berharap segera bangun dari mimpi terburuk ini.'If you can't wake up from a nightmare, maybe you're not asleep' dengan cepat ia menggelengkan kepala, menepis kalimat mengerikan itu.  
Mana yang kalian percayai lebih mendominasi lika-liku hidup; kemampuan diri, kesempatan, keberuntungan atau … takdir? Banyak yang beranggapan bahwa segala hal yang terjadi di kehidupan seseorang bergantung erat pada kemampuan yang dimiliki, entah itu tentang kesuksesan atau sebaliknya. Apa pun, semua risiko ada menurut kemampuan. Namun sebagian lain mengatakan kesempatanlah yang mengatur tragedi di sepanjang jalan yang kau lalui sejak lahir hingga menjelang ajal. Maka dengan kepercayaan ini, pengetahuan dan kepekaan atas datangnya sebuah momentum akan sangat berpengaruh terhadap pergerakan puzzle kehidupan. Pun ada kelompok yang bilang keselamatan langkah kaki manusia ada pada keberuntungan, entah bagaimana itu terjadi. Bilamana seseorang hidup dengan kesialan, mereka Akan menyebutnya kutukan. Dan mayori
Kehidupan kerap digambarkan dalam berbagai macam bentuk, teori. Ada pihak mengatakan hidup layaknya sebuah telur dan ayam, yang lain bilang hidup berjalan lurus dari satu titik awal menuju akhir. Hidup memang rumit, karena tidak ada satu pun yang dapat tahu pasti bagaimana lingkungan kita ini berlangsung. Teori tercipta, namun penuh pertentangan. Tidak ada yang menjalar lurus. Setiap orang dengan pengetahuan dan ego menentukan opini masing-masing. Saling menyekat dan mengikat. Mengapa tak bersatu dan saling membahu? Ada sebuah teori yang datang dari penduduk bersorban, inti kehidupan yang menurut kepercayaan mereka adalah jawaban terdekat dengan semua teori. 'Hidup memiliki awal, dan setiap hal yang memiliki permulaan, maka memiliki akhir. Entah dalam bentuk seperti apa hal itu tercipta." &n
Suatu siang yang hangat, dua anak manusia tengah bersenandung ria di sebuah kafe, diselingi senda gurau. Seorang gadis berambut sebahu dan lelaki tampan nan rapi. Mereka tampak menikmati alunan musik dari pemain piano di sudut ruangan, sambil sesekali melahap pesanan masing-masing. "Terima kasih, Rey. Kau sudah mau menemaniku jalan, biasanya aku sendirian di rumah jika libur. Jadi aku sangat senang." senyum mengembang, tampak senang ditemani berkeliling. "Santai saja, kita sahabat. Wajar kalau aku menemanimu." "Hmmm ... semisal aku minta lebih dari sahabat? Boleh?” goda sang gadis masih dengan senyum berbinar. Rey tertawa kecil, menggeleng perlahan sembari mengangkat telapak tangan, seperti juru parkir yang menyuruh pengemudi untuk berhenti.  
Satu detik berlalu .... Dua, tiga ... waktu berjalan begitu lamban. Tak ada yang terjadi, padahal Rey sudah terbayang-bayang akan seperti apa kematian. Apa rasanya saat jantung, organ yang memberimu kehidupan, ditusuk mati sampai berhenti memberi detak. Tapi nihil, sampai detik merangkak ke angka belasan, bahkan hingga rangkaiannya menggunung menit, tidak ada yang terjadi. Hanya kesunyian yang mendekap, ia masih menutup mata. 'Apakah aku sudah mati? Seperti inikah kematian? Hampa, tanpa rasa sedikit pun?' Bahu gadis di pelukannya berguncang, membuat lelaki itu sadar bahwa diri masih menapaki hidup. Perlahan, dengan segenap keberanian ia membuka mata, melirik kedua tangan Nina yang menggenggam erat tepi baju. Tidak ada pisau disana. Apakah berhasil? Samar isak tangis terdengar, sungguh pilu meski tak beriring air mata.
Sebuah keluarga tampak tenteram berkumpul di ruang tengah malam itu, sepasang kekasih dengan satu anak laki-laki cerdas yang sedang jatuh cinta. Ayahnya pulang ketika sore, tepat sebelum Rey pergi menemani Deary mengunjungi makam sang ibunda. Setelah mengantarkan gadis itu pulang, ia harus melaporkan banyak hal tentang Nina. Terutama kepada sang Ayah. "Ayo, Nak. Ceritakanlah pada ayahmu ini." Itu bukan permintaan, tapi perintah. "Ya jadi ... begini, Yah ...." saat kemudian, kisah itu meluncur tanpa hambatan, namun tetap dengan versi tanpa kecurigaan atau petunjuk-petunjuk yang ia dapatkan. Sementara ini hanya diri sendiri yang boleh tahu semua itu. "Oh, jadi begitu. Kau sudah bilang ‘kan padanya? Tapi belum dijawab." Pria gempal di hadapannya
Suasana kelas cukup riuh, beberapa murid asyik bermain handphone mereka masing-masing, sebagian lain sibuk mengerjakan PR yang belum tuntas. Mengingat guru galak yang akan masuk pada jam pelajaran pertama, sontak tugas langsung jadi prioritas utama. Rey sedari pagi sudah duduk, anak pertama yang datang ke sekolah, bahkan sebelum cahaya matahari menyamarkan rembulan. Meski tugas sudah selesai tepat setelah diberikan, ia tetap rajin, khususnya akhir-akhir ini. Tepatnya setelah deklarasi kematian dari organisasi penuh teror itu. Sudah tiga minggu sejak kabar dari 'The Number' membanjiri lautan media massa, entah internet, koran, atau stasiun televisi. Hampir semua Channel memperbincangkan teror demi teror yang semakin tanpa jeda. Enggan memberi napas. Bulan ini bahkan sudah 12 orang yang mati, korbannya acak, dari berbagai daerah. Warga sipil hanya bisa berharap bukan yang jadi sasar
Semburat keemasan memeluk pagi, tampak hangat, begitu tenteram. Diiringi alunan melodi alam nan indah, jejak embun masih setia terjaga pada ujung dedaun tumbuhan yang menghiasi tiap jendela kamar pasien. Segar di mata, nyaman di hati. Seorang anak laki-laki tengah membereskan kamar, merapikan kamera dan alat perekam. Sesekali dengan senyum mengembang menatap gadis yang terbaring menjelajah mimpi. Setelah memastikan semua beres, dengan hati-hati ia duduk di sisi pembaringan, membangunkan sang permaisuri dengan lembut. Penuh kasih. Mereka bak replika kisah putri salju di dunia nyata. Hanya saja tidak ada pangeran atau tidur selamanya. "Nina, bangun yuk." Gadis manis itu menguap saat merasakan pipinya ditepuk lembut, lalu mata terbuka perlahan dengan segala kantuk yang menggelayut manja