Jam menunjukkan pukul 07:00 p.m.
Seorang pria dengan setelan hitam sedang memasukkan beberapa barang ke dalam tas, terlihat begitu konsentrasi dan penuh perhitungan.
"Hey, kau sudah siap?" Ia bertanya tanpa menoleh.
"Siap 100%. Paman tahu? Kau begitu lama mempersiapkan hal semacam ini." gadis di samping si pria duduk santai sementara dua buah pisau asyik berputar-putar di jemarinya.
"Terserah kau saja, paman lebih memilih persiapan lengkap ketimbang harus gagal di pertandingan."
Tawa satir membahana sebagai tanggapan.
"Baiklah, omong-omong, bagaimana targetnya?" Pisau berhenti berputar ditangannya, lalu melesat menusuk papan Dart di tembok. Double bull!
"Aku sudah dapat alamat rumahnya. Tempatnya terpencil, tidak begitu jauh dari rumah Louis Anthony, target pertama bulan ini. Kemungkinan besar jika pergi, maka orang itu akan membawa mobil, bahkan untuk ke kotanya saja jauh ...," ia berhenti sejenak sebelum melanjutkan, "aahhh!! Aku benci permintaan mendadak, kenapa tidak dari kemarin."
Yups, ini adalah permintaan mendadak, baru sampai tepat setengah jam yang lalu. Tanpa menganalisis lawan atau mencari informasi keseharian, mereka nekat melangkah maju membawakan si target sebilah sabit kematian.
Setelah semua persiapan selesai, mereka mengendarai mobil ke kediaman target. Tepat jam 09:30 malam mobil hitam itu melambatkan lajunya, berhenti di depan sebuah rumah lama berukuran sedang di pinggiran kota kecil tersebut. Halaman sedang khas pedesaan mengelilingi.
Baru saja sampai, masalah pertama muncul. Mobil di rumah itu lenyap, jelas saja pemiliknya pergi.
"Sial!"
"Tenang paman, biar aku yang maju." ujar si gadis menenangkan sembari melangkah masuk ke halaman, menuju pintu, lalu mengetuknya. beruntung ia mengenakan gaun hitam.
"Iya, sebentar!" terdengar suara melengking dari dalam, diikuti derap langkah mendekat. "Selamat malam, ada yang bisa saya bantu?" Sorang perempuan muda berumur pertengahan 20 muncul dari balik pintu yang terbuka.
"Bisakah aku meminjam kamar mandi, aku sudah tak tahan." ujarnya berakting seperti orang yang benar-benar di ambang batas.
Awalnya wanita itu tampak ragu, namun kemudian tersenyum dan mempersilahkannya masuk. Anak secantik ini tak mungkin menjadi seorang pencuri. Kekhawatiran atas kejadian yang akhir-akhir ini menimpa warga tak boleh membuatnya mengabaikan seorang gadis muda.
"Kamar mandinya di belakang, terpisah dari bangunan rumah. Suamiku yang mendesainnya seperti itu, teringat kampung halaman katanya. Silakan dipakai, maaf jika kurang berkenan."
"Bisakah kau menemaniku? Aku takut gelap."
Mereka pun bersandingan melangkah ke bilik kamar mandi di belakang rumah, sebuah bangunan tunggal dengan ukuran kecil. Letaknya tak jauh, hanya sepelemparan batu, namun cukup membuat bulu kuduk meremang saat melewatinya di tengah malam.
"Nyonya, apa kau tinggal sendiri di rumah ini? Kelihatannya begitu sepi." tanya gadis itu dari dalam, di tangannya telah siap sebuah pisau.
"Tidak, aku tinggal bersama suamiku, ia baru saja pergi ke Bank untuk menabung."
Kena kau.
Pintu terbuka. Belum sempat menyadarinya, sebuah pisau secepat kilat merobek setengah leher wanita itu, meregang nyawa tanpa butuh waktu lama. Darah terpancar di pintu bilik kamar mandi, mengotori dinding dan gaun hitam milik sosok yang menatap tubuh tak bernyawa di tanah tanpa iba.
"Terima kasih kamar mandinya."
Gadis itu kembali ke mobil setelah membersihkan tubuh dari cipratan darah.
"Target pergi ke bank untuk menabung, istrinya sudah kuhabisi, tak ada siapa pun di rumah." ia melenggok masuk ala tuan putri, memberikan semua detail informasi. Hal yang selalu ditekankan pamannya.
"Baiklah." mobil melesat menuju keramaian kota.
Mereka sampai di satu-satunya bank dalam kota tersebut, lalu merapatkan kendaraan di supermarket sebelah. Bangunan tunggal yang tidak terlalu besar, namun agak ramai oleh pengunjung.
"Wah kalau di tempat umum seperti ini, kita akan kesulitan, mereka pasti curiga." si pria mengeluh, tempat ramai akan menjadi penghalang.
"Apa kubilang, gaun seperti ini lebih baik daripada setelan hitam yang paman berikan, dengan ini kan aku jadi bebas keluar meskipun di tempat umum.”
"Oke, kuserahkan target kali ini padamu. Ingat, Nina, kembalilah dengan selamat."
"Heh? Kau pikir dengan siapa kau berbicara." gadis itu keluar dengan perlengkapan seadanya, sebanyak mungkin yang bisa ia selipkan di balik gaun hitam selutut itu. Toh gaya membunuhnya melalui syaraf dan persendian, teknik bertarung singkat dan mematikan.
Saat mengintip dari balik pintu, ia mendapati lima orang selain resepsionis sedang mengantre. Sedangkan satu pemuda menunduk di bangku belakang, asyik mendengarkan lagu. Target berada di baris urut ke-empat, tepat di belakangnya berdiri pria besar membawa sebuah pistol. Wow, target pembuka yang nikmat.
Gadis itu menunggu beberapa saat sampai target utama duduk di depan resepsionis, lalu melangkah masuk setelah mengenakan topeng pesta. Semua mata tertuju padanya, jelas merasa heran dengan kehadiran gadis yang menggunakan topeng di bank.
Ia tak peduli dan terus melangkah ke pria dengan pistol di pinggang, berhenti di hadapannya. Pria itu tersenyum geli, merasa aneh. Lalu menyodorkan tangan menepuk kepala gadis bertopeng di depannya sambil membuka mulut.
"Nak, jika kau mencari pesta, mungkin kau sal-" kata-katanya berganti teriakan saat sebuah pisau telak menebas persendian siku. Tangan kanan pria itu langsung terkulai lemas.
Sigap ia mengambil pistol dengan tangan kiri dan mengarahkannya kepada gadis bertopeng. Sayang belum sempat menarik pelatuk, kini tangan kiri yang menerima sayatan di bagian ketiak, ikut terkapar lemas. Sedetik, jantungnya sudah tertembus dengan pisau. Suara dentingan pistol menggema saat tubuh tak bernyawa berdebam jatuh.
Resepsionis bank sedari tadi sudah berlari ke kamar khusus pegawai dan mengunci dirinya, terlalu berbahaya keluar lewat pintu depan.
Pandangan gadis itu berpaling ke target utama yang sedang terduduk di lantai, sinar matanya nanar penuh ketakutan. Tanpa aba-aba dilemparnya pisau ke pria tersebut, tepat menusuk mata kiri. 'Bull'seye' pikirnya. Pria itu mati dengan cepat.
Ia mendekat, mencabut pisau dari mayat yang sudah lemas lalu mencoretkan sesuatu di dahi target.
"Siapa kau!?"
Sebuah suara muncul dari balik punggung gadis dengan gaun hitam itu. Saat menoleh, seorang remaja berdiri, menatap tajam. Sepertinya mereka seumuran. Ia bergeming, pelan mendatangi pemuda itu dengan pisau di kedua tangan. Siap menikmati hidangan penutup. Yang didekati memasang kuda-kuda, terlihat siap menerima segala serangan.
Oh, yang kukira kan menjadi makanan penutup sepertinya lumayan kuat. Kupikir akan selunak cokelat.
Gadis itu menerjang, menghunuskan pisau ke jantung pemuda yang dengan mudah menepisnya. Serangan kedua berakhir sama, pun ketiga dan keempat. Lawannya cekatan menepis segala serangan, masih berdiri kokoh dan tenang, terlihat sekali jika ia bukan sekedar pernah menyelami aliran bela diri.
Sial, aku tak belajar untuk menangani orang dengan keahlian bela diri tinggi.
Ia berdiri, melepaskan kuda-kuda. Tidak ada waktu mengurus hal semacam ini. Target sudah dihabisi, tugasnya sebagai pembunuh telah usai. Gadis bertopeng itu melangkah ke pintu keluar, memilih untuk pergi. Tak peduli meski pemuda di belakang meneriakinya untuk kembali.
Tiba-tiba terdengar suara tembakan, timah panas menghantam punggung gadis itu, membuatnya terjatuh dan memekik tertahan. Saat menoleh, remaja tadi sedang menodongkan pistol dengan keterkejutan luar biasa terpancar di matanya. Ia ingin berdiri dan kembali, meladeni permintaan mangsa di depan mata, namun sebuah mobil hitam berhenti tepat di depan pintu.
"Cepat!! Ada yang memanggil polisi." teriak seorang pria bertopeng dari balik kemudi.
"Sial! Orang itu." gumamnya menatap pintu di mana resepsionis bank bersembunyi, lalu berdiri dan melangkah tertatih ke mobil.
Setelah masuk, mobil dengan cepat melesat pergi, meninggalkan tempat kejadian serta seorang saksi yang masih membatu. Tubuh Rey benar-benar kaku, tak kuasa menahan keterkejutan. Jantung berdegup kencang, wajahnya kebas, disertai peluh dingin bercucuran.
Suara itu, suara yang menghantui mimpi-mimpi indahnya. Ia tak menyangka akan mendengarnya di saat seperti ini.
Nina?! Apakah itu kau?
Ketika polisi datang dan menemukannya terduduk di sudut ruangan, mereka langsung membawa anak itu untuk dirawat, keselamatan saksi sungguh penting. Detik-detik meninggalkan TKP, Rey menoleh ke arah pria dengan mata kiri yang hancur, membaca barisan alfabet dari luka di dahi korban.
'EIGHT 4'
-=9=-
Kejadian malam itu masih jelas terngiang di kepala Rey hingga esok hari. Polisi membolehkannya pergi setelah mengajukan beberapa pertanyaan. Sang ibu khawatir keadaan mental anaknya terganggu akibat kejadian semalam, sebab ia terlihat begitu pendiam bahkan saat Ayah datang. Wajah murung, tatap mata kosong. Jelas terbebani sesuatu.
Tapi otak detektifnya tetap memaksakan ingin sekolah, banyak hal yang perlu secepat mungkin dipastikan. Tadi malam saat aku menembaknya, orang itu masih bisa bergerak, pasti ia menggunakan rompi anti peluru. Yang aku bingung, suaranya, suara itu milik Nina. Tapi tak mungkin dia ada di sini, gadis itu sedang pergi ke luar kota.
"Hi, Rey!" panggil Deary muncul di sampingnya.
"Hey! Kamu masuk, Ry?" ia heran, bukankah gadis ini seharusnya masih di rumah sakit?
"Yahhh, kata dokter Ayah baik-baik saja, tadi pagi beliau bangun dan menyuruhku sekolah, jadi yaa ... aku masuk."
Mereka berbincang sesaat, tak lama kemudian Riri muncul dan ikut bergabung. Mereka selalu berkumpul di samping gerbang sekolah sebelum Bel jam pertama dipukul. Seakan telah menjadi tradisi. Tentu masih dengan meja usang sama seperti dulu.
Tiba-tiba seorang lagi muncul, gadis berambut panjang dengan anggung berjalan perlahan ke arah mereka. Senyum merekah saat menyapu pandang yang lain.
Nina?
"Loh Na?! Bagaimana kau bisa ada di sini? Bukankahkau ke luar kota, ya?" Rey menyerbu dengan beberapa pertanyaan sekaligus, sungguh heran atas keberadaan gadis itu. Berarti yang tadi malam?
"Tak jadi, Rey, paman tiba-tiba membatalkan rencana. Ya sudah, kami tidak jadi berangkat."
Pikiran pemuda cerdas itu berkecamuk, berbagai macam gagasan timpang-tindih di kepalanya. Banyak kemungkinan yang dapat terjadi, namun segala sesuatu harus memiliki kepastian, bukti. Bukan sekedar deduksi apalagi halusinasi.
Dan saat ini juga ia harus mendapat kepastian.
Gadis itu duduk tepat di hadapannya, terlihat tenang, seakan tak pernah bertemu dalam kejadian tadi malam. Apakah ia sedang bersandiwara? Atau memang bukan Nina? Pikiran pemuda itu tak henti menumbuhkan praduga.
"Ehm, teman-teman! Ada yang ingin aku ceritakan tentang pengalamanku semalam." Rey menarik perhatian, siap untuk bercerita.
"Ada apa?" Tanya Riri.
"Semalam aku menyaksikan sendiri 'The Number' beraksi." sebuah ungkapan yang sontak membuat semua orang terdiam dan memandangnya antusias.
Hening tanpa suara, bahkan Deary yang terkenal cerewet pun hanya menatap tak percaya. Tak ada gelagat aneh dari Nina, padahal ia sudah seakurat mungkin memperhatikan setiap gari di wajah manis itu, berharap dapat menemukan secercah penerangan atas gundahnya hati. Sialnya, nihil.
Anak itu menghela nafas panjang sebelum melanjutkan, lalu semua cerita mengalir bak anak sungai di gurun pasir, menyita semua perhatian sejarak suara terdengar.
Mereka memasang telinga khidmat, bahkan gadis pendiam juga. Tak muncul kegelisahan atau gelagat yang biasa terlihat pada seorang kriminal ketika melihat wajahnya terpampang pada koran di depan mata. Padahal jelas-jelas kejadian tadi malam sedang menjadi trending topik pembicaraan mereka. Apakah ia sedang berpura-pura?
"Sayang … aku pingsan di saat-saat terakhir, aku jadi tak bisa melihat pelakunya dengan jelas." kata Rey di akhir cerita, persis seperti jawabnya pada polisi perihal ciri-ciri pelaku.
Ia tidak mendapati gestur atau tingkah aneh dari Nina, apa saja yang dapat membuatnya yakin jika semalam benar-benar gadis itu. Tak ada, sama sekali. Ia tetap seperti biasa, antusias dengan misteri. ‘Seharusnya ada sentakan aneh jika memang ia yang tadi malam kutemui, walaupun aku tak berharap demikian.’
Saat hampir menyerah mencari tahu, ketika ia mulai percaya bahwa gadis jelita itu bukanlah dalang dibalik kejadian di Bank malam tadi, petunjuk muncul tak terduga. Serupa tetes hujan pertama yang jatuh di kala siang benderang.
"Aw!!!" pekik Nina saat seseorang tanpa sengaja menyenggol punggungnya. Lalu tersentak maju karena rasa sakit dan berakhir di pelukan Rey. Sontak teman-temannya bersorak menggoda.
Saat itulah Rey melihatnya, sedikit mengintip dari balik kerah seragam Nina.
Memar yang berada di punggung gadis itu.
-=9=-
Awal bulan, awal yang baru.Pagi ini, pagi kedua di bulan baru. Kabut menyelimuti, lengkap sudah dengan dingin yang menusuk tulang, suatu hal yang cukup jarang terjadi di kota kecil itu. Suasana beku memang selalu ada, namun tak pasti dengan kabut tebal yang mendampingi. Mungkin akibat hujan deras semalam.Seorang lelaki menatap kejauhan meski tetap tertumpu beberapa kaki oleh kabut. Seulas senyum mengembang saat mengingat masa-masa indah bersama gadis yang ia sukai, atau lebih tepatnya ia cintai. Sekarang tak diragukan lagi bahwa rasa itu memang cinta.Matahari belum sempurna meninggi, masih malu-malu mengintip kehidupan yang merangkak menjumpa pagi. Cahayanya deras menimpa alam, namun terhalang gumpalan kabut. Tak terlihat memang, tapi bagi seorang anak detektif, pengetahuan tentang detail seperti itu pun penting dan harus diimbangi ketepatan waktu."42 detik yang menawan .... tak terasa, hari kelu
Angin senja menderu kencang, awan kelam menyelimuti angkasa, siap menumpahkan isinya kapan pun suratan setuju. Seorang gadis duduk malas di kamarnya, berpikir lama. Akhir-akhir ini request tak lagi bermunculan, nama-nama baru di situs 'The Number' seakan tersendat, hal yang sungguh mengundang penat.“Jika seperti ini terus, aku bisa mati bosan!”Kematian tetap untuk 9 orang tiap bulan, namun yang menghasilkan uang hanya sedikit. Hari pertama bulan ini, list target di situs mereka sama sekali kosong. Mereka tidak ingin melalui 30 hari seperti sebelumnya, sedikit target yang berarti sedikit uang.Ia dan pamannya juga manusia, hidup dari hasil membunuh. Maka bisa dibilang finansial mereka sedang dalam bahaya. Bangkrut? Tidak juga, manusia tak akan pernah lepas dari dendam dan kebencian, juga populasi mereka seakan abadi. Tiada kata punah. Sayang akhir-akhir ini sedikit sekali klien.
Gadis itu terbangun, mendapati dirinya berbaring di rerumputan hijau, menjulang di puncak bukit rendah. Ia tersenyum, rembulan tampak begitu indah mengangkasa, ditemani gemintang tanpa terbiaskan cahaya lampu perkotaan. Suasana yang sungguh berbeda dengan kediamannya di kota besar.Tiba-tiba sesuatu menggenang di lengan yang menumpu badan, kental dan pekat. Saat menoleh, telapak telah penuh dengan darah. Sementara di bawahnya, cairan merah mendanau entah seluas apa."-" mulutnya terbuka, namun tanpa suara.Berkali coba berteriak, namun tetap tak ada getaran yang terasa di tenggorokan. Sesaat kemudian barulah sadar bahwa lehernya telah tersayat, tepat merobek tenggorokan. Ia kehilangan suara."Tidak!!!"Hampir sebulan penuh gadis itu tinggal sendiri, tak ada lagi lelaki tinggi dengan rambut rapi yang selalu membangunkan di kala pagi. Tidak akan pernah
"Pria itu mati di sana!" Entah siapa ‘pria’ itu, yang jelas adalah anggota ‘The Number’, Bahkan mungkin 'EIGHT' yang sedang bersama anggota baru, 'NINE'. 'Apakah itu alasan Nina mengatakan pamannya dibunuh 'The Number'? Untuk mengalihkan kecurigaan, padahal merekalah organisasi itu?' Rey bertanya dalam hati. "Kalian! Serius sekali pembicaraannya, ini kopi, minumlah dulu." seorang wanita muncul dari dapur membawa dua gelas kopi. "Terima kasih, Sayang." ujar suaminya mengambil segelas. "Rey, akhir-akhir ini kamu tidak pernah bercerita tentangnya. Siapa? Nina?" Anak itu tersedak saat ibunya membahas hal yang tak ia bicarakan seminggu terakhir. Begitu pula sang ayah. "Nina? Siapa itu, Nak?" "Eumm … teman, Yah. Sungguh, dia bukan siapa-siapa." detektif itu melarangnya pacaran, ia berkata perasa
16:28Rey duduk di balik kemudi, mobil yang dikendarainya sudah 10 menit berhenti di depan rumah besar bertingkat. Untuk suatu alasan, lebih baik menunggu di mobil ketimbang masuk.Jika kupaksakan masuk, ada kemungkinan kalau Nina memang pembunuh, persiapannya akan ketahuan. Daripada ia curiga dan merasa terancam, lebih baik aku membiarkan semua berjalan sesuai rencananya.Meski berpikir demikian, hati anak cerdas itu tetap tidak menaruh curiga berlebih, mungkin ia hanya sedang berdandan. Dan aktivitas tersebut pasti memakan waktu bagi wanita, bahkan untuk gadis pendiam seperti Nina."Nina! Sudah belum?!""Sebentar, Rey! Sebentar lagi kok!" teriakan dari lantai dua terdengar.Anak laki-laki di bawah tersenyum, tidak yakin akan 'sebentar' yang dimaksud.Tadi sebelum menjemput Nina, ia menyempatkan diri mampir
"Tidak." Mata Rey terbelalak, tersadar akan situasi yang tiba-tiba berubah. Berapa pun bisa mati jika menyangkut pembunuh satu ini. "Diam! Semuanya diam!" Teriaknya nyalak di antara jeritan para tamu, menyambut orang-orang yang mulai beranjak pergi karena panik. "Jangan ada yang keluar, semua tetap di tempat masing-masing! Tenang, hotel ini dikelilingi oleh polisi!" Anak itu mengeluarkan lencana detektif milik sang ayah, benda yang sengaja ia bawa kemana pun, tahu bahwa sewaktu-waktu ia akan membutuhkannya. "Carla, bilang pada polisi untuk menjaga pintu keluar, jangan biarkan siapa pun pergi dari hotel!" Perintahnya pada gadis yang terdiam bingung sembari berlari ke arah toilet yang hanya berjarak 30 meter dari meja tempat ia duduk. Di sana hanya ada satu pintu masuk untuk akses ke ar
'Nine', penerus 'The Number' generasi ke-9. 9 memang angka spesial, bilangan yang jika dikalikan sebuah nominal lalu kau jumlahkan tiap satuannya, maka akan kembali ke angka awal. Sebagai contoh; 9×123=1.107 (1+1+0+7=9). Berapa kali pun kalian mencoba, hasil akan tetap sama. Karena tak dapat dipungkiri, begitulah nyatanya. Namun … 9 bukanlah angka yang sempurna. -=9=- Kalian tahu cermin? Material alam yang dapat memantulkan bayangan konstan tanpa perbedaan kecuali arah. Apa pun jika kau letakkan di hadapannya, akan muncul di seberang, seakan ia adalah portal akses ke dunia artifisial terbalik. Kehidupan Rey beberapa hari terakhir mungkin tak jauh berbeda dengan istilah cermin, tampak seperti pantulan dirinya di minggu sebelum kejadian. &nb
Semburat keemasan memeluk pagi, tampak hangat, begitu tenteram. Diiringi alunan melodi alam nan indah, jejak embun masih setia terjaga pada ujung dedaun tumbuhan yang menghiasi tiap jendela kamar pasien. Segar di mata, nyaman di hati. Seorang anak laki-laki tengah membereskan kamar, merapikan kamera dan alat perekam. Sesekali dengan senyum mengembang menatap gadis yang terbaring menjelajah mimpi. Setelah memastikan semua beres, dengan hati-hati ia duduk di sisi pembaringan, membangunkan sang permaisuri dengan lembut. Penuh kasih. Mereka bak replika kisah putri salju di dunia nyata. Hanya saja tidak ada pangeran atau tidur selamanya. "Nina, bangun yuk." Gadis manis itu menguap saat merasakan pipinya ditepuk lembut, lalu mata terbuka perlahan dengan segala kantuk yang menggelayut manja
Pernahkah kalian mendengar hukum Singkronitas? Sebuah kebetulan yang terjadi dalam garis serupa, begitu rapi sehingga tampak lebih seperti sandiwara hidup yang direncana. Bahkan para ideologi masih meragukan eksistensi teori tersebut di dunia. Benarkah adanya? Para detektif menolak percaya, mereka yakin di dunia tidak ada suatu hal yang terjadi secara kebetulan. Pasti ada sesuatu kaitan, hal yang saling memicu suatu kejadian. Mereka menolak percaya. Tapi … bagaimana dengan kalian?-=9=- 31 Desember Pukul 11:49 Seorang lelaki tengah duduk bersama ayahnya di sebuah sofa panjang, berbataskan asbak
Tubuh itu melangkah gontai, meninggalkan pekarangan rumah sakit dengan luka-luka yang telah mengering. Beberapa pasang mata menatap di kejauhan, seorang pria keluar rumah sakit dengan badan penuh luka? Awan pekat telah tersingkap, langit malam kembali menguar pesona, menampakkan bulan pucat yang gompal setengah. Waktu menunjukkan pukul 22:16, hanya setengah jam dari kejadian di jembatan tadi. Rey seharusnya menerima tawaran suster untuk diobati dulu, namun ia tidak bisa berpikir jernih. Tatapannya kosong dengan air mata yang sesekali berlinang. Pria itu hanya ingin sampai di rumah, merebahkan diri di kasur secepat mungkin, berharap segera bangun dari mimpi terburuk ini.'If you can't wake up from a nightmare, maybe you're not asleep' dengan cepat ia menggelengkan kepala, menepis kalimat mengerikan itu.  
Mana yang kalian percayai lebih mendominasi lika-liku hidup; kemampuan diri, kesempatan, keberuntungan atau … takdir? Banyak yang beranggapan bahwa segala hal yang terjadi di kehidupan seseorang bergantung erat pada kemampuan yang dimiliki, entah itu tentang kesuksesan atau sebaliknya. Apa pun, semua risiko ada menurut kemampuan. Namun sebagian lain mengatakan kesempatanlah yang mengatur tragedi di sepanjang jalan yang kau lalui sejak lahir hingga menjelang ajal. Maka dengan kepercayaan ini, pengetahuan dan kepekaan atas datangnya sebuah momentum akan sangat berpengaruh terhadap pergerakan puzzle kehidupan. Pun ada kelompok yang bilang keselamatan langkah kaki manusia ada pada keberuntungan, entah bagaimana itu terjadi. Bilamana seseorang hidup dengan kesialan, mereka Akan menyebutnya kutukan. Dan mayori
Kehidupan kerap digambarkan dalam berbagai macam bentuk, teori. Ada pihak mengatakan hidup layaknya sebuah telur dan ayam, yang lain bilang hidup berjalan lurus dari satu titik awal menuju akhir. Hidup memang rumit, karena tidak ada satu pun yang dapat tahu pasti bagaimana lingkungan kita ini berlangsung. Teori tercipta, namun penuh pertentangan. Tidak ada yang menjalar lurus. Setiap orang dengan pengetahuan dan ego menentukan opini masing-masing. Saling menyekat dan mengikat. Mengapa tak bersatu dan saling membahu? Ada sebuah teori yang datang dari penduduk bersorban, inti kehidupan yang menurut kepercayaan mereka adalah jawaban terdekat dengan semua teori. 'Hidup memiliki awal, dan setiap hal yang memiliki permulaan, maka memiliki akhir. Entah dalam bentuk seperti apa hal itu tercipta." &n
Suatu siang yang hangat, dua anak manusia tengah bersenandung ria di sebuah kafe, diselingi senda gurau. Seorang gadis berambut sebahu dan lelaki tampan nan rapi. Mereka tampak menikmati alunan musik dari pemain piano di sudut ruangan, sambil sesekali melahap pesanan masing-masing. "Terima kasih, Rey. Kau sudah mau menemaniku jalan, biasanya aku sendirian di rumah jika libur. Jadi aku sangat senang." senyum mengembang, tampak senang ditemani berkeliling. "Santai saja, kita sahabat. Wajar kalau aku menemanimu." "Hmmm ... semisal aku minta lebih dari sahabat? Boleh?” goda sang gadis masih dengan senyum berbinar. Rey tertawa kecil, menggeleng perlahan sembari mengangkat telapak tangan, seperti juru parkir yang menyuruh pengemudi untuk berhenti.  
Satu detik berlalu .... Dua, tiga ... waktu berjalan begitu lamban. Tak ada yang terjadi, padahal Rey sudah terbayang-bayang akan seperti apa kematian. Apa rasanya saat jantung, organ yang memberimu kehidupan, ditusuk mati sampai berhenti memberi detak. Tapi nihil, sampai detik merangkak ke angka belasan, bahkan hingga rangkaiannya menggunung menit, tidak ada yang terjadi. Hanya kesunyian yang mendekap, ia masih menutup mata. 'Apakah aku sudah mati? Seperti inikah kematian? Hampa, tanpa rasa sedikit pun?' Bahu gadis di pelukannya berguncang, membuat lelaki itu sadar bahwa diri masih menapaki hidup. Perlahan, dengan segenap keberanian ia membuka mata, melirik kedua tangan Nina yang menggenggam erat tepi baju. Tidak ada pisau disana. Apakah berhasil? Samar isak tangis terdengar, sungguh pilu meski tak beriring air mata.
Sebuah keluarga tampak tenteram berkumpul di ruang tengah malam itu, sepasang kekasih dengan satu anak laki-laki cerdas yang sedang jatuh cinta. Ayahnya pulang ketika sore, tepat sebelum Rey pergi menemani Deary mengunjungi makam sang ibunda. Setelah mengantarkan gadis itu pulang, ia harus melaporkan banyak hal tentang Nina. Terutama kepada sang Ayah. "Ayo, Nak. Ceritakanlah pada ayahmu ini." Itu bukan permintaan, tapi perintah. "Ya jadi ... begini, Yah ...." saat kemudian, kisah itu meluncur tanpa hambatan, namun tetap dengan versi tanpa kecurigaan atau petunjuk-petunjuk yang ia dapatkan. Sementara ini hanya diri sendiri yang boleh tahu semua itu. "Oh, jadi begitu. Kau sudah bilang ‘kan padanya? Tapi belum dijawab." Pria gempal di hadapannya
Suasana kelas cukup riuh, beberapa murid asyik bermain handphone mereka masing-masing, sebagian lain sibuk mengerjakan PR yang belum tuntas. Mengingat guru galak yang akan masuk pada jam pelajaran pertama, sontak tugas langsung jadi prioritas utama. Rey sedari pagi sudah duduk, anak pertama yang datang ke sekolah, bahkan sebelum cahaya matahari menyamarkan rembulan. Meski tugas sudah selesai tepat setelah diberikan, ia tetap rajin, khususnya akhir-akhir ini. Tepatnya setelah deklarasi kematian dari organisasi penuh teror itu. Sudah tiga minggu sejak kabar dari 'The Number' membanjiri lautan media massa, entah internet, koran, atau stasiun televisi. Hampir semua Channel memperbincangkan teror demi teror yang semakin tanpa jeda. Enggan memberi napas. Bulan ini bahkan sudah 12 orang yang mati, korbannya acak, dari berbagai daerah. Warga sipil hanya bisa berharap bukan yang jadi sasar
Semburat keemasan memeluk pagi, tampak hangat, begitu tenteram. Diiringi alunan melodi alam nan indah, jejak embun masih setia terjaga pada ujung dedaun tumbuhan yang menghiasi tiap jendela kamar pasien. Segar di mata, nyaman di hati. Seorang anak laki-laki tengah membereskan kamar, merapikan kamera dan alat perekam. Sesekali dengan senyum mengembang menatap gadis yang terbaring menjelajah mimpi. Setelah memastikan semua beres, dengan hati-hati ia duduk di sisi pembaringan, membangunkan sang permaisuri dengan lembut. Penuh kasih. Mereka bak replika kisah putri salju di dunia nyata. Hanya saja tidak ada pangeran atau tidur selamanya. "Nina, bangun yuk." Gadis manis itu menguap saat merasakan pipinya ditepuk lembut, lalu mata terbuka perlahan dengan segala kantuk yang menggelayut manja